Hedar Laujeng, SH.: "Di hari-hari terakhirnya, lelaki itu tidur berbantalkan konstitusi"

   

Seijin penulisnya kalimat ini saya ambil dari Andiko Sutan Mancayo (2012). Tulisan saya ini merupakan kenangan pendek atas sebuah jasa Hedar Laujeng, SH, untuk studi agraria Indonesia, dan disampaikan pada acara peringatan 100 hari berangkatnya Hedar Laujeng kea lam kekal abadi diharibaan Allah SWT.


Noer Fauzi Rachman**)

 

 

Hukum memenjarakan laki dan perempuan 

yang mencuri seekor angsa dari tanah kepunyaan bersama.

Namun tersangka yang lebih besar lolos,

yang mencuri tanah milik bersama dari angsa itu[1]

(Syair berbahasa Inggeris dari abad ke-15)

 

Di kalangan kaum terdidik, termasuk para ahli dan praktisi hukum sekarang ini, baik di Indonesia maupun di berbagai belahan bumi lainnya,  kita dihadapkan oleh dua macam pemikiran yang saling bertentangan satu sama lainnya, yakni mereka yang mempelajari “orang-orang yang mencuri seekor angsa dari tanah milik bersama”, dan mereka yang mempelajari mereka “yang mencuri tanah milik bersama dari angsa itu” (Ollman 2008:8).  Hedar adalah pembela mereka yang didakwa karena “mencuri angsa” dari “tanah milik bersama” itu, dan penggugat mereka ” yang mencuri tanah milik bersama dari angsa itu”. Saya belajar dari Hedar bagaimana negaraisasi tanah-tanah, sumber daya alam, dan wilayah kelola rakyat merupakan proses utama dengan mana keberadaan rakyat tidak terlihat dan diakui sebagai warga Negara yang berhak untuk memiliki hak. Selanjutnya, hak mereka atas tanah, akses ke sumber daya alam, dan wilayah hidup mereka diabaikan dan ditiadakan, dan memasukkannya ke dalam konsesi-konsesi pertambangan, kehutanan dan perkebunan.

Tulisan ini hendak menunjukkan salah satu tema yang menjadi kegelisahan hidup  Hedar Laujeng “di hari-hari terakhirnya”, saat “lelaki itu tidur berbantalkan konstitusi”, yakni apa yang kemudian saya sebut negaraisasi tanah-tanah, sumber daya alam, dan wilayah kelola rakyat. Hedarlah yang mengajak saya untuk terus memikirkan mengenai hal ini, dan kemudian saya mengembangkan argumen-argumen lebih lanjut, termasuk apa yang saya sajikan disini sebagai perjuangan keadilan dan sekaligus perjuangan kewarganegaraan.  

 

Masyarakat-masyarakat tua dalam negara baru

Realisasi dari tekad Proklamasi kemerdekaan Indonesia, bahwa “hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”, menempuh jalan panjang dan berliku, terutama bila menyangkut pada proses yang digambarkan oleh Clifford Geertz (1963) sebagai transformasi dari sentimen primordial dari “masyarakat-masyarakat tua” (old societies) dalam konteks keberadaan “negara baru” (new state). Negara baru mempunyai proyek besar untuk membangun integrasi nasional, termasuk melalui pengembangan kesadaran nasional dari penduduk secara keseluruhan. Seperti ditunjukkan oleh Wignjosoebroto (2002:500) 

“… eksistensi suatu negara bangsa – sebagai negara yang dibangun dan dipertahankan oleh bangsanya – akan ditentukan tidak oleh ada tidaknya kelanjutan dan kehadiran identitas etnis identitas suatu etnisitas di situ, melainkan amat ditentukan oleh kehadiran manusia-manusia yang tetap ingin menyatu di situ dengan identitas kewargaan yang dipilihnya, tak soal asal muasal keturunannya.” 

Pada kenyataannya, sebagaimana nyata terlihat pada pengalaman Indonesia di bawah rejim Orde Baru, cara pemerintahan mengatur bagaimana kesadaran nasional dimiliki oleh penduduk dengan identitas-identitas primordial itu dilakukan dengan paksaan dan rakayasa sosial, termasuk melalui proyek-proyek pembangunan dari pemerintah dan perusahaan-perusahaan raksasa yang bekerja dengan konsesi-konsesi tanah, pertambangan, perkebunan, kehutanan yang diperoleh dari pemerintah pusat. Yang terjadi, adalah proses transplantasi, bukan transformasi, keharusan-keharusan nasional yang dipaksakan pada sentimen primordial masyarakat lokal. Ironisnya, proses transplantasi menghasilkan problem kewarganegaraan yang kronis, berupa tidak ditemukannya rute yang nyaman bagi “masyarakat-masyarakat tua” itu untuk masuk berintegrasi dalam negara bangsa Indonesia.

