Pengantar : Hendro Sangkoyo
Penyelaras akhir : Herlily
Penerbit : INSISTPress
Tahun : 2005
ISBN : 979-3457-64-5
Kolasi : 15x21cm; xxxi +225 halaman
_____________________________________________________________________
7
Menolak dienyahkan:
NBA (Narmada Bachao Andolan) di India
India adalah negara yang sangat luas 3.287.782 km2, negara terluas ketujuh di dunia. Penduduknya telah melewati jumlah yang fantastik, yakni 1 milyard 50 juta orang. India adalah negeri yang heterogen. Variasi etnisnya dapat ditunjukkan dari jumlah bahasa dan dialek yang mencapai 1.600-an. Etnis Hindi adalah mayoritas dengan 40% dari seluruh penduduk, selangkan 12 etnis lainnya hanya berkisar 2% hingga 8% saja. Selain itu, variasi topografi dan iklim. Dataran tanah-tanah endapan yang subur di tepi sungai Gangga berhadapan dengan daerah kering dan padang pasir di India bagian Barat (Radjastan) dan India Tengah, dan hutan hujan tropis di sebelah timur (Assam) dan Selatan (Kerala). Sementara di dataran tinggi Himalaya berlaku iklim sub-polar, di sebelah Barat ditemukan iklim padang pasir yang kering, di timur laut lembab kering. Sebagian besar negara itu beriklum musiman (musim panas yang lembab panas, musim dingin yang dingin kering, dan musim semi yang kering panas), dan bagian selatan yang beriklim tropis.
Sungai Narmada yang panjangnya 1.312 km mengalir melewati negara-negara bagian Madhya Pradesh (90 %), Sisanya ada di Gujarat dan hanya sedikit melintas di Maharashtra dan berakhir di teluk Arabia. Lembah sungainya sekitar 98.800 kilometer persegi dengan perkiraan jumlah penduduk 22 juta orang dengan ragam kehidupan sosial-budaya, mulai dari kaum adivasi yang hidup otonom di tepi dan dalam hutan hingga penduduk pedesaan biasa. Narmada Bachao Andolan (NBA) atau Gerakan Menyelamatkan Narmada adalah gerakan rakyat melawan proyek waduk yang sangat ambisius membangun 2 waduk raksasa, 30 waduk besar, 135 waduk sedang dan 3000 waduk kecil di sungai Narmada dan anak-anak sungainya. Apabila semua waduk ini berhasil terbangun maka kita tidak akan menemukan lagi wajah sungai itu, yang akan ada adalah serangkaian danau.
Sejak dulu, tahun 1946, pemerintah India merencanakan membangun sebuah waduk besar “Sardar Sarovar” di salah satu bagian sungai Narmada yang terletak di negara bagian Gujarat. Sesudah Nehru meletakkan dasar-dasarnya di tahun 1961, tiga negara bagian yang “berjasa” dilewati sungai itu (Madhya Pradesh, Gujarat dan Maharastra) itu bersitegang mengenai kebijakan pemakaian air di rencana waduk itu. Tahun 1969, pemerintah membentuk Narmada Water Dispute Tribunal (Badan Penyelesaian Sengketa Air Narmada) untul menyelesaikan konflik ini dan membuat proyek ini berjalan. Sepuluh tahun kemudian, Badan ini mampu menghasilkan suatu konsensus dan the Narmada Valley Project (Proyek Lembah Narmada) lahir: mengubah sungai Narmada dan 41 anak sungainya menjadi serangkai penampung air raksasa (3.200 waduk) termasuk dua waduk raksasa, yakni Sardar Sarovar di in Gujarat dan the Narmada Sagar di Madhya Pradesh, dan juga 30 waduk besar, serta 135 waduk sedang serta ribuan waduk kecil.
Menurut pemerintah proyek ini dirancang untuk mengaliri lebih dari 1,8 juta hektar tanah di Gujarat dan Rajasthan, juga menyediakan air untuk wilayah-wilayah kering di Kutch dan Sausashtra di Gujarat. Waduk Sardar Sarovar adalah satu waduk yang dirancang paling besar sejauh ini. Kalau saja proyek ini selesai secara maksimal, maka ia akan meneggelamkan 37.000 ha tanah di tiga negara bagian itu, yang mencakup 13.000 ha hutan primer, yang dapat mempengaruhi hidup 25 sampai 40 juta orang. Waduk ini sendiri dirancang untuk mampu mengairi wilayah sekitarnya dengan 75.000 km panjang jaringan saluran yang menggunakan 80.000 ha tanah. Diperkirakan 100.000 orang di 245 desa akan secara langsung dipengaruhi oleh persediaan dan aliran air ini; 57,6 % dari orang-orang ini adalah masyarakat adat adivasi.
