Masyarakat Adat dan Perjuangan Tanah-Airnya

 

Noer Fauzi Rachman[1]

Naskah Kuliah Umum dalam pembukaan Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) ke-IV,  Tobelo, Halmahera Utara, Maluku. 19 April 2012.

Video ceramah bisa ditonton pada:


Pengantar               

Masyarakat adat memiliki karakteristik khusus sebagai kelompok penduduk pedesaan-pedalaman yang hidup dalam suatu wilayah secara turun-temurun dan terus-menerus dengan suatu sistem kebudayaan dan aturan-aturan adat khas yang mengikat hubungan sosial di antara berbagai kelompok sosial di dalamnya. Selain bahwa  masyarakat adat itu ditentukan oleh cara bagaimana masyarakat adat itu  identifikasi diri (self identification), namun juga diikat oleh cara bagaimana pihak-pihak lain, terutama Negara dengan segenap perangkatnya, memperlakukan mereka. 

Tuntutan AMAN agar Negara mengakui eksistensi masyarakat adat beserta pemastian hak-hak dasar bagi keberlanjutan eksistensi masyarakat adat itu adalah suatu panggilan untuk pejabat,  dan badan negara untuk memenuhi kewajiban konstitusional: “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darahIndonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum” demi tujuan “mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Tidak lah sulit untuk memahami perjuangan yang diusung AMAN adalah perjuangan untuk mewujudkan keadilan sosial. Argumen utama saya, pertama, selain mengusung perjuangan untuk keadilan sosial, AMAN juga mengusung perjuangan hak-hak kewarganegaraan masyarakat adat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; Kedua, perjuangan keadilan sosial dan kewarganegaraan itu utamanya dibentuk oleh cara bagaimana Negara Kesatuan Republik Indonesia menyangkal eksistensi masyarakat adat dan hak-hak atas tanah, kekayaan alam, dan wilayah kelolanya. Penyangkalan ini nyata jelas pada fakta bahwa tanah, kekayaan alam, dan wilayah kelola masyarakat adat dimasukkan ke dalam konsesi-konsesi yang diberikan badan-badan pemerintah pusat dan daerah untuk usaha-usaha ekstraksi dan produksi komoditas global berbasikan sumber daya  alam. Argumen ketiga dan terakhir, tantangan terbesar saat ini adalah meralat kebijakan-kebijakan yang menyangkal eksistensi masyarakat adat, dengan memastikan bahwa masyarakat adat adalah suatu subjek hukum yang sah, dan sebagai konsekuensi dari hal itu, maka pemerintah Republik Indonesia wajib mengadministrasikan hak-hak khusus yang melekat padanya, termasuk hak-hak atas tanah, kekayaan alam, dan wilayah kelolanya; dan menyelesaikan konflik-konflik agraria secara adekuat berkenaan dengan penolakan masyarakat adat melepaskan hak atas tanah, kekayaan alam, dan wilayah kelolanya yang dimasukkan ke dalam konsesi-konsesi termaksud. 

Perjuangan untuk Keadilan Sosial dan Hak Kewarganegaraan Masyarakat Adat: Moto AMAN dan Latar Belakangnya

Deklarasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yakni menuntut negara mengakui eksistensi masyarakat adat, beserta pemastian hak-hak dasar bagi keberlanjutan eksistensi masyarakat adat itu,  telah terlebih dahulu menjadi aspirasi rakyat pedesaan pedalaman yang terpisah satu sama lain di seantero kepulauan nusantara. Hal itu dapat ditemukan dalam berbagai tuntutan atau aksi-aksi protes mereka di berbagai tempat. Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN)   pertama pada pertengahan Maret 1999 di Jakarta membuat tuntutan itu menjadi kerangka gerakan nasional. Kongres ini diselenggarakan oleh kelompok-kelompok masyarakat adat yang telah terlebih dahulu membuat koalisi tingkat provinsi,  dan didukung penuh oleh para pegiat/aktivis lingkungan, HAM dan agraria, dalam dan luar negeri. Kongres itu dihadiri lebih dari 200-an orang wakil dari tokoh adat dan lebih 200-an aktivis ornop dan pemerhati masyarakat adat yang juga ikut memfasilitasi dan menyemarakkannya. 

Karakteristik gerakan AMAN dan tuntutan yang diajukannya, bertemu dengan kesempatan politik yang terbuka terkait tumbangnya rezim otoritarian dan merebaknya tuntutan demokratisasi secara menyeluruh. Kongres Masyarakat Adat Nusantara ini – dan rangkaian gerakan AMAN selanjutnya – berhasil menjadi fokus perhatian aktivis gerakan dan para pengambil kebijakan lokal, nasional maupun internasional.

Suasana batin masyarakat adat saat Kongres di Jakarta yang menelurkan motto AMAN itu pada pertengahan Maret 1999 diisi semangat menggelora untuk menampilkan diri. Ini setelah sekian lama mereka berada dalam posisi tertindas, sehubungan dengan pandangan bahwa “pemerintah RI karena ternyata telah peminggiran, penindasan, penghancuran secara sistematis, perampasan dan penggusuran hak Masyarakat Adat serta melakukan pelanggaran HAM (politik ekonomi dan sosial budaya)” (Pandangan Dasar Kongres Masyarakat Nusantara 1999)Seorang antropolog, Tania Li, mengamati :

“Selama kongres berlangsung dan melalui berbagai laporan media tentang masyarakat lain yang sedang menghadapi masalah-masalah yang sama dengan yang mereka hadapi, masyarakat adat berhasil mengenali kesamaan pengalaman dan siapa musuh mereka …., sehingga mereka menciptakan semacam identitas baru yang kemudian disebut masyarakat adat” (Li, 2001:647)

Detil mengenai masalah-masalah yang dihadapi sangat berlimpah di pengalaman komunitas-komunitas adat yang beragam di seantero nusantara, terlebih pada mereka yang hadir di Kongres itu. Pandangan dasar AMAN mengkerangkakan masalah-masalah tersebut sebagai berikut:

 “Pada bidang politik, lembaga-lembaga adat, yang menjadi pengatur Mayarakat Adat, diporak-porandakan dengan dipaksakannya lembaga-lembaga pemerintahan daerah dan desa yang berlaku seragam untuk seluruh wilayah berdasarkan Undang-undang Pemerintahan Daerah No. 5/ 1974 dan Undang-undang Pemerintah Desa No. 5/1979. Konsep “desa” yang dipaksakan itu, telah menimbulkan konflik yang hebat dalam masyarakat yang telah memiliki otonomi sisitem pemerintahan adat tersendiri. Kesatuan-kesatuan wilayah Masyarakat Adat dipecah-gabungkan dalam satuan-satuan yang baru, secara politik, dapatlah dikatakan tidak ada pengakuan akan otonomi kelembagaan adat dalam mengatur urusan ke dalam maupun ke luar. Lebih-lebih lagi, tidak ada sama sekali perwakilan dari Masyarakat Adat dalam kelembagaan-kelembagaan negara yang mengambil keputusan-keputusan berkenaan nasib Masyarakat Adat. 

Pada bidang hukum, konsep penguasaan Negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya telah menjadi suatu alat yang  ampuh menghilangkan kedaulatan Masyarakat Adat. Berbagai UU, seperti UU No. 5/1960, UU No. 5/1967, UU No. 11/1967, mendasarkan diri pada konsep Hak Menguasai Negara yang merupakan wujud kekuasaan Negara mengambil alih kedaulatan Masyarakat Adat atas tanah dan kekayaan alamnya. Pemegang Hak Menguasai Negara ini, dalam hal ini adalah pemerintah pusat, pada prakteknya mengeluarkan keputusan-keputusan yang membuka  peluang bagi terjadinya pelanggaran-pelangaran Hak Asasi Manusia yang serius. Selama negara RI berada dalam pengguasaan rejim militer Orde Baru, Masyarakat Adat telah mengalami kekerasan langsung, seperti intimidasi dan penyiksaan, bahkan hingga menghilangkan nyawa warga Masyarakat Adat terutama ketika Masyarakat Adat memperjuangkan kedaulatan dan hak-hak Masyarakat melawan proyek-proyek pemerintah maupun pemodal. 