Rejim Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru mewariskan cara bagaimana pemerintahan mengatur penduduk dengan menekankan kewajiban-kewajiban sosialnya dan bukan memenuhi hak-hak sipil, politik, dan ekosob warganya (Rajawali Foundation: 2010, 2011)[2]. Kaum birokrat pemerintahan di masa Reformasi terus berlaku sebagai penguasa dan bertindak semaunya saja, semakin memperhebat masalah kewarganegaraan dari golongan penduduk pedesaan, termasuk yang dimaksudkan oleh Undang-undang Dasar 1945 sebagai “kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat” (selanjutnya disebut KMHA)

Rakyat dalam KMHA ini adalah salah satu golongan penduduk yang secara langsung menjadi korban dan menderita akibat pemberian konsesi-konsesi pertambangan, kehutanan dan perkebunan yang berlangsung semenjak rejim Orde Baru berkuasa tahun 1967. Pemberian konsesi-konsesi itu, yang di dalamnya dimasukan sebagian atau seluruh tanah, kekayaan alam, dan wilayah kelola KMHA sebagai perampasan sebagian syarat-syarat keberlangsungan hidup mereka.  Ketika sekelompok rakyat dalam KHMA menolak perampasan itu, dan secara langsung maupun tidak langsung,  terciptalah konflik agraria. Dalam hal ini, konflik agraria ini dapat dimengerti sebagai pertentangan klaim mengenai satu bidang tanah, wilayah, dan sumber daya alam antara rakyat dengan badan-badan penguasa tanah luas, terutama yang bergerak dalam bidang usaha produksi, ekstraksi, dan konservasi, dan pihak-pihak yang bertentangan tersebut berupaya dan bertindak secara langsung maupun tidak menghilangkan klaim pihak lain. Sumber utama konflik agraria itu adalah keputusan pejabat publik yang memasukkan tanah, sumberdaya alam, dan wilayah kelola masyarakat ke dalam konsesi-konsesi perusahaan-perusahaan raksasa tersebut. Dalam konteks ini, masyarakat adat diperlukan sebagai penduduk yang dibebani kewajiban-kewajiban, diperlakukan sebagai objek, dan tidak diperlakukan sebagai warga negara dengan segenap hak yang dipenuhi oleh negara. 

 

Perjalanan Politik Agraria Indonesia Paska Kolonial 

Hedar Laujeng secara tegas menyatakan di masa-masa akhir hidupnya untuk mengemukakan bahwa kita harus kembali ke Konstitusi Republik Indonesia. Masalah ini tidak bisa diatasi tanpa konstitusionalisme. Konstitusionalisme disini, secara generik, dapat dimengerti sebagai suatu cara pandang yang berdasar pada konstitusi suatu negara, yang pada pokoknya “mengatur dua hubungan yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu: Pertama, hubungan antara pemerintah dengan warga negara; dan kedua, hubungan antar lembaga pemerintahan yang satu dengan lembaga pemerintahan lainnya” (Asshiddiqie 2009:27). Disini saya hendak mendiskusikan  sedikit gagasan “Konstitusionalisme Agraria” ini, yang penulis mulai dalam buku Land Reform dari Masa ke Masa (Rachman 2012, khususnya halaman 121-140).

Konstitusi Republik Indonesia, yakni Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, bukan sekedar perlu disosialisasikan, melainkan dipergunakan sebagai sumber hukum dan pengetahuan bagi Pemerintahan Republik Indonesia untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial” (bagian Pembukaan UUD 1945).Dengan kata lain, pandangan formalistis  perlu diisi oleh pandangan substansial, dimana prinsip-prinsip dalam UUD 1945 itu dihadapkan pada masalah-masalah utama tanah-air Indonesia, yakni krisis ekologis, distribusi penguasaan tanah dan sumber daya alam yang timpang, dan konflik-konflik agraria.[3]

