Kredo Agraria, Jiwa Peringatan Tiap-tiap Perayaan Hari Tani

 Noer Fauzi Rachman

Naskah dibuat untuk menyambut Hari Tani Nasional, 24 September 2016  


Kredo Agraria bukanlah suatu doktrin tertentu, tetapi ia mencerminkan harapan-harapan dan aspirasi-aspirasi bergenerasi-generasi petani, agar suatu ketika tanah dapat dinikmati dengan bebas sebebas udara, dan tidak dimiliki siapapun, dan oleh karenanya diperuntukkan bagi semua yang menggarapnya. Bahwa para petani berjuang untuk memiliki tanah dan mendapatkan jaminan atas kepunyaannya, sama sekali tidak bertentangan dengan Kredo Agraria. Itu hanyakan suatu cara menyesuaikan diri dengan sistem-sistem ekonomi dan masyarakat yang bekerja berdasarkan sistem-sistem kepemilikan yang sudah mapan 

Meski sering dikaburkan oleh mitos-mitos dan legenda-legenda lokal, Kredo Agraria itu adalah universal. Ia tidak terikat pada suatu saat waktu atau suatu rangkai isi ajaran tertentu, sesungguhnya ia kuat sekali tertancap di hati para penggarap yang kemudian diungkapkan dengan sadar, dan mendorong kaum lemah melawan para penindasnya”

“Kredo Agraria itu, yang telah sering digunakan dan disalahgunakan dalam berbagai propaganda politik, sesungguhnya berakar kuat di hati rakyat dan menjadi ukuran mereka untuk menilai keberhasilan dan kegagalan pemerintahan nasional 

Tugas yang sangat berat adalah menemukan cara yang paling singkat dan efektif untuk membuka katup energi-energi yang dibutuhkan untuk pembangunan, dan disinilah usaha tak kenal henti untuk mewujudkan Kredo Agraria  sungguh begitu berharga”. 

(Jacoby, 1971:88, 90, 92). 

 

 

I

            Tidak ada satupun hari lahir suatu undang-undang diperingati seperti hari lahir undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, biasanya disingkat dengan nama UUPA 1960. Presiden Republik Indonesia, Sukarno, telah memutuskan tanggal 24 September sebagai Hari Tani. Tanggal 24 September itu dipertimbangkan “merupakan hari kemenangan bagi Rakyat Tani Indonesia, dengan diletakannya dasar-dasar bagi penjelenggaraan Landrefrom untuk mengikis habis sisa-sisa feodalisme dalam lapangan pertanahan, agar rakyat tani dapat membebaskan diri dari macam bentuk penghisapan manusia atas manusia dengan alat tanah, sehingga melempangkan jalan menuju ke arah masyarakat adil dan makmur”. Hari itu “perlu tiap-tiap tahun diperingati secara khidmad, dan dirayakan dengan disertai kegiatan-kegiatan serta penyusunan rencana kerja ke arah mempertinggi untuk meningkatkan taraf hidup rakyat tani menuju masyarakat adil dan makmur”. Demikian dinyatakan dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 169 tahun 1963 tentang Hari Tani. 

            Siapakah sekarang yang memperingati dan merayakannya? Di kalangan pemerintah, hanya Badan Pertanahan Nasional (BPN) Republik Indonesia yang dibentuk semenjak 1988 merayakan 24 September itu sebagai Hari Agraria Nasional yang diisi dengan upacara resmi. Tema, format dan isinya mengikuti arahan Kepala BPN nya itu. Setelah Kementerian Agraria dan Tata Ruang dibentuk oleh Presiden Jokowi, 24 September 2016 dirayakan sebagai Hari Agraria Nasional dan Tata Ruang (Hantaru), dengan tema “Tanah untuk Ruang Hidup yang Memakmurkan dan Menentramkan”. Kementerian Pertanian, yang bertanggungjawab urusan produktifitas pertanian pangan tidak merayakan Hari Tani ini, dan memilih merayakan Hari Pangan Sedunia (HPS) yang jatuh tiap-tiap tanggal 16 Oktober.