Pada bidang ekonomi, luasnya tanah dan kayanya sumber daya alam masyarakat adat telah menjadi objek bagi pemerintah dan pemodal untuk mengadakan proyek-proyek raksasa. Tanpa adanya konsultasi, pemerintah memberikan hak-hak bagi para pengusaha dan badan-badan pengelolaan lainnya yang asing bagi Masyarakat Adat. Berbagai undang-undang, seperti UU No.5/1960, UU No.5/1967, UU No.11/1967, telah memberikan kemudahan bagi pengusaha untuk mengambil tanah dan mengeksploitasi kekayaan alam kepunyaan masyarakat adat. Di lain pihak, kedaulatan dan hak-hak Masyarakat Adat atas tanah dan kekayan alamnya diambil alih penguasaannya oleh negara dan pengusaha. Konsep-konsep yang merugikan seperti “tanah negara” atau “hutan negara” telah menjadi alat yang ampuh untuk melumpuhkan kedaulatan masyarakat adat atas tanah dan kekayaan alamnya. 

Pada bidang sosial budaya, berbagai pengetahuan dan kearifan lokal milik masyarakat adat telah dilecehkan, dihilangkan dan dicuri. Pemahaman dan penguasaan masyarakat adat atas kekayaan alamnya yang telah dihancurkan oleh kebijakan-kebijakan yang memaksakan keseragaman kehidupan sosial-budaya. Pengetahuan dan kearifan lokal dalam pengelolaan hidup masyarakat adat tidak dipandang “sebelah mata” pun oleh sistem sosial budaya yang disebut “modern” itu. 

Kehidupan perempuan dalam Masyarakat Adat adalah golongan orang yang paling merasakan penderitaan akibat penindasan politik, ekonomi dan sosial-budaya diatas. Perempuan adat lebih banyak menderita, seperti meningkatnya beban kerja perempuan adat akibat hilangnya tanah dan kekayaan alam, kekerasan langsung berupa pelecehan dan pemerkosaan”.

Kongres ini merumuskan sumber utama penindasan-penindasan itu sebagai tidak diakuinya eksistensi masyarakat adat sebagai bagian dari warganegara Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dinyatakan bahwa: 

“Jauh sebelum Negara Republik Indonesia berdiri, telah hidup bermacam-macam Masyarakat Adat dalam komunitas-komunitas yang tersebar di se-antero Nusantara. Kami  Masyarakat Adat, adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat. 

Diakui dengan jelas bahwa adanya keanekaragaman budaya Masyarakat Adat di seantero Nusantara, sebagaimana yang telah dirumuskan dalam istilah Bhineka Tunggal Ika. Tapi, kenyataannya, kami tidak memperoleh pengakuan atas kedaulatan. Kehidupan Masyarakat Adat dalam Republik Indonesia mengalami penderitaan-penderitaan yang serius. Penderitaan itu pada pokoknya bersumber dari tidak diakuinya kedaulatan  Masyarakat Adat oleh kedaulatan Negara Republik Indonesia dalam berbagai praktek-praktek penyelenggaraanya.” (AMAN 1999)

Diakuinya hak kewarganegaraan suatu kelompok oleh Negara sangatlah penting, karena kewarganegaraan adalah “hak untuk mempunyai hak-hak” (right to have rights).[2]  Sebaliknya, penyangkalan terhadap hak kewarganegaraan kelompok-kelompok yang hidup dalam wilayah kekuasaan suatu Negara akan berakibat fatal untuk nasib kelompok-kelompok itu. Hal ini jelas pada nasib masyarakat adat di seanteo nusantara di bawah Negara Republik Indonesia. Sudah jelas mereka adalah penduduk Republik Indonesia. Walau eksistensinya telah yang dijamin oleh konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia, tapi mereka harus mengalami pengalaman pahit dan berjuang hebat untuk mendapatkan pengakuan nyata atas tanah, kekayaan alam, dan wilayah kelolanya – yang saya sebut sebagai tanah-air masyarakat adat.[3] Tidak sedikit rute transformasi dari kedudukannya sebagai penduduk (sekelompok orang yang hidup di suatu wilayah di dalam Negara) menjadi warga negara (yang memiliki hak-hak konstitusional yang harus dipenuhi oleh Negara) dihambat oleh cara pemerintah memasukan tanah-air masyarakat adat itu ke dalam konsesi-konsesi usaha-usaha ekstraksi sumber daya alam, dan produksi komoditas global.[4] Dengan kalimat sederhana, Negara Kesatuan Republik Indonesia (dan perusahaan-perusaaan itu) tampil dan dipersepsi sebagai perampas-perampas tanah-air mereka, dan  mereka kembali mengandalkan ikatan-ikatan lokalitas seperti adat dan etnis  sebagai rujukan untuk menghadapi para perampas tersebut. AMAN menyediakan cara baru bagi komunitas-komunitas ini untuk memperjuangkan hak-hak mereka. 

Asal-usul Motto AMAN

Ijinkan saya mengemukakan sedikit cerita mengenai asal-usul motto AMAN yang terkenal dan semua yang hadir disini mengenalnya: “Kalau Negara tidak mengakui kami, kamipun tidak akan mengakui Negara”. Motto AMAN itu bukan sekedar motto. AMAN mengangkatnya, karena motto ini  mewakili rasa mendua atas eksistensi Negara Republik Indonesia: disatu pihak mewakili pengalaman pahit tertindas di bawah Negara Orde Baru, dan di pihak lain, merindukan peran budiman Negara.

Sebagai Ketua Badan Pelaksana Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), salah satu organisasi pendukung KMAN 1999, saya memimpin satu sarasehan tentang “Tanah dan Masyarakat Adat”. Dalam sarasehan itu, sebagai fasilitator, saya mengajukan satu pernyataan sebagai penggerak diskusi. Pernyataan itu adalah:

“… oleh karena suku-suku bangsa dan masyarakat-masyarakat hukum adat tidak mandiri lagi, tetapi sudah merupakan bagian dari satu bangsa Indonesia di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka wewenang berdasarkan hak ulayat yang berhubungan dengan hak-hak atas tanah, yang dahulu mutlak berada  di tangan kepala suku/masyarakat hukum adat/desa sebagai penguasa tertinggi dalam wilayahnya … dengan sendirinya beralih kepada pemerintah pusat sebagai penguasa tertinggi, pemegang hak menguasai/ulayat wilayah Negara”.[5]

Pernyataan yang ditampilkan secara visual dengan over-head projector dan dibacakan secara jelas dan perlahan itu ternyata sanggup mencungkil suasana hati dari dunia dalam para pemimpin adat yang sedang bergelora itu. Diantara berbagai tokoh yang menanggapi pernyataan itu, ada satu tetua adat tampil secara fenomenal dan sanggup mewakili kegelisahan, kegeraman, dan tuntutan umum hadirin sekalian. Pak tua itu berdiri menyampaikan pengalaman kongkrit komunitasnya. Diakhir tanggapannya dengan suara keras dan parau pak tua ini  menyampaikan kalimat: “… kalau Negara tidak mengakui kami, kami pun tidak akan mengakui Negara”. Setelah kalimat itu selesai disampaikannya, saya terkesima. Demikian pula hadirin lainnya. Mereka tercenung. Hening, dan suasana agak magis. Saya berkesan pak tua itu pun kaget dan kemudian segera terkesima dengan kalimat yang keluar dari mulutnya sendiri.

Sebagai anggota Tim Pelancar Fasilitasi Kongres, AMAN menugaskan saya merumuskan Pandangan Dasar Kongres AMAN 1999. Setelah mendengar kalimat pak tua itu saya segera tahu: saya sudah dapatkan motto untuk AMAN.  Saya begitu gembira berhasil memfasilitasi sarasehan yang dapat menyediakan panggung untuk keluarnya kalimat yang pada gilirannya menjadi motto AMAN itu. 

Para aktivis dan pengamat AMAN akan setuju bahwa pada perjalanan gerakan masyarakat adat setelah Kongres, motto itu benar-benar mampu menggerakkan bukan hanya organisasi AMAN dan para pegiat/aktivis lingkungan, HAM dan agraria, tapi secara dialektik, motto itu pun  berhasil menarik perhatian media massa, elite pemerintahan, politik, dan akademisi internasional terhadap eksistensi Masyarakat Adat dan tuntutannya. AMAN pun menjadi icon baru gerakan sosial pedesaan Indonesia.