Dari perspektif sejarah, konstitusionalisme agraria ini telah dikembangkan oleh panitia-panitia pembentuk undang-undang agraria nasional (selanjutnya disebut Panitia Agraria). Yang pertama dibentuk adalah pada tahun 1948 oleh Presiden Republik Indonesia, Sukarno, dan berakhir dengan diberlakukannya UU No. 5/1960 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Agraria (UUPA). Suatu legal-politico concept baru yang diperkenalkan UUPA adalah konsepsi Hak Menguasai dari Negara (HMN). Pada pokoknya, HMN memberi kewenangan pemerintah pusat untuk (i) mengatur, mengelola dan mengalokasikan tanah dan sumber daya alam, (ii) menentukan hubungan kepemilikan, dan (iii) menentukan mana yang legal dan ilegal dalam tindakan hukum mengenai tanah dan kekayaan alam. Kewenangan ini ditabali keharusan etis pengembannya untuk selalu bekerja demi mewujudkan tujuan “sebesar-besar kemakmuran rakyat”. HMN ini dihadapkan dengan prinsip Domein Verklaring dari Undang-undang Agraria (Agrarische Wet) 1870.

UUPA memandang Domein Verklaring sebagai sumber kemiskinan dan kesengasaraan rakyat agraris. Panitia-panitia Agraria ini akrab dengan gagasan “satu abad ketidakadilan” dari Cornellis van Vollenhoven (Van Vollenhoven 1931, 1975). Gagasan ini berulang kali diangkat oleh para penyusun UUPA untuk menunjukkan kritik yang tajam atas prinsip domain negara yang ditetapkan dalam undang-undang agraria kolonial tahun 1870 (Lihat Notonagoro 1972:70-107; Rachman 2012:7-20). 

Selain HMN, penyusun UUPA juga memperkenalkan prinsip baru bahwa “tanah berfungsi sosial”, yang pada prakteknya menginspirasikan program landreform yang pada mulanya dirancang untuk “menghilangkan sisa-sisa kolonialisme dan sisa-sisa feodalisme”. Elite pemerintahan nasional baru yang lahir dari perjuangan revolusi nasional, percaya bahwa solusi masalah pertanahan merupakan prasyaray untuk perwujudan sepenuhnya aspirasi-aspirasi kebangsaaan, dan juga kunci untuk pembanguna ekonomi serta reorganisasi masyarakat paska kolonial yang berhasil (Jacoby 1961:253).[4] Namun, pada prakteknya di perjalanan Indonesia sepanjang lebih setengah abad setelah revolusi kemerdekaan, rezim politik yang berbeda memberi tempat pada kebijakan land reform, dan kebijakan anti-land reform secara berbeda-beda walau semua rejim politik nasional berada di bawah naungan Undang-undang Dasar 1945 dan UUPA 1960 yang sama.  Perundang-udangan agraria dan pengelolaan sumber daya alam secara strategis dibentuk, disiasati, dan dimanfaatkan oleh para penguasa politik yang berbeda-beda untuk memenuhi kepentingan dan visi ideologis yang berbeda pula.

Yang disebut rejim "Orde Baru", berkuasa semenjak penggulingan Sukarno tahun 1966, telah secara luas menetapkan dan menggunakan kewenangan pemerintah untuk memberikan konsesi-konsesi pertambangan, kehutanan, dan perkebunan; dan untuk pengadaan tanah bagi proyek-proyek pembangunan kawasan industri, infrastruktur, dan lainnya. Pemerintah membentuk Departemen Kehutanan pada tahun 1978, dan melalui kebijakan yang sentralistik, Menteri Kehutanan menunjuk lebih dari 120 juta hektar “kawasan hutan”, 62 persen dari wilayah daratan Republik Indonesia. Selanjutnya, terbentuklah sistem ganda penguasaan dan pengelolaan pertanahan, yakni, pertama, apa yang disebut “kawasan hutan negara” berada dibawah yurisdiksi Departemen Kehutanan berdasarkan Undang-undang Kehutanan no 5/1967 yang kemudian direvisi menjadi UU no 41/1999; dan kedua, yang disebut tanah-tanah non-hutan yang berada dibawah jurisdiksi UUPA 1960 dikelola oleh Direktorat Jenderal Agraria, Departemen Dalam Negeri, yang selanjutnya pada tahun 1988 berubah menjadi Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Di wilayah tanah-tanah non-hutan, pemerintahan Orde Baru menerapkan kebijakan “tanah untuk pembangunan” dengan mengandalkan yang secara populer disebut “pembebasan tanah”. Pada mulanya, BPN dibentuk untuk meningkatkan kapasitas pemerintah dalam melayani kepentingan pengadaan tanah untuk proyek-proyek pembangunan itu. Protes rakyat secara sporadis meletup di sana-sini. Sejak 1980-an para aktivis bantuan hukum dan hak asasi manusia mulai membela korban-korban perampasan tanah, mengritik kebijakan agraria pemberian konsesi perkebunan/kehutanan/pertambangan. DI tahu 1995, organisasi-organisasi gerakan social dan sejumlah aktivis (termasuk Hedar Laujeng) yang bergabung dalam Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyuarakan keharusan pemerintah menjalankan land reform, sementara itu organisasi-organisasi gerakan lingkungan mempromosikan pengelolaan sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan. 

