Masalah Hak Ulayat dalam Kajian dan Kebijakan Pertanahan Nasional



Noer Fauzi Rachman

Perluasan dari sajian Noer Fauzi Rachman dalam International Conference on Land Acquisition, “Global Trend on Compulsory Acquisition of Unregistered and Customary Lands. How to Avoid a Costly Delay while Promoting Fairness for All?”, World Bank East Asia & Pacific (EAP) and the Republic of Indonesia’s Ministry of Agrarian Affairs and Spatial Planning, Jakarta 1 December 2022. Rekaman konferensi dapat ditonton selengkapkan International Conference On Land Acquisition on www.youtube.com. Tulisan ini juga adalah perluasan dari naskah penulis “Perjuangan Pengakuan Hak Ulayat”, Kompas 18 Oktober 2022, Perjuangan Pengakuan Hak Ulayat

Tulisan penulis dedikasikan sebagai hadiah ungkapan terima kasih saya untuk Prof. Endriatmo Sutarto, yang telah membantu saya melalui berbagai cara bisa meneliti politik dan kebijakan agraria untuk keperluan disertasi (2007-2009), mengembangkan Lingkar Belajar Bersama Reforma Agraria (LIBBRA) sepanjang beliau memimpin Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) 2006-2012, dan sepanjang saya memimpin Sajogyo Institute (2012-2014).


Abstract

            The article elucidates aspects of past and present issues on the recognition and the denial of Hak Ulayat in colonial dan post-colonial Indonesia. The purpose of this article is (a) to elucidate how a legacy of particular discourse in colonial agrarian politics has contemporary relevance for current land, resources and territorial struggles, as well as government policy, regulation, and programs; and (b) to explicate ontological differences between modern, capitalistic and market oriented property, and customary (b) to explicate ontological differences between modern conception of private property rights  and customary property rights, and (c) to show the way in which the ontological differences lead to the need for a new methodology for valuation of customary lands, territories, and natural resources owned by indigenous communities in Indonesia.

            The opening of the paper will uncover contemporary criticism on the new legal scheme to covert Hak Ulayat into Hak Pengelolaan (HPL), launched by Profesor Maria S.W. Sumardjono, a prominent land legal scholars and currently senior advisor of Minister of Agrarian Affairs and the Head of Natinal land Agency (NLA).  The criticism is related to the nature of Hak Ulayat as land right as original right (hak asal usul, hak bawaan) and Hak Pengelolaan (HPL) as a particualar right given by state institution (hak berian). Converting Hak Ulayat as HPL is a form of state-ization (negara-isasi) of orginal land, resource and territorial rights of indigenous communities (masyarakat hukum adat).

            The article will (a) traces the intelectual origin of Hak Ulayat as counter-discourse against Domein Verklaring, by showing the significant contribution of Cornelis van Vollenhoven, and the first generation of Indonesian jurists, as interlocutors of Adat Law school for post-colonial Indonesia; (b) expose segment of critical conversations on the way two current government insitution, i.e. the Ministry of Environment and Forestry and the National Land Agencies, responded to the agenda of the recognition of Hak Ulayat; (c) to critically examine how discourse of Hak Ulayat is a simplified representation by which government institutions have difficulties related to the complexity of adat lands. A sociological-anthropological research by Faculty of Law, Universitas Gajah Mada (UGM) helps us to uncover the complexity of tanah-tanah adator customary lands in Bali and East Nusa Tenggara Timur; and lastly, (d) to explicate ontological differences between modern conception of private property rights and customary property rights, and those lead to the need for a new methodology for valuation of customary land, territory and natural resources.

 

 

Pengantar 

             

“Sesungguhnya agak aneh alias janggal kalau negara sampai tak mengakui eksistensi masyarakat adat dengan segenap hak-haknya itu. Tak lain karena masyarakat adat itu – juga di negeri ini – telah hadir di dalam kenyataan sejarah jauh lebih dahulu daripada suatu organisasi kekuasaan supra struktural yang kini disebut negara (baik yang kolonial maupun yang nasional) …

Pengakuan oleh negara atas hak-hak tanah masyarakat adat pada hakikatnya adalah suatu refleksi kesediaan para pengemban kekuasaan negara untuk mengakui eksistensi masyarakat adat yang otonom, dan kemudian daripada itu juga untuk mengakui hak-hak masyarakat itu atas tanah – dan segenap sumberdaya alam yang ada di atas dan/atau di dalam tanah itu – yang bernilai vital untuk menjamin kelestarian fisik dan nonfisik masyarakat tersebut.
Soetandyo Wignjosoebroto (1998) [1]

            Debat mengenai cara bagaimana pengakuan atas hak-hak tanah milik masyarakat adat tetap merupakan isu publik yang penting, menarik dan ramai. Guru Besar Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada (UGM), Maria SW Sumarjono menulis artikel "Tata Kelola Pertanahan Pasca-UUCK" di koran Kompas 16/3/2021 mengkritik pengaturan pemberian Hak Pengelolaan (HPL) atas tanah-tanah ulayat sebagaimana termuat dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 18/2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah. PP itu memberi kewenangan Badan Pertanahan Nasional (BPN) membuatkan skema Hak Pengelolaan (HPL) untuk tanah-tanah yang dilekati kewenangan hak ulayat dari masyarakat hukum adat.  

            Sumarjono (2021) mengkritisi pemberian HPL itu, yang didasari oleh suatu proses negaraisasi hak atas tanah-tanah ulayat kepunyaan Masyarakat Hukum Adat (MHA), dan kemudian BPN memberikan HPL atas tanah-tanah ulayat tersebut. 

“Labelisasi HPL atas tanah ulayat itu justru menegaskan tentang bentuk pengingkaran kedudukan tanah ulayat dalam konsepsi Hak Menguasai Negara ketika berbicara tentang hubungan antara negara dengan tanah yang melahirkan tiga entitas tanah, yakni tanah negara, tanah ulayat, dan tanah hak (Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 jo. Pasal 2 dan Penjelasan Umum II.2 UUPA). 

Masing-masing entitas punya kewenangan yang melekat pada karakternya. Menetapkan hak ulayat menjadi HPL itu sejatinya mereduksi kewenangan MHA yang inheren/melekat pada dirinya, menjadi “sebagian kewenangan negara yang dilimpahkan” kepada MHA. MHA tak memerlukan pelimpahan kewenangan negara!

Menyamakan MHA sebagai Badan Penguasa adalah kekeliruan mendasar. Dalam menjalankan kewenangannya yang hakiki, MHA memandang tanah ulayat sebagai kepentingan bersama (hak kolektif), berbeda dengan HPL yang berciri individualistik!”

            Selanjutnya, Sumarjono (2021) menegaskan isi pasal PP No. 18 Tahun 2021 itu merupakan gagasan yang buruk. Proses menjadikan tanah ulayat yang dilekati “hak asal usul” atau “hak bawaan” dari masyarakat adat, kemudian menjadi milik negara dan berada dalam kewenangan pemerintah pusat, saya istilahkan sebagai “negaraisasi”.[2]  

            Guru besar Law and Society in Indonesia di KITLV – Leiden University, dan Kepala Department of the Van Vollenhoven Institute for Law, Governance and Society, Adriaan Bedner (2021), menghubungkan artikel Maria S.W. Sumarjono (2021) yang disebut di atas itu dengan karya kritik Cornelis van Vollenhoven terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda.  Menurut Bedner (2021:365-366), PP No. 18/2021 mengubah sifat kepemilikan, yang bisa berakibat fatal, jika masyarakat adat pemegang hak pengelolaan memberikan konsesi kepada perusahaan tertentu, misalnya perkebunan, setelah konsesi berakhir, tanah tersebut akan menjadi milik negara dan tidak dikembalikan kepada masyarakat. Brenner (2021:366) menyebut bahwa isu yang sangat penting bagi masyarakat adat, dan telah menjadi bahan perdebatan sejak zaman kolonial, sebagaimana diartikulasikan secara lantang oleh Cornelis van Vollenhoven. 