            Kelompok-kelompok gerakan sosial  merayakan Hari Tani dengan berbagai jenis kegiatan. Di sejumlah kampung basis, tokoh-tokoh petani merayakan dengan acara syukuran bumi, berdoa-doa, hingga memamerkan hasil panen. Organisasi-organisasi gerakan agraria tingkat nasional dan propinsi  biasa merayakan  dengan kampanye, baik melalui penyampaian unjuk rasa mendatangi pusat-pusat pemerintahan di kota-kota seraya melansir tuntutan-tuntutan, terutama berkenaan dengan konflik-konflik agraria, kriminalisasi para petani dan pembelanya, dan agenda reforma agraria. Para ahli menyampaikan pandangan di seminar, lokakarya dan diskusi-diskusi. Penerbit meluncurkan buku-buku bertema agraria.  

            Peringatan dan perayaan Hari Tani itu akan terus dengan berbagai  bentuknya bisa berbagai macam, ada dimana-nama. 

 

II

Proklamasi kemerdekaaan tanah air Indonesia dari penjajahan dan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia,  didasari oleh suatu sikap mental yang mendasarinya, yakni “Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya,” sebagai disampaikan oleh Soekarno dalam pidato pengantar sebelum membacakan teks Proklamasi 17 Agustus 1945.  Sikap mental untuk tetap setia dengan cita-cita dan terus bekerja berjalan ke arah cita-cita itu, sangat penting untuk terus dihadirkan dan dipelihara, karena pada kenyataannya semangat tersebut dapat kuat-lemah dan  naik-turun. Para pengurus pemerintahan maupun warga negara harus bekerja dengan dasar sikap mental ini, dan mengejawantahkannya dari waktu ke waktu dari kedudukannya masing-masing di berbagai tempat di Kepulauan Nusantara ini.

Bangsa Indonesia berketetapan hati membulatkan tekad untuk merdeka dengan membentuk sebuah negara yang berdaulat, sesungguhnya didasari oleh suatu hasrat kuat untuk mewujudkan suatu “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, yang berdasar pada Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Kelima prinsip dasar Pancasila itu harus menjadi pegangan utama pemerintah bekerja. Elite yang menguasai pemerintahan berganti dari waktu ke waktu, termasuk melalui pertarungan kekuatan melalui pemilu sebagai mekanisme demokrasi.  Tiap-tiap elite penguasa melegitimasikan kedudukan dirinya sebagai pelaksana dari cita-cita pembentukan negara itu,  dengan menghubungkan diri dengan tantangan utama zamannya dan memiliki kerangka rujukan masing-masing dalam penggunaan kekuasaan dalam arti pengaruh dan kewenangan yang dimilikinya sebagai pemerintahan.

 

III

 

            Saat mulai pemerintahan di tahun 2014 situasi agraria nasional menyulitkan petani sehubungan kuatnya arus pemusnahan petani (depeasatization). Lihatlah  jumlah rumah tangga petani dan luas total pertanian rakyat. Apa yang ditunjukkan oleh data sensus pertanian 2013 belum banyak berubah. Jumlah rumah tangga pertanian di Indonesia mencapai 26,13 juta, yang berarti telah terjadi penurunan sebesar 5 juta rumah tangga pertanian, dibandingkan dengan hasil sensus pertanian 2003. Untuk mudahnya, dapatlah kita nyatakan bahwa setiap satu menit satu rumah tangga petani hilang, berganti pekerjaan dari pertanian ke bidang pekerjaan lainnya. Bila kita lihat lebih jauh, laju konversi lahan pertanian rakyat mencapai angka 110.000 ha/tahun (pada rentang 1992-2002). Bahkan melonjak 145.000 ha/tahun pada periode 2002-2006, serta 200.000 ha/per tahun pada periode 2007-2010. Bila ambil saja rata-rata konversi lahan pertanian 129.000 ha/tahun, maka setiap menit, sekitar 0,25 hektar tanah pertanian rakyat berubah menjadi lahan non-pertanian. 

