Tinjauan Buku: Siasat Kuasa dan Kemelut Hidup di Papua dalam Etnografi Kritis


Dimuat sebagai Resensi Buku dałam kompas.id 22 Mei 2022. https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/05/10/siasat-kuasa-dan-kemelut-hidup-di-papua

Pelajaran penting yang hendak ditunjukkan kedua buku karya I Ngurah Suryawan adalah kita perlu memikirkan kembali dampak-dampak transformasi sosial budaya di Tanah Papua dari perspektif arus bawah, yakni dari ”kampung”. Tanpa ada andil dari para etnografer kritis, kita tidak bisa memahami apa yang sedang terjadi pada orang-orang asli Papua yang sedang berjuang melanjutkan hidup dalam kemelut-kemelutnya.

Sampul buku <i>Hidup Papua Suatu Misteri</i> (2022) dan <i>Siasat Elite Mencuri Kuasa</i> (2020).


Penulis Buku  : I Ngurah Suryawan

Judul Buku 1   : Siasat Elite Papua Mencuri Kuasa, Dinamika Pemekaran Daerah di Papua Barat  

Tahun              : Basabasi, Yogyakarta 2020

Ketebalan        : 220 halaman

 

Judul Buku 2   : Hidup Papua Suatu Misteri  

Penerbit           : Basabasi, Yogyakarta 2022

Ketebalan        : 220 halaman


Noer Fauzi Rachman

Tak terbayang juga tak terduga/Beginilah kenyataan ini/Aku terkurung di dalam duniaku/Yang kudamba, yang kunanti/Tiada lain hanya kebebasan/Andai saja aku burung elang/Terbang tinggi mata menelusur/Tapi sayang nasib burung sial/Jadi buruan akhirnya terbunuh/Yang kudamba yang kunanti/Tiada lain hanya kebebasan. (Syair lagu ”Hidup ini Suatu Misteri” karya Arnold Clement Ap)

            Sejak 1969, ketika Tanah Papua resmi menjadi bagian negara-bangsa Indonesia, masyarakat dan kaum intelektual Indonesia belum benar-benar bisa memahami apa yang terjadi di Tanah Papua, apa yang dirasakan oleh orang Papua, dan apa yang mereka inginkan. Sejumlah peneliti antropologi berupaya mengkaji berbagai dimensi kehidupan masyarakat di Tanah Papua, melampaui kacamata politik dan kacamata konflik. Membangun pemahaman yang lebih luas, mendalam, dan juga kritis. Tak hanya melihatnya sebagai ”proyek pembangunan”.

            Dari sedikit peneliti tentang Tanah Papua, nama I Ngurah Suryawan salah satu di antaranya. Dia antropolog di Universitas Papua, Manokwari, Papua Barat, yang konsisten meneliti pelbagai isu tentang Papua ”dari kampung”. Ngurah Suryawan banyak menghasilkan kajian antropologi berupa buku, makalah, ataupun pelbagai esai tentang Tanah Papua. (hlm 11-13) Buku Hidup Papua Suatu Misteri (2022) dan Siasat Elite Mencuri Kuasa: Dinamika Pemekaran Daerah di Papua Barat (2020) berisi hasil kajian tentang Tanah Papua terbilang karya terbaru Ngurah Suryawan.

            Penerbitan kedua buku itu memiliki konteks akan berakhirnya dua puluh tahun babak pertama Otonomi Khusus Papua, sementara pemerintah sedang menyusun strategi, pendekatan dan capaian program dalam ”Rencana Induk Percepatan Pembangunan (RIPP) Papua 2022-2041”. Tak berlebihan jika kedua buku itu perlu dibaca menjadi referensi para pembuat kebijakan tentang Papua, kaum terdidik dan elite Papua, termasuk mereka yang sedang membuat dan bakal terlibat dalam tindak lanjut RIPP Papua 2022-2041.

            Buku Siasat Elite Mencuri Kuasa berasal dari disertasi I Ngurah Suryawan di Departemen Antropologi, Universitas Gadjah Mada 2015, sementara buku teranyar Hidup Papua Suatu Misteri kumpulan dari tujuh artikel berdasarkan riset etnografis, yang sebelumnya telah diterbitkan di sejumlah media.