            Memang, sesungguhnya apa yang saya namakan proses “negaraisasi” ini merupakan sumber dari konflik-konflik tenurial yang membuat banyak masyarakat adat menderita, seperti yang saya kemukakan dalam sejumlah naskah (Fauzi 2000, 2002, Rachman 2013), dan termasuk pada saat pemberian keterangan ahli pada sidang Mahkamah Konstitusi 6 Juni 2012 atas perkara nomor 35/PUU-X/2012  yang memeriksa perkara berkenaan status kepemilikan dari Hutan Adat di UU 41/1999 tentang Kehutanan. https://www.huma.or.id/uncategorized-id/meralat-negaraisasi-tanah-adat (unduh terakhir pada 2 November 2022). 

            Baru-baru ini saya menulis di Kompas 18/10/2022  “Perjuangan Pengakuan Hak Ulayat”, menanggapi seruan Guru Besar Antropologi Politik Komparatif dari University of Amsterdam, Ward Berenschot di Kompas (20/7/2020), “150 Tahun Belenggu atas Hak Tanah”. Berenschot menasehati sudah saatnya Indonesia berupaya “lebih serius menghapuskan warisan kolonial domein verklaring 1870”, setelah ia menunjukkan dampak negatif domein verklaringterhadap kesejahteraan dan kualitas hidup jutaan masyarakat Indonesia sejak dideklarasikan pada tahun 1870. 

            Sebagai wacana, ”hak ulayat” ini adalah konsep tanding atas domein verklaring yang termuat dalam Undang-undang Agraria (Agrariasche Wet) 1870 itu, dan saat ini beresonansi dengan suara dari pelaku-pelaku gerakan sosial. Saya berargumentasi bahwa  konsep “hak ulayat” sesungguhnya tetap relevan sebagai konsep tanding yang menjadi satu kerangka utama (master frame) dari teriakan-teriakan kaum tertindas atas politik agraria kolonial dan paska-kolonial, dan menjadi kekhasan dari masyarakat Indonesia.

            Di bagian awal artikel ini, saya akan mengajak pembaca menengok ke belakang, dengan menunjukkan asal-usul intelektual dari Hak Ulayat, dengan pertama-tama menunjukkan andil Cornelis van Vollenhoven dan para juris pertama Indonesia. Selanjutnya, artikel ini menyajikan secara ringkas bagaimana debat akademik terus berlanjut mengenai andil dari Cornelis van Vollenhoven, serta bagaimana perjalanan terkini dari perjuangan pengakuan Hak Ulayat tersebut, termasuk konsekuensi dari putusan Mahkaman Konstitusi (MK) atas perkara nomor 35/PUU-X/2012.  Terakhir, adalah refleksi penulis mengenai apa yang perlu dilakukan, termasuk menyinggung bagaimana Hak Ulayat dipahami dan diberikan status legalnya.

Menengok ke Belakang, Memahami Asal-usul Intelektual Hak Ulayat

            Pembentukan negara kolonial memerlukan pejabat-pejabat kolonial yang mampu terus-menerus menaklukan dan memperlancar eksploitasi kekayaan wilayah koloni, selain tentunya melaporkan kondisi wilayah koloniya. Selanjutnya, pengetahuan mengenai kebudayaan-kebudayaan dan masyarakat-masyarakat di negeri-negeri yang dijajah dihasilkan melalui berbagai pendekatan dan metodologi yang dikembangkan oleh perguruan-perguruan tinggi di negeri induk. Para sarjana hukum orang Indonesia yang dididik di lembaga-lembaga perguruan tinggi di Belanda atau negara induk lainnya pada mulanya mulai mempelajari pengetahuan-pengetahuan kolonial ini, dan metoda-metoda produksi pengetahuan-pengetahuan tersebut. 

            Saya belajar dari disertasi Upik Djalins di Cornell University, berjudul Subjects, Law Making And Land Rights: Agrarian Regime and State Formation In Late-Colonial Netherlands East Indies, mengenai pembentukan rezim agraria kolonial Hindia Belanda tahun 1870-1939. Ia memperlihatkan cara khusus pembentukan negara kolonial Hindia Belanda antara tahun 1870 dan 1939, dengan menggunakan lensa perampasan tanah yang digerakkan oleh aturan hukum kolonial.[3] Ia menunjukkan bagaimana dalam rejim agraria kolonial bukan hanya ada penjajah yang tampil berperan, tapi juga kaum terjajah berpartisipasi secara aktif. Proses pembentukan negara kolonial tidak hanya terdiri dari aliran dominasi terus menerus secara satu arah. Sebaliknya, pembentukan negara kolonial muncul sebagai kurva dari denyutan kekuasaan, satu saat denyutnya tinggi dan meluas, selanjutnya merendah dan menyempit, dan sebagai interaksi organ kekuasaan negara kolonial dalam hubungan subyek-subyek dari pihak yang terjajah. Dengan demikian, jelas pembentukan negara kolonial sesungguhnya bukan proses yang monolitik dan tunggal. Disertasi Upik Djalins ini  mengedepankan peran aktif subjek-subjek yang  terjajah, cara-cara artikulasi, dan strategi sehari-hari mereka dalam  rezim agraria kolonial. Disini, batas-batas antara "negara" dan "subyek" menjadi terkaburkan, di tengah konvergensi dan ketegangan antara penjajah dan kaum yang dijajah.  

            Sebagian dari subyek-subyek itu adalah para ahli hukum pribumi murid-murid dari Cornelis van Vollenhoven (1874-1933), guru besar hukum adat di Leiden University, Belanda. Ia dikenal sebagai pilar utama dari adat rechtsschooldi Belanda, dan memiliki 78 mahasiswa PhD, termasuk enam warga Indonesia. Van Vollenhoven mengajar beberapa mata kuliah penting di Leiden University, diantaranya Hukum Konstitusi Hindia Belanda (Staatsrecht van Nederlandsch Indie) dan Hukum Adat Hindia Belanda (Adatrecht van Nederlandsch Indie) (Jaarboekje 1929). Di antara buku-buku yang ditulisnya, yang paling terkenal adalah tiga volume Het Adatrecht van Nederlansch-Indie yang diterbitkan antara tahun 1908 dan 1933, De Indonesiër en zijn grond (1919), Miskenningen van het Adatrecht (1926) dan De Ontdekking van het Adatrecht (1928). 

            Disini kita akan secara khusus meninjau pengaruh naskahnya De Indonesiër en Zijn Grond (1919). Naskah ini pada mulanya adalah suatu pamflet akademik untuk menjegal usulan amandemen pasal 62 Regeringsreglement 1854 (Konstitusi Hindia Belanda 1854), yang akan berakibat pada dihapuskannya perlindungan atas hak-hak atas tanah masyarakat pribumi, khususnya di luar Jawa dan Madura. Rancangan amandemen itu diajukan di bulan Mei 1918 pada majelis rendah (Tweede Kamer) Belanda, dan diprakarsai oleh GJ Nolst Trenite, penasihat hukum masalah agraria di Binnenlands Bestuur (kementerian dalam negeri Hindia Belanda). Rancangan amandemen itu mengusulkan penghapusan paragraf tiga yang berisikan klausul perlindungan atas hak-hak agraria masyarakat pribumi. 