            Kemiskinan yang kronis juga diakibatkan dengan  semakin sempitnya akses atau kemampuan rakyat lapis paling bawah di pedesaan (petani/peladang/nelayan) untuk mendapat manfaat dari tanah, sumber daya alam dan wilayah hidupnya sebagai akibat langsung dari lisensi-lisensi yang diterima perusahaan-perusahaan kehutanan, perkebunan dan pertambangan. Kemiskinan sangat berhubungan dengan ketimpangan ekonomi. Reputasi baru angka Indeks Gini kita tertinggi 0,41 pada tahun 2014 (bandingkan pada tahun 2000 = 0,30). Tahun 2005 dan 2016 mulai turun menjadi 0,408 dan 0,397. Masalah ketimpangan ini menjadi soal utama banyak pemerintahan negara pasca kolonial, dan semuanya berusaha menurunkan ketimpangan, dan memeratakan pendapatan, kekayaan dan pengeluaran. Ketimpangan itu banyak konsekuensinya, termasuk pada penggunaan kekerasan dan insiden-insiden konflik sosial yang bermuara pada ketidakstabilan sosial. 

Saat ini yang menjadi tantangan utama pemerintahan Jokowi-JK adalah perwujudan keadilan sosial. Dengan menyadari banyaknya dimensi keadilan sosial ini, suatu ukuran penting yang diterima sebagai ukuran adalah kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. Laporan survei terbaru Badan Pusat Statistik (BPS), yang diumumkan tengah bulan Juli 2016 lalu, menunjukkan penurunan kemiskinan di daerah pedesaan tidak sebanyak penurunan kemiskinan di perkotaan. Total penduduk miskin berkurang 580.000 orang, sehingga menjadi 28 juta jiwa, 10,86% dari seluruh penduduk. Perhatikan secara khusus yang disebut “indeks kedalaman kemiskinan” dan “indeks keparahan kemiskinan”. Indeks kedalaman kemiskinan  menunjukkan rata-rata pengeluaran orang miskin semakin menjauhi pengeluaran minimum orang yang tidak tergolong miskin. Sedangkan indeks keparahan kemiskinan menunjukkan pengeluaran di antara penduduk miskin itu sendiri. Indeks kedalaman kemiskinan di pedesaan memburuk (2,55 pada Maret 2015, menjadi 2,74 pada Maret 2016), sedangkan indeks keparahan kemiskinan  di pedesaan naik dari 0,71 menjadi 0,79 (Kompas, 19 Juli 2016). 

            Kita harus bisa melihat kemiskinan yang kronis sebagai akibat, bukan hanya sebagai kondisi. Kemiskinan kronis itu merupakan akibat dari berbagai mekanisme yang menjadikan orang-orang miskin tidak bisa memperoleh pendapatan sebagaimana semestinya. Mekanisme-mekanisme itu mencakup biaya produksi pertanian/peternakan/perikanan rakyat yang semakin lama semakin tinggi tidak sebanding dengan harga jual. Ongkos input produksi yang semakin mahal harganya. Di sektor pertanian, pemerintah menyediakan subsidi untuk pupuk pertanian, tapi belum cukup menolong nilai tukar petani jadi mampu membuat petani gurem punya surplus dan tabungan yang cukup dari produksi pertaniannya. Untuk nelayan kecil, masalah utama adalah biaya untuk bahan bakar dan alat tangkap. Rantai pasokan komoditas di antara produsen dan konsumen, menciptakan ekonomi rente tersendiri. Walau harga komoditas di konsumen tinggi tapi tetap harga di produsen rendah. Untung dari para pengumpul dan pedagang tidak dinikmati produsen. 