            Para pembuat kebijakan nasional tentang Tanah Papua, termasuk pembuat RIPP Papua 2022-2041 dan turunan-turunannya, akan mendapat manfaat dengan membaca dengan saksama kedua buku ini. Tanpa ada andil dari para etnografer kritis, kita tidak bisa memahami apa yang sedang terjadi pada orang-orang asli Papua yang sedang berjuang melanjutkan hidup dalam kemelut-kemelutnya.

            Pelajaran terpenting yang hendak ditunjukkan buku Siasat Elite Mencuri Kuasa adalah bahwa kita perlu memikirkan kembali dampak-dampak transformasi sosial budaya di Tanah Papua dari perpektif arus bawah yang memperhatikan relasi-relasi yang tercipta di dalamnya. Temuannya yaitu ”… apropriasi yang dilakukan oleh para elite Papua dalam pemekaran daerah berimplikasi serius dalam kehidupan keseharian orang-orang Papua biasa. … (P)rogram negara sebaik dan sejujur apa pun untuk ’membangun’ orang Papua akan diperlakukan sebagai modal ekonomi politik untuk saling menipu di antara masyarakat. Basis relasi saling menipu dan tidak jujur inilah yang sebaiknya dipahami terlebih dahulu sebelum mengambil kebijakan” (hlm 206).

            Bagaimana cara I Ngurah Suryawan bisa menghasilkan temuan yang demikian kuatnya? Hal yang mungkin telah ia kerjakan adalah melakukan penelitian tidak dengan maksud mencocokkan teori dengan data di lapangan yang ia jumpai, atau sebaliknya mencocokkan data dengan teori. I Ngurah Suryawan menempatkan teori sebagai tantangan. Ia bekerja dengan fragmen-fragmen dan narasi-narasi yang ia temukan di dalam hubungan dengan elite-elite Papua yang ia teliti; dalam perjumpaannya dengan kekuatan-kekuatan pengubah, yakni kebijakan pemerintah pusat terkait Otonomi Khusus Papua, terutama pemekaran daerah. Studi yang ia lakukan bermuara pada penjelasan atas misteri mengenai proses transformasi sosial budaya yang bagaimana yang dibentuk oleh elite terdidik Papua pro pemerintah pusat, ketika diberlakukan kebijakan pemekaran provinsi, dan kabupaten-kabupaten.

            Selanjutnya, sebagai peneliti, ia mempergunakan metode etnografi yang meletakkan dirinya tidak berjarak dengan subyeknya, didasari pendekatan antropologi reflektif dengan perspektif pascakolonial. Ia telah mempelajari pendekatan itu semenjak studi program sarjana strata satu hingga doktoral di Departemen Antropologi, Universitas Gadjah Mada. Metodologi yang ia tekuni telah memungkinkan dirinya mengikuti pemikiran, perilaku, dan perjalanan dalam ruang-waktu dari para elite-elite terdidik di Manokwari dan Ransiki yang begitu bergairah menyongsong kebijakan pemekaran daerah sebagai kesempatan, dan bersiasat memanfaatkan kesempatan itu untuk mendapatkan kuasa negara dengan bekerja dengan aspirasi masyarakat dan tokoh-tokoh etnis dari mana mereka berasal.






I Ngurah Suryawan pun berhasil memanen pengetahuan dari naskah-naskah hasil penelitian dari sarjana terkemuka sebelumnya seputar topik kebijakan Otonomi Khusus Papua, sehingga, pengetahuan yang dihasilkan dari penelitiannya relevan secara akademik, menghasilkan temuan yang orsinal, dan tidak mengulang-ulang apa yang sudah diteliti. Sebagai antropolog yang kritis dan partisipatif, ia berubah sejalan dengan interaksinya dengan kebudayaan yang mengandung gagasan yang tidak kasatmata. Berubah secara dinamis dan luwes, plural dan dialektik, serta dipenuhi oleh taktik-taktik dari subyek yang ditelitinya.

Etnografi kritis

            I Ngurah Suryaman kemudian berubah posisi dari asalnya, antropolog orang Bali yang mengkaji bagaimana tragedi 1965 bisa berlangsung secara brutal di kampungnya dan Pulau Bali, menjadi peneliti masalah Papua semasa ia menjadi dosen antropologi di Universitas Papua (UNIPA) Manokwari. Buku Hidup Papua Suatu Misteri menunjukkan kelanjutan pendekatan etnografi kritis dengan keberpihakan yang kentara pada para Orang-orang Papua Asli yang terpinggirkan, khususnya mereka yang ”melawan kekuasaan dan kekerasan, berjuang menghadapi penderitaan, dan mandiri serta berdaulat di atas kaki sendiri” (hlm 26).