            Meski mereka menyandang identitas kolonial, kaum pribumi ahli-ahli hukum ini juga mengusung konsep diri nasional. Setelah mumpuni mempelajari secara kritis cara-cara kerja negara kolonial, khususnya dalam penguasaan tanah dan tenaga kerja, mereka bisa mengartikulasikan gagasan politik hukum baru pasca-kolonial, mulai dari merumuskan filosofi, asas-asas hingga skema-skema penguasaan tanah yang diberlakukan dalam negara yang baru dimerdekakan secara revolusioner itu.

            Yang dibahas disini adalah konsep beschikkingsrecht, sebagai tandingan atas domein verklaring. Pada masanya, Van Vollenhoven dengan lantang berjuang agar pemerintah dan masyarakat Belanda dapat melihat cara rakyat pribumi hidup dalam hukumnya sendiri. Ia membantah keras anggapan bahwa hukum Barat yang diterapkan terhadap rakyat pribumi akan berarti memperkaya peradaban rakyat pribumi yang “hidup tanpa hukum”. Ia menolak anggapan bahwa rakyat pribumi “hidup tanpa hukum”, dan menentang segala usaha administrasi kolonial untuk mengabaikan eksistensi hukum-hukum adat. Lebih dari itu, ia mempromosikan pengakuan eksistensi masyarakat hukum adat, hukum adat itu sendiri, dan hak-hak penguasaan atas wilayah adat yang dinamakannya beschikkingsrecht.

             Naskah Indonesiër en Zijn Grond (1919), menguraikan pelanggaran hak dan ketidakadilan (onrecht) yang dialami masyarakat pribumi lewat pelaksanaan hukum agraria yang secara sistematis mengekang hak penguasaan rakyat atas wilayah adatnya. Hal ini menciptakan ketidakpastian hukum yang sangat serius dan membangkitkan banyak kebencian rakyat.   Menurut van Vollenhoven, perampasan tanah yang terjadi dimana-mana dan secara besar-besaran itu mendapatkan pembenaran melalui penyalahtafsiran secara sistematis atas hak penguasaan atas wilayah adat (beschikkingsrecht) oleh administrator kolonial yang melaksanakan perundang-undangan agraria. Naskah van Volenhoven ini telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia, Orang Indonesia dan Tanahnya (Yogyakarta: Insist Press 2020), dengan uraian pengantar tentang arti penting naskah itu oleh Upik Djalins dan Noer Fauzi Rachman (2020).

            Koran-koran nasionalis di akhir 1920-an banyak mengangkat kritik atas politik agraria kolonial dengan mengangkat kesengsaraan rakyat pribumi yang diakibatkannya. Dapatlah dikemukakan disini bahwa kesadaran dan kefasihan kaum intelektual nasionalis, termasuk para penulis di koran-koran nasionalis di atas, menyoal topik ini sesungguhnya sangat mengesankan. Cukup masuk akal untuk menyimpulkan bahwa kefasihan para cendekiawan pribumi atas masalah politik agraria dan akibatnya pada rakyat pribumi itu dipengaruhi pula oleh berbagai naskah yang dibaca dan didiskusikan secara mendalam, termasuk mengacu pada karya Indonesiër en Zijn Grond (lihat: Djalins dan Rachman 2012 “Pengantar untuk Membaca Karya van Vollenhoven 1919 Orang Indonesia dan Tanahnya”, dalam van Vollenhoven (2012) Orang Indonesia dan Tanahnya: Yogyakarta: STPN Press bekerjasama dengan: Yogyakarta: STPN Press bekerjasama dengan

 

Andil van Vollenhoven yang diperdebatkan 

            Debat mengenai andil dari van Vollenhoven ini penting disimak. Peter Burns dalam disertasi yang kemudian menjadi buku. The Leiden Legacy: Concepts of Law in Indonesia (Leiden: KITLV Press, 2004) menilai bahwa hukum adat adalah mitos yang ditemu-ciptakan (invented) di masa kolonial, yang mustinya ditinggalkan. Ia  dengan gigih menegaskan pembedaan antara adat dan hukum. Dengan menggunakan definisi hukum dalam arti sempit, dalam tulisan lain ”Adat Mendahului Semua Hukum”, Burns beranggapan bahwa warisan van Vollenhoven melalui fenomena hukum adat hanya memiliki peran pada tataran ideologi untuk menciptakan “mitos sakral tentang identitas bagi orang-orang Indonesia dalam perjuangannya merebut kemerdekaan” (Burns 2010 “Adat yang Mendahului Semua Hukum”dalam Adat dalam Politik Indonesia, Jakarta: KITLV Jakarta/Yayasan Obor Indonesia).  

            Tanggapan atas kritik Peter Burns itu datang dari Franz Von Benda-Beckmann dan Keebet Von Benda-Beckmann (2011) “Myths and Stereotypes about Adat Law: A Reassessment of Van Vollenhoven in the Light of Current Struggles over Adat Law in Indonesia” Bijdragen Tot de Taal-, Land-En Volkenkunde 167 (2–3) halaman 167–95. Mereka berargumen bahwa sumbangan penting dari van Vollenhoven adalah usahanya membangun klasifikasi yang sistematis dari data-data tentang adat. Klasifikasi itu memungkinkan konsep-konsep seperti inlandsch bezitsrecht dan beschikkingsrecht muncul secara lebih substantif karena dikaitkan dengan “keberadaan struktur politik, klaim terhadap properti komunal, dan tanggung jawab pada orang luar atas kerusakan-kerusakan” (Benda-Beckmann 2008:9). Terlepas dari pengakuan pemerintah kolonial atau cendekiawan Leiden, Benda-Beckman melihat hak penguasaan atas wilayah adat di berbagai wilayah di Hindia Belanda adalah nyata adanya, dengan keragaman bentuk dan tingkat kecanggihan praktik antar satu tempat ke tempat lainnya. Kritik-kritik terhadap beschikkingsrecht sebagai “hasil ciptaan” para ahli hukum Belanda dinilai Benda-Beckmann sebagai kegagalan menempatkan konsep itu dalam konteks waktunya (Benda-Beckmann 2008: 19). 

            Selanjutnya, Adriaan Bedner (2021) dalam "Legal pluralism in pursuit of social justice: Cornelis van Vollenhoven and the continued relevance of his legacy in contemporary Indonesia", Quaderni fiorentini per la storia del pensiero giuridico moderno 50(1):365-398, menunjukkan andil Van Vollenhoven pada agenda pengakuan hukum adat merupakan hal yang penting untuk melindungi orang Indonesia dari perampasan, termasuk sebagai praktek kolonial dalam hubungan dengan domein verklaring, dan satu-satunya cara untuk menyelamatkan orang Indonesia dari kehilangan tanah mereka adalah dengan mendapatkan pengakuan atas bentuk kepemilikan mereka sendiri. Kuncinya adalah pengakuan atas beschikingrecht, yang memiliki sifat publik dan sekaligus privat. Van Vollenhoven menunjukkan bagaimana undang-undang Belanda dan interpretasinya oleh otoritas negara Hindia Belanda telah menyebabkan ketidakpastian hukum yang meluas – menyangkal klaim bahwa hukum Eropa akan membuat kepemilikan tanah lebih aman.

