MEMAHAMI GERAKAN-GERAKAN RAKYAT DUNIA KETIGA (Bagian 4/14)

  


Penulis                        : Noer Fauzi
Pengantar                   : Hendro Sangkoyo
Penyelaras akhir       : Herlily
Penerbit                      : INSISTPress
Tahun                         : 2005
ISBN                           : 979-3457-64-5
Kolasi                         : 15x21cm; xxxi +225 halaman

_____________________________________________________________________

4

Mengubah identitas perjuangan dari “petani” menjadi “masyarakat adat”: FOIN(Föderation der indigenen Organisationen des Napo) di Ekuador 

 

            Zapatista lain dengan MST. Keduanya lain pula dengan FOIN (Föderation der indigenen Organisationen des Napo) atau federasi organisasi masyarakat adat Napo di Ekuador, yang terletak di antara Peru dan Kolombia serta lautan Atlantik.  Ekuador luasnya 272.045 km2 dan penduduk berjumlah 13.710.234 orang. Seperti Mexico, komposisi ras di Ekuador didominasi oleh Mestiso (campuran antara kulit putih dengan Indian)  55%, orang-orang Indian 25%, kulit putih (spanyol) 10% dan kulit hitam 10%. 

            Umumnya orang membagi Ekuador menjadi 3 daerah oleh pegunungan Andes. Daerah pantai dengan perkebunan orientasi ekspor (pisang, beras, gula, coklat, dan kopi); daerah Siera, yang merupakan tempat hidup sekitar separuh penduduk dengan pertanian untuk pasar dalam negeri (gandum, kentang, peternakan); dan daerah timur – dimana Napo berada -- lebih jarang penduduknya dan secara nasional penting karena tersedia tambang minyak yang kaya.   

            Beragam rejim semenjak kemerdekaan Ekuador di tahun 1830 dari Kolombia Raya adalah contoh dari negara yang sepanjang kemerdekaannya mengutamakan produksi ekspor dan mengabaikan kehidupan rakyat pedesaan.  Kehidupan rakyat pedesaan sangat diterbelakangkan dibawah rejim kolonial maupun paska-kolonial. Masyarakat Adat (pueblos indigena atau indigenous peoples) tidak memperoleh pengakuan atas hak-hak historisnya, seperti hak atas tanah dan kekayaan alam yang tersedia di wilayah adatnya, hal untuk mengatur diri sesuai dengan adatnya, dan hak atas identitasnya. Penggantian rejim dari satu ke yang lainnya, sama sekali tidak berada dalam jangkauan rakyat pedesaan. Namun, hal ini berubah di tahun 1997. 

            Tahun 1997, massa indigenous peoples memainkan peran yang utama dalam menggulingkan Presiden Abdalá Bucaram. Di bawah bendera pelangi, the Confederation of Indigenous Nationalities of Ecuador (CONAIE), puluhan ribu masyarakat adat, lelaki maupun perempuan berdemonstrasi berkeliling kota Quito, ibukota Equador. Bendera pelangi itu, suatu simbol suci dari persatuan keragaman dan kedaulatan adat, telah dipakai untuk menandingi pandangan umum bahwa mereka adalah warga negara kelas dua.  

            Memang, kehidupan masyarakat adat sangat pahit dibawah sejarah kolonial dan paska kolonial. Dengan mengorganisir diri untuk menumbangkan pemerintahan dan berpartisipasi dalam pemerintahan sementara yang menggantikan Bucaram, mereka berjuang mendepak pandangan bahwa orang-orang Indian adalah pasif, tidak mampu merangkal modernitas dan a-politis. Perjuangan tiga dekade ini, masyarakat adat secara drastis mentrasformasikan apa yang dimaknakan sebagai ”orang asli” di Ekuador. Dengan membingkai identitas politiknya untuk berpasangan serasi dengan kewarganegaraan nasional, para aktivis mengedepankan konsepsi berbasiskan adat atau ”indigeousness”. Suatu identitas yang dahulu berarti terbelakang menjadi  alat yang handal bagi masyarakat-masyarakat adat untuk memperjuangkan pemenuhan hak-hak politik, ekonomi dan budaya.  

            Begitulah inti yang diperjuangan oleh FOIN (Föderation der indigenen Organisationen des Napo) atau federasi organisasi masyarakat adat Napo. FOIN[1] yang merupakan anggota dari (CONAIE), berdiri semenjak tahun 1975 telah menjadi suatu contoh bagaimana federasi masyarakat adat menjadi aktor untuk memperjuangkan eksistensi, hak-hak dan identitas rakyat – terutama rakyat Indian di pegunungan – di hadapan gerusan negara dan pasar yang terus berubah. Bukan sekedar sebagai aktor perjuangan, FOIN ini semakin menarik dipelajari karena ia adalah bagian dari contoh berubahnya gerakan rakyat yang tadinya berbasis kelas ke gerakan rakyat yang berbasis identitas, seperti yang diulas bagus oleh karya terkenal dari Amalia Pallares (2002). From Peasant Struggles to Indian Resistance: The Ecuadorian Andes in the Late Twentieth Century.

