Noer Fauzi Rachman (2020) "Kawasan Hutan sebagai Masalah Agraria yang Menyejarah," Prosiding Simposium Nasional: Reforma Agraria Implies Reforma Kehutanan, Seminar dan Lokakarya "Reforma Agraria dalam Belenggu Rezim Kawasan Hutan", yang diselenggarakan oleh FORCI Development, Fakultas Kehutanan dan Forum Pimpinan Lembaga Pendidikan Tinggi Kehutanan Indonesia (FORETIKA). Jakarta, 14 Januari 2020.
Pembukaan
Hutan ada karena orang-orang memahami dan mendefinisikan seperangkat komponen alam yang berhubungan satu sama lain secara langsung membentuk ekosistem tertentu. Sedangkan apa yang disebut political forest (hutan politik)adalah suatu zona-zona penggunaan tanah yang dimaksudkan sebagai “hutan tetap”, meski dalam tahapan pertumbuhan dan penumbuhan kembali (Vandergeest and Peluso 2015). Pemasangan kata “hutan” dengan “politik” ini memang sengaja dibuat untuk maksud membedakan dengan hutan dalam pengertian ekologi. Hutan politik “menghasilan dan sekaligus hasil dari hubungan-hubungan politik ekologi yang menyatu dalam suatu sirkuit kelembagaan, diskursif, ideologi dan material, serta klaim-klaim oleh negara dan berbagai badan pengatur lainnya”; Jadinya adalah “pembentukan wilayah-wilayah yang dikuasai negara (state-held territories) dibawah jurisdiksi dan otoritas ahli-ahli kehutanan dan kementerian kehutanan, yang bisa juga otoritas-otoritas non-negara dapat pula menjadi pelaku dalam political forestry itu” (Vandergeest and Peluso 2015:162). Dua prasyarat pembentukannya adalah (a) zona-zona wilayah tertentu (kawasan hutan), yang dipisahkan secara spesifik dengan kawasan non-hutan; dan (b) spesies hutan, yang kategorisasinya sebagai spesies hutan membentuk pengaturan legal-institutional yang mencakup produksi, pemasaran dan penggunaan, serta konservasi ekosistemnya.
Naskah ini dimaksudkan sebagai bacaan pelengkap atas Kartodihardjo dan Soedomo (2020) “Rejim Kawasan & Politik Realokasi
Pemanfaatannya”, yang secara terang-terangan mengkritik eksistensi kawasan
hutan sebagai suatu rejim yang menimbulkan masalah agraria. Esai ini
dimaksudkan untuk memberi penjelasan sejarah dengan mempergunakan karya
Nancy Peluso dan Peter Vandergeest (2001) mengenai hutan politik, dengan
fokus kawasan hutan di Jawa. Penjelasan sejarah yang dimaksud
bukanlah untuk menjelaskan situasi masa lampau, melainkan untuk membuat
kita mengerti situasi sekarang lebih baik.
Review dan studi terbaru mengenai political forest ini masih terus berlanjut, hingga yang karya Lukas and Peluso
(2019). Apa yang sekarang disebut sebagai classic political forest (hutan politik klasik) ini berubah. Lukas
and Peluso (2019) menunjukkan bahwa perubahan-perubahan ekonomi politik yang masif
semenjak tahun 1998 membuat penduduk-penduduk desa memperluas akses,
pemanfaatan hutan, dan hal ini memaksa ahli kehutanan untuk berubah
mengikutnya. Mereka menemukan empat cara dimana penduduk
desa hutan dan ahli kehutanan berubah, melalui perjuangan yang
terus-menerus mengubah tata guna lahan, akses dan kontrol atas hutan,
yakni: (a) secara fisik mengubah jenis-jenis pohon dan kerapatan pohon
utama; (b) mengubah dalam perjalanan ruang dan waktu, jangkauan,
distribusi, maupun jenis tanaman di hamparan tanah produktif di bawah
tegakan kayu bagi penduduk lokal. (c) mengubah rezim tenaga kerja dan
investasi baru dengan, misalnya, memakai sapi yang tergantung pada pakan
ternak dari hutan. Dan (d) mengalokasikan bagian pendapatan dari hasil
utama (kayu atau hasil hutan lainnya), untuk penduduk desa.
Dengan
penjelasan sejarah itu, penulis hendak mengusulkan cara bagaimana
perubahan hutan politik dapat dilakukan dengan kebijakan-kebijakan umum
pemerintah, yang dilandaskan pada konstitusionalisme reforma agraria, yang
telah diletakkan dasar-dasarnya oleh Mahkamah Konstitusi, melalui
putusan-putusannya, yang secara permulaan dimulai dalam
putusan atas perkara nomor 001-021-022/PUU-I/2003 mengenai judicial review atas Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. Selain meninjau kembali konsep “kawasan hutan”, disini penulis
menandaskan perlunya tindak lanjut berupa audit atas alokasi penggunaan
tanah secara nasional, maupun dilakukan secara sub-nasional berbasis
pulau dan provinsi, sehubungan dengan penggunaan dan penyalahgunaan
konsep “kawasan hutan” yang menurut Kartodihardjo dan Soedomo (2020)
merupakan “klaim sepihak sektor kehutanan”, “tidak efisien”, dan “gagal
menciptakan keadilan agraria”. Selain itu, mereka mengedepankan argument
bahwa kehadiran kawasan hutan sebagai status legal suatu areal telah
menimbulkan “banyak masalah dalam penyusunan Rencana Tata Ruang (RTR),
sehingga Rencana Tata Ruang (RTR)-nya tidak realistis, tidak efisien,
dan bertentangan dengan konstitusi.
Perubahan Hutan Politik melalui Kebijakan?
Kartodihardjo dan Soedomo (2020) “Rejim Kawasan & Politik Realokasi
Pemanfaatannya” telah membahas masalah struktural dan mekanisme-mekanisme
yang telah dinilai mereka menimbulkan banyak masalah agraria. Selanjutnya,
perubahan cara berpikir yang diusulkan Kartodihardjo dan Soedomo (2020)
itu berangkat dari pandangan konstitusionalisme bahwa alokasi dan
distribusi sumberdaya harus mengacu kepada cita-cita mewujudkan
sebesar-besar kemakmuran rakyat”, dan praktek berdasar politik identitas
“kawasan hutan first” harus ditinggalkan. Konsekuensinya,
wilayah kawasan hutan, khususnya dari kawasan hutan produksi, yang
mendapatkan alokasi terbesar, harus ditinjau kembali dan dijadikan obyek
reforma agraria untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Andil Mahkamah Konstitusi mengenai “konsep menguasai” menjadi andalan. Tafsir konsep menguasai sebagaimana
dimaksudkan oleh pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dibuat mahkamah Konstitusi dengan fokus pada
ukuran pelaksanaan dan tujuan penguasaan negara atas tanah dan kekayaan
alam Indonesia putusannya atas perkara nomor 001-021-022/PUU-I/2003 mengenai judicial review atas Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, MK menjelaskan lima bentuk tindakan penguasaan negara, yaitu pembuatan kebijakan
(beleid), tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan
(regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad)(Mahkamah Konstitusi 2004:332-337).
Adapun tolok-ukur pencapaian tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,
dirumuskan menjadi empat yakni (i) kemanfaatan sumber daya alam bagi
rakyat, (ii) tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat,
(iii) tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya
alam, serta (iv) penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun
dalam memanfaatkan sumber daya alam. Selanjutnya, bila dikaitkan dengan
tujuan negara untuk melindungi wilayah dan lingkungan hidup, memajukan
kesejahteraan umum, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,
maka kerangkanya menjadi sbb.: (Safitri 2014, lihat pula Sodiki 2013, Arizona 2014).