“… perdebatan tentang hukum pertanahan dan pluralisme hukum di Indonesia saat ini telah dibentuk oleh keilmuan Van Vollenhoven dan pengaruhnya terhadap kebijakan hukum kolonial. Bukti relevansinya adalah bahwa 75 tahun mempromosikan unifikasi hukum belum menghapus pluralisme hukum. Alasan utamanya adalah bahwa konflik-konflik yang disebabkan oleh kolonialisme tidak pernah terselesaikan: kebangkitan kapitalisme dan tuntutannya akan hak-hak kepemilikan yang terjamin terus melemahkan penguasaan tanah dan mata pencaharian 'orang kecil'; dan munculnya negara modern yang ingin menyatukan bangsa tetapi masih menghadapi penduduk yang punya gagasan yang saling bertentangan tentang apa yang pantas atau diinginkan.”

 

Memikirkan Kembali Agenda Pengakuan Hak Ulayat

            Disertasi Yance Arizona, Rethinking Adat Strategies: The Politics of State Recognition of Customary Land Rights in Indonesia (Leiden University, 2022) penting untuk disimak. Disertasi ini berangkat dari asumsi bahwa bagaimana kerangka hukum negara menindas hak ulayat dari waktu ke waktu, semenjak masa kolonial hingga saat ini. Ia menunjukkan bahwa (semenjak reformasi) banyak ahli dari organisasi masyarakat sipil telah mempromosikan strategi pengakuan negara atas wilayah adat melalui kampanye untuk mengubah kebijakan dan perundang-undangan, serta secara langsung membantu pengorgansian masyarakat adat, berbasiskan kasus-kasus sengketa dan konflik tanah yang nyata. Berbasiskan pada studi kasus konflik tanah di tiga lokasi yakni Pandumaan-Sipituhuta (Sumatera Utara), Kasepuhan Karang (Banten), dan Komunitas Cek Bocek (Pulau Su  mbawa, NTB), keberhasilan pengakuan terhadap wilayah adat sesungguhnya terbatas. Ia menunjukkan bahwa proses pengakuan hukum hak atas tanah ulayat terlalu rumit dalam menyelesaikan pengaturan sengketa dan konflik pertanahan. Selain itu, faktornya adalah persaingan kepentingan di antara anggota masyarakat dan perubahan strategi mereka dalam menghadapi konflik dan sengketa klaim tanah yang dihadapi. Mengejar pengakuan hukum atas wilayah adat tentu membuat masyarakat adat harus mengikuti tahapan dan prosedur yang berada di bawah kendali sistem hukum negara. Ini berakibat: alih-alih memperoleh otonomi, masyarakat adat berisiko masuk dalam kerumitan proses pengakuan hukum yang jauh dari jangkauan. 

            Advokasi kebijakan dan promosi pengakuan negara atas wilayah adat sampai pada Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, dan dua komunitas adat anggota AMAN, memperkarakan sejumlah pasal dalam UU nomor 41/1999 tentang Kehutanan, berkenaan dengan  status kepemilikan hutan adat, dan cara pengakuan keberadaan masyarakat adat, melalui perkara No 35/PUU-X/2012 di pengadilan Mahkamah Konstitusi. Walhasi, pada 16 Mei 2013,  MK menetapkan bahwa hutan adat tidak lagi diklasifikasikan sebagai hutan negara. Putusan MK tersebut menyebutkan bahwa hutan adat bukan lagi bagian dari hutan negara, melainkan bagian dari hutan hak (Pasal 5 ayat (1)). Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat (Pasal 1 angka 6). Hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya (Pasal 5 ayat (3)). 

            Putusan MK 35 ini menandai babak baru perjuangan perolehan pengakuan negara terhadap masyarakat hukum adat di Indonesia (Rachman 2012. “Masyarakat Adat dan Perjuangan Tanah-Airnya.” Kompas 11 Juni 2012). Putusan MK 35 tersebut menegaskan norma konstitusi mengakui masyarakat adat sebagai penyandang hak, subjek hukum dan pemilik wilayah adatnya. Putusan tersebut memberikan pengakuan hukum bagi status kepemilikan atas hutan adat yang sebelumnya diklaim penguasaannya oleh negara dan dialokasikan untuk beragam peruntukan, baik untuk kepentingan produksi berskala industri maupun kepentingan konservasi yang menempatkan pelestarian lingkungan di atas keadilan sosial. Lebih jauh, putusan MK tersebut perlu dimaknai sebagai pemulihan kewarganegaraan masyarakat adat.[4]

            Namun, Putusan MK 35 secara aktual memiliki celah yang mempersulit. Celah tersebut bersumber dari ditolaknya permohonan peninjauan kembali atas prosedur pengakuan wilayah adat (yang di dalamnya termasuk “hutan adat”) sebagaimana tercantum pada UU Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 67 ayat (2) dan (3). Penolakan tersebut secara tidak langsung memberi kesulitan berkenaan dengan masyarakat adat harus memasuki arena kebijakan dan politik yang jauh dari jangkauan kemampuan mereka sendiri. Bayangkan bagaimana beratnya cara pengakuan atas keberadaan masyarakat adat harus ditetapkan oleh Peraturan Daerah (kabupaten atau propinsi).[5]

            Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) di bawah kepemimpinan menteri ibu DR. Siti Nurbaya Bakar, menindaklanjuti putusan MK itu adalah dengan mengeluarkan skema Hutan Adat. Penyerahan penetapan pertama skema Hutan Adat ini dilakukan oleh Presiden Joko Widodo 30 Desember 2016 di Istana Negara.  Sejak Desember 2016 hingga Agustus 2022, penetapan hutan adat telah mencakup jumlah 76.270 hektar, 44.997 kepala keluarga (KK), dalam 102 unit (90 unit telah memiliki Surat Keputusan Menteri, dan 12 unit lagi sedang di proses). Total luasan yang menanti untuk ditetapkan, dan sudah ada dalam Peta Hutan Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat fase ke-IV, mencapai 1.152.600 hektar.[6]

            Jumlah realisasi SK penetapan hutan adat masih kecil sekali. Bandingkan dengan hasil kerja Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), dibanding peta partisipatif wilayah adat yang dari waktu ke waktu semakin membanyak, hingga Agustus 2022, mencakup 1.119 unit dengan luas wilayah adat 20,7 juta hektar. Peta wilayah adat ini tersebar di 29 provinsi dan 142 kabupaten/kota.  Selain itu, BRWA menunjukkan data 189 wilayah adat dengan luas mencapai 3,1 juta hektar telah memperoleh pengakuan dalam bentuk peraturan daerah (perda) dan surat keputusan kepala daerah provinsi atau kabupaten. Sedangkan yang belum memperoleh penetapan pengakuan wilayah adat masih sangat besar, yaitu sekitar 17,7 juta hektar. Dengan demikian baru 15 persen wilayah adat yang sudah diakui oleh pemerintah daerah.[7]

            Mengapa sedikit? R. Yando Zakaria (2022) mengidentifikasi kendala-kendala utamanya, yang menjadi penjelas bagi sedikitnya jumlah Hutan Adat yang ditetapkan. 

Pertama, nyatanya, secara kuantitas sumber hukum yang perlu ditetapkan sebagai subyek hukum tidaklah terhingga jumlahnya. Ambil contoh pengakuan tanah ulayat di Sumatera Barat. Dalam konteks budaya Minangkabau misalnya, saat ini setidaknya terdapat 800 nagari, 3200 suku, dan 32000 kaum. Masing-masing adalah subyek hak atas tanah ulayatnya masing- masing. 