            Dengan menggunakan hasil studi dari Pallales (2002) tersebut,  kita dapat mengerti bahwa identitas etnis yang menjadi basis mobilisasi dan organisasi gerakan muncul seiring dengan menurunnya iklim ideologis pada tahun 1970-an dan semenjak pemerintah mengerahkan segala tenaganya untuk modernisasi ekonomi.  Organisasi gerakan yang terpenting di tahun 70-an ini adalah FENOC (Federación Nacional de Organizaciones Campesinas atau Federasi Nasional Organsiasi Petani). Sejak tahun 70-an, FENOC sendiri mengorganisir panitia pengadaan tanah, mengkordinasikan federasi regional dan menekan terus-menerus agar badan pemerintah menjalankan land reform secara menyeluruh. FENOC ini merupakan pengorganisasian rakyat berbasiskan pendekatan kelas yang menjalankan kampanye land reform di hampir semua propinsi di Ekuador, yang secara khusus menuntut petani diberikan tanah yang layak mereka terima. Kampanye ini umumnya menggunakan cara-cara berpolitik yang tradisional, seperti mobilisasi massa ataupun petisi menuntut pemerintah melikuidasi penguasa tanah luas dan/atau menyediakan tanah untuk petani. Para kelompok petani anggota mereka, dalam waktu-waktu tertentu juga menjalankan pendudukan langsung atas tanah yang menandakan kebutuhannya yang mendesak.  Bingkai identitas etnik tidak pernah menjadi tema FENOC. Dalam situasi dimana pemerintah yang berkuasa mengabaikan kesadaran etnik dan budaya, petani-petani Indian berjuang dalam dengan identitas kepetanian dan secara efektif menyembunyikan identitas indigenismo mereka dalam kehidupan politik.  

            Berbeda dengan FENOC, sebagaimana dapat dipelajari dari karya Thomas Perreault (2003a) FOIN mengeksplisitkan identias etnik itu dalam gerakan mereka, dengan modus kerja yang kooperatif dengan badan pemerintah penyelenggara land reform (IERAC) untuk mewujudkan klaim-klaim atas wilayah adat mereka. FOIN memfungsikan diri sebagai lembaga yang memperantarai pemerintah dengan anggota komunitas, dan tentunya sekaligus  sebagai mesin sosial-politik perjuangan mereka. Pengalaman sebelumnya dari para tokoh petani ketika berjuang dalam bingkai perjuangan land reform yang berbasiskan kelas menyediakan pengetahuan dan ketrampilan politik yang membuat FOIN dapat bekerja sama dengan badan pemerintahan. Pallales (2002:40-41) menulis

”Aktivis-aktivis masyarakat adat memperoleh pengetahuan yang bermanfaat tentang struktur dan fungsi-fungsi pemerintahan nasional ... mereka pernah melibatkan diri dalam lembaga-lembaga lokal, memakai dana-dana negara, mereka telah mengembangkan ketrampilan-ketrampilan berunding, mempunyai pengalaman dalam memeriksa, merundingkan dan menilai usulan-usulan negara dan mulai menuntut kendali atas perencanaan dan pelaksanaan pembangunan pedesaan.”

            Meski pokok perjuangan mereka sama seperti perjuangan FENOC di tahun 70-an, namun gerakan FOIN 1980-an membingkai kepentingan atas tanah sebagai syarat dari keberlanjutan hidup kebudayaan asli mereka.  Tidak heran, FOIN peduli dan menyelenggarakan sekolah-sekolah dua-bahasa agar anggota-anggotanya dapat mempelajari pengorganisasian komunitas adat dan pembangunan pertanian, yang tentunya juga mempelajari tradisi lisan dan praktek-praktek kearifan tradisional mereka. Dalam karyanya yang lain, Perreault (2003b) menuliskan bahwa 

“… penekanan pada keberlanjutan budaya melalui pendidikan dwi-bahasa seiring sejalan dengan konsolidasi organisasi adat nasional maupun regional dan menungkatnya politisasi tema indigesmo di Ekuador. Hal ini juga merupakan bagian dari proses yang lebih besar untuk meningkatkan partisipasi masyarakat adat di dalam dan terhadap fungsi-fungsi serta program negara baik pada tingkat lokal, propinsi maupun nasional.”