Sumber: Myrna A. Safitri, “Hak Menguasai Negara Di Kawasan Hutan:
Beberapa Indikator Menilai Pelaksanaannya,” Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 1, Issue 2, 2014.
Agenda pemerintah yang perlu dibuat, dan saat ini belum ada, adalah
menyiapkan audit mengenai alokasi penggunaan tanah secara nasional,
khususnya yang berkenaan dengan kawasan hutan, dengan menggunakan rujukan
konstitusionalisme reforma agraria, sebagai rujukan dalam menilai dan
menindaklanjuti temuan-temuan auditnya. Sejalan dengan naskah
Kartodihardjo dan Soedomo (2020), audit itu perlu merujuk Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) nomor IX/MPRRI/2001 yang berisikan
berisikan arahan kebijakan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber
daya alam, panen pengetahuan dari Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya
Alam (GNPSDA) yang dikawal oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, dan
hasil-hasil kerja Konferensi Tenure 2017 “Mewujudkan Hak-hak Rakyat: Reformasi Penguasaan Tanah & Pengelolaan Hutan di Indonesia”, yang diselenggarakan oleh
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kantor Staff Presiden, 27
sampai dengan 27 Oktober 2017.
Saya kira, yang juga penting dan menarik untuk dirujuk dalam rangka
penyusunan kerangka acuan audit yang dimaksudkan di atas itu adalah
kekayaan studi-studi akademik dan naskah-naskah kritik dan usulan
kebijakan dari berbagai organisasi non-pemerintah, seperti Forest Watch
Indonesia, Geoportal Data Konflik tanah dan Sumber Daya Alam, Konsorsium
Pembaruan Agraria, dsb., yang bekerja secara panjang umurnya dalam
kerangka advokasi kebijakan.
Formasi Awal Political Forest di Jawa dan
Indonesia
Lini masa pembentukan kawasan hutan negara sebagai political forest dan sejarah geografi kawasan hutan negara perlu dibuat tersendiri.[1] Pembentukan Momen-momen pembentukan “political forest” di
Indonesia dimulai dari cara bagaimana negara kolonial mengekstaksi dan
mengelola hutan di Jawa dengan membentuk perUUan dan badan khusus
kehutanan untuk menguasai dan mengelola tanah, pohon, dan tenaga kerja.
Jenderal Daendels mengorganisasi pengelolaan hutan jati pada tahun 1808
melalui dinas kehutanan pemerintah Dienst van Boswezen, dengan
hak-hak untuk menguasai dan mengelola tanah, pohon, dan tenaga
kerja. Louis Napoleon yang memerintah Belanda dari tahun 1808 sampai 1811
menunjuk Marsekal Daendels sebagai gubernur jenderal untuk Hindia Belanda.
Peluso menulis, “beberapa elemen-elemen utama dari sistem Daendels tetap
penting setidaknya secara filosofis sampai dua abad berikutnya: Semua
hutan ditetapkan sebagai lahan milik negara (landsdomein), untuk
dikelola demi keuntungan negara; Pengelolaan hutan diserahkan pada Dinas
Kehutanan yang didirikan secara langsung untuk tujuan tersebut; Hutan
dibagi ke dalam perceel untuk ditebang dan ditanami kembali dengan suatu
basis rotasi; Akses penduduk desa pada pohon jati dilarang, dan hanya
pengambilan kayu mati dan hasil-hasil hutan non-kayu yang diperbolehkan”
(Peluso 1992:68).
Pengaturan pengelolaan hutan di Jawa oleh perundang-undangan kehutanan
tahun 1865, dipisahkan dari UU Agraria 1870. Peraturan Kehutanan 1865
terus disempurnakan Peraturan Kehutanan untuk Jawa dan Madura tahun 1927
dan 1932, yang kemudian menjadi dasar yang lebih kuat untuk menetapkan
kawasan hutan negara dan memisahkan tanah-tanah hutan negara dengan
lainnya melalui proses-proses pencatatan dan pemetaan yang resmi.
Peraturan 1865 ini kemudian direvisi dengan peraturan pemerintah tahun 1874, 1875,
1897, dan 1913. Semua itu adalah peraturan perundang-undang kehutanan
pertama-tama, yang menerapkan lebih lanjut
prinsip Domeinverklaring yang menyatakan bahwa semua
tanah hutan dan tanah yang tidak dimiliki, adalah tanah milik negara.
Perubahan besar yang ditimbulkan sebagai akibat dari peraturan Kehutanan
termasuk pendirian Dinas Kehutanan, Het Boswezen van Netherland Indie pada 1 Juli 1897, pembagian beberapa wilayah hutan menjadi
bagian-bagian yang lebih kecil. Dengan peraturan tersebut Dinas Kehutanan
masuk di bawah Departemen Pertanian, Industri dan Perdagangan, dan
memindahkan polisi hutan ke dalam yurisdiksi langsung Dinas Kehutanan
(Soepardi 1974b:60-63; Departemen Kehutanan 1986b:73-88; Peluso
1992:44-55).
UU Kehutanan 1865 kemudian digantikan oleh Undang-undang Kehutanan untuk
Jawa dan Madura tahun 1927 dan 1932, yang kemudian menjadi dasar yang
lebih kuat untuk menetapkan kawasan hutan negara dan memisahkan
tanah-tanah hutan negara dengan lainnya melalui proses-proses pencatatan
dan pemetaan yang resmi. Walhasil, komposisi wilayah-wilayah yang berada di dalam eksploitasi
negara dan swasta atas hutan-hutan jati di Jawa berubah dari tahun 1900
sampai 1930. Furnival melaporkan pada tahun 1900 bahwa semua lahan hutan
yang dieksploitasi oleh pihak-pihak swasta jumlahnya mencapai 655 ribu
hektar. Tanah-tanah hutan ini memiliki kategori yang berbeda dengan
lahan-lahan hutan yang berada dalam penguasaan langsung Dinas Kehutanan.
Pada tahun 1930, setelah melalui proses restrukturisasi panjang yang pada
dasarnya bertujuan untuk memasukkan semua wilayah hutan ke dalam kendali
pemerintah, perusahaan-perusahaan swasta hanya mengendalikan 97 ribu
hektar. Wilayah-wilayah hutan di bawah eksploitasi negara mencapai 698
ribu hektar (Furnival 1944:325 dikutip dalam Boomgard 1994:130-131).
Setelah pembentukan Dienstvak: Dienst der Bossen op Java and Madura di tahun 1938, yang menyatukan Djatibedrijf (Perusahaan
Jati] dan Dinas Kehutanan yang mengurusi kayu rimba, semua eksploitasi
hutan oleh perusahaan- perusahaan swasta diakhiri (Departemen Kehutanan
1986a:115, Peluso 1992:67).
Sampai akhir era kolonial Belanda di tahun 1940, Dinas Kehutanan
melaporkan sudah mengelola 757.648 hektar hutan jati. Jumlah tersebut
mencakup sekitar 92 persen dari jumlah keseluruhan hutan jati di Jawa dan
Madura. Dinas Kehutanan tersebut mengelola sekitar 819.749 hektar dari
hutan kayu belantara, setara dengan 30 persen dari jumlah keseluruhan
hutan kayu belantara di Jawa dan Madura (Soepardi 1974:121).