Hambatan kedua adalah sisi kapasitas. Berbeda dengan nagari yang telah mewujudkan diri sebagai organisasi sosial yang memiliki kecakapan-kecakapan politik dan hukum dalam menjalankan perannya sebagai sistem pemerintahan dan/atau pengurusan hidup bersama, kaum dan suku tidak lebih sebagai kelompok kekerabatan setingkat klan (clan), dengan jumlah anggota dan kecakapan hukum yang relatif terbatas. Dengan demikian, kemampuan masing-masing subyek hak itu untuk mengakses dan mengelola proses-proses politik untuk menghasilkan berbagai produk hukum daerah yang disyaratkan sangat berbeda satu sama lainya. 

Hambatan ketiga merujuk pada akumulasi pengetahuan para pihak tentang susunan masyarakat adat dan obyek haknya yang relatif terbatas. Karena itu pula dapat dimaklumi jika, meski saat ini telah terdapat sekitar 200 peraturan daerah yang mengatur pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, pada umumnya belum dapat dilaksanakan di tingkat lapangan. Hal itu terjadi karena produk hukum daerah itu masih sekedar memuat definisi-definisi yang bersifat generik, dan belum mampu mengidentifikasi sebutan lokal tentang susunan masyarakat adat di daerah itu. Begitu pula, belum banyak yang memuat sebutan lokal tentang obyek-obyek hak masyarakat adat yang bersangkutan. 

Keempat, soal integritas, dalam arti keberpihakan pemerintah daerah pada nasib masyarakat adat. Nyatanya, hasil pengamatan menunjukkan, umumnya apartur daerah enggan memenuhi syarat yang dibutuhkan karena akan kehilangan kontrol atas sumberdaya yang akan diserahkan pada masyarakat adat itu. 

Terakhir ada soal pula soal soliditas di tengah masyarakat adat sendiri. Ketidakpastian hak yang telah berlangsung pulahan tahun terakhir telah memaksa masyarakat mencari jalan keselamatannya sendiri. Keteraturan yang lama terganggu dan sulit untuk dikembalikan lagi.[8]

 

Simplifikasi Negara berhadapan dengan Konteks Realitas Sosiologis-Antropologis yang beragam

            Karya James C. Scott (1995) “State Simplifications: Nature, Space and People, Journal of Political Philosophy 3 (3):191, dan James C. Scott (1998) Seeing like a State: How Certain Schemes to Improve the Human Condition Have Failed (New Haven: Yale University Press, 1998) memberi peringatan bagaimana negara melalui unit-unit kerjanya memproduksi bentuk-bentuk pengetahuan dan kontrol tertentu yang berdasarkan penyempitan penglihatan. Memang ada keuntungan utama dari penglihatan yang sempit semacam itu, yakni membantu pembentukan fokus pada aspek-aspek tertentu saja dan pada masalah yang bisa dikerjakan dari kenyataan yang jauh lebih kompleks untuk dimengerti, dan lebih berat untuk diurus. Inilah yang diistilahannya sebagai penyederhanaan-penyederhanaan negara atau state simplifications.Penyederhanaan ini, pada gilirannya, membuat gejala-gejala yang menjadi pusat perhatian menjadi mudah dibaca (legible), dan kemudian menjadi sasaran pengukuran, perhitungan, dan pada gilirannya pengendalian.  Pasangan lain dari penyederhanaan ini adalah penyangkalan (denial).[9] Gejala penyederhanaan dan penyangkalan ini bukan hanya berlaku pada pada elite penyelenggara negara saja. Tentu bisa juga berlaku pada kekuatan-kekuatan lain yang berpengaruh, termasuk akademisi, ahli-ahli hukum, wartawan, kalangan professional perencana pembangunan, bahkan juga yang digolongkan masyarakat sipil. 

            Adriaan Bedner (2021) mensinyalir adanya romatisasi atas Hak Ulayat sebagai “fosil dari masa lalu oleh para sarjana adat di fakultas-fakultas hukum di Indonesia”, dan mengusulkan agar memberlakukan hukum adat sebagai “hukum yang hidup”. 

“Indonesia telah berubah. Bahkan di zaman van Vollenhoven migrasi dan perubahan kondisi kehidupan sudah menyebabkan hilangnya kohesi hukum adat dan lembaga-lembaganya. Akibatnya, pembelaan berdasarkan hukum adat seperti yang pertama kali didefinisikan oleh Van Vollenhoven dan orang-orang sezamannya jarang berhasil. Ini bisa berbeda jika definisi masyarakat adat berubah. Gagasan hukum adat harus diperluas menjadi hukum yang hidup, sejalan dengan gagasan Van Vollenhoven, Ehrlich dan Malinowski. Namun, mengingat adat diperlakukan sebagai fosil dari masa lalu oleh para sarjana adat di fakultas-fakultas hukum di Indonesia, dan mengingat konservatisme sebagian besar pejabat pemerintah yang terlibat, sulit untuk membayangkan perkembangan seperti itu,” Bedner (2021).[10]

Walhasil bisa ternjadi ilusi mengenai keberadaan dan keberlakuan dari Hak Ulayat itu. Dalam konteks ini, kita patut untuk memperingati diri sendiri perihal bahaya dan risiko penyederhanaan, invisibilitas atau penyangkalan atas kenyataan masyarakat adat dan hak-hak atas tanah, sumber daya alam, dan wilayah yang sudah berubah.  Karenanya, perjuangan (bagi) masyarakat adat sesungguhnya adalah perjuangan untuk memperlihatkan yang tidak terlihat, dan kemudian mewujudkan pengakuannya oleh para elite pembuat kebijakan. Memang, keanekaragaman yang tinggi dari sistem-sitem penguasaan tanah,  sumber daya alam, dan wilayahnya, dan secara umum pluralisme hukum di negara kepulauan kita ini, tidak senantiasa mudah terlihat, dan sering kali dianggap sebagai hambatan. Yando Zakaria (2016:4-5) dalam artikel "Strategi Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat (Hukum) Adat: Sebuah Pendekatan Sosiologi-Antropologis", Jurnal Bhumi 2(2):133-149, menunjukkan pembentuk dari “jebakan kerumitan keragaman  subyek dan obyek pengakuan hak-hak masyarakat adat”. 

… jebakan kerumitan keragaman subyek dan obyek pengakuan hak-hak masyarakat adat itu dimungkinkan oleh tiga hal. Pertama, para-pihak terjebak dengan perdebatan definisi dari beberapa konsep yang memang bersifat generik; kedua, alpa mendekati subyek dan obyek hak itu sebagai realitas sosio-antropologis di tingkat lapangan; dan ketiga, masalah ini diperumit oleh para-pihak nyaris tidak memiliki instrument yang teruji dalam menemukan realitas sosiologis-antropologi dimaksud.     

Saat menggali lebih lanjut pernyataan ini, penulis memperoleh pandangan kritis Zakaria lebih lanjut, melalu percakapan langsung (personal communication, 2022), bahwa:

“lemahnya daya ubah dari kebijakan-kebijakan dimaksud terjadi karena gagalnya para perumus kebijakan memahami fakta-fakta empiris di tingkat lapangan tentang apa yang disebut sebagai masyarakat adat itu sendiri. Para pihak, baik para perumus kebijakan, para ahli, dan bahkan juga kalangan pegiat masyarakat sipil yang membela kepentingan masyarakat adat, terjebak pada perdebatan soal pendefenisian – dan juga kondisionalitas yang digunakan dalam pengakuan masyarakat hukum adat dan/atau masyarakat itu – yang berkepanjangan dan nyaris kontra produktif. Demikian pula, para pihak itu juga terseret pada arus pandangan yang melihat fenomena keberadaan masyarakat adat itu sebagai entitas politik semata, sebagaimana yang telah terjadi pada masa kolonial tempo hari. Sehingga abai terhadap dimensi-dimensi keperdataan yang juga melekat pada beberapa susunan masyarakat hukum adat dan/atau masyarakat adat yang memang tidak tunggal itu. Akibatnya muncul logika hukum yang keliru, dalam arti tidak sesuai dengan realitas sosio-antropologi dari apa yang disebut adat itu. Dengan kata lain, ke depan, muncul suatu kebutuhan akan suatu pendekatan alternatif yang lebih sesuai dengan realitas sosio-antropologis itu.