Perlawanan rakyat Narmada ini adalah perlawanan yang menolak dienyahkan dari wilayah tempat hidup sejak dahulu di lembah Narmada ini. Para pelaku utama gerakan ini percaya bahwa ini bukan wilayah tempat hidup mereka ini tidak dapat sekedar dihitung nilai ekonomis belaka sebagai tempat dimana air dapat dikumpulkan untuk kemudian dialihkan untuk kepentingan lain. Mereka sadari bahwa wilayah hidup di lembah Narmasa itu memiliki nilai sejarah dan religius. Juga wilayah itu menjadi alas dari keberadaan kebudayaan dan kehidupan sosial. Yang berhak atas wilayah itu bukan cuma yang sudah hidup, melainkan juga yang belum. Atas nama semua itu, mereka menolak penenggelaman wilayah itu.
Perlawanan terhadap pembangunan waduk telah berlangsung selama 15 tahun, diorganisasi sejak tahun 1985 oleh NBA. Motor perjuangan NBA ini terdiri dari kelompok aktivis-aktivis yang gigih, kebanyakan berpendidikan tinggi dan profesional, yang menjalankan kepemimpinan gerakan dan mengambil putusan-putusan pokok mengenai sumberdaya, strategi, dan politik NBA. NBA juga memiliki komite-komite lokal yang terdiri dari kelompok-kelompok informal masyarakat setempat yang memberi dukungan logistik bagi gerakan. Di suatu tempat, kelompok-kelompok lokal ini sebagian besarnya terdiri dari petani-petani kaya dan berpengaruh. Di tempat lain, di wilayah-wilayah adivasi, mereka bekerja dengan tokoh-tokoh adat.
P. Routledge (2003) dalam karyanya, “Voices of the Dammed: Discursive Resistance Amidst Erasure in the Narmada Valley, India” telah sangat baik melukiskan bagaimana pembangunan DAM ini dipersepsi oleh para penduduk sebagai pengenyahan, baik pengenyahan ekonomi, pengenyahan ekologis, pengenyahan budaya dan pengenyahan politik. Gerakan NBA ini jelas diposisikan sebagai perlawanan untuk menolak pengenyahan itu. Lebih lanjut Routledge (2003: 254-255) dengan sangat baik menuliskan anatomi gerakan ini:
Narmada Bachao Andolan melancarkan dua bentuk perjuangan yang saling berkait. Pertama, mereka lancarkan perjuangan representasional mengenai makna proses-proses semacam demokrasi dan pembangunan. Ini melibatkan benturan wacana pada berbagai macam wilayah yang terbayangkan, mengadu ruang abstrak negara dan korporasi-korporasi transnasional –yang saya istilahkan ruang pengenyahan—melawan ruang hayati komunitas-komunitas petani dan orang adat. ‘Perang kata-kata’ ini meliputi kesaksian, lagu, syair, dan naras (slogan-slogan), disertai riset serta analisis rinci tentang dampak waduk dan alternatif-alternatif pembangunan berkelanjutan. Kedua, NBA melancarkan perjuangan riil atas tanah dan sumberdaya air tempat penduduk lembah berjuang melindungi tanaman pangan dan penghidupan subsisten mereka, serta budaya mereka dari eksploitasi dan pengenyahan. Taktik-taktik perjuangan mereka melebar menjangkau berbagai macam repertoar perlawanan, termasuk bentuk-bentuk konflik institusional dan ekstra-institusional, serta aneka metode aksi langsung non-kekerasan—mulai dari demonstrasi dan pawai, perkemahan dan pendudukan satyagraha, puasa serta mogok makan. Sepanjang konflik, NBA telah melancarkan idiom-idiom moral perlawanan wacana yang dirangkai dengan praktek-praktek perlawanan fisik yang saling mendukung.
Aksi-aksi demo dan pawai-pawai NBA acapkali berbentuk konfrontasi terbuka dengan para pejabat yang terlibat proyek Narmada, mulai pejabat pajak atau kehutanan setempat, sampai pemimpin-pemimpin negara bagian dan petinggi Bank Dunia (Dwivedi, 1999). Pada kesempatan-kesempatan ini, NBA menuntut agar negara bertanggungjawab atas tindakan-tindakannya yang mengingkari klaimnya untuk memproteksi dan memperkaya kesejahteraan warganya. NBA melakukan hal ini lewat dakwaan moral, kisah-kisah masyarakat adivasi tentang kekerasan negara, serta taktik-taktik pembangkangan sipil. Pembangunan dan wacana-wacana lainnya diartikulasikan dan dipertikaikan dalam acara-acara ini, dengan menarik pengalaman-pengalaman lokal yang berusaha menunjukkan keterceraian antara klaim negara akan manfaat pembangunan dengan kenyataan korupsi dan kekerasan setempat.