        Judul buku ini mengambil inspirasi dari lirik lagu Alm. Arnold Ap ”Hidup ini Suatu Misteri” yang kerangka seluruh fragmen hidup Orang Asli Papua dalam buku. Tiga bab pertama berisikan narasi etnografis kemelut hidup yang disajikan satu per satu dengan nada yang pahit, dan disertai analisis rantai sebab-akibat yang berhubungan dengan kekuatan kuasa elite lokal Papua, modal korporasi raksasa, dan kebijakan pemerintah pusat dan daerah.

            Uraian dimulai dengan isu keterpecahan elite adat dan kerapuhan fondasi keberlanjutan hidup komunitas, terutama nilai-nilainya, hasil studi etnografi komunitas adat dan elite di Bintuni, Papua Barat, dalam menghadapi terpaan kuasa modal dan pemerintahan (bab 1); Cengkeraman isolasi dan kemiskinan rakyat di pedesaan pedalaman, dengan mengungkap kasus Kampung Sarbe dan Korano Jaya yang dikontraskan dengan Kota Bintuni, di Kabupaten Teluk Bintuni (bab 2); Teknologi yang dikerahkan oleh perusahaan raksasa British Petrolium berupa pemetaan wilayah adat Etnis Sumuri, di Kabupaten Teluk Bintuni, dalam kelindan kepentingan perusahaan untuk pemanfaatan sumber daya alam dan wilayah adat (bab 3).

            Selanjutnya, bab 4 adalah bagian yang paling menarik dan panjang (hlm 117-166), berisi uraian bagaimana perubahan sosial budaya dari orang-orang Marori dan Kanum di kabupaten Merauke, menyangkut pengaturan tata guna dan pemanfaatan sumber daya alam dalam wilayah-wilayah adat, termasuk melalui bahasa lokal dan kearifan lokal pembatasan akses, yakni sasi, berupa larangan pemanenan sumber daya alam dalam waktu tertentu. Komersialisasi buruan dan kayu menjadi kekuatan yang melampaui batas kemampuan pasokan alamiah yang berkelanjutan, dan melumpuhkan keampuhan cara-cara kearifan lokal.

            Bab 5 dan 6 adalah cerita dua inisiatif menguatkan ekspresi budaya dalam dua skala yang berbeda. Pertama adalah sajian prakarsa pendidikan yang menyegarkan di kota Sorong, yakni bagaimana anak-anak Orang Papua Asli pada usia dini mempunyai ruang belajar yang penuh cinta kasih dari layanan para pegiat Sekolah Bunga Papua.

            Bab terakhir adalah perihal andil suatu kelompok penyanyi legendaris, Grup Mambesak, yang penting membangun rasa identitas kepapuaan melalui pengumpulan lagu-lagu rakyat dari beragam budaya etnis seantero Tanah Papua, dan menyanyikan kembali dalam format musik folk. Disajikan cerita mulai perjalanan grup musik itu sejak turun kampung melakukan kodifikasi lagu-lagu rakyat, bangkit bergairah menyanyikan kembali di Museum Loka Budaya, Universitas Cendrawasih, serta tampil di masa kejayaannya, termasuk mengisi pelbagai acara kampus dan acara-acara budaya di luar kampus. Hingga pemadaman kelompok ini oleh penguasa militer, yang melakukan penahanan hingga pembunuhan atas dua tokohnya: Arnold Ap dan Eddy Mofu.

            Buku Hidup Papua Suatu Misteri dibuka dengan dua Kata Pengantar: pertama dari Ligia J. Giay (peneliti di Asia Research Centre, Murdoch University, Australia, dan STT Wakter Post, Papua) yang menunjukkan daya rusak modernisme dan kapitalisme terhadap budaya Papua, dan kedua dari Veronika Kusumaryati (peneliti di Georgetown University) yang menunjukkan metodologi etnografi kritis yang diterapkan I Ngurah Suryawan. Pesan buku ini makin kuat dengan menyertakan enam sketsa dari seniman Ignasius Dicky Takndare, yang bernuansa kritis reflektif.