 

            Kita perlu menyelenggarakan penelitian-penelitian untuk mengenali dan mendalami realitas empiris berkenaan dengan keberadaan masyarakat adat, termasuk sistem pemilikan dan penguasaan tanah, juga penggunaan dan pemanfaatannya. 

            Berikut adalah satu ilustrasi dari realitas sosio-antropologis yang dimaksudkan dengan realitas sosio-antropologis dari kepemilikan adat dan pemanfaatannya, melalui penelitian Fakultas Hukum UGM (2021) “Inventarisasi dan Identifikasi tanah Adat Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Tahun 2021”:

“Cara survey di Bali dilakukan dengan cara berikut: 1 sub tim (2 orang) melakukan survey di 6 desa selama 9 hari. 1 tim akan mendapatkan 12 desa selama 9 hari (per kabupaten/kota). Total desa yang disurvey = 12 desa x 9 kabupaten/kota = 108 desa. Sementara itu, mekanisme Survey di NTT dilakukan dengan cara berikut: 1 sub tim (2 orang) melakukan survey di 3 lokasi selama 12 hari. 1 tim akan mendapatkan 6 lokasi selama 12 hari (per kabupaten/kota). Total desa yang disurvey = 6 lokasi x 22 kabupaten/kota = 132 lokasi. Survey dilakukan di setiap kabupaten/kota di Provinsi Bali (9 kabupaten/kota) dan NTT (22 kabupaten/kota). Objek survey adalah hal ulayat atas tanah. Sementara itu, subjek dari survey ini adalah persekutuan masyarakat hokum adat. Dalam konteks Bali, persekutuan ini dikenal dengan istilah Desa Pakraman atau Desa Adat. Sementara itu, di NTT, persekutuan ini dikenal dengan banyak konsep dan istilah, seperti: gendang (Kawasan Manggarai), suku, marga/klan, dan desa.”

 

Data yang mereka kumpulkan mencakup data subjek tanah ulayat (keberadaan subjek maupun status/keberadaan mereka menurut pemerintah), objek tanah ulayat (sketsa tanah ulayat dan titik kordinat lokasi, dan informasi mengenai pemanfaatannya), data yuridis (apakah ada ikatan yang nyata antar sesama masyarakat masyarakat adat, status legal pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat itu), dan data lain (seperti keberadaan bidang tanah ulayat yang sudah bersertifikat, keberadaan sengkata/konflik, keberadaan dalam kawasan hutan, dan data pendukung lain seperti foto, video, dan rekaman).

 

Secuplik hasilnya dapat dikemukakan disini bahwa “tanah adat di Bali tidak hanya dikuasai/dimiliki oleh desa adat atau pura saja, melainkan juga dimiliki oleh banjar, dadia, dan sekaa. Akan tetapi tidak semua jenis tanah adat/peruntukan tanah dimiliki oleh ketika perkumpulan tersebut. Desa adat masih menjadi subjek pemegang hak adat atas tanah yang dominan.” 



Sedangkan di Nusa Tenggara Timur (NTT), lokasi-lokasi penelitian mereka di 22 kabupaten  terdapat 620 bidang tanah adat/suku di 115 komunitas adat (dari 121 komunitas adat yang disurvey), dengan 19 jenis peruntukan, sebagaimana tercermin dari diagram batang berikut:

 



Sumber: Fakultas Hukum UGM (2021) “Inventarisasi dan Identifikasi tanah Adat Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Tahun 2021”, halaman 32. 

 

Penutup:

Menuju Pengaturan mengenai 

Tanah-tanah Adat yang dilekati Hak Ulayat

 

            Arus besar yang umum berlangsung mengenai tanah-tanah adat yang dilekati oleh Hak Ulayat adalah individualisasi sebagai proses utama untuk komoditisasi, komersialisasi, spekulasi dan lainnya. Upaya mempercepat pasar tanah melalui  legalisasi status kepemilikan tanah (land titling) sebagai bagian dari program pendaftaran tanah pemerintah memang mengenai tanah-tanah adat yang asalnya menjadi orientasi utama dari memformalkan status kepemilikan dari tanah-tanah adat melalui pendaftaran tanah.

“Individualisasi terjadi karena pendaftaran tanah mengubah bagian-bagian tanah ulayat atau tanah milik bersama satu keturunan yang digarap dengan hak pakai oleh anggota MHA atau orang luar, menjadi tanah milik perorangan dengan sertifikat sebagai tanda bukti hak. Dengan begitu, individualisasi mendatangkan dua perubahan sekaligus, yaitu sifat kepemilikan, dari komunal menjadi individual, dan rejim aturan yang diberlakukan, hukum adat digantikan dengan hukum pertanahan formal.  

… Formalisasi karena individualisasi berpotensi melemahkan atau bahkan menghapuskan kewenangan otoritas adat atas tanah. Paralel dengan itu, kewenangan negara dapat menguat atau paling tidak akan terjadi berbagai kuasa pengaturan. Pemangku adat di sejumlah tempat, memandang tanah-tanah adat yang sudah disertifikatkan menjadi tanah hak milik, telah hijrah ke yurisdiksi hukum negara dan karena itu tidak lagi berada dalam jangkauan otoritas mereka” (Simarmata 2021:26).

 

            Legalisasi status kepemilikan tanah (land titling) dilakukan secara besar-besaran melalui PP 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang merupakan salah satu hasil dari kerjasama pemerintah Indonesia dengan Bank Dunia dengan skema hutang dan AUSAID (Lembaga Donor Pemerintah Australia) dengan skema hibah, melalui proyek Indonesian Land Administration Project (ILAP) 1995-1999. PP No. 24 Tahun 1997 itu tidak menyebutkan tanah yang dilekati Hak Ulayat merupakan objek pendaftaran tanah.

            Berbeda dengan pengaturan pendaftaran tanah yang sudah sedemikian rupa hebat perkembangannya sejak PP 24/1991 tentang Pendaftaran Tanah, baru di masa Reformasi, 39 tahun semenjak UUPA 1960, pemerintah membuat satu pengaturan mengenai Hak Ulayat, yakni  Peraturan  Menteri  Negara ATR/Kepala  BPN  Nomor  5 Tahun 1999  tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Permenag No. 5/1999 menyarankan agar tanah ulayat didaftarkan sebagai hak atas tanah menurut UUPA dengan alasan kepastian hukum. Sesungguhnya, Permenag No. 5/1999 lahir sebagai hasil Reformasi, sehubungan dengan desakan besar kelompok‐kelompok masyarakat hukum adat di berbagai tempat yang menuntut pemerintah mengakui keberadaannya, termasuk hak‐haknya atas tanah, sumber daya alam, dan wilayah kelolanya (Rachman et al 2012). 

            Peristiwa penting yang mendahului dan mengispirasikan pembentukannya adalah peristiwa Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) yang pertama, Maret 1999 di Hotel Indonesia, Jakarta. Peserta yang hadir seribuan berasal dari Aceh sampai Papua. 