            Dikonstruksinya “masyarakat adat” sebagai identitas dan pengemban hak yang diperjuangkan pengakuannya dari negara sungguh merupakan penemuan yang hanya dimungkinkan oleh ragam bentuk penindasan, kesempatan politik, dan kombinasi perjuangan eksponen gerakan lingkungan pada tingkat global, nasional dan lokal. Sedangkan tuntutan pengakuan dari negara memasuki arena pertarungan kekuasaan yang amat rumit. Arena inilah yang digeluti oleh para penggeraknya, dan lebih dari itu secara kreatif ditampilkan berbagai manufer agar kejutan-kejutan baru dapat terjadi demi tercapainya pengakuan yang dimaksudkan.[6]

Padahal pengakuan Negara atas hak kewarganegaraan masyarakat adat barulah merupakan anak tangga pertama saja menuju ke anak-anak tangga berikutnya. Pada tahun 2002, dalam suatu kesimpulan lokakarya internalnya AMAN merumuskan perannya sebagai berikut (AMAN: 2002): 

“... Masyarakat Adat akan memperhatikan terus, sampai dimana penyelenggara negara mengakui atau justru menyingkirkan masyarakat adat beserta hak-haknya, sambil terus aktif ikut campur dalam pembuatan kebijakan yang akan mempengaruhinya. 

Manakala pengakuan dari penyelenggara negara telah terwujud, maka partisipasi politiknya akan dilanjutkan dengan upaya perolehan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat. Artinya, penyelenggara negara menghormati hak-hak masyarakat adat, manakala seluruh jajaran pemerintahan (di daerah dan pusat) secara bersama-sama mengubah seluruh kebijakan dan proyek-proyek pembangunan sehingga tidak melanggar hak-hak masyarakat adat. Penyelenggara negara (pusat dan daerah) melindungi  hak-hak masyarakat adat, manakala mereka mencegah dan menindak pihak-pihak lain yang “non-negara” (seperti perusahaan-perusahaan besar) yang melanggar hak-hak masyarakat adat. Penyelenggara negara memenuhi hak-hak masyarakat adat, manakala  pemerintah menggunakan kebijakan, anggaran dan proyek-proyeknya untuk mengembalikan hak-hak masyarakat adat yang dimilikinya, termasuk hak-hak yang dirampas sebelumnya, baik oleh penyelenggara negara sebelumnya maupun oleh pihak-pihak lain yang non-negara.”

            Sepanjang perjalanannya AMAN telah memposisikan dirinya sebagai  ”wadah perjuangan bersama masyarakat adat untuk menegakkan hak-hak adatnya, eksistensinya dan kedaulatan dalam mengatur dirinya sendiri secara adil dan mengelola sumberdaya alamnya secara berkelanjutan.”  AMAN berhasil mengakhiri perjuangan diam-diam dari masyarakat adat dan tampil secara terbuka dengan cara bergerak yang high profile (Moniaga, 2003), yang dijiwai oleh motto “Kalau Negara tidak mengakui kami, kamipun tidak akan mengakui Negara.” 

Tuntutan pengakuan AMAN menjadi jelas bentuk perwujudannya sambil diperjuangkan. AMAN telah berhasil mematerialkan wacana adat, hukum adat dan masyarakat adat serta menjadikan tuntutan yang kuat agar pemerintah mewujudkan “pengakuan” yang dimaksudkannya. Misalnya, para pejabat tinggi di Departemen Kehutanan sungguh menyadari bagaimana AMAN mengadvokasi kedudukan dan hubungan masyarakat adat dengan kawasan hutannya, ketika mereka mengadakan usaha merevisi UU Kehutanan No. 5 tahun 1967 menjadi UU Kehutanan No. 41 tahun 1999 dan pembentukan draft Peraturan Menteri tentang Hutan Adat.  Juga, Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional harus menanggapi tuntutan dan tekanan AMAN dengan mengeluarkan Permenag No. 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

            Selain contoh yang menunjukkan arena kerja advokasi AMAN di tingkat nasional, kita juga dapat melihat di pedesaan secara langsung di seantero wilayah Indonesia bagaimana perjuangan komunitas-komunitas adat dan organisasi adat yang menjadi anggota AMAN melakukan klaim, baik dengan pendudukan kembali dan aksi-aksi konfrontasi langsung lainnya maupun aksi-aksi negosiasi berkenaan dengan tanah-tanah dan kekayaan alam yang berada di wilayah yang dipersengketaan dengan badan-badan usaha produksi maupun konservasi.  

Ketika desentralisasi diimplementasikan sebagai akibat dari UU no. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, di berbagai Kabupaten seperti dari Aceh, Tapanuli Utara, Solok, Liwa, Kutai, Sanggau, Solok, Paser, Donggala, Toraja, Lombok Utara, hingga ke Papua,  kita dapat menyaksikan proses perjuangan pengakuan eksistensi lembaga adat dan wilayah adatnya, di antaranaya melalui pembentukan peraturan-peraturan daerah. Perjuangan itu bukan hanya dilakukan oleh dan untuk kepentingan komunitas-komunitas tetapi juga oleh dan untuk kepentingan elite-elite penguasa-tradisional kesultanan. Pada periode ini, menjadi jelas legitimasi adat memang dapat diandalkan dan memperoleh ruang yang luas untuk dijadikan dasar klaim untuk perolehan kekuasaan, terutama tanah dan kedudukan politik. Adat telah pula menjadi sumber legitimasi yang diperebutkan (lihat artikel-artikel dalam Davidson dkk. 2010).

            Selain itu, AMAN juga telah menjelajah arena internasional bersama-sama dengan organisasi-organisasi sejenis dari negara lain yang memperjuangan eksistensi dan hak-hak indigenous peoples, termasuk  dalam forum-forum World Summit on Sustainable Development (WSDD), proses perumusan deklarasi PBB mengenai Indigenous Peoples, dan lainnya. AMAN menjadi organisasi yang aktif sekali menggunakan momentum-momentum ini untuk mengubah kebijakan-kebijakan internasional, dan menggunakan kebijakan lembaga-lembaga internasional untuk menguatkan agenda perubahan kebijakan nasional. 

Perampasan Tanah-Air Masyarakat Adat di Masa Kini: Kasus Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE)

Meski gerakan masyarakat adat berkembang maju baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional, para tokoh gerakan,  aktivis dan pengamat gerakan masyarakat adat menyadari bahwa semenjak berdirinya AMAN hingga sekarang, kehidupan masyarakat adat kian sulit, dan masa depannya tak menentu, karena perampasan tanah, kekayaan alam dan wilayah kelola masyarakat adat terus berlangsung.  Kita terus mendengar, menyaksikan dan ikut serta dalam protes-protes masyarakat adat ketika pemerintah memasukkan tanah-air mereka itu ke dalam kawasan-kawasan konsesi untuk kepentingan usaha-usaha ekstraksi sumber daya alam dan produksi komoditas global. Adalah sesuatu yang lazim bahwa pemegang konsesi-konsesi itu  berusaha memutus hubungan hukum anatra masyarakat adat dengan tanah-airnya itu, termasuk dengan cara manipulasi dan kekerasan. Yang dihilangkan melalui perampasan tanah-air itu sesungguhnya adalah pemusnahan kondisi-kondisi yang memungkinkan mereka melanjutkan hidupnya, hal yang diistilahkan Ruwiastuti (2000) sebagai perpangkalan hidup. Kemudian, konflik agraria yang sifatnya struktural ini menjadi berkelanjutan dan berdampak luas karena masyarakat adat menolak  menyerahkan tanah-airnya begitu saja.

Banyak contoh kasus pemberian konsesi-konsesi yang di dalamnya dimasukkan tanah-air masyarakat adat. Salah satu yang terpampang didepan mata kita, salah satunya adalah konsesi-konsesi perusahaan kehutanan dan perkebunan dalam proyek nasional yang secara resmi oleh pemerintah Indonesia di tahun 2010 diberi nama  Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).[7] Di tahun 2011, Menteri Koordinator Perekonomian mengeluarkan suatu cetak biru Masterplan Percepatan Pembangunan Perekonomian Indonesia (MP3I) 2011-2025, dan memiliki landasan hukum yaitu Inpres Nomor 32 Tahun 2011 tentang MP3I. Secara khusus, pemerintah memberi tempat untuk MIFEE di dalam salah satu dari enam koridor ekonomi, yakni  Koridor Ekonomi Papua-Kepulauan Maluku.

Tak terlalu sulit untuk menelusuri proses kebijakan yang melahirkan MIFEE ini. Krisis pangan yang melekat erat dengan krisis energi semakin menajam pada tahun 2008. Ini menjadi tantangan kreativitas bagi pemerintah Indonesia untuk mengubah krisis menjadi peluang. Di tingkat internasional, harga komoditaspangan yang meroket dan permintaan energi terbarukan meningkat. Yang sangat terlihat adalah krisis pangan dan energi global telah menjadi pembuka pintu bagi peluang investasi di kedua sektor itu. Elite pemerintah segera menanggapi peluang ini dengan menghasilkan atau memodifikasi kebijakan-kebijakan yang bermuara pada pemberian konsesi-konsesi kehutanan dan perkebunan skala raksasa.