Di bawah pendudukan Jepang (1942-1945), baik manajemen maupun institusi
kehutanan berada dalam kondisi kacau. Ringyoo Tyuoo Zimusyo dibentuk untuk
menggantikan kewenangan Boswezen, namun sebagian besar pengelola hutan
berkebangsaan Belanda menolak untuk bergabung. Sebagian besar dari kawasan
hutan tidak berhasil dikelola. Pihak Jepang mengambil kayu untuk tujuan
perang tanpa memperhatikan masalah reforestasi, dan memerintahkan
masyarakat untuk mengubah tanah hutan menjadi tanah pertanian minyak untuk
bahan bakar (Jatropha) dan makanan, termasuk untuk bala tentara
Jepang (Soepardi 1974:1-40; Departement Kehutanan RI 1986b:1-21; Peluso
1992:93- 97; Simon 1999:39-41). Sebagaimana disebutkan di bagian awal,
para petani pada mulanya menyambut perintah Jepang untuk mengolah lahan
hutan yang dulunya terlarang, namun tidak terlalu lama sebelum para petani
melawan bentuk pemaksaan kerja pertanian ini.
Dengan proklamasi kemerdekaan 1945, elit-elit politik mendorong pengelola
hutan Indonesia untuk menemukan cara-cara baru pengaturan hutan untuk
menjalankan prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam Undang-undang Dasar
Republik Indonesia 1945, terutama pasal 33 yang menyatakan bahwa “bumi,
air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” (Poerwokoesoemo
1956:218; Soepardi 1974:41-83). Sementara itu, perang kemerdekaan membuat
kendali kolonial terhadap hutan menjadi mengendor, dan para penduduk desa
bertindak secara leluasa memanfaatkan hutan, termasuk mengambil kayu dan
membuka pertanian di wilayah yang sejak lama dilarang. Berbagai ketegangan
mulai bermunculan. Namun, Jawatan Kehutanan yang mewarisi sekitar tiga
juta hektar tanah hutan di Jawa tidak membangun tatanan kelembagaan dan
pengaturan yang baru. Para pengelola hutan di jawatan Kehutanan itu
bersikukuh untuk melanjutkan apa yang telah dilakukan
oleh Boswezen pada masa kolonial terdahulu.
Perumusan undang-undang agraria semenjak 1948 tidak diisi dengan tema
penguasaan hutan di Jawa. Para pemikir dan pendiri kemerdekaan fasih
dengan kritik-kritik terhadap konsep dan praktek Domein Verklaaring semenjak diberlakukannya Agrarishce Wet dan Agrarishce Besluit 1870, untuk Jawa dan
Madura, dan lima tahun berikutnya, tahun 1875, diberlakukan berlaku secara
menyeluruh untuk semua wilayah jajahan Hindia-Belanda melalui LN
1874-199a. Visibilitas masalah agraria rakyat Indonesia dalam hubungan
dengan Domein Verklaaring itu dibuat mungkin oleh jasa
Cornelis Van Vollenhoven, guru langsung banyak pemikir dan aktivis
kemerdekaan Indonesia, terutama dengan karyanya De Indonesier en Zijn Grond (Orang Indonesia dan Tanahnya). Van Vollenhoven
adalahprofessor dalam bidang ilmu “Hukum Adat Hindia Belanda”, dan “Hukum
Publik and Administrasi Hindia Belanda” di leiden University, belanda.
Marjane Termorshuizen-Arts dalam karya tulisnya “Rakyat Indonesia dan
Tanahnya: Perkembangan Doktrin Domein di Masa Kolonial
dan Pengaruhnya dalam Hukum Agraria Indonesia” menunjukkan bahwa “Kritik
tajam dari Van Vollenhoven yakni yang dituliskan di dalam bukunya de Indonesier en zijn grond dapat disandingkan dengan Max Havelar”
(2010:55).
Karenanya, para pembuat Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) sangat kuat
mengkritik Domein Verklaring, dan memberi tempat pada
pengakuan hukum adat, dengan dikerangkakan dalam kepentingan kekuasaan
negara nasional yang baru merdeka. UUPA 1960 memberikan “pengakuan bersyarat” atas eksistensi hukum adat
yang masih berlaku. Secara jelas disebutkan bahwa UUPA mengakui status
hukum ada yang terkait dengan tanah dan sumber daya alam dengan syarat
bahwa hukum ada “tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
kepentingan negara” (pasal 5). Masalah muncul—sebagaimana yang terjadi
pada era rezim Suharto (1966-1998) dan setelahnya—ketika negara justru
berkepentingan memberi konsesi hutan, tambang, atau perkebunan pada
korporasi nasional atau transnasional atas tanah dan sumber daya lainnya
yang sebelumnya berada di bawah penguasaan rakyat. Tampaknya gagasan van
Vollenhoven tentang “seabad ketidakadilan” (a century of injustice), yang mengutuk negara kolonial Belanda atas perlakuan tak adil terhadap
masyakat asli Indonesia terkait dengan hak mereka dalam mengatur
pertanahannya berdasarkan hukum adat dan tradisi masih tetap berlangsung
pada era poskolonial saat ini (Zakaria 2020).
UUPA menganti domein verklaring dengan konsep “Hak Menguasai Negara”
sebagaimana yang dimuat dalam Pasal 2 UUPA 1960. Dengan konseptualisasi
ini, pemerintah pusat punya wewenang untuk mengatur dan mengelola tanah
dan sumber daya alam, menentukan relasi kepemilikan, dan karenanya
menentukan mana tindakan yang legal dan ilegal terkait dengan pengelolaan
tanah dan sumber daya alam. UUPA terinspirasi oleh visi Sukarno dalam
merombak warisan kolonial dalam hukum agraria dan sistem-sistem penguasaan
tanah di Indonesia. Para perancang UUPA dulunya berasumsi bahwa pemerintah
harus bermurah hati dalam menggunakan wewenangnya sebagai “alat untuk
membawa kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi negara dan rakyat,
utamanya rakyat tani, dalam rangka menciptakan masyarakat yang adil dan
makmur” (Penjelasan Umum UUPA bagian 1). Para perumus UUPA tidak pernah
membayangkan bahwa pemerintah dapat menggunakan dan menyalahgunakan
otoritasnya untuk melawan prinsip-prinsip dan arah-arah kebijakan yang
terdapat dalam UUPA. Rezim Suharto (1966-1998) telah membekukan UUPA dan
agenda-agenda land reform-nya, dengan menafsirkan Hak
Menguasai Negara melalui cara-cara yang dapat memperkaya kantong-kantong
dan kas milik negara. Dalam bab selanjutnya, saya akan mengklarifikasi
bagaimana masalah ini telah menginspirasi para pakar dan aktivis gerakan
agraria untuk menghidupkan kembali agenda-agenda land reform.
Masalah agraria yang hendak dipersoalkan disini adalah pemisahan legal,
institusional, dan teritorial antara pertanian, perkebunan, dan kehutanan,
yang telah diberlakukan pada era kolonial. Program-program redistribusi
tanah (1962-1965) di bawah UUPA menargetkan tanah-tanah di sektor
pertanian dan mengecualikan tanah perkebunan dan tanah hutan dari program
tersebut. Bahkan, para perumus UUPA diam-diam berkompromi dengan prinsip
perkebunan kolonial. UUPA mengizinkan perkebunan-perkebunan kolonial tetap
berjalan tegak dengan mengkonversi hak guna tanah (erpacht) menjadi
“hak guna usaha”. Tanah hutan juga dikecualikan dari program tersebut,
karena UUPA tidak pernah merujuk hukum kehutanan kolonial. Para rimbawan
dan lembaga-lembaga kehutanan, termasuk Perhutani, tidak pernah mengakui
UUPA berkaitan secara langsung dengan tanah-tanah hutan yang secara telah
ditetapkan secara resmi terlepas bahwa UUPA sudah menjabarkan ruang
lingkupnya untuk memahami semua tipe tanah dan sumber daya dalam kawasan
Indonesia. Dipisahkannya UUPA dari sektor kehutanan terus berlanjut di
bawah pemerintahan selanjutnya, namun ia terus berusaha mencari bentuknya
yang ideal bagaimana hak-hak tanah masyarakat desa didefinisikan dalam
kaitannya dengan pertanian, perkebunan, dan kehutanan.