“Di dalam Kongres ini ada forum dialog kebijakan tentang keberadaan dan hak‐hak masyarakat adat dengan menteri‐menteri dari tiga badan pemerintah pusat. Menteri Agraria/Kepala BPN, Hasan Basri Durin, menghadiri forum dialog kebijakan ini karena “ingin mengetahui sikap masyarakat adat pada umumnya” (Durin, wawancara 18 Mei 2012).  Di dalam forum dialog, yang dimaknai oleh Durin sebagai “demo yang teratur”, ia mendapati hampir semua peserta yang jumlahnya ribuan “mengecam kebijakan pemerintah yang seolah tak mengakui adanya tanah ulayat”. Ia mendapatkan, bukan hanya pandangan‐pandangan kritis masyarakat terhadap pemerintah, tetapi juga hujatan. Menanggapi para peserta, Durin berjanji untuk mempelajari dan menindaklanjuti masalah‐masalah tersebut. Durin berpendapat, “Saya sebelumnya sadar bahwa kenyataan itu harus dihadapi dan diselesaikan karena bagaimanapun sesuatu yang sudah berbunyi dalam UUPA, tidak mungkin kita begitu saja meniadakannya. Di dalam UUPA, memang dimungkinkan bahwa tanah ulayat itu diakui sepanjang masih ada. Ini suatu hal yang bisa diambil jadi patokan, apakah suatu masyarakat itu ada atau tidak.” (Durin, wawancara 18/5/2012).” (Rachman et al 2002)

 

            Menurut kajian Noer Fauzi Rachman et al (2012) tekanan tersebut bukanlah satu‐satunya kondisi yang mendorong pembuatan Permenag itu. Posisi dan pemahaman Hasan Basri Durin tentang keberadaan masyarakat adat ikut memberi andil pada pembentukan Permenag ini. Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Hasan Basri Durin, mengambil posisi berbeda dengan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN sebelumnya (1993-1998), yaitu Soni Harsono, yang tidak pernah membuka pembicaraan mengenai masyarakat adat dan hak ulayatnya. Hasan Basri Durin menduga Soni Harsono “menginginkan hak ulayat melemah, samar‐samar, dan akhirnya hilang”. Kontras dengan hal itu, Hasan Basri Durin mempercayai hak ulayat itu memang ada dan menjadi suatu hak yang diakui oleh UUPA 1960.[10]

            Setelah 16 tahun berlaku, peraturan itu dicabut dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 5 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang berada dalam Kawasan tertentu. Sebagaimana ditunjukkan oleh SImarmata (2021), implementasi Peraturan ini pada tahun 2015 dan 2016 menghasilkan dua jenis produk akhir yang berbeda. Produk akhir yang pertama berupa sertifikat hak milik, yang dihasilkan dari kegiatan pendaftaran/kadastral sedangkan produk kedua dari kegiatan pra pendaftaran/kadastral. Produk berupa sertifikat telah diberikan kepada desa-desa Pakraman di Bali (misalnya dua sertifikat yang diberikan kepada desa Pakraman Panarungan di Kabupaten Badung, di dalam sertifikat tersebut terdapat keterangan anggota krama yang sedang menggunakan atau menggarap tanah ulayat). 

            Lalu, produk akhir yang kedua, berupa surat keputusan menteri mengenai penegasan dan pengakuan hak komunal. Sejumlah komunitas adat yang sudah mendapatkannya, termasuk:

·      Masyarakat Adat Baduy, Kabupaten Lebak Keputusan Menteri ATR/ BPN Nomor 215/ KEP-7.1/ IX/ 2015 untuk tanah seluas 5.136,58 Ha; 

·      Masyarakat Adat Kampung Adat Naga, Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya Keputusan Menteri ATR/ BPN Nomor 216/ KEP-7.1/ IX/ 2015 untuk tanah seluas  10,6 Ha 

·      Masyarakat Hukum Adat Suku Moi 14 Marga di Kampung Klayas, Malabam, Seget, Wawenagu, dan Wayangede, Distrik Seget, Kabupaten Sorong Keputusan Menteri ATR/ BPN Nomor 242/ KEP-7.1/ VII/ 2016 untuk tanah seluas 7500 Ha 

·      Masyarakat Hukum Adat Marga Agofa, Kampung Onar Baru dan Onar Lama, Distrik Sumuri, Kabupaten Teluk Bintuni Keputusan Menteri ATR/ BPN Nomor 243/ KEP-7.1/ VII/ 2016 untuk tanah seluas 2.112 Ha

·      Masyarakat Hukum Adat Suku Moi Marga Kami, Kokmala dan Usili di Kampung Arar, Distrik Mayamuk, Kabupaten Sorong Keputusan Menteri ATR/ BPN Nomor Nomor 244/ KEP-7.1/ VII/ 2016 untuk tanah seluas 766 Ha 

·      Masyarakat Hukum Adat Suku Doreri Keret Rumsayot, Rumadas, Rumbobiar, Rumbrawer, Rumfabe dan Rumbruben di Pulau Mansinam, Distrik Manokwari Timur, Kabupaten Manokwari Keputusan Menteri ATR/ BPN Nomor 245/ KEP-7.1/ VII/ 2016 untuk tanah seluas 3.943,29 Ha. 

(Sumber: Simarmata & Sasmitha 2020, “Self-Determined Land Rights in Indonesia: a review on various tenure recognition options”, Appendix 2, Forest People Programme, sebagaimana dimuat dalam Simarmata 2021:23-24).

            Selanjutnya, peraturan  Menteri ini  dicabut dan diganti lagi dengan Peraturan Menteri ATR/BPN nomor 18/2019 Tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Dinyatakan dalam Permen ini bahwa meskipun Permen ATR No. 10  Tahun  2016  telah  dicabut  oleh  Permen  ATR  No.  18  Tahun  2019,  hak  komunal  atas tanah baik subyek, obyek maupun kepastian hukum atas didaftarkannya hak komunal atas tanah berbeda dengan hak ulayat atas tanah sebagaimana diatur dalam Permen  ATR  No.  18  Tahun  2019,  pencabutan  tersebut seharusnya tidak lah mempengaruhi eksistensi dari hak komunal atas tanah. Selayaknya, BPN bukan hanya memiliki daftar dari masyarakat hukum adat yang telah memiliki status hak komunal. Yang diperlukan adalah suatu sistem navigasi khusus atas seluruh tanah-tanah ada yang dilekati Hak Ulayat, dan hal ini hanya bisa dilakukan dengan mengintegrasikannya ke dalam sistem dan peta pendaftaran tanah yang sudah ada dan sedang berlangsung. 

            Dalam Permen ATR/BPN nomor 18/2019  itu dikemukakan penatausahaan tanah ulayat ini dilakukan lewat tiga tahapan yaitu pengukuran, pemetaan, dan pencatatan dalam daftar tanah. Pengukuran dan pemetaan dilakukan terhadap batas-batas keliling bidang tanah. Lalu, hasil pemetaan ditaruh dalam Peta Pendaftaran Tanah dengan diberi Nomor Identifikasi Bidang (NIB), dan terkahir pencatatan tanah ulayat yang sudah diberi NIB dalam Daftar Tanah. 

            Saat ini berlaku pula Peraturan Pemerintah No. 18/2021 yang menghadirkan skema baru yang membolehkan pemberian Hak Pengelolaan (HPL) atas tanah ulayat yang dimiliki masyarakat hukum adat, satu isu yang diangkat sebagai pembuka naskah ini, dan menimbulkan debat yang serius. 