Hal ini bisa dilihat jelas dari dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) yang ditandatangani presiden pada Maret 2008. Peraturan ini dengan jelas menunjuk Kabupaten Merauke sebagai Kawasan Andalan. Pada Mei 2008, dikeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi 20082009 yang menginstruksikan Kementerian Pekerjaan Umum dan Gubernur Papua untuk menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Merauke. Sementara instrumen kebijakan tata ruang Kabupaten Merauke maupun Provinsi Papua, dan desain MIFEE belum selesai, Bupati Merauke bergerak cepat dengan mengeluarkan izin lokasi. Pada 2008, izin lokasi ini menegaskan pengalokasian tanah seluas 300.000 hektar kepada PT Medco. Pemberian izin lokasi ini kemudian  dilegitimasi secara adat. Pada 2009, salah satu anak perusahaan PT Medco berhasil mendapatkan izin Hutan Tanaman Industri (HTI) berdasarkan Surat Keputusan Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu Nomor 18/Menhut-II/2009 dengan total luas lahan  169.400 hektar. Di lokasi yang berbeda dengan anak perusahaan yang lain, PT Medco juga memperoleh izin pengembangan industri kayu serpih seluas 2.800 hektar. Pada 2010, melalui anak perusahaan yang berbeda lagi, PT Medco sudah mendapatkan izin lokasi untuk HTI seluas 74.219 hektar. Kayu serpih ini diekspor ke Korea dan China, bukan untuk bahan baku kertas, melainkan sebagai bahan bakar pengganti batubara. Bisnis kayu serpih sebagai bahan bakar terbarukan menjustifikasi operasi HTI PT Medco dalam rubrik Energy Estate. Dua anak perusahaan PT Medco yang disebut terdahulu pada saat ini sudah beroperasi dan melakukan pembayaran untuk pelepasan tanah adat, termasuk pembayaran penggantian kayu yang mereka panen dari hutan orang Marind. Lebih jauh lagi, bisnis kayu serpih ini juga sudah berhasil menarik investasi dari Korea Selatan melalui LG International.

Selanjutnya pada 2010, pemerintah mengeluarkan PP Nomor 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman untuk mengatur luasan pengusahaan budidaya tanaman. PP ini memperbolehkan penguasaan tanah di Papua dua kali lipat dari batas maksimum untuk daerah lain di Indonesia, yaitu  20.000 hektar. Namun, pada 2009, Grup Rajawali telah lebih dulu mengantongi izin lokasi untuk perkebunan tebu di Merauke melalui dua anak perusahaannya dengan luasan 35.000 hektar. Pada saat itu juga, sudah ada sepuluhperusahaan pemegang izin lokasi untuk perkebunan kelapa sawit dengan total luas 377.387,90 hektar, dengan rata-rata luas ijin yang dikeluarkan sebesar 35.000 hektar.

Selanjutnya, perkembangan luasan konsesi kehutanan dan perkebunan yang diberikan oleh Bupati Merauke melalui kewenangan yang dimilikinya dalam memberikan Ijin Lokasi, dari waktu ke waktu semakin bertambah secara fantastis. Dari Januari 2007 hingga di Agustus 2010, ijin lokasi untuk 44 perusahaan mencapai luas 2.144.650,99 hektar!!! (lihat Tabel 1, Gambar 1 dan 2).

Tentunya di dalam konsesi-konsesi ini hidup secara terpisah satu sama lain masyarakat adat Malind. Studi Zakaria dkk (2011) memperlihatkan proses marjinalisasi yang akan ditimbukannya. Brerbagai kelompok gerakan sosial mulai mengajukan protes kepada pemerintah Indonesia. AMAN mempergunakan kerja jaringan internasionalnya untuk mengangkat issue ini pada sesi ke-sembilan the UN Permanent Forum on Indigenous Issues yang berlangsung di New York pada 23 April 2010. Perwakilan AMAN, Arifin Saleh, menyampaikan suatu pernyataan di forum itu bahwa: 

“… Kawasan perkebunan untuk produksi energi dan makanan (MIFEE) ini diperkirakan akan mendatangkan 6,4 juta pekerja ke Merauke dan Papua barat decara umum. Total penduduk Papua Barat hanyalah 4,6 juta orang. 2,2 juta dari total penduduk ini adalah orang asli Papua, dan 70 % hidup di daerah pedalaman. Dengan jumlah penduduk Merauke hanya 174,710, rencana ini akan mengancam serius eksistensi masyarakat adat di wilayah-wilayah ini, membuatnya menjadi minoritas dalam jumlah, bahkan bisa jadi akan musnah di masa depan. Hal ini, kita dapat katakan, sebgai “structural and systematic genocide”. Hal ini tidak bisa diterima.” (Saleh 2010)[8]

Kemudian, AMAN juga meminta the UN Special Rapporteur on the Situation of Human Rights and Fundamental Freedoms of Indigenous Peoples untuk melakukan suatu  kunjungan untuk mempelajari proyek MIFEE ini, dan dampaknya pada keberlangsungan dan integritas kebudayaan dan keadaan hak asasi manusia dari masyarakat-masyarakat adat di Merauke.

 

Memahami Perlawanan atas Gerakan Pasar Global: Pertimbangan Teoritis

Penyebab perubahan nasib penduduk pedesaan-pedalaman, termasuk masyarakat adat, sejak masa kolonial hingga sekarang adalah perusahaan-perusahaan kapitalis raksasa yang terus-menerus mengekstraksi kekayaan alam dan menciptakan sistem produksi untuk menghasilkan komoditas untuk pasar global.[9] Kebijakan pemberian konsesi-konsesi dari badan-badan pemerintah (pemerintah kolonial maupun paska kolonial), dengan demikian, secara terus-menerus dibentuk oleh kepentingan perusahaan-perusahaan itu.

Tak ada yang meragukan bahwa sistem produksi kapitalisme lah adalah yang paling mampu melayani perusahaan-perusahaan raksasa dalam mengakumulasikan keuntungannya melalui kemajuan dan sofistikasi teknologi, serta peningkatan produktivitas tenaga kerja per-unit kerja, dan efisiensi hubungan sosial dan pembagian kerja produksi dan sirkulasi barang dagangan. Ketiganya mengakibatkan penggantian pabrik-pabrik yang telah usang, sektor-sektor ekonomi yang tidak kompetitif, hingga para pekerja yang ketrampilannya tidak lagi dapat dipakai.

Dalam karya klasiknya Capitalism, Socialism and Democracy (1944) bab “Can Capitalism Survive”,  Joseph A. Schumpeter menulis sebagai berikut:

“Kapitalisme, dengan demikian, hakekatnya adalah suatu bentuk atau metoda perubahan ekonomi, dan bukan hanya tidak pernah statis tapi tidak pernah biasa statis. Dan karakter evolusioner dari proses kapitalis bukan hanya dikarenakan fakta bahwa kehidupan ekonomi berlangsung dalam suatu lingkungan sosial dan alam yang berubah dan perubahan ini mengubah data dari perilaku ekonomi; Hal ini memang penting dan perubahan-perubahan ini (perang, revolusi dan sebagainya) sering membentuk perubahan industrial, akan tetapi kesemua itu bukanlah penggerak utamanya. Tidak pula terutama dikarenakan peningkatan yang rada-otomatis dalam hal ilmu dan jumlah modal, atau pada perilaku aneh dari sistem-sistem moneter, yang kesemuanya memang benar berpengaruh. Dorongan pokok yang menyusun dan menjaga mesin kapitalis bergerak adalah berasal dari barang-barang konsumsi yang baru, metoda-metoda produksi atau transportasi yang baru, pasar-pasar baru, bentuk-bentuk baru dari organisasi industrial yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan kapitalis” (Schumpeter 1976:82-83).

Sebagai sistem produksi yang khusus, kapitalisme memberi tempat hidup dan insentif bagi semua yang efisien, dan menghukum mati atau membiarkan mati hal-hal yang tak sanggup menyesuaikan diri dengannya. Selanjutnya, di atas yang telah dihancurleburkan itulah dibangun sesuatu yang baru, yang dapat lebih menjamin keberlangsungan akumulasi keuntungan. Schumpeter (1944/1976:81-86) menyebut hal ini sebagai the process of creative destruction (proses penghancuran yang kreatif).

Melalui proses sirkulasi barang dagangan, kebutuhan manusia pun pada gilirannya dibentuk agar dapat mengkonsumsi yang diproduksi. Sebagai suatu sistem produksi yang khusus, ia mendominasi cara pertukaran komoditas melalui pasar. Lebih dari itu, perusahaan kapitalisme sanggup membentuk bagaimana cara sektor ekonomi dikelola oleh badan-badan pemerintahan hingga ke pemikiran cara bagaimana cara ekonomi pasar itu diagung-agungkan.