Semenjak jatuhnya rejim otoritarian Suharto di tahun 1998, dan mulainya jaman Reformasi, maraklah okupasi-okupasi tanah – yang juga terkenal dengan istilah aksi-aksi reclaiming – hingga pembentukan organisasi-organisasi gerakan agraria yang bersifat lokal hingga nasional; aksi-aksi protes lokal hingga kampanye nasional; diskusi-diskusi kecil hingga konferensi nasional; tulisan-tulisan di koran hingga buku-buku serius; dan sebagainya. Pada suatu ketika kesemuanya berhasil beresonansi mendorong lahirnya komitmen baru Negara Kesatuan Republik Indonesia, berbentuk TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. TAP ini telah memberikan mandat dan arahan kebijakan pada Presiden Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, termasuk untuk mengkaji-ulang perundang-undangan yang tumpang tindih dan saling bertentangan satu sama lainnya, dan menjalankan kebijakan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan sebagaimana diuraikan pada pasal 6 ketetapan MPR RI tersebut. 

Setelah lebih dari satu dekade, TAP MPR RI No. IX/2001 belum mendapatkan perhatian dan komitmen politik tingkat tinggi dari Presiden maupun DPR RI untuk mewujudkannya. Alih-alih mandat TAP MPR itu dijalankan, kenyataannya, yang terjadi adalah semakin meluasnya kerusakan lingkungan, semakin menajamnya ketimpangan penguasaan tanah dan sumber daya alam, dan meletupnya konflik agraria dimana-mana. Disadari oleh sebagian besar promotor Ketetapan MPR RI ini bahwa Hak Menguasai Negara (HMN) pada prakteknya diatur dan dijalankan tidak secara terkordinasi, melainkan secara sektoral yang diatur oleh perundangan-undangan, kebijakan, kelembagaan, dan wilayah jurisdiksi masing-masing pengurusan agraria dan pengelolaan sumber daya alam.

Berbagai perundang-undangan menampilkan tafsir atas HMN yang berbeda, yang juga pada gilirannya menghasilkan rumusan dan ruang lingkup kewenangan pemerintah yang berbeda-beda pula. Ditunjukkan oleh karya Yance Arizona (2012) pula bahwa Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah bekerja dan menunjukkan salah kaprahnya sejumlah pasal penting dalam perundang-undangan sektoral, misalnya putusan Hakim MK perihal sebagian pasal pada Undang-undang No. 25/2005 tentang Penanaman Modal Asing, Undang-undang No. 18/2004 tentang Perkebunan, Undang Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Undang-undang No. 41/1999 tentang Kehutanan, dan Undang-undang Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Saat naskah ini ditulis, sedang diperkarakan di Mahkamah Konstitusi berbagai pasal dalam Undang-undang No. 41/1999 tentang Kehutanan, dan UU No 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

 

Penutup: Menuju perjuangan keadilan sosial dan sekaligus perjuangan kewarganegaraan