            Pendidikan dwi-bahasa ini menandai peralihan platform perjuangan rakyat pedesaan di Ekuador. Pusat perjuangannya bukan lagi hanya perjuangan hak-hak tanah dalam bingkai land reform, tetapi juga dalam bingkai kelanjutan hidup kebudayaan. 

            Dengan memasukan tema etnisitas dalam retorika maupun dalam praktek perjuangannya, FOIN bukan sekedar menambahkan saja sebuah agenda baru, melainkan memasuki suatu wilayah perjuangan yang lebih kompleks, yakni representasi kewargaan masyarakat adat dalam negara modern. Melalui karya Perreault (2003a), selain pendidikan dwi-bahasa, kita dapat mempelajari beragam jenis aksi kolektif yang dilancarkan mereka, hingga bentuk-bentuk demonstrasi bersama dengan mahasiswa dan kaum miskin di kota termasuk buruh memprotes resep IMF yang dipraktekkan untuk menyembuhkan krisis ekonomi yang melanda Ekuador, dan juga mempertanyakan lembaga-lembaga demokrasi Ekuador, dan kemampuan negara untuk mewakili dan membela kepentingan rakyatnya sendiri. 

            Perreault (2003a) lebih lanjut menjelaskan andil FOIN pada tiga lingkup praksis yang berbeda tapi saling melengkapi. 

Pertama, federasi bekerja dengan agen-agen negara dan ornop nasional dan internasional untuk menyalurkan dana pembangunan ke komunitas-komunitas  Quichua untuk proyek-proyek spesifik yang bertujuan untuk memperbaiki infrastruktur, perawatan kesehatan, pendidikan atau produksi pertanian. Belajar dari kesalahan-kesalahan proyeknya dan manajemen anggaran, FOIN berupaya untuk menjaga kontrol terhadap aktivitas ornop—baik ornop nasional maupun internasional—yang bekerja di komunitas-komunitas afiliasi FOIN. Juga dalam manajemen logistik dan material intervensi pembangunan, federasi membentuk nilai-nilai yang dilekatkan pada proyek-proyek tersebut melalui, misalnya, pidato-pidato, dokumen, laporan-laporan dan lokakarya pendidikan. Dalam melakukan semua itu, federasi memainkan sebuah peran penting dalam memediasi aspek material dan simbolis proses pembangunan dan cara-cara yang dengannya intervensi spesifik dialami dan ditafsirkan oleh para anggota komunitas.

Kedua, federasi bertindak sebagai pelaku advokasi hak-hak sipil bagi masyarakat adat yang mendiami propinsi Napo, dan, lebih abstrak, memainkan sebuah peran penting dalam membuat klaim kewarganegaraan melawan negara. Khususnya dalam tahun-tahun pertamanya, FOIN bekerja sebagai pelaku advokasi bagi masyarakat adat yang menderita akibat pelanggaran hak asasi manusia dan hak sipil yang dilakukan pejabat negara atau elit lokal. Arsip-arsip FOIN untuk tahun 1970an berisikan sejumlah surat-surat yang ditulis untuk pejabat-pejabat lokal, politisi nasional, atau pimpinan bisnis. Surat-surat tersebut menggugat penahanan paksa, pemukulan, upah yang tidak dibayar, dan pelanggaran-pelanggaran lain yang dialami individu-individu masyarakat adat di wilayah itu. Sepanjang sejarah, federasi telah memainkan peran penting dalam mengadvokasi dan memfasilitasi kepemilikan tanah yang diklaim oleh komunitas-komunitas Quichua. Dalam kapasitas ini, FOIN terus berkoordinasi dengan agen-agen negara dan ornop untuk membuat demarkasi dan mensahkan klaim-klaim tanah, dan bekerja sebagai arbitrer penting dan pelaku advokasi dalam persengketaan tanah. Ketika tuntutan-tuntutannya tidak dipenuhi, FOIN melakukan aksi protes, menegaskan keberadaan dan kepentingannya dengan menduduki ruang-ruang publik. Dengan cara ini, secara langsung maupun tidak langsung, federasi telah memainkan peran penting dalam menantang konsepsi kewargaan dan negara yang dominan dan ekslusif. 