Sejarah perubahan agraria di Indonesia juga menyamai apa yang terjadi  di negara-negara lain di Asia, Amerika Latin hingga Afrika. Sejak masa kolonial, pemberlakuan hukum agraria yang baru, termasuk didalamnya hukum yang mengatur usaha-usaha perkebunan, kehutanan, dan pertambangan, merupakan suatu cara agar perusahaan-perusahaan kapitalis dari negara-negara penjajah di Eropa maupun Amerika dapat memperoleh akses eksklusif atas tanah dan kekayaan alam, yang kemudian mereka definisikan sebagai modal perusahaan-perusahaan itu. Badan-badan pemerintahan dan perusahaan-perusahaan mulai memagarilahan-lahan konsesi, dan mengeluarkan penduduk bumiputera dari wilayah itu. Hubungan dan cara komunitas lokal menikmati hasil dari tanah dan alam telah diputus melalui pemberlakuan hukum, penggunaan kekerasan, pemagaran wilayah secara fisik, hingga penggunaan simbol-simbol baru yang menunjukkan status kepemilikan yang bukan lagi dipangku oleh mereka. Bila  sekelompok rakyat melakukan protes dan perlawanan untuk menguasai dan menikmati kembali tanah dan wilayah yang telah diambil alih pemerintah dan perusahaan-perusahaan itu, akibatnya sangat nyata, yakni mereka dapat dikriminalisasi, dikenai sanksi oleh birokrasi hukum, atau tindakan kekerasan lainnya yang dapat saja dibenarkan secara hukum.

Pemagaran dan pemutusan hubungan itu pada intinya adalah penghentian secara paksa akses petani atas tanah dan kekayaan alam tertentu. Tanah dan kekayaan alam itu kemudian masuk ke dalam modal perusahaan-perusahaan kapitalistik. Jadi, perubahan dari alam menjadi sumberdaya alam ini berakibat sangat pahit bagi rakyat bumiputera yang harus tersingkir dari tanah asalnya dan sebagian dari mereka dipaksa berubah menjadi tenaga kerja/buruh upahan.

Proses demikian dipahami oleh Adam Smith – pemikir ekonomi terkenal yang menteorikan mengenai “tangan-tangan tak kelihatan (invisible hands)” yang bekerja dalam mengatur bagaimana pasar bekerja—dalam karya terkenalnya The Weath of Nations bahwa “akumulasi kekayaan alam harus terjadi dulu sebelum pembagian kerja” (1776, I.3:277). Belajar dari kenyataan dan keniscayaan ini, Karl Marx mengembangkan teori “the so-called primitive accumulation”, yang mendudukkan proses perampasan tanah dan kekayaan alam ini sebagai satu sisi dari mata uang, dan kemudian memasangkannya dengan sisi lainnya, yaitu penciptaan tenaga kerja bebas (Marx, Das Capital, 1867).[10] Ini adalah proses paksa menciptakan orang-orang yang tidak lagi bekerja terikat pada tanah dan alam. Orang-orang ini mengandalkan hanya pada tenaga yang melekat pada dirinya saja, lalu menjadi para pekerja bebas. Sebagian mereka pergi dari tanah mereka di desa-desa ke kota-kota untuk mendapatkan pekerjaan. Kantung-kantung kemiskinan di kota-kota juga dilahirkan oleh proses yang ini (Lihat Davis 2006).[11]

Harus dipahami bahwa ekonomi pasar kapitalistik bekerja sama sekali berbeda dengan ekonomi pasar sederhana dimana terjadi tukar-menukar barang melalui tindakan belanja dan membeli yang diperantarai oleh uang. Perbedaan itu dijelaskan dengan sangat baik oleh Karl Polanyi dalam bab 5 “Evolusi Sistem Pasar” dalam karya klasiknya The Great Transformation (1944/1957). Dalam kalimat yang lugas, untuk memahami bagaimana sistem ekonomi pasar kapitalis bekerja, dia membalikkan prinsip resiprositas dari ekonomi pasar sederhana. Dalam ekonomi pasar kapitalis, “bukanlah ekonomi yang melekat ke dalam hubungan-hubungan sosial, melainkan hubungan-hubungan sosial lah yang melekat ke dalam sistem ekonomi kapitalis itu” (Polanyi 1944/1957:57). Pasar kapitalis memiliki kekuatannya sendiri yang dipercayai bisa mengatur dirinya sendiri. Tapi, sebagaimana ditunjukkan oleh Polanyi, badan-badan negara lah yang sesungguhnya membuat pasar kapitalis demikian itu bisa bekerja.

Pasar kapitalis membuat segala hal dikomodifikasi menjadi barang dagangan. Namun, khusus untuk tanah (atau lebih luas alam), pasar kapitalis tak akan pernah berhasil mengkomodifikasi sepenuhnya. Karl Polanyi percaya bahwa tanah (atau lebih luasnya: alam) sesungguhnya bukanlah komoditi atau barang dagangan, dan tidak dapat sepenuhnya diperlakukan sebagai komoditi (barang dagangan). Tanah melekat sepenuhnya dengan relasi-relasi sosial. Jadi mereka yang memperlakukan tanah (alam) sepenuhnya sebagai komoditi, sesungguhnya bertentangan dengan hakekat tanah (alam) itu sendiri.

Tanah (alam) dapat dibayangkan sebagai komoditi. Polanyi mengistilahkannya: fictitious commodity (barang dagangan yang dibayangkan). Menurut Polanyi memperlakukan tanah (alam) sebagai barang dagangan dengan memisahkannya dari ikatan hubungan-hubungan sosial yang melekat padanya, niscaya akan menghasilkan guncangan-guncangan yang menghancurkan sendi-sendi keberlanjutan hidup masyarakat itu, dan kemudian akan ada gerakan tandingan untuk melindungi masyarakat dari kerusakan yang lebih parah.

Tanah (dan juga tenaga kerja) merupakan syarat hidup dari masyarakat. Memasukkan tanah (dan juga tenaga kerja) dalam mekanisme pasar adalah merendahkan hakekat masyarakat, dan dengan demikian menyerahkan begitu saja pengaturan kehidupan masyarakat pada mekanisme pasar. Hal ini dengan sendirinya, akan menimbulkan gejolak perlawanan, demikian Polanyi menyebutkan.

Polanyi pun menulis bahwa kelembagaan pasar demikian “tak dapat hidup lama tanpa melenyapkan hakekat alamiah dan kemanusiaan dari masyarakat; Ia akan secara fisik merusak manusia dan mengubah lingkungannya menjadi demikian tak terkendalikan. Tak terelakkan lagi, masyarakat melakukan upaya perlindungan diri” (Polanyi 2001/1944:3).

Dalam bagian lain bukunya, Polanyi menulis:

“selama berabad dinamika masyarakat modern diatur oleh suatu gerakan ganda (double movement): pasar yang terus ekspansi meluaskan diri, tapi gerakan (pasar) ini bertemu dengan suatu gerakan tandingan (countermovement) menghadang ekspansi ini agar jalan ke arah yang berbeda. Apa yang diutamakan oleh gerakan tandingan ini adalah untuk melindungi masyarakat, yang pada akhirnya (gerakan tandingan itu) itu tak cocok dengan prinsip pengaturan diri-sendiri dari pasar, dan dengan demikian tidak cocok pula dengan sistem pasar itu sendiri” (Polanyi 2001/1944 :130).

Perampasan tanah, kekayaan alam dan wilayah hidup yang dialami penduduk pedesaan Indonesia sejak dahulu, dan protes-protes agraris atas politik agraria yang melancarkan perampasan itu, perlu dipahami dengan kerangka ini (Fauzi 1999, 2001). Protes-protes itu adalah perlawanan balik yang sesaat atau bisa juga berkepanjangan dari sekelompok rakyat untuk bertahan, melindungi diri dan bahkan melawan proses komodifikasi yang dilancarkan oleh pasar kapitalis itu.[12]  

Penutup: Pengakuan Masyarakat Adat sebagai Subjek Hukum adalah Agenda untuk Menjamin Keberlangsungan Hidup Masyarakat Adat

Saya menyadari bahwa selain menghadapi berbagai arus pemusnahan secara eksistensial seperti yang diuraikan di atas, eksponen masyarakat adat sendiri banyak meninggalkan kerja pertanian mereka (depeasantization) karena rasionalitas pasar dan rayuan dan keharusan modernitas (McMicahel 2012). Kita jarang mendengar protes-protes besar dari masyarakat adat sehubungan dengan makin rendahnya pendapatan dari hasil kerja bertani mereka, maupun sehubungan dengan merosotnya minat bertani terutama di kalangan generasi pemuda-pemudi adat. Anak-anak muda adat tak lagi tertarik bekerja di bidang pertanian. Di sekolah-sekolah, mereka tidak diajarkan bagaimana mengembangkan aspirasi dan ketrampilan bertani dan usaha pertanian. Yang diajarkan adalah ilmu-ilmu pergi, yang membuat mereka menjadi pencari kerja di kota-kota. Semua ini membuat mereka secara perlahan tapi pasti meninggalkan desa secara berbondong-bondong. Pada  gilirannya, mereka menjadi orang-orang yang terlempar dari pertanian dan pedesaan, menyesaki kota-kota, baik untuk menjadi tenaga kerja kasar maupun hidup dalam sektor informal di perkotaan.

