Review Noer Fauzi Rachman atas karya:
John F McCarthy, Ahmad Dhiaulhaq, Suraya Afiff dan Kathryn Robinson (2022) “Land reform rationalities and their governance effects in Indonesia: Provoking land politics or addressing adverse formalisation?” Geoforum 132:92–102. https://doi.org/10.1016/j.geoforum.2022.04.008
Apa
yang menjadi maksud dan akibat tata kelola dari skema-skema layanan
penguasaan tanah yang dikerjakan pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden
Jokowi selama dua periode ini? Dua peneliti Indonesia, Ahmad Dhiaulhaq dan Suraya Afiff, dan dua peneliti Australia, John F McCarthy dan Kathryn Robinson, menunjukkannya dalam suatu artikel berjudul “Land reform rationalities and their governance effects in Indonesia:
Provoking land politics or addressing adverse
formalisation?” Geoforum 2022 132:92–102. Mereka
menganalisis logika/cara kerja skema-skema penguasaan
tanah dengan cara menghubungkan antara maksud yang mendasarinya
(rationalities), dan efek tata kelola (governance effects)
yang terbentuk dari skema-skema itu.
Dari semua skema yang ada di berbagai sektor pemerintahan, mereka pilih 4 (empat) jenis skema layanan pertanahan yang menjadi fokus analisis, yakni (a) konsesi untuk perusahan-perusahaan transnasional; (b) pengelolaan wilayah adat; (c) perhutanan sosial, dan (d) legalisasi/pensertifikatan tanah. Skema-skema ini diletakkannya sebagai yang bisa bersandingan di lokasi-lokasi yang berbeda, atau bisa juga bertandingan satu sama lain di wilayah yang sama atau bertumpang tindih.
Konsesi-konsesi
untuk perusahaan-perusahaan transnasional diberikan skala yang
besar-besaran, dan tata kelolanya bersifat transnasional dan juga diatur
oleh hukum bisnis non-negara. Adapun efek tata kelolanya adalah
stabilnya keberlakuan izin-izin konsesi jadi stabil dan kemudian
meningkatkan reputasi para investor. Dalam konteks permasalahan yang
ditimbulkan oleh tuntutan-tuntulan lokal mengenai tanah atau sumber daya
lainnya, biasa tersedia mekanisme dan penanganannya baik yang ad hoc sifatnya maupun institusional.
Dari
Hutan Adat sebagai satu wujud pengakuan atas penguasaan wilayah adat, sangat
jelas bahwa skema ini adalah perwujudan keadilan melalui restitusi hak
tanah, merujuk ke Putusan MK 35/PUU/X/2012. Legalitas hak-hak atas wilayah
adat berbentuk skema Hutan Adat ini biasanya lebih kecil dari wilayah yang
secara klaim dan aktual dikuasai dan diatur oleh kewenangan dan otoritas
pengelolaan kelembagaan adat. Pengakuan formal atas kepenguasaan masyarakat
adat ini membentuk identitas dan teritorialitas yang ekslusif, memberi ruang
pembentukan sistem pengelolaan tanah dan sumber daya alam berbasiskan adat,
dan pada gilirannya menjadi pagar bagi upaya elite, terutama
perusahaan-perusahaan korporasi, untuk menguasai wilayahnya.
Selanjutnya,
skema-skema perhutanan sosial selain Hutan Adat dapat dipahami sebagai
legalisasi atas pemanfaatan hutan negara oleh kelompok-kelompok komunitas
lokal. Mereka memiliki tanggung jawab pengelolaan, dan dimaksudkan mencegah
jual beli atas persil-persil dalam wilayah kelolanya itu. Pada gilirannya
kelompok-kelompok komunitas pemanfaat hutan negara itu berada
dalam rentang kendali Kementerian LHK, yang memang berwenang atas seluruh
kawasan hutan negara.
Last but not least, skema legalisasi hak atas tanah melalui Pendaftaran Tanah Sistematis
Lengkap (PTSL) memberi status hukum atas kepemilikan tanah sebagai syarat
dari transaksi tanah dan pembebanan hak tanggungan untuk peroleh kredit dari
lembaga keuangan publik. Lebih dari itu, juga akan memastikan perolehan
pemasukan negara melalui Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
dan lainnya. Ini memastikan berlakunya administrasi pertanahan yang
seragam.
Tentu, tidak semua layanan pertanahan diselenggarakan pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi dibahas secara lengkap. Artikel ini sesungguhnya dapat merangsang pemeriksaan lebih lanjut efek-efek tata kelola secara empiris, termasuk cara-cara pembentukannya dari tiap-tiap skema layanan pertanahan. Hal ini akan membuat kita terhindar dari apa yang diistilahkan secara metodologis sebagai exceptionalism, yakni persepsi atau kepercayaan bahwa suatu kasus yang distudi (bisa spesies, negara, masyarakat, institusi, komunitas, individu, atau periode waktu) adalah "luar biasa", yaitu, tidak biasa atau tidak terjadi di kasus lain.
Dua
hal penting lain dari artikel ini, adalah (i) suatu hipotesis yang
dianjurkan diberlakukan bahwa konfigurasi ekonomi politik, kebutuhan akan legitimasi politik, dan pertemuan berupa
friksi antara pengetahuan, kepentingan, dan praktik politik lah yang
diduga menjadi variabel pembentuk efek-efek tata kelola-nya; dan (ii)
Pembahasan atas keempat jenis skmea layanan pertanahan Indonesia itu dapat
berguna untuk melakukan pembadingan dengan apa yang berlangsung di negara-negara Asia Tenggara
lainnya.
No comments:
Post a Comment