Tuntutan rakyat dalam KMHA memperoleh pengakuan eksistensi dan hak-hak tradisional yang melekat padanya tidak lah sulit untuk dipahami sebagai perjuangan untuk mewujudkan keadilan sosial. Argumen utama penulis, pertama, selain mengusung perjuangan untuk keadilan sosial, AMAN juga mengusung perjuangan hak-hak kewarganegaraan masyarakat adat dalam negara-bangsa  Indonesia; Kedua, perjuangan keadilan sosial dan kewarganegaraan itu utamanya dibentuk oleh cara bagaimana badan-badan pemerintah pusat Republik Indonesia mengakui secara bersyarat atau menyangkal eksistensi masyarakat adat dan hak-hak atas tanah, kekayaan alam, dan wilayah kelolanya. Penyangkalan ini nyata jelas pada proses yang penulis sebut sebagai negaraisasi tanah, sumber daya alam, dan wilayah kelola rakyat, yakni bahwa kepunyaan mereka ditetapkan sebagai “tanah negara”, “hutan negara” dan sejenisnya, lalu atas dasar kewenangan, pejabat publik memasukannya ke dalam konsesi-konsesi yang diberikan badan-badan pemerintah pusat dan daerah untuk usaha-usaha ekstraksi dan produksi komoditas global berbasikan sumber daya  alam (Lihat Fauzi 1999, 2000).  Argumen ketiga dan terakhir, tantangan terbesar saat ini adalah meralat kebijakan-kebijakan yang menyangkal eksistensi rakyat dalam KMHA sebagai warga negara yang memiliki “hak-hak asal-usul”. 

Hedar Laujeng mengajarkan saya untuk terus membuat Negara dan perusahaan-perusahaan penerima konsesi pertambangan, kehutanan dan perkebunan mengakui eksistensi rakyat dalam KMHA, dan menghormati hak-hak asal usul mereka. Selanjutnya, sebagai konsekuensi dari kesemua  itu, pemerintah Republik Indonesia wajib mengadministrasikan hak-hak khusus yang melekat padanya, termasuk hak-hak atas tanah, kekayaan alam, dan wilayah kelolanya; dan menyelesaikan konflik-konflik agraria secara adekuat berkenaan dengan penolakan masyarakat adat melepaskan hak-hak atas tanah, kekayaan alam, dan wilayah kelolanya yang dinegarakan itu. Menurut Ida Nurlela (2009:131), 

“Upaya pengakuan, penghormatan, dan perlindungan masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya harus dimulai dengan penyelesaian sengketa/konflikyang terkait dengan masyarakat hukum adat dan/atau hak ulayat. Tanpa hal itu, maka implementasi prinsip-prinsip keadilan dan demokrasi menjadi sia-siadan pengakuan dan penghormatan, dan perlindungan masyarakat hukum adat hanyalah sebuah retorika semata.”

Tuntuan pengakuan, penghormatan dan perlindungan itu adalah pantulan dari masalah yang struktural, kronis dan berdampak luas, yakni rakyat dalam KMHA masih diperlakukan sebagai penduduk yang diobjekkan belaka, dan belum mendapat perlakukan yang penuh sebagai warga negara. Mereka belum pula dapat berpartisipasi penuh dalam pembangunan dan proses sosial-politik sebagai subjek, termasuk untuk menikmati hasilnya, karena hak-hak dasar yang menjadi syarat dari keberlangsungan hidupnya belum lagi dipenuhi. 

            Last but not least, yang diperlukan saat ini, menurut penulis, adalah kesediaan para pengemban kekuasaan untuk meralat dasar-dasar penyangkalan aksistensi masyarakat adat beserta hal-hak asal usulnya, yang adalah hak konstitusional mereka sebagai warga negara. Seperti disampaikan oleh Wignyosoebroto (1998)  bahwa

“Pengakuan oleh negara atas hak-hak atas tanah masyarakat adat pada hakekatnya adalah suatu refleksi kesediaan para pengemban kekuasaan negara untuk mengakui eksistensi masyarakat adat yang otonom, dan kemudian daripada itu juga untuk mengakui hak-hak masyarakat adat itu atas tanah dan segenap sumber daya alam yang ada di atas dan/atau di dalamnya -- yang bernilai vital untuk menjamin kelestarian fisik dan nonfisik masyarakat tersebut.”

Sekian.

 

Bogor, 16 Oktober 2012


Daftar Pustaka yang dikutip

 

Arizona, Yance. 2012. Konsepsi Konstitusional Penguasaan Negara atas Agraria dan Pelaksanaannya. Tesis master tidak diterbitkan. Program Magister Hukum Kenegaraan, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.

Asshiddiqie, Jimly. 2009. Menuju Negara Hukum Yang DemokratisJakarta: BIP-Gramedia.

Fauzi, Noer. 1999. Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarya: Insist Press bekerjasama dengan Konsorsium pembaruan Agraria.