 

 

                                                                             IV


            Pemerintah saat ini hadir mengurus kemiskinan  dengan berbagai skema. Pertama, subsidi-subsidi dari pemerintah untuk orang miskin menjangkau pelayanan dasar, seperti subsidi listrik, subsidi bahan bakar dan gas, Bantuan Tunai Langsung, Program Keluarga Harapan, Subsidi Pupuk, dan sebagainya, belum sampa disatukan dan diterima dalam satu paket instrumen yang secara langsung bisa diterima rumah tangga miskin, berdasarkan nama dan alamat (by name, by address).  Kedua, adalah paket-paket intervensi fiskal, melalui dana desa, kredit usaha rakyat, dan skema-skema fiskal lainnya. Ketiganya perlu diintegrasikan ke dalam satu perencanaan pembangunan pedesaan untuk mengatasi kemiskinan, dan diintergrasikan dengan pembangunan wilayah untuk mengatasi ketimpangan.

, redistribusi lahan dan legalisasi hak atas tanah seluas 9 juta hektar, dan pemberian akses pemanfaatan lahan dalam kawasan hutan negara seluas 12,7 juta hektaryang disertai dengan penatagunaan tanah dan penciptaan kekuatan-kekuatan produktif baru di desa-desa. Dan, ketiga,

Bagi orang desa, sekolah adalah jalur utama untuk memutus rantai kemiskinan. Semakin tinggi tingkat pendidikan sekolah  orang desa, semakin kuat pula motivasi dan dorongan mereka untuk meninggalkan desanya. Tidak ada minat mereka untuk kerja di sektor pertanian. Desa ditinggalkan pemuda-pemudi yang pandai, termasuk untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Mereka inilah yang semakin memenuhi kota-kota kabupaten, provinsi dan metropolitan. Kita mendapati kenyataan bahwa mereka yang berhasil menjadi kelas menengah di kota-kota tidak kembali ke desa, dan terus hidup di kota dengan mempunyai rumah/apartemen untuk tinggal, serta kendaraan baru terutama motor untuk transportasi. Infrastuktur jalan dari pinggir kota ke dalam kota tidak lagi memadai. Di jalan masuk ke kota-kota propinsi, terjadi macet di mana-mana setiap pagi pada jam pergi menuju pusat kota dan jam pulang menuju pinggiran kota. Mereka yang kurang berhasil, menjadi bagian dari cadangan tenaga kerja alias pengangguran, dan bekerja pada sektor informal.            

 

                               V

        Proklamasi kemerdekaaan tanah air Indonesia dari penjajahan dan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia,  didasari oleh suatu sikap mental yang mendasarinya, yakni “Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya,” sebagai disampaikan oleh Soekarno dalam pidato pengantar sebelum membacakan teks Proklamasi 17 Agustus 1945. B  angsa Indonesia berketetapan hati membulatkan tekad untuk merdeka dengan membentuk sebuah negara yang berdaulat, sesungguhnya didasari oleh suatu hasrat kuat untuk mewujudkan suatu “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, yang berdasar pada Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Kelima prinsip dasar Pancasila itu harus menjadi pegangan utama dalam bekerja, termasuk saat kita menghadapi gelombang yang memperbesar ketimpangan. Modal utamanya adalah teguh pada cita-cita keadian sosial, kritis dalam memikirkan mekanisme-mekanisme yang memperbesar ketidakadilan sosial, dan terus memperbarui mengusahakan cara-cara  mengatasi ketimpangan dan proteksi pada orang miskin terutama yang berada di pedesaan. 

            Sikap mental untuk tetap setia dengan cita-cita dan terus bekerja berjalan ke arah cita-cita itu, sangat penting untuk terus dihadirkan dan dipelihara, karena pada kenyataannya semangat tersebut dapat kuat-lemah dan  naik-turun. Para pengurus pemerintahan maupun warga negara harus bekerja dengan dasar sikap mental ini, dan mengejawantahkannya dari waktu ke waktu di berbagai posisi dan tempat di Kepulauan Nusantara ini. *)

            

 

 

No comments:

Post a Comment