Meski menghapus domein verklaring, UUPA 1960 tidak
menghapuskan Peraturan Kehutanan Jawa dan Madura 1927 dan 1932
itu. Bersama dengan tanah perkebunan, tanah-tanah
kehutanan di Jawa, juga dikecualikan sebagai tanah objek land reform (1961
– 1965). Perundang-undangan kehutanan dan perundang-undangan agraria merupakan dua
pengaturan yang secara keseluruhan memiliki rute, kewenangan dan wilayah
jurisdiksi yang berbeda. Para rimbawan yang anti land reform memprakarsai
kebijakan Presiden Sukarno untuk mempromosikan status Jawatan Kehutanan
menjadi perusahaan milik negara tingkat propinsi dengan menjanjikan
pendapatan tahunan untuk anggaran negara dari perusahaan-perusahaan
tersebut. Di tahun 1961 Sukarno menandatangani seperangkat peraturan
pemerintah (No. 17 sampai No. 30) untuk mendirikan perusahaan-perusahaan
kehutanan milik negara di tiga belas propinsi termasuk Jawa Timur, Jawa
Tengah, dan Jawa Barat. Kemudian, Sukarno menandatangani peraturan
pemerintah yang lain (No. 35/1963) yang mengatur prinsip dan mekanisme
pengelolaan perusahaan-perusahaan kehutanan tersebut. Sebelum pengaturan
ini berjalan, ketegangan antara kalangan birokrat kehutanan di Jawatan
Kehutanan yang pro versus anti-land reform meningkat sehubungan dengan
banyaknya “aksi pendudukan tanah sepihak” pada beberapa bagian tanah
kehutanan di Jawa, seperti juga yang berlangsung pada tanah-tanah
perkebunan negara dan swasta, serta tanah-tanah pertanian pribadi yang
luas.
Peralihan penguasa pemerintahan nasional dari Presiden Sukarno ke
Presiden Suharto di tahun 1966 mengakibatkan perubahan dalam sektor
kehutanan. Kekerasan yang masif dan meluas sepanjang tahun 1965-1966 terhadap
organisasi-prganisasi, para pengurus dan anggota serta simpatisan komunis,
menyisakan trauma yang mendalam dan berkepanjangan bagi mayoritas rakyat
pedesaan.
Pemisahan kehutanan dari wilayah agraria diperlebar setelah setahu
berkuasa Presiden Suharto menandatangani Undang-undang Kehutanan (UU No.
5/1967) sebagai bagian dari sebuah paket untuk memfasilitasi investasi
modal dari luar negeri dan dalam negeri dalam sektor
ekstraktif. Setelah perubahan rejim yang drastis dan dramatis di tahun 1965-66,
“Kehutanan Ekstraktif” dibentuk melalui kewenangan menteri yang mengurus
kehutanan membuat ijin pembalakan kayu. Selain dari UU nomor 5/1967 tentang Kehutanan, paket hukum tersebut terdiri dari tiga UU lain, yaitu UU
No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing, UU No.8/1967 tentang Penanaman
Modal Dalam Negeri, dan UU No. 11/1967 tentang Pertambangan. UU Kehutanan
1967 ini sama sekali tidak menyinggung keberadaan UUPA 1960.
UU Kehutanan tersebut menghidupkan kembali prinsip “domain negara” yang
menetapkan bahwa semua tahan dalam “kawasan hutan” adalah milik negara,
dan mengutamakan wewenang Menteri Kehutanan untuk menentukan dan
menetapkan “kawasan hutan” tersebut. Wewenang yang diperoleh Menteri
Kehutanan melalui UU Kehutanan 1967 tersebut telah menuntun pada
negaraisasi hak-hak kepemilikan dan penguasaan tanah rakyat, yang pada
gilirannya nanti menjadi dasar kemunculan benih-benih perlawanan agraria
dalam artikulasi identitas masyarakat adat dan tuntutan pengakuan
hak-haknya. UU Kehutanan 1967 ini menyatakan bahwa negara adalah pemilik lahan
hutan, dan Menteri Kehutanan memiliki kewenangan untuk menentukan
kawasan mana saja yang termasuk dalam “kawasan hutan” (Pasal 1 dari UU
Kehutanan 1967). Berdasarkan pernyataan ini Menteri memiliki kewenangan
untuk memberikan konsesi penebangan hutan kepada perusahaan-perusahaan
swasta dari dalam dan luar negeri (Pasal 14 dari UU Kehutanan 1967, dan
Peraturan Pemerintah No. 21/1970).
Untuk wilayah Jawa dan Madura, pemerintahan Suharto secara resmi
mendirikan kembali Perusahaan Hutan Negara (Perhutani) pada tahun 1972
dalam bentuk perusahaan milik negara untuk mengelola lahan hutan di Jawa
Tengah dan Jawa Timur (Peraturan Pemerintah No. 2/1972). Tujuan utama dari
Perhutani ini adalah untuk menghasilkan keuntungan dari produksi kayu
jati. Lebih dari 80 persen dari hutan di Jawa Tengah dan Jawa Timur berada
di bawah kendali Perhutani. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 64/1957,
Pemerintah Propinsi Jawa Barat tetap mempertahankan kewenangannya atas
lahan hutan Jawa Barat. Kawasan hutan Jawa Barat dinilai berbeda dengan
kawasan hutan di Jawa Tengah dan Jawa Timur karena perbedaan nilai dan
keuntungan yang dihasilkan melalui karakter-karakter hutan yang berbeda.
Hanya 7 persen (sekitar 67.861,70 dari 968.100 hektar) dari hutan Jawa
Barat yang merupakan hutan jati. Dan karena perbedaan ciri-ciri ekologi
tanah dan iklim di hutan jati Jawa Barat, pohon jati tersebut belum pernah
tumbuh sebegitu baik dibandingkan dengan di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Selanjutnya, dengan tujuan untuk membuat pengelolaan hutan Jawa Barat
menjadi menguntungkan dan tidak tergantung sepenuhnya pada anggaran
negara, pemerintahan Suharto di tahun 1978 memutuskan untuk memasukkan
hutan Jawa Barat dalam kendali Perhutani (Peraturan Pemerintah No. 2/1978)
(Hidayat et al 1980, Peluso 1992:285 fn 5).
Walhasil, setelah memasukkan hutan Jawa Barat, kawasan yang dikuasai oleh
Perhutani sekarang ini sama dan sebangun dengan kawasan yang dikendalikan
dan dikuasai oleh Jawatan Kehutanan Belanda di Jawa, kecuali
untuk enclave-enclave tanah yang diduduki oleh para
petani, baik yang dimulai pendudukannya pada masa Indonesia di bawah
pemerintah pendudukan Jepang (1942-1945) atau menduduki dan memanfaatkan
tanah tersebut sejak revolusi (Peluso 1992:125), atau untuk wilayah Jawa
Barat sawah, kebun dan permukiman yang dimasukan
ke wilayah Perhutani.
Bukan hanya wilayahnya yang sama dan sebangun dengan pendahulu
kolonialnya, lebih dari itu, Perhutani juga melanjutkan bentuk-bentuk
kolonial dari penguasaan hutan, teritorialisasi, dan pengelolaan hutan
yang dilegitimasi oleh tiga prinsip ideologi utama uang tidak cocok dengan
pandangan masyarakat lokal mengenai hutan, juga tidak berkontribusi pada
perkembangan petani hutan (Peluso 1992:125):
(a) bahwa kehutanan negara dilangsungkan berdasar
prinsip utilitarian, segala sesuatu untuk sebesar-besar
manfaatnya;
(b) bahwa kehutanan ilmiah (scientific forestry) adalah suatu
bentuk penggunaan sumberdaya yang paling efisien dan rasional; dan
(c) bahwa mempromosikan pertumbuhan ekonomi melalui usaha produksi
kehutanan adalah orientasi utama (Peluso 1992:125).