Namun hal itu bukan tidak berhubungan dengan ketiadaan prospek bekerja di wilayah kelola masyarakat adat karena tidak adanya kepastian hak-hak atas tanah, kekayaan alam, dan wilayah kelola masyarakat adat itu. Ketidakpastian hak-hak itu sudah jelas adalah akibat dari ketiadaan komitmen pemerintah untuk mengakui eksistensi masyarakat adat, dan melindungi hak-hak dasarnya. Yang terjadi sebaliknya, yakni penyangkalan eksistensi masyarakat adat, dan hak-hak dasar yang melekat padanya itu. Atas dasar hal ini lah perampasan tanah-air masyarakat adat yang terus berlangsung sehubungan dengan gencarnya pemerintah memfasilitasi perkembangan sistem produksi kapitalisme, dimana perusahaan-perusahaan transnasional maupun domestik mendapatkan konsesi-konsesi untuk usaha ekstraksi dan produksi komoditas global. Tuntutan AMAN agar Negara mengakui eksistensi masyarakat adat dan melindungi hak-hak fundamentalnya, pada mulanya, bertentangan dengan perkembangan sistem produksi kapitalisme ini, seperti pada situasi dimana masyarakat adat berhadapan secara diametral dengan perusahaan-perusahaan pemegang konsesi, dan badan-badan pemerintah yang memberikan konsesi pada perusahaan-perusahaan itu.

Bagi masyarakat adat yang memiliki hubungan dengan para aktivis dan organisasi gerakan sosial, atau akses ke elite politik kota, perlawanan mereka atas perampasan tanah-airnya dapat bergerak melintasi kampung-kampung mereka sampai ke kantor-kantor pemerintahan kabupaten hingga Jakarta. Belakangan ini kasus-kasus konflik agraria yang melibatkan masyarakat adat, seperti pada kasus Mesuji di Sumatera Selatan dan Lampung, dan kasus Pulau Padang di Riau Kepulauan, menjadi perhatian publik. Melalui konflik agraria ini, masyarakat adat dan para penyokongnya dibiasakan bertarung menghadapi pemegang konsesi-konsesi, birokrasi pemerintahan sektoral pusat dan daerah yang menyokong para pemegang konsesi tersebut, aparatus (resmi dan swasta) pengaman konsesi, dan para pemburu rente yang bekerja dalam mengurus konflik itu. Dalam konflik yang bersifat struktural, kronis dan berdampak luas ini kita dihadapkan pada kemelut yang rumit untuk diselesaikan (lihat Lampiran 1).

Meski sebab-sebab utamanya dengan mudah dapat diidentifikasi, yakni putusan-putusan pejabat publik yang memberikan konsesi untuk usaha raksasa ekstraksi dan , produksi dengan memasukkan tanah-air masyarakat adat ke dalam konsesi itu, namun penyelesaiannya sulit dan rumit. Kesulitan dan kerumitan itu  karena koreksi atas putusan-putusan pejabat publik itu akan menghasilkan komplikasi sendiri. Si korban tak dapat memperkarakan putusan pejabat publik itu ketika putusan pejabat publik itu sudah keluar lebih dari 90 hari (masa kadaluwarsa untuk menggugat suatu putusan pejabat publik di PTUN). Juga, komplikasi bisa muncul bila, misalnya, Menteri Kehutanan, atau Kepala Badan Pertanahan Nasional mengoreksi putusan pemberian HPHTI atau HGU, dan kemudian pemegang HPHTI atau HGU itu dapat memperkarakan putusan korektif itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Sementara itu, cara-cara penyelesaian alternatif (seperti, negosiasi, mediasi, arbitase, dll) memiliki keterbatasannya sendiri, terutama karena ketidaksanggupannya menyediakan kondisi-kondisi fundamental bagi keberlangsungan hidup masyarakat adat itu sendiri, yakni kepastian penguasaan (tenurial security) atas tanah-airnya. Meski konflik-konflik agraria itu sulit diselesaikan, ironisnya, melalui putusan-putusan pejabat publiknya, badan-badan pemerintah pusat dan daerah tak henti-hentinya memproduksi konsesi-konsesi yang merampas tanah-air masyarakat adat. Konsesi-konsesi itu diperuntukan bagi keberlangsungan perusahaan-perusahaan raksasa bekerja mengekstraksi kekayaan alam dan produksi komoditas global.

Agenda pengakuan eksistensi masyarakat adat beserta pemastian hak atas tanah-air masyarakat adat adalah suatu panggilan untuk pejabat dan badan negara untuk ikut melindungi warga negaranya dari serangan pasar global. Jadi, protes-protes dan tuntutan gerakan sosial seperti AMAN ini adalah suatu upaya memanggil (pejabat) negara untuk memenuhi kewajiban konstitusionalnya, salah satunya, “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia” … untuk “mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Hasil amandemen atas Undang-undang Dasar 1945 menghasilkan tiga ketentuan baru mengenai eksistensi dan hak-hak masyarakat adat, yaitu pasal 18B ayat (2), pasal 28i ayat (3), dan ayat (2). Pengakuan eksistensi ini dipersyarati dengan empat ketentuan, yakni sepanjang masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat, sesuai prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan diatur dalam undang-undang. Namun pengakuan konstitusional ini tidak dengan sendirinya (secara otomatis) mendorong penyesuaian perundang-undangan di bawahnya. Masih banyak pekerjaan pembaruan perundang-undangan untuk meralat penyangkalan dan mewujudkan pengakuan atas eksistensi masyarakat adat itu dan segenap hak-hak dasarnya (Arizona 2011, Safitri 2011, Simarmata 2006).

Tantangan sekarang adalah meralat kebijakan-kebijakan yang menyangkal eksistensi masyarakat adat itu, dengan memastikan bahwa masyarakat adat adalah suatu subjek hukum yang sah, dan pemerintah Republik Indonesia wajib mengadministrasikan hak-hak khusus yang melekat padanya, termasuk hak-hak atas tanah, kekayaan alam, dan wilayah kelolanya. Untuk keperluan inilah diperlukan suatu undang-undang khusus mengenai masyarakat adat. Dalam perundang-undangan itu, dapat pula diatur bagaimana masyarakat adat juga berhak untuk memperoleh pemulihan atas kerusakan sosial-ekologis yang dideritanya akibat kekeliruan kebijakan pemerintah sebelumnya yang menyangkal eksistensinya sebagai subjek hukum, dan hak-hak dasar yang melekat padanya.[13]

Bogor dan Tobelo  18 April 2012


Daftar Pustaka

 

Arizona, Yance. 2010. Satu Dekade Legislasi Masyarakat Adat: Trend Legislasi Nasional tentang Keberadaan dan Hak-hak Masyrakat Adat atas Sumber Daya Alam di Indonesia (199-2009). Kertas Kerja EPISTEMA No. 07/201.

Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN). 2010. “Konsep rekomendasi BKPRN untuk penataan ruang kawasan MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate)”. Bahan Rapat Menteri Pekerjaan Umum (Ketua Tim Pelaksana BKPRN). February 16, 2010.

Belammy, Richard. 2008. Citizenship: A Very Short Introduction. Oxford: Oxford University Press. 

Davidson, Jamie S, David Henley, dan Sandra Moniaga (Eds). 2010. Adat dalam Politik Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor. Terjemahan dari The Revival of Tradition in Indonesian Politics, The Deployment of Adat from Colonialism to IndigenismEdited by Jamie S. Davidson and David Henley. London: Routledge.

Davis, Mike. 2006. Planet of Slums. New York: Verso.

De Angelis, Massimo. 2007. The Beginning of History. Value Struggles and Global Capital. London: Pluto Press.