            Dalam konteks memahami bagaimana kerja-kerja untuk transformasi sosial, seringkali etnografer mengambil subyek bahasan komunitas-komunitas yang marjinal, karena lokasi geografisnya yang jauh, posisinya lemah, keadaannya miskin, atau bahkan, situasinya tertindas. Para antropolog pun mengembangkan keberpihakannya secara eksplisit dalam apa yang kemudian dinamakan sebagai activist anthropology atau advocacy anthropology, yang cukup banyak penganutnya di Indonesia. Dengan pendekatan dan semangat yang sama, ia juga meneliti kaum elite Papua sendiri. Dengan meneliti apa saja yang dilakukan para elite, ’kotak hitam’ bisa dibuka untuk memahami lebih lengkap dinamika sebab-sebab dari pembentukan nasib, krisis, dan kemelut yang dihadapi kaum marjinal tersebut.

Catatan kritis

            Sedikit catatan: narasumber yang kebanyakan orang Papua laki-laki sedikit banyak ikut membentuk pula karakter, nada, dan isi dari pengetahuan yang disajikan dalam buku. Selain visibilitas pada subyek perempuan pelbagai generasi, I Ngurah Suryawan belum eksplisit menggunakan relasi-relasi jender dalam pelbagai arena pada pelbagai unit analisis mulai dari keluarga, komunitas, dan seterusnya, sebagai penanda bagaimana kuasa-kuasa ekonomi, politik, dan budaya bekerja.

            Banyak sarjana Indonesia dilatih melakukan penelitian untuk menguji hipotesis yang diturunkan dari teori tertentu, dan diuji kemampuannya untuk menguji keberlakuan teori, dan tidak dilatih meneliti untuk membangun teori dari temuan-temuannya. Ada perbedaan antara (a) penelitian yang dimaksudkan untuk menguji keberlakuan hubungan antarvariabel yang pada gilirannya membenarkan teori yang digunakan sebagai rujukan (context of justification) dengan (b) penelitian yang digerakkan untuk mengungkap misteri dan menemukan jawaban-jawaban atas misteri itu untuk membuat penjelasan hingga berbentuk teori (context of discovery).

            Berteori itu adalah suatu proses di mana peneliti mengumpulkan data awal, dan berpikir secara inovatif kreatif mengenai misteri, teka-teki, dan masalah dengan menggunakan alat-alat seperti metafora, analogi, dan tipologi. Membimbing pembaca langkah demi langkah memahami cara atau mekanisme seseorang berteori mulai dari observasi, memberi nama dalam pembentukan konsep, hingga sanggup menerangkan pokok bahasannya. Alih-alih terburu-buru menggunakan metoda-metoda ilmiah untuk mencoba membuktikan hubungan antarvariabel dalam hipotesis yang diajukan, ilmuwan sosial yang mau berteori harus mengerahkan lebih banyak waktu untuk menjelajahi masalah yang diteliti, menggenggam data empirisnya dan mengembangkan gagasan-gagasan inovatif, kreatif, dan teoritik dari temuannya (Richard Swedberg, The Art of Social Theory, 2014: hlm 39).

        Saya menyarankan, sudah saatnya peneliti sekaliber I Ngurah Suryaman berupaya masuk ke level produksi pengetahuan berikutnya, yakni berteori. Teorisasi tidak mungkin dilakukan tanpa percakapan-percakapan kritis atas semesta pengetahuan yang relevan. Dalam rangka ini, arah kritik dan upaya dekolonisasi juga pada kuasa pengetahuan dari para pembentuk penggambaran representasi hingga teori mengenai situasi dan aspek-aspek kehidupan orang dan rakyat Papua. Saya menantikan itu di karya-karya berikut-nya.

        Ada teknikalitas penerbitan yang perlu diperbaiki. Sepanjang saya membaca kedua buku ini, saya diganggu kesalahan typo di sana-sini, mengurangi kenyamanan saat membaca. Selain itu, perlu diperiksa kelengkapan daftar pustaka di buku Siasat Elite Mencuri Kuasa, merujuk pada Dove (1985) di halaman 51, dan Elisabeth dkk (2004) di halaman 103, 108; atau di buku 2: rujukan ke Achille Member (2003) di halaman 22, Franz Fanon (1967;2000) di halaman 25. Pihak penerbit harusnya menyediakan layanan penyuntingan bahasa yang lebih baik lagi untuk buku sebagus ini.

*)  Noer Fauzi Rachman, Dosen Psikologi Komunitas, Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran, Bandung.

 


No comments:

Post a Comment