Pada tahun 1983, Presiden Suharto membuat keputuskan untuk memisahkan
Direktorat Jenderal Kehutanan dari Departemen Pertanian, dan menaikkan
statusnya menjadi Departemen Kehutanan dengan yurisdiksi sekitar lebih
dari 140 juta hektar lahan hutan di seluruh Indonesia. Luas lahan hutan
tersebut mencakup sekitar 70 persen dari luas lahan seluruh
Indonesia. Dimulai dengan pemberian lisensi-lisensi untuk pembalakan kayu dengan 100
% asing di Kalimantan Timur, lalu berlanjut menjadi kewajiban joint venture. Pada 1980, pemerintah mengubah kebijakan kehutanannya dengan
memperkenalkan pelarangan ekspor kayu gelondongan dan mendorong
pengembangan industri plywood. Pendekatan ini kemudian muncul
sebagai kehutanan industrial (industrial forestry) berbasis kayu,
termasuk melalui investasi asing yang sangat menjanjikan untuk mendukung
pembangunan industri berbasis kayu, seperti plywood, dan
perusahaan-perusahaan kertas. Dengan demikian, sektor kehutanan menjadi salah satu sektor
ekstraktif yang strategis. Dari sektor kehutanan ini, rejim Suharto dan
perusahaan-perusahaan penebangan hutan dari dalam dan luar negeri
mengakumulasi kekayaan mereka dengan mengeksploitasi hutan primer untuk
kayu di kepulauan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya
dan pada gilirannya menjadikan mereka konglomerasi nasional (Barr 1998, Dauvergne 1994, Gellert 2010). Ketika Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) diformalkan yang dengan
serangkaian peraturan Menteri Pertanian pada 1980 dan 1981 berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1970, perusahaan-perusahaan swasta
pemegang konsesi-konsesi kehutanan sudah mendominasi secara territorial
kawasan hutan, dan menjadi pembentuk kebijakan kehutanan melalui APHI
(Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia). Di
TGHK pada tahuna 1985 itu Menteri Kehutanan menetapkan pembagian wilayah
hutan berdasarkan pada fungsi-fungsinya. Apa yang dimaksudkan sebagai
hutan tetap dikategorikan menjadi: (1) hutan produksi, ditujukan untuk
diekstraksi untuk mendukung ekspor kayu dan kemudian hutan tanaman
industri (64,3 juta hektare); (2) hutan lindung (30,7 juta hektare); (3)
wilayah konservasi dan hutan cagar alam (18,8 juta hektare); dan (4) hutan
produksi yang dapat diubah peruntukannya (26,6 juta hektare).
Sumber:
Menteri Lingkungan Hidup Kehutanan (2018) “Evolusi Kawasan Hutan, TORA
dan Perhutanan Sosial”, Paparan Menteri Lingkungan Hidup Kehutanan pada
Diskusi Media FMB9 (Forum Merdeka Barat 9), Jakarta, 3 April
2018
Secara khusus, gelombang konservasi hutan dan sumber daya alam serta
ekosistemnya menjadi massif setelah UU 5/1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam dan Ekosistemnya, yang membangkitkan pembentukan taman-taman nasional dan skema-skema konservasi hutan
lainnya, dengan mentargetkan wilayah-wilayah “hutan karismatik“, yakni
hutan-hutan yang telah matang dan juga hutan-hutan yang menjadi rumah dari
konfigurasi spesies-spesies yang langka dan dilindungi (Kartikasari dan
Wiratno 2001).
Sumber:
Menteri Lingkungan Hidup Kehutanan (2018) “Evolusi kawasan Hutan, TORA
dan Perhutanan Sosial”, Paparan Menteri Lingkungan Hidup Kehutanan pada
Diskusi Media FMB9 (Forum Merdeka Barat 9), Jakarta, 3 April 2018
Perubahan praktek pengelolaan hutan politik di kawasan hutan konservasi
oleh KLHK saat ini sedang berubah sehubungan
dengan dipergunakannya prinsip-prinsip baru dalam pengelolaan konservasi
yang diajukan oleh Wiratno sebagai Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan
Ekosistemnya (KSDAE), menantang apa yang dapat disebut sebagai coersive conservastion, dan hak-hak masyarakat adat atas wilayahnya (Peluso 1993). Wiratno
(2010) menegaskan 10 prinsip baru pengelolaan kawasan hutan, yakni
(1) Masyarakat Sebagai Subyek, (2) Penghormatan pada
HAM, (3) Kerja Sama Lintas Eselon I, (4) Kerja
Sama Lintas Kementerian, (5) Penghormatan Nilai Budaya dan Adat, (6)
Kepemimpinan Multilevel, (7) Pengambilan Keputusan Berbasis Sains, (8)
Pengelolaan Berbasis Resort, (9) Penghargaan dan Pendampingan, (10)
Organisasi Pembelajar. Secara tata guna tanah,
tantangan besar untuk melakukan audit pada kawasan hutan konsevasi
ini
Tiga Generasi Pehutanan Sosial
Micah R. Fisher, Ahmad Dhiaulhaq, dan Muhammad Alif K.Sahide
(2019) membagi perjalanan perhutanan sosial menjadi tiga generasi. Generasi
pertama ditandai oleh minat global, berupa artikulasi dan sirkulasi
pengetahuan mengenai community based resource management, yang
diiringi pula oleh proyek-proyek donor yang mensasar komunitas yang
miskin, lemah dan mengalami ekslusi dari pengelolaan hutan oleh negara dan
badan usaha raksasa, dan juga oleh kawasan konservasi. Di Indonesia,
misalnya lembaga Ford Foundation menjadi pembiaya/donor dari studi-studi diagnostik
lokasi-lokasi perhutanan sosial, termasuk di wilayah kerja Perhutani
(Kartasubrata et al 1995). Di periode 1970-an itu, kritik-kritik praktek-praktek kehutanan yang
koersif dan menyingkirkan komunitas bertemu dengan menjadi wacana “Forest
for People” yang menjadi tema The 8th World Forestry Congress, yang diselenggarakan di Jakarta pada tahun 1978. Kongres itu
menghasilkan “Jakarta Declaration,” sebuah penanda penting yang
mengarah pada pemahaman yang lebih besar mengenai sumbangan-sumbangan
kehutanan pada kebutuhan sosial dan ekonomi dan memberi ruang bagi praktek
lokal dari komunitas-komunitas pinggir hutan.
Selanjutnya adalah generasi kedua, yang terbentuk khususnya dipengaruhi
oleh kerja-kerja reformasi di bidang kehutanan masyarakat yang ditandai
oleh pembentukan dua organisasi penting,
yakni: (a) Konsorsium Pendukung Sistem Hutan
Kerakyatan (KPSHK) yang merupakan organisasi berbasis keanggotaan, yang
terbuka untuk LSM dan individu yang bekerja menguatkan community based forest management di berbagai situs. Misalnya, hutan damar di Krui,
Lampung; tembawang di Kalimantan
Timur, Talun di Jawa Barat, dan lain-lainnya; dan (b) dan
Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM), suatu jaringan para
akademisi, organisasi non-pemerintah, donor dan komunitas ahli kehutanan,
yang didirikan 23 September 1997 untuk secara bersama mengartikulasikan
perlunya ruang yang lebih besar bagi akses dan kontrol dan pengelolaan
komunitas atas hutan, sebagai alternatif atas praktek pengelolaan hutan berorientasi pada kayu (forest timber management) yang dikelola oleh perusahaan besar milik swasta dan
pemerintah.