Fauzi, Noer. 1999, Petani dan Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia, Yogyakarta: Konsorsium Pembaruan Agraria bekerjasama dengan Insist Press dan Pustaka Pelajar.

_____. 2001. Bersaksi untuk Pembaruan Agraria. Yogyakarta: Karsa bekerjasama dengan Insist Press.

_____. 2005. Memahami Gerakan-gerakan Rakyat Dunia Ketiga. Yogyakarta: Insist Press.

Gaventa, John, and Rajesh Tandon. 2011. Globalizing Citizen: New Dynamic of Inclusion and Exclusion. London: Zed Book.

Ito, Takeshi, Neor Fauzi Rachman, dan Laksmi Savitri 2011. “Naturalizing Land Disposession: A Policy Discourse Analysis of the Merauke Integrated Food and Energy Estate”. Paper Presented at the International Conference on Global Land Grabbing, Sussex University, Brighton, 6-8 April 2011.

Li, Tania. 2001. 2001 “Masyarakat Adat, Difference, and the Limits of Recognition in Indonesia's Forest Zone”,  Modern Asian Studies 35(3):645-676.

Marx, Karl. 1976/1898. Capital, Vol. One, trans. Ben Fowkes. Harmondsworth, Penguin Books

McMichael, Philip. 2011. “Depeasantization”. In Wiley-Blackwell Encyclopedia of Globalization.

Panigoro, A. 2009. “Memandang Indonesia dari Merauke”. Kompas, August 29, 2009. 

Pemerintah Indonesia. 2010. Grand Design Pengembangan Pangan dan Energi Skala Luas. Jakarta: Kementrian Pertanian.

Pemerintah Indonesia. 2011. Masterplan untuk Percepatan dan Perluasan EKonomi Indonesia. Jakarta: Kementrian Kordinator Bidang Perekonomian. 

Perelman, Michael. 2000. The Invention of Capitalism: Classical Political Economy and the Secret History of Primitive Accumulation. Durham: Duke University Press.

Polanyi, Karl. 2001 (1944). The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Time. Boston: Beacon Press.

Ruwiastuti, Maria Rita. 2000. “Sesat Pikir” Politik Hukum Agraria, Membongkar Alas Penguasaan Negara atas Hak-hak Adat. Noer Fauzi (Peny.). Yogyakarta: Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar 

Rachman, Noer Fauzi. 2012. Land Reform dari Masa ke Masa. Yohyakarta: Tanah Air Beta.

Safitri, Myrna A. 2010. “Legislasi Hak-hak Masyarakat atas Tanah dan Kekayaan Alam dalam Peraturan Perundang-undangan Nasional Indonesia: Model, Masalah, dan Rekomendasi”, dalam Masa Depan Hak-hak Komunal atas Tanah: Beberapa Gagasan untuk Pengakuan Hukum: Rekomendasi Kebijakan. Universiteit Leiden dan BAPPENAS, hal 15-35.

Saleh, Arifin. 2010. Indonesia: AMAN Statement on Agenda Item 4: Human Right (9th UNPFii)” http://www.indigenousportal.com/Human-Rights/Indonesia-AMAN-Statement-on-Agenda-Item-4-Human-Rights-9th-UNPFii.html (last accessed on April 16, 2012)

Simarmata, Ricardo. 2006. Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di Indonesia. Jakarta: UNDP.

Soetiknjo, Iman. 1990. Politik Agraria Nasional, Yogyakarta, Penerbit UGM. 

Schumpeter, Joseph A.  1944. Capitalism, Socialism and Democracy. Allen & Unwin. Thompson, Lisa, and Chris Tapscott (eds). 2010. Citizenship and Social Movements: Perspective from the Global South. London:Zed Book.

Zakaria, R. Yando, Emil O. Kleden, dan F. Samperante. Tak Terjangkau Angan Malind: Beberapa Catatan atas Upaya Percepatan Pembangunan cq. Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Kabupaten Merauke, Papua, dan Kesiapan Masyarakat Adat Setempat dalam Menghadapinya.  Jakarta: Pusat Studi dan Advokasi Hak-hak Masyarakat (PUSAKA).


 


Lampiran 1: Rantai Penjelasan Konflik Agraria

 

 Akar Masalah 

  • Tidak adanya kepastian penguasaan (tenurial security) tanah-tanah/SDA/wilayah kelola masyarakat. 
  • Dominasi dan ekspansi badan-badan usaha raksasa dalam industri ekstraktif, produksi perkebunan dan kehutanan, serta konservasi.
  • UUPA 1960 yang pada mulanya ditempatkan sebagai UU Payung, pada prakteknya disempitkan hanya mengurus wilayah non-hutan (sekitar 30% wilayah RI), dan prinsip-prinsipnya diabaikan. Peraturan Perundang-undangan mengenai pertanahan/kehutanan/PSDA lainnya tumpang tindih dan bertentangan antara satu dengan yang lain. Berlanjutnya dualisme sistem hukum negara versus hukum adat yang terjadi di zaman kolonial. Walhasil, di satu pihak sektoralisme kelembagaan, sistem, mekanisme, dan administrasi yang mengatur pertanahan/kehutanan/SDA lainnya semakin menjadi-jadi; dan di lain pihak instrumentasi badan-badan pemerintahan sebagai “lembaga pengadaaan tanah” melalui rejim-rejim konsesi.
  • Last but not least, Semakin menajamnya ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan peruntukan tanah/Hutan/SDA lainnya.

 

Sebab-sebab Konflik Agraria 

  • Pemberian izin/hak oleh pejabat publik(menteri kehutanan, menteri ESDM, Kepala BPN, Gubernur dan Bupati) yang memasukkan tanah/wilayah kelola/SDA kepunyaan masyarakat adat/lokal ke dalam konsesi badan-badan usaha raksasa dalam bidang produksi, ekstraksi, maupun konservasi.
  • Penggunaan kekerasan, manipulasi, dan penipuan dalam pengadaan tanah skala besar untuk proyek-proyek pembangunan, usaha-usaha raksasa dalam bidang produksi, ekstraksi, konservasi.
  • Pembatasan akses rakyat terhadap wilayah konsesi badan usaha raksasa dalam bidang produksi, ekstraksi, maupun konservasi. Perlawanan langsung dari rakyat sehubungan pembatasan akses tersebut.

 

Akibat-akibat 

  • Penutupan akses terhadap tanah, wilayah, dan SDA yang diperebutkan tampil secara luas sebagai penghilangan hak ekonomi, sosial, budaya, dan hak sipil dan politik masyarakat, yang secara langsung berupa hilangnya wilayah hidup, mata pencaharian, harta benda dan jatuhnya korban jiwa.
  • Menyempitnya ruang hidup rakyat,  yang diiringi menurunnya kemandirian rakyat tani dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, dan transformasi dari petani menjadi tenaga kerja upahan.

 

Akibat-akibat Lanjutan 

  • Konflik yang berkepanjangan menciptakan krisis sosial ekologi yang kronis, yang mendorong penduduk desa bermigrasi ke wilayah-wilayah baru untuk mendapatkan tanah pertanian baru atau pergi ke kota menjadi golongan miskin perkotaan.
  • Merosotnya kepercayaan masyarakat setempat terhadap pemerintah yang pada gilirannya dapat menggerus rasa ke-Indonesia-an para korban.
  • Meluasnya artikulasi konflik agraria ke bentuk-bentuk konflik lain seperti: konflik etnis, konflik agama, konflik antar kampung/desa, dan konflik antar “penduduk asli” dan pendatang.

Kondisi yang Melestarikan  

  • Tidak adanya koreksi atas putusan-putusan pejabat publik yang memasukkan tanah/wilayah kelola/SDA rakyat ke dalam konsesi badan usaha raksasa untuk produksi, ekstraksi, maupun konservasi, dan di sisi lain, berlangsungnya terus-menerus proses pemberian izin/hak pada badan-badan raksasa tersebut.
  • Ketiadaan kelembagaan yang memiliki otoritas penuh, lintas sektor kelembagaan pemerintahan, dan adequate dalam menangani konflik agraria yang telah, sedang, dan akan terjadi.
  • Sempit ruang lingkup dan dan terhambatnya pelaksanaan program yang disebut “Reforma Agraria” dalam membereskan ketimpangan penguasaan tanah dan SDA. Lebih dari itu, kita menyaksikan skandal-skandal dalam implementasi redistribusi tanah, misalnya pemberian tanah bukan pada yang memperjuangkan, pengurangan jumlah yang diredistribusi, penipuan dan manipulasi nama-nama penerima maupun objek redistribusi, dan tanah-tanah yang diredistribusi dikuasai oleh tuan-tuan tanah.
  • Protes rakyat yang disikapi dengan kekerasan, kriminalisasi, dan intimidasi.