_____. 2000. “Konflik Tenurial: Yang Diciptakan Tapi tak hendak Diselesaikan”. Berebut tanah: Beberapa Kajian Berperspektif Kampus dan Kampung. Anu Lounela dan R. Yando Zakaria (Eds). Yogyakarta: Insist Press, Jurnal Antropologi, dan KARSA.

Geertz, Clifford. 1963. “The Integrative Revolution: Primordial Sentiments and Politics in the New States”, in: Clifford Geertz (ed.): Old Societies and New States: The Quest for Modernity in Asia and Africa. New-York: The Free Press of Glencoe, pp. 105-157.

Jacoby, Erich. 1949. Agrarian Unrest in Southeast Asia. New York, Columbia University Press.

_____ 1961. Agrarian Unrest in Southeast Asia, 2nd ed. London: Asia Publishing House.

Nurlindah, Ida. 2009. Prinsip-prinsip Pembaruan Agraria: Perspektif Hukum. Jakarta: Rajawali Press.

Rajawali Foundation. 2010. Indonesia Menentukan Nasib: dari Reformasi ke Transformasi Kelembagaan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

_____. 2011. From Reformasi to Institutional Transformation: A strategic Assessment of Indonesia’s Prospects for Growth, Equity and Democratic Governance. Harvard Kennedy School Indonesia Program, Harvard, USA.

Mancayo, Andiko Sutan. 2012.  “Di Seratus Hari Keberangkatan : Catatan Pertama Untuk Hedar Laujeng”. Tulisan disebar dalam kalangan terbatas, 15 Oktober 2012. Dimuat juga dalam http://desamembangun.or.id/2012/10/di-seratus-hari-keberangkatan-catatan-pertama-untuk-hedar-laujeng/(diunduh terakhir pada 16 Oktober 2012)

Ollman, Bertell. 2008. “Why Dialectics? Why Now?”, Dialectics for the New Century. Edited by Bertell Ollman dan Tony Smith. Hampshire: Palgrave Macmillan.

Wignjosoebroto, Soetandyo. 1998. “Kebijakan Negara untuk Mengakui dan Tak Mengakui Eksistensi Masyarakat Adat Berikut Hak atas Tanahnya”, dalam Jurnal Masyarakat Adat, No. 01 Tahun 1998, Bandung: Konsorsium pembaruan Agraria.

_____. 2002. Hukum: Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya. Ifdhal kasim, Winarno Yudho, Sandra Moniaga, Noer fauzi, Ricardo SImarmata, dan Eddie Sius RL. (eds). Jakarta: Elsam dan Huma.

 

 

 




**) Noer Fauzi Rachman, PhD., adalah Direktur Sajogyo Institute, Bogor; Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dan mengajar mata kuliah “Politik dan Gerakan Agraria” pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (KPM), Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor.

[1] Teks aslinya berbunyi: The law lock up the man or woman, who steals a goose from off the common. But leaves the greater the greater villain loose, who steals the common from the goose. Penulis mengutip syair ini dari Ollman (2008:8)

[2] Buku berjudul Indonesia Menentukan Nasib: dari Reformasi ke Transformasi Kelembagaan yang dibuat oleh Anthony Saich dkk (Rajawali Foundation: 2010, 2011), menunjukkan bahwa Indonesia bukan hanya memerlukan Reformasi dimana pemerintahan yang otoritarian dan sentralistik digantikan oleh suatu pemerintahan demokratis dan desentralistis, melainkan juga transformasi kelembagaan yang menyeluruh dari apa-apa yang diwarisi rejim Demokrasi Terpimpin dan rejim Orde Baru. Salah satu agenda pokok yang diusulkan adalah “penataulangan kewarganegaraan Indonesia” (restructuring Indonesian citizenship).

[3] Masalah utama tanah-air Indonesia ini dirumuskan oleh bagian menimbang butir c TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam sebagai berikut:

“pengelolaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam yang berlangsung selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik.”

Lebih lanjut dinyatakan pada butir D bagian Menimbang bahwa:

“peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam saling tumpang tindih dan bertentangan.”

[4] Eric Jacoby adalah seorang sarjana ternama yang mempelajari akar-akar keresahan agraris dari kemerdekaan nasional di Asia Tenggara. Kutipan aslinya adalah  “ … the solution of the land problem is a pre-requisite for the full realization of the national aspirations … and that, to a large extent, is the key to economic development and a sound re-organization of society” (Jacoby 1961:253). 

No comments:

Post a Comment