Dalam konteks reformasi perundang-undangan, para eksponen FKKM ini mulai
bekerja mengawal revisi Undang-undang nomor 5/1967 tentang Kehutanan,
walau kemudian kalah bertanding dengan kekuatan Asosiasi Pengusaha Hutan
Indonesia (APHI) yang dipimpin Bob Hasan, dan yang menang adalah draft
revisi RUU Kehutanan versi birokrasi kehutanan di Departemen Kehutanan RI.
Meskipun demikian, sejumlah pasal berkenaan dengan partisipasi masyarakat
berhasil masuk ke dalam UU nomor 41/1999 tentang
Kehutanan. Para eksponen FKKM juga mengambil peran
penasehat dalam program Departemen Kehutanan, khususnya dengan
mengutamakan partisipasi komunitas dalam pengelolaan hutan bersama
masyarakat. FKKM mempromosikan skema Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan
membantu pemerintah membuat contoh-contohnya untuk pertama kali di
berbagai tempat, termasuk dengan bekerja dengan organisasi-organisasi
internasional (Siscawati 2012:249-254).
Generasi kedua ini juga diisi pula dengan kekuatan aktivis dan organisasi
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang didirikan pada tahun 1999.
AMAN mengartikulasikan tuntutan-tuntutan untuk pengakuan hak asal usul
yang dijamin secara konstitusional, termasuk hak-hak tenurial, baik
menyangkut hak kepemilikan atas wilayah adat. Tuntutan AMAN dan dua
komunitas masyaraka adat mengenai kesalahan fundamental UU
41/1999 tentang Kehutananyang memasukan kepemilikan hutan adat sebagai bagian hutan negara ini
telah membuat sidang Mahkamah Konstitusi pada tanggal 16 Mei 2013 membuat putusan yang meralat
pasal 6.1, dan beberapa pasal lain yang terkait, dari UU no 41/1999, dan
menunjukkan bahwa hutan adat adalah bagian dari kategori hutan hak.
Perpindahan kategori dari hutan adat itu, dari “hutan Negara” menjadi
“hutan hak” sama sekali bukan soal yang remeh. Ini adalah pengakuan bahwa
status masyarakat hukum adat adalah penyandang hak, subjek hukum, dan
pemilik sah wilayah adatnya (Rachman dan Siscawati 2014).
Di Jawa, generasi kedua perhutanan sosial terbentuk setelah eksplosi
pembalakan secara besar-besaran dan okupasi penggarapan tanah kawasan
hutan tahun 1998-1999, mengiringi
penggantian rejim penguasa pemerintahan. Dominasi
Perhutani menguasai kawasan hutan saat itu jauh dari stabil, termasuk
karena perlawanan rakyat di desa-desa sekitar
hutan yang sebelumnya dikriminalisasi dan berjuang memperoleh akses atas
hutan di Jawa (Peluso 1992, Lindayanti 2003, Suprapto 2003, Santoso 2004,
Mary et al 2007). Perhutani mengembangkan apa yang disebut sebagai
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) berbasiskan LMDH (Lembaga
Masyarakat Desa Hutan) sebagai programatik untuk melanjutkan penguasaan
Perhutani terhadap masyarakat miskin di desa-desa sekitar kawasan
hutan. Siasat programatik tersebut dijalankan
dengan menyediakan akses terkendali dengan membolehkan petani miskin
memanfaatkan bidang tanah hutan tertentu, melalui tumpang sari hingga
kontrak tahunan untuk dipergunakan bagi penanaman tanaman pangan hingga
wana-tani (agroforestry).
Siasat programatik tersebut telah juga dipergunakan untuk menandingi
gerakan-gerakan sosial pedesaan, seperti Serikat Petani Pasundan (SPP) di
Jawa Barat, yang menuntut pengakuan hak kepemilikan tanah yang diduduki
dan digarap, dan redistribusi tanah-tanah yang dikuasai Perhutani. Dengan
menjalankan program PHBM itu secara masif, Perhutani menyampaikan pesan ke
para eksponen dan pendukung gerakan sosial pedesaan bahwa tanah hutan di
Jawa harus dikeluarkan dari program land reform (Rachman 2019).
Selanjutnya adalah perhutanan sosial generasi ketiga, yang dimulai oleh
pemerintahan Presiden Joko Widodo dengan penetapan target baru alokasi
perhutanan sosial, 12,7 juta hektar, suatu skala terbesar yang pernah
ditargetkan. Dimulai dengan pembentukan direktorat jenderal khusus dalam
bidang perhutanan sosial dan kemitraan lingkungan, Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk menjalankan program perhutanan sosial
pada skala yang belum pernah dialami. Pada mulanya dibuatkanlah peta
indikatif perhutanan sosial. Skema yang diandalkan pada mulanya adalah
Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Desa, dan Kemitraan.
Ditambah lagi, di tahun 2016 dengan satu skema lagi: Hutan Adat.
Menteri Siti Nurbaya juga bekerja bersama sejumlah aktivis, dan birokrat
KLHK membuat skema pengakuan Hutan Adat semenjak desember 2016, sebagai
tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara MK 35/PUU-X/2012
yang mengakui bahwa hutan adat bukan termasuk hutan negara, melainkan
merupakan Hutan Hak (Afiff and Rachman 2019). Laporan resmi perihal
capaian dari target hutan adat hingga November 2019, adalah 24.625 hektar
untuk 51 lokasi (Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2019). Capaian ini
masih sedikit, dan menjadi sumber kritik yang tajam, terhadap dibandingkan
dengan luas wilayah indikatifnya, yakni 877.060 hektar di 98 lokasi. Jauh
sekali bila dibandingkan dengan total wilayah adat yang sudah berhasil
dipetakan oleh Badan Registrasi Wilayah Adat BRWA, sejumlah 10.593.317
hektar di 839 wilayah adat (BRWA 2020).
Total capaian seluruh perhutanan sosial per 31 Desember 2019
adalah 4.048.376,81 hektar dengan 5 skema,
masing-masing Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HK), Hutan Tanaman
Rakyat (HTR), Kemitraan Kehutanan, dan Hutan Adat.
Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan
Badan Pertanahan Nasional (BPN) berada di bawah kepemimpinan Joyo Winoto
pernah mengusahakan untuk mengalokasikan 8,15 juta hektar hutan negara
dari Hutan Produksi Konversi, dan membuat Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) mengumumkannya di pidato resmi 31 Januari 2017.
Sebelumnya, tanggal 28 September 2006, dalam rapat bersama dengan Menteri
Kehutanan, Menteri Pertanian serta Kepala BPN, Presiden SBY telah memimpin
sinergi sektor pertanahan, pertanian dan kehutanan dalam rangka
menciptakan pertumbuhan, mengurangi pengangguran dan menghapus
kemiskinan. Meski telah menjadi arahan Presiden
SBY, namun pada waktu berikutnya birokrasi kehutanan tidak menyokong
Menteri Kehutanan untuk menyetujui pengalokasian tersebut.
Presiden Joko Widodo lah yang mengatasi keenganan pihak kementerian
Kehutanan ikut mengalokasikan tanah Objek Reforma Agraria (TORA) yang
berasal dari kawasan hutan. Presiden mengumumkan alokasiseluas 4,1 juta
hektar. Dan proses identifikasi secara spasial diperolehlah alokasi baru
TORA dari kawasan hutan yang ditaruk dalam peta indikatif target 2015-2019
seluas 4.196.685 hektar, dengan rincian sebagai berikut:
· Dari kewajiban perusahaan yang memperoleh tanah untuk perkebunan dari
pelepasan kawasan hutan mengeluarkan 20 % dari luas yang diperolehnya
untuk kebun rakyat, seluas 437.936 hektar;
· Hutan Produksi yang dapat dikonversi dan tidak produktif seluas 1.834.