Taktik-taktik perlawanan ini tidak menyangkal otoritas pengadilan, tidak pula menerima begitu saja legitimasinya (Gandhi, 2001). Karenanya, meski NBA bisa menyebarkan kritik wacana atas tindak tanduk negara, mereka juga berusaha menggunakan saluran-saluran hukum resmi seperti Mahkamah Agung India untuk memperkarakan legitimasi kebijakan pembangunan di lembah Narmada. NBA juga berupaya menggunakan perangkat hukum India –misalnya menyangkut kebutuhan adanya analisis dampak lingkungan dalam proyek-proyek pembangunan—untuk menegaskan bagaimana waduk-waduk Narmada itu melanggar hukum. Sembari NBA menantang wacana pembangunan negara, gerakan ini masih mengajukan banding ke negara, karena negaralah yang mengemban kekuasaan untuk menolak dampak-dampak material yang terkait dengan pengaruh badan-badan internasional dan perusahaan-perusahaan transnasional dalam perekonomian India.
Perlawanan wacana, sebagaimana perlawanan fisiknya, bertindak sebagai gangguan politik terhadap kebulatan wacana negara menyangkut pembangunan. Di India, pembangunan dikodekan dalam sebuah idiom moral; disamakan dengan masyarakat maju yang makmur dan beradab. Toh lewat aneka wacana, NBA mengkritik pembangunan yang disponsori negara dan korporasi ini dan menyuarakan bentuk-bentuk alternatif pembangunan.
Perang kata-kata macam ini berlangsung dalam cakupan ruang yang berbeda-beda meski bersangkut paut. Pertama, NBA memakai dan menggunakan analisis akademis dan aktivis tentang dampak ekologis, sosial, dan ekonomi pembangunan waduk-waduk besar (International Rivers Network, 1994; Kala, 2001; Kothari and Ram, 1994; McCully, 1996; Narmada Bachao Andolan, 1999). Analisis-analisis ini disebar di India baik pada tataran negara bagian maupun nasional (misalnya untuk memperkarakannya di Mahkamah Agung). Selain itu mereka juga disebar secara internasional untuk dipakai kelompok-kelompok lobi dan solidaritas internasional. Sembari berusaha memakai mekanisme ilmu untuk melawannya (misalnya hukum, sains), NBA menggunakan pengacara, aktivis-aktivis berwawasan, ilmuwan, dan ilmuwan-ilmuwan sosial untuk menantang legitimasi proyek Narmada. Selain itu, secara wacana NBA menampilkan dirinya sebagai sebuah gerakan lingkungan hidup dalam kerangka kerja yang bisa dipahami oleh pengamat global tertentu (misalnya ornop lingkungan semacam International River Network). Dengan begitu, NBA mampu menghimpun wacana global mengenai dampak kemanusiaan dan lingkungan waduk-waduk tersebut guna memberi dirinya legitimasi dalam berurusan dengan pemerintah negara bagian. Lewat situs-situs yang tersebar –misalnya surat-surat protes kepada pemerintah nasional dan negara bagian, reportase nasional dan internasional via internet—NBA mampu mempertahankan jaringan dukungan nasional dan internasional (Baviskar, 2001).
Kedua, NBA memanfaatkan kesaksian para petani dan adivasi lewat laporan-laporan pandangan mata dan pidato di demonstrasi umum dan rapat-rapat desa. Hal ini dilancarkan untuk menanggapi ketidakadilan negara semisal pada penerabasan tanah ulayat, pelecehan, korupsi, dan kekerasan, begitu pula dampak penggusuran dan pemukiman kembali terhadap komunitas-komunitas adivasi. Wacana-wacana ini disebar di tingkat lokal untuk merekrut lebih banyak pendukung dan untuk menghadapi pejabat-pejabat negara bagian serta nasional. Mereka juga digunakan dalam gugatan terbaru NBA tahun 2000 kepada ILO (Organisasi Buruh Internasional) menyangkut dampak penggusuran terhadap masyarakat adat (Gandhi, 2001).
No comments:
Post a Comment