Gambar 1. Peta Lokasi MIFEE dalam konteks Koridor MP3EI Maluku-Papua


 

Gambar 2. Peta Lokasi MIFEE dan Daftar Konsesi (2011)

Sumber: Badan Kordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Kabupaten Merauke, 2011

         

     Tabel 1. Daftar Perusahaan yang mendapatkan Ijin Lokasi antara tahun 2007-2010

No

Name of corporation

Commodity

Permits (ha)

Location (sub-district)

1

PT. Papua Agro Lestari

Oil palm

39.800,00

Ulilin

2

PT. Bio Inti Agrindo

Oil palm

36.400,90

Ulilin

3

PT. Ulilin Agro Lestari

Oil palm

30.000,00

Ulilin

4

PT. Mega Surya Agung

Oil palm

24.697,00

Muting

5

PT. Hardaya Sawit Papua

Oil palm

62.150,00

Jagebob

6

PT. Agrinusa Persada Mulia

Oil palm

40.000,00

Muting

7

PT. Central Cipta Murdaya

Oil palm

31.000,00

Muting, Elikobel, Ulilin

8.

PT. Agriprima Cipta Persada

Oil palm

33.540,00

Muting & Ulilin

9.

PT. Dongin Prabhawa

Oil palm

39.800,00

Ngguti

10.

PT. Berkat Cipta Abadi

Oil palm

40.000,00

Ulilin

 

Total oil palm permit

 

377.387,90

 

11

PT. Selaras Inti Semesta

Lumber

301.600,00

Kaptel

12

PT. Medco Papua Industri Lestari

Wood chips/pellets

2.800,00

Kaptel

13

PT. Medco Papua Alam Lestari

Lumber

74.219,00

Ngguti, Tubang, Okaba

14

PT. Cipta Papua Agri Lestari

Lumber

90.225,00

Elikobel

15

PT. Plasma Nutfah Marind

Lumber

67.736,00

Ngguti, Okaba

16

PT. Inocin Kalimantan

Lumber

45.000,00

Ulilin

17

PT. Wanamulia Sukses Sejati

Lumber

61.000,00

Anim-ha

18

PT. Wanamulia Sukses Sejati

Lumber

96.533.56

Kaptel, Muting

19

PT. Wanamulia Sukses Sejati

Lumber

116.000,00

Kaptel, Okaba

20

PT. Balikpapan Forest Indonesia

Lumber

40.000,00

Okaba

21

PT. China Gate Agriculture Development

Lumber

50.000,00

Kimaam, Ilwayab

 

Total forest permit

 

945.113,56

 

22

PT. Kharisma Agri Pratama

Rice, corn, soy bean

40.000,00

Tubang

23

PT. China Gate Agriculture Development

Rice, corn, cassava

20.000,00

Okaba

 

Total food crops plantation permit

 

60.000,00

 

24

PT. Nusantara Agri Resources

Sugar cane

40.000,00

Ngguti, Tubang

25

PT. Agri Surya Agung

Sugar cane

40.000,00

Ilwayab, Tubang, Ngguti

26

PT. Hardaya Sugar Papua

Sugar cane

44.812,00

Jagebob

27

PT.Energi Mitra Merauke

Sugar cane

40.000,00

Okaba, Tubang, Ngguti

28

PT. Tebu Wahana Kreasi

Sugar cane

20.282,00

Tanah Miring

29

PT. Karya Bumi Papua

Sugar cane

30.000,00

Malind, Kurik

30

PT. Anugrah Rejeki Nusantara

Sugar cane

40.591,49

Tabonji

31

PT. Subur Alam Pratama Indonesia

Sugar cane

40.251,62

Tabonji, Kimaam

32

PT. Sukses Pratama Andalan

Sugar cane

40.946,50

Tabonji

33

PT. Lestari Subur Indonesia

Sugar cane

40.548,61

Tabonji

34

PT. Pelangi Prima Indonesia

Sugar cane

40.286,55

Tabonji, Kimaam

35

PT. Papua Daya Bioenergi

Sugar cane

13.396,00

Tanah Miring

36

PT. Bumi Agung Lestari

Sugar cane

50.030,00

Tubang, Okaba

37

PT. Valensia Indo Makmur

Sugar cane

50.001,00

Ilwayab

39

PT. Cendrawasih Jaya Mandiri

Sugar cane

40.000,00

Malind, Kurik

40

PT. Belantara Abadi Utama

Sugar cane

40.000,00

Tubang, Kimaam, Ilwayab

41

PT. Synergi Tani Nusantara

Sugar cane

36.363,76

Tubang

42

PT. Sarana Istiqamah Sejahtera

Sugar cane

33.295,00

Jagebob, Sota, Tnh Miring

43

PT. Perwita Citra Nusantara

Sugar cane

50.000,00

Tubang, Ilwayab

 

Total sugar cane plantation permit

 

762.116,53

 

44

PT.Sino Indonesia Shunlida

fishery

33,00

Merauke

 

Total permits

 

2.144.650,99

 


 Sumber: Badan Kordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Kabupaten Merauke, 2011

 

 



[1] Noer Fauzi Rachman memperoleh gelar PhD dari University of California, Berkeley, USA, dalam bidang Environmental Science, Policy and Management (ESPM). Saat ini adalah Kepala Studio Studi Agraria, Sajogyo Institute, Bogor; dan mengajar “Politik dan Gerakan Agraria” pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (KPM), Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor.

[2] Perihal berbagai konsep kewarganegaraan lihat Bellamy (2008), mengenai gerakan sosial dan perjuangan kewarganegaraan di Negara-negara Selatan, lihat Thompson and Tapscott (2010); Untuk perspektif yang lebih global lihat Gaventa and Tandon (2011) 

[3] Maria Rita Ruwiastuti (2000) menyebutnya, “perpangkalan hidup” masyarakat adat. 

[4] Hal ini berlaku pula untuk konsesi-konsesi untuk usaha-usaha konservasi, seperti Taman Nasional. Hal ini berada di luar dari jangkauan makalah ini. Keberadaan hubungan antara masyarakat adat dan Taman Nasional, memerlukan analisis tersendiri. 

[5] Kalimat itu saya cuplik dari Soetiknjo (1990:49-50).

[6] Lihat Li (2001), Moniaga (2004), dan tulisan-tulisan dalam Davidson dkk (2010)

[7] Bagian MIFEE ini berdasar pada Zakaria dkk (2010) Ito dkk. (2010) dan Rachman dan Savitri (2012); Perbandingkan: Panigoro (2010); Pemerintah Indonesia (2010).

[8] “…….this food industry [MIFEE] is estimated to bring 6.4 million workers to Merauke and West Papua in general.  The total population of West Papua is only 4.6 million people.  2.2 million of this population is indigenous, and 70% lives in remote areas.  With a population of only 174,710 in Merauke, these plans will acutely threaten the existence of indigenous people within these areas, turning them into a minority in number, even leading to extinction in the future.  This is, as we may say, structural and systematic genocide.  This is unacceptable.” 

[9] Untuk uraian perjalanan politik agraria kolonial hingga jaman reformasi, lihat Fauzi (1999). Lihat pula Rachman (2012).

[10] Penulis merujuk pada Perelman (2000) dan De Angelis (2007) mengenai konsep “original accumulation” dari Adam Smith dan “primitive accumulation” dari Karl Marx, pada bagian penjelasan 

[11] Michael Perelman lah yang memecahkan misteri ”primitif” dalam  ”akumulasi primitif”. Seperti yang secara tegas tercantum dalam tulisan Marx, kata primitif dari istilahnya Adam Smith previous accumulation. Dalam karyanya, Perelman menunjukkan kalimat lengkap dimana Marx mengambil dari Adam Smith, yakni ”the accumulation of stock must, in the nature of things, be previous to the division of labour”. Marx yang menulis dalam bahasa Jerman menerjemahkan kata ’previous’ dari karya Adam Smith menjadi ”ursprunglich”, dimana penerjemah bahasa Inggris Marx kemudian menerjemahkannya menjadi ”primitive” (Perelman 2000:25).

[12] Untuk berbagai studi kasus gerakan sosial di Negara-negara Dunia Ketiga, lihat Fauzi (2005a,b).

[13] Pemerintah perlu meletakkan agenda pemulihan ini sebagai bagian dari agenda-agenda Reforma Agraria yang menyeluruh. 

No comments:

Post a Comment