539 hektar;
· Program pemerintah untuk pencetakan sawah baru seluas 67.028 hektar.
(Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2019:78)
Selanjutnya, yang juga dikeluarkan dari kawasan hutan, karena
tanah-tanahnya sudah dimanfaatkan oleh rakyat berupa:
· Permukiman transmigrasi beserta fasum-fasosnya
yang sudah memperoleh persetujuan prinsip seluas 502.382 hektar
· Permukiman, fasum dan fasosnya dalam kawasan hutan seluas 642.835
hektar;
· Lahan kepemilikan rakyat berupa sawah dan tambak rakyat seluas 366.504
hektar;
· Pertanian kering yang menjadi sumber mata pencaharian rakyat setempat
seluas 590.000 hektar (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2019:78)
Di November 2019, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, di masa awal periode kedua Presiden Jokowi melaporkan capaiannya ke Menko Maritim, alokasi yang dibuat dalam peta indikatif TORA dari kawasan hutan seluas 4.970.189 hektar, telah dan capaian 2015-2018 mencapai 59%, seluas 2.464.285. Rinciannya ditable berikut ini:
Sumber:
Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan (KLHK). (2019). “Program Strategis 2020-2024”. Rapat Koordinasi Bidang Kemaritiman dan Investasi Jakarta,18 November 2019. Halaman 78.
Salah satu yang memberi andil besar dalam pencapaian itu, adalah kerja
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang ambil inisitaif telah
menyelenggarakan serangkaian proses untuk menyusun Tata Cara Penyelesaian
Penguasaan Tanah di Kawasan Hutan, dengan keputusan bersama Kementerian
Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian
Agraria Tata Ruang (ATR), pada tahun 2014. Inisiatif itu dimulai oleh KPK
sejak 2009, berdasar kesepakatan bersama 12 menteri menjalankan apa yang
kemudian disebut Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam
(GN-PSDA)[2]. Kasus-kasus telah didaftar, contoh penyelesaian dibuat hingga tata cara
dirumuskan sepanjang 2011 sd 2013. Lalu, Keputusan bersama itu menjadi
dasar bagi pembuatan Peraturan Presiden Republik Indonesia. Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan
Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH). Perpres PPTKH inilah yang menjadi kekuatan yang berhasil membuat KLHK
bekerja.
Di tengah egosektoralisme dari kementerian ATR/BPN dengan Kementerian
KLHK, Menko Perekonomian ditunjuk menjadi Ketua Tim Percepatan PPTKH. Dua tahun setelah itu, Menko Perekonomian
mengeluarkan Maklumat 5 Agustus 2019 mengumumkan hasil inventarisasi dan
verifikasi melalui proses penyelesaian PPTKH seluas sekitar 330.000 hektar (dengan skema pelepasan kawasan hutan dengan perubahan tata
batas, pemberian izin Perhutanan Sosial, dan resettlement), bersama dengan pencadangan pelepasan kawasan hutan produksi yang
dapat dikonversi (HPK) yang tidak produktif seluas sekitar 978.000
hektar, menjadi total penyediaan TORA yang berasal dari kawasan hutan
seluas sekitar 1.308.000 hektar (Maklumat Menko perekonomian 5 Agustus 2019 sebagaimana dimuat
dalam Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2019:79)
Daftar Pustaka
Arizona, Yance. 2014. Konstitusionalisme Agraria. Yogyakarta:
STPN Press.
Contreras-Hermosilla, A. & Fay, C. 2005. Strengthening forest management
in Indonesia through land tenure reform: issues
and framework for action. Washington: Forest Trend.
Dauvergne, Peter. 1997. Shadows in the Forest: Japan and the Politics of Timber in Southeast
Asia. Cambridge: MIT Press.
Fay, Chip, Martua Sirait, Ahmad Kusworo (2000). “Getting the Boundaries Right Indonesia’s Urgent Need to Redefine its
Forest Estate”. ICRAF Southeast Asia. Southeast Asia Policy Research Working Paper, No.
25. https://apps.worldagroforestry.org/downloads/Publications/PDFS/RP00134.pdf (last accesed 13 July 2023).
Fasseur, C. 2010. “Dilema Zaman Kolonial: Van Vollenhoven dan Perseteruan
antara hukum Adat dan hukum Barat di Indonesia.” Dalam Adat Dalam Politik Indonesia. Jamie S. Davidson, David Henley dan Sandra Moniaga (editor). Jakarta:
KITLV, Yayasan Pustaka Obor.
Fauzi, Noer dan Dianto Bachriadi. 1998. “Hak Menguasai dari Negara:
Persoalan Sejarah yang Harus Diselesaikan,” dalam Usulan Revisi Undang-undang Pokok Agraria; Menuju Penegakan Hak-hak
Rakyat Atas Sumber-sumber Agraria.Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional dan Konsorsium Pembaharuan
Agraria.
Fauzi, Noer. 1999. Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta: Insist Press bekerjasama dengan Konsorsium Pembaruan
Agraria.
_____. 2002. “Konflik Tenurial: Yang Diciptakan Tapi Tak Hendak
Diselesaikan”. Berebut Tanah: Beberapa Kajian Berperspektif Kampus dan Kampung. Anu Lounela dan R. Yando Zakaria (Eds). Yogyakarta:
Insist Press, Jurnal Antropologi, dan KARSA. Halaman 337-390.
Fisher, M. R., Moeliono, M., Mulyana, A., Yuliani, E. L., Adriadi, A.,
Judda, J., and Sahide, M. A. K. (2018). Assessing the New Social Forestry
Project in Indonesia: Recognition, Livelihood and conservation?. International Forestry Review, 20(3), 346 361. https://doi.org/10.1505/146554818824063014
Fisher, Micah R., Ahmad Dhiaulhaq, dan Muhammad Alif K.Sahide. 2019. “The politics, economies, and ecologies of Indonesia’s third
generation of social forestry: An introduction to the special
section”. Forest and Society. Vol.
3(1):152-170.
Menteri Lingkungan Hidup Kehutanan (2018) “Evolusi kawasan Hutan, TORA
dan Perhutanan Sosial”, Paparan Menteri Lingkungan Hidup Kehutanan pada
Diskusi Media FMB9 (Forum Merdeka Barat 9), Jakarta, 3 April
2018
_____. (2019). “Program Strategis 2020-2024”. Rapat Koordinasi
Bidang Kemaritiman dan Investasi Jakarta,18 November
2019
Kartodiharjo, Hariadi. 2013. Kembali ke jalan lurus; Kritik penggunaan
ilmu dan praktek kehutanan Indonesia. Yogyakarta: Forci Development bekerjasama dengan Penerbit
Tanah Ait Beta.
_____. 2017. “Power Perbaikan untuk Perhutani, Pelajaran dari
Pendampingan Tim KPK” Agro Indonesia 12/9/2017. http://agroindonesia.co.id/2017/09/power-perbaikan-untuk-perhutani-pelajaran-dari-pendampingan-tim-kpk/ (unduh terakhir 10 Januari 2020).