Ketiga seperti organisasi masyarakat adat lainnya di Ekuador, FOIN terlibat dalam apa yang sering diistilahkan sebagai reivindicacion cultural –seperti yang dijelaskan Kay Warren (1998 hal xii), “mengekspresikan tuntutan-tuntutan yang terentang luas untuk  perbaikan, pengakuan, pemulihan dan hak-hak masyarakat adat”. Dalam peran inilah, federasi benar-benar terlibat langsung dan penuh kesadaran diri dalam representasi identitas masyarakat adat. Federasi menjalankan peran ini dengan berbagai cara, termasuk representasi wacana (dalam berbagai pidato dan tulisan), representasi visual (dari lukisan-lukisan yang memenuhi tembok sampai kepala surat dan logo) dan pertunjukan identitas kebudayaan melalui lokakarya komunitas, protes, dan kelompok musik dan tari (Perreault, 2001).

Posisi FOIN bermain di dua kaki nampak begitu penting bagi kemampuannya untuk bekerja dalam tiga lingkup ini. Dengan mengelola intervensi pembangunan dan pengalaman proyek-proyek spesifik untuk para anggotanya, federasi bertindak sebagai sebuah institusi yang memodernisasi dan memediasi hubungan antara komunitas-komunitas masyarakat adat, negara dan ornop-ornop nasional maupun internasional. Dalam perannya sebagai pelaku advokasi bagi hak-hak politik dan sumberdaya masyarakat adat, FOIN rupanya ingin mengkritik dan memodifikasi cita-cita demokrasi liberal. Federasi mengesahkan klaimnya atas pembangunan dan hak-hak kewarganegaraan tidak dengan menghapuskan kekhasan konstituennya, tapi justru menonjolkan kekhasan tersebut dan menegosiasikan sebuah ruang untuk kekhasan tersebut di dalam bangsa.   Telaah lebih lanjut dari Perreault (2003a) atas wacana-wacana yang dikembangkan FOIN menyajikan bagaimana mereka:

“... memandang cara-cara federasi dalam memperantarai proses-proses pembangunan dan transformasi kebudayaan. Ideologi-ideologi dominan demokrasi dan kewarganegaraan di Ekuador telah gagal menciptakan rasa keterlibatan (sense of inclusion) dan partisipasi sektor-sektor populer seperti kelompok-kelompok masyarakat adat ....”

Selanjutnya, 

“Wacana dan praktek sebagian besar ditujukan untuk mengkonstruksi identitas etnis yang berakar pada kewilayahan dan diikat oleh kesamaan tradisi kebudayan Quichua. Tetapi untuk melakukan ini, FOIN harus bekerja dari posisi subyek modern—berinteraksi dengan agen-agen negara, ornop nasional dan jaringan kerja pembangunan transnasional, HAM dan organisasi-organisasi lingkungan. Dalam konteks ideologis kontemporer tentang nasionalisme yang majemuk di Ekuador, menjadi Quichua modern adalah memiliki sebuah identitas regional sebagai sebuah bangsa pribumi, yang dihasilkan melalui pembangunan ekonomi dan organisasi politik di dalam (dan bukan di luar) negara bangsa. Konstruksi FOIN akan identitas ... sebagian besar ditujukan untuk menegaskan klaim-klaim tanah dan hak-hak politik untuk para konstituen mereka dan sekaligus berupaya mendefinisikan kembali pemahaman resmi tentang kewarganegaran dan kekayaan nasional. 

Namun demikian, yang penting adalah keterlibatan federasi dengan nasionalisme Ekuador dan modernisasi yang dijalankan oleh negara bukanlah semata-mata berupa sebuah perlawanan. Meskipun wacana Federasi seringkali bersifat oposisi, dalam konteks lain wacana yang dikembangkan Federasi telah mengkonsiliasi dan menerima, bahkan menjalankan proyek nasionalis. Dalam konteks ini, wacana, praktek dan lembaga-lembaga pembangunan memainkan peran struktur yang penting, menyediakan sebuah kerangka ideologis beragam bentuk yang di dalamnya Federasi menegosiasikan proses-proses transformasi sosial dan menandingi pemahaman resmi tentang kewarganegaraan dan bangsa. Meskipun ideologi-ideologi, lembaga-lembaga dan praktek-praktek pembangunan tidak menentukan apa saja identitas-identitas masyarakat adat, ideologi-ideologi, lembaga-lembaga dan praktek-praktek pembangunan mengkondisikan konteks untuk identitas-identitas tersebut dan bahasa yang mewakili mereka.”

 




[1] Seperti telah ditulis oleh Perreault (2003b) dalam catatan kakinya no. 2, bahwa “Pada bulan Agustus 1999, delegasi yang menghadiri kongres FOIN sepakat untuk merubah nama federasi menjadi Federacion de Organizaciones de la Nacionalidad Kichwa de Napo (Federasi Organisasi Kebangsaan Kichwa (Quichua) Napo, FONAKIN). Perubahan nama ini,  nama inilah yang sekarang, tidak dipakai sampai musim panas 2002”.

No comments:

Post a Comment