_____. 2019. “Transformasi Politik Kehutanan di Jawa”, Forest Digest 09 September 2019. https://www.forestdigest.com/detail/356/transformasi-politik-kehutanan-di-jawa (unduh terakhir 10 Januari 2020) https://www.forestdigest.com/detail/356/transformasi-politik-kehutanan-di-jawa (unduh terakhir 10 Januari 2019))
Kartodihardjo, Hariadi dan Sudarsono Soedomo. 2020. “Regim Kawasan dan
Politik Realokasi Pemanfaatannya. Tinjauan Historis, Tatakelola, Institusi
dan Birokrasi”. Makalah utama dalam Simposium Nasional
Reforma Agraria implies Reforma Kehutanan Jakarta,
FOReTIKA, 13-14 Januari 2010.
Kartasubrata, Junus, Satyawan Sunito, Didik Suharjito, and Institut
Pertanian Bogor. Pusat Studi Pembangunan. 1995. A State of the Art Report of the Social Forestry Programme in Java :
Research Support to Perhutanan Sosial Program on Forestland in Java,
1984-1992, Bogor, Indonesia: CDS : Perum Perhutani: Ford Foundation.
Kartikasari, Ani dan Wiratno. 2001. Berkaca di Cermin Retak: Refleksi Konservasi dan Implikasi bagi Pengelolaan
Taman Nasional. Boyolali: Forest Press, bekerjasama dengan the Gibbon Foundation dan Pili-Ngo Movement.
Mahkamah Konstitusi. 2013. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
35/PUU-X/2012, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_35%20PUU%202012-Kehutanan-telah%20ucap%2016%20Mei%202013.pdf (Unduh terakhir 22 Oktober 2013)
Mahkamah Konstitusi. 2012. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
45/PUU-IX/2011 http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_45%20PUU%202011-TELAH%20BACA.pdf (Unduh terakhir 22 Oktober 2013)
Mahkamah Konstitusi. 2004. Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/Putusan022PUUI2003.pdf (Unduh terakhir 22 Oktober 2013).
Martin C. Lukas dan Nancy Lee Peluso (2019) “Transforming the Classic
Political Forest: Contentious Territories in
Java” Antipode, A Radical Journal of Geography , Early view https://doi.org/10.1111/anti.12563
Maryudi, A. (2011). The Contesting Aspirations in the Forests: Actors, Interests and Power
in Community Forestry in Java, Indonesia. Universitätsverlag Göttingen.
Peluso, Nancy Lee (1992) Rich Forests, Poor People: Resource Control and Resistance in Java. Berkeley: University of California Press
_____. (1993) “Coercing Conservation?: The
Politics of State Resource Control” Global Environmental Change3(2):199-218.
Peluso, Nancy Lee and Lund Christian (2011) “New Frontiers of Land
Control.” Journal of Peasant Studies 38
(4):667–681
Peluso, Nancy Lee and Peter Vandergeest. 2001. “Genealogies of the
Political Forest and Customary Rights in Indonesia, Malaysia, and
Thailand”, The Journal of Asian Studies 60(3):761-812.
Rachman, Noer Fauzi. 2012. Land Reform dari Masa ke Masa. Yogyakarta: Penerbit Tanah Air Beta dan Konsorsium Pembaruan
Agraria.
_____. 2013. “Rantai Penjelas Konflik-konflik Agraria yang Kronis,
Sistemik, dan Meluas di Indonesia”. BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan, 1-14.
_____. 2017. Petani dan Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik Agraria
Indonesia. Cetakan kedua. Yogyakarta: Insist Press.
_____ (2017). Land Reform dari Masa ke Masa. Edisi kedua.
Yogyakarta: STPN Press.
Rachman, Noer Fauzi, dan Mia Siscawati. 2014. Masyarakat Hukum. Adat adalah Penyandang Hak Subjek Hukum dan Pemilik Wilayah. Adatnya. Yogyakarta: Insist Press bekerjasama dengan Yayasan Asia.
Salim, M. Nazir, dan Westi Utami (2019) Reforma Agraria, Menyelesaikan Mandat Konstitusi. Yogyakarta: STPN Press.
Safitri, Myrna A. 2014. “Hak Menguasai Negara Di Kawasan Hutan: Beberapa
Indikator Menilai Pelaksanaannya,” Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia 1(2):1-21.
Siscawati, Mia. 2012 “Social Movements and Scientific Forestry: Examining
the Community Forestry Movement in Indonesia”. A dissertation submitted in
partial fulfillment of the requirements for the degree of Doctor of
Philosophy University of Washington.
Sodiki, Ahmad. 2013. Politik Hukum Agraria. Jakarta:
Konstitusi Press.
Suharjito, Didik. 2018. “Dramaturgy of Agrarian Reform in Forestry Sector
in Java Indonesia”, IOP Conference Series: Earth and Environmental Science 196 (2018) 012046 doi :10.1088/1755-1315/196/1/012046.
Sumardjono, Maria S.W. 2019. “Omnibus Law” Sumber Daya
Alam. Kompas 28 November 2019.
Supriyanto, B., Karyana, A., Tjiptono, B.H., Dwiyati, N., ....et al.,
(2018). Dampak Perhutanan Sosial Perspektif Ekonomo, Sosial, dan Lingkungan. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan, Direktorat
Jenderal Perhutanan Sosial.
Supriyanto, Bambang. 2019. “Inovasi Kebijakan Perhutanan Sosial untuk
Keadilan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kesejahteraan Masyarakat” Naskah
Orasi Ilmiah Dies Natalis Falutas Kehutanan ke-5, Universitas Sumatera
Utara. Medan.
Termorshuizen-Art, Marjanne 2010. “Rakyat Indonesia dan Tanahnya.
Perkembangan Doktrin Domein di masa Kolonial dan Pengaruhnya dalam Hukum
Agraria Indonesia.” Dalam Hukum Agraria dan Masyarakat Indonesia: Studi tentang Tanah, Kekayaan
Alam, dan Ruang di Masa Kolonial dan Desentralisasi. Myrna A. Safitri dan Tristam Moeliono (editor). Huma, van Vollenhoven
Institute, KITLV: Jakarta.
Vandergeest, P. and N. L. Peluso. 2006. "Empires of Forestry:
Professional Forestry and State Power in Southeast Asia, Part 1." Environment and History 12: 31-64.
———. 2006. "Empires of Forestry: Professional Forestry and State Power in
Southeast Asia, Part 2." Environment and History 12:
359-394.
Vandergeest, Peter, and Nancy Lee Peluso (2015) “Political Forests,”
in the International Handbook of Political Ecology, Raymond Bryant, ed. Cheltenham, UK: . Edward Elgar. pp. 162-175.
Wignjosoebroto, Soetandyo. 1994. Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional: Suatu Kajian tentang Dinamika
Sosial- politik dalam Perkembangan Hukum Selama Satu Setengah Abad di
Indonesia, 1840-1990. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Wirato. 2018. Sepuluh Cara Baru Kelola Kawasan Konservasi di Indonesia: Membangun
‘Organisasi Pembelajar’. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dirjen Konservasi
Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya.
[1] Sebagian telah dimuat dalam Rachman (2013).
[2] GNPSDA berdasar pada Nota Kesepakatan Bersama tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
Indonesia. Ke-12 K/L tersebut, (1) Kementerian Kehutanan, (2)
Kementerian Lingkungan Hidup, (3) Kementerian Dalam Negeri, (4)
Kementerian Pertanian, (5) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral,
(6) Kementerian Hukum dan HAM, (7) Kementerian Pekerjaan Umum, (8)
Badan Pertanahan Nasional, (9) Badan Informasi Geospasial, (10) Komnas
HAM, (11) BAPPENAS, dan (12) Kementerian Keuangan. Penandatanganannya
pada tanggal 11 Maret 2013 bertempat di Istana Negara dan disaksikan
oleh Presiden dan Wakil Presiden RI.
No comments:
Post a Comment