 

Penutup:

Perbedaan Ontologis dan Metodologis dalam 

Valuasi atas Tanah, Sumber Daya Alam dan Wilayah Masyarakat Adat

 

            Masalah valuasi yang memadai atas tanah-tanah yang tidak terdaftarkan dan (termasuk) tanah-tanah adat telah perhatian bersama dari sekalangan ahli di World Bank East Asia & Pacific (EAP) Office dan pejabat Kementerian Agraria dan Tata Ruang RI. 

Tantangannya diperparah ketika tanah diatur secara adat karena batas-batas yang tidak jelas, klaim yang tumpang tindih dan kurangnya metodologi yang mapan untuk memperhitungkan kompleksitas yang ditambahkan. Sehubungan banyak negara termasuk Indonesia menghadapi tantangan Transisi Energi dan pergeseran dalam rantai nilai global, semakin banyak infrastruktur perlu dibangun di luar wilayah di mana hak tenurial sudah pasti dan terdokumentasikan dengan jelas sebagai dasar penilaian dan kompensasi jika terjadi pembebasan tanah secara paksa.

Kompensasi yang adil bagi rakyat yang tergusur membantu menghindari keterlambatan dalam pelaksanaan proyek dan mengurangi potensi risiko pemiskinan komunitas-komunitas tergusur termasuk kelompok-kelompok rentan tertentu. Menggabungkan bersama pengalaman global dalam penilaian dan kompensasi tanah-tanah yang tidak terdaftar dan tanah-tanah adat, termasuk penggunaan teknologi baru, akan membantu pembuat kebijakan menemukan solusi potensial, dan berkontribusi membangun suatu susunan pengetahuan global tentang masalah yang menantang ini.[12]

            Kita mahfumi bersama bahwa nilai pasar adalah dasar penentu yang paling umum dipakai oleh para penilai untuk mengusulkan nilai kompensasi atas pengambilalihan hak-hak kepemilikan pribadi, termasuk tanah, tanam tumbuh dan bangunan yang berdiri di atas tanahnya.  Permasalahannya, bagaimana dengan hak-hak kepemilikan rakyat yang berada dalam pengaturan hukum adat oleh masyarakat hukum adat. Kita mengetahui bahwa hak-hak kepemilikan pribadi umumnya berada dalam kerangka untuk dapat dipertukarkan, sementara hak-hak kepemilikan adat secara konseptual dipercayai oleh banyak kalangan merupakan warisan yang tidak dapat dipertukarkan, tidak dapat dipisahkan darinya (inalienable) sebab menjadi ruang syarat keberlanjutan hidup, semenjak dahulu, saat ini dan masa yang akan datang.  

            Naskah Lucky Kabanga and Manya M. Mooya (2018) merupakan rujukan yang berguna untuk mempelajari bagaimana kecocokan penerapan teori-teori dan metodologi kompensasi, yang dibuat atas dasar ontologi kepemilikan pribadi,  untuk dikenakan pada kepemilikan dan pengaturan sosial atas tanah, sumber daya alam dan wilayah yang diatur oleh hukum adat. Mereka menyimpulkan bahwa “teori-teori kompensasi saat ini dapat berlaku untuk kepemilikan adat karena mereka terutama bertujuan untuk melindungi kepemilikan dan mencegah pihak yang diambil kepemilikannya menjadi miskin”  (Kabanga and Mooya 2018:101). Namun, kedua tujuan itu tidak dapat tercapai karena perbedaan faktor ontologis dan metodologis perwujudannya. 

            Meski konteks empiris yang dibahasnya adalah berdasar kasus di Afrika Selatan, ada hal yang umum penting untuk dipelajari kita, bahwa, “meski teori-teori kompensasi yang saat ini secara luas berlaku untuk kepemilikan adat karena teori-teori itu berupaya melindungi hak-hak kepemilikan dan mencegah pihak yang tergusur dari pemiskinan, namun berbagai faktor ontologis dan metodologis membatasi perwujudan dari tujuan-tujuan dalam kondisi pengaturan yang didominasi oleh adat” (Kabanga and Mooya 2018:101). 

            Sesungguhnya, ontologi kepemilikan pribadi yang modern dan kapitalistik serta beriorientasi pada transaksi pasar itu secara mendasar berbeda dengan ontologis dari kepemilikan adat dari masyarakat adat. Dalam praktiknya, modernisme menempatkan kepemilikan sebagai seperangkat hak atas sumber daya material yang secara konseptual dapat diperbandingkan dengan nilai material lainnya, yang biasanya diperantarai oleh uang. Penggunaan nilai pasar sebagai metodologi pada dasarnya bertentangan dengan sifat dasar dari kepemilikan adat, yakni karena (a) kepemilikan adat tidak dapat dipertukarkan; (b) kelangkaan bukti rujukan yang dapat diandalkan untuk menghasilkan penilaian-penilaian yang objektif dan untuk  menghasilkan nilai pasar yang wajar; dan (c) pemakaian orang-orang yang tidak cakap dan terlatih dengan memadai sebagai penilai kompensasi. Oleh karena itu, nilai pasar bukanlah dasar yang ideal untuk menilai kompensasi atas kepemilikan adat karena, selain kalau dipakai nilai pasar akan menghasilkan nilai kompensasi yang tidak memadai, dan pada gilirannya mereka dapat menjadi melarat (Kabanga and Mooya 2018:101)

            Para penilai juga mengalami kesulitan sehubungan dengan sifat lanjutan dari kepemilikan adat sebagai adalah tenurial rights yang merupakan sebundel hak-hak yang berjenis-jenis (a bundle of rights) (Riddell 1987), dan hadir demikian kompleks sehingga bisa jadi tidak terlihat oleh penilai selama pengambilalihan, penghitungan, hingga memonetisasi dari kerugian material dan non-material. Hak-hak berbagai kelompok dalam kepemilikan adat sering disalahtafsirkan dan disederhanakan tergolong sejenis hak pemanfaatan (use rights) saja, sehingga dinilai terlalu rendah, baik karena nilai pasar dari hak pemanfaatannya memang rendah, atau dinilai lebih rendah dengan standar umum nilai pasar, atau tidak ada nilai pasar yang bisa dijadikan rujukannya. Pada pokoknya metode penilaian yang bergantung pada pasar termasuk menggunakan nilai pasar, tidaklah cocok dalam situasi ini.  

            Kesimpulan di atas memberikan wawasan berkenaan dilema yang ditimbulkan saat siapapun mencoba untuk mendudukkan kepentingan masyarakat adat atas tanah, sumber daya alam dan wilayah adatnya ke dalam valuasi dan repertoar kompensasi dengan perhitungan nilai pasar. Pengakuan atas landasan metafisik lah yang  membuatnya tidak bisa dipadankan dengan valuasi dalam sistem kepemilikan modern dan kapitalistik itu. Small, G. & Sheehan, (2008:103) menyebutkan adanya solusi, yang mungkin terletak di luar upaya untuk mengalihkan kepemilikan atas tanah sebagai wilayah adatnya,  apalagi ketika pihak pemerintah atau perusahaan hanya butuh pemanfaatan tertentu atas bagian dari tanah, sumber daya alam dan wilayah masyarakat adat. 

            Sesungguhnya konsepsi kepemilikan pada masyarakat adat adalah kepemilikan sebagai “hak asal-usul,” sebagaimana telah diakui sebagai norma konstitusi dalam pasal 18 UUD 1945, dan ditegaskan keberlakuannya oleh Putusan MK 35/PUU-X/2012 bahwa “Masyarakat Hukum Adat Adalah Bukan Penyandang Hak, Bukan Subjek Hukum, dan Bukan Pemilik Wilayah Adatnya” (Rachman 2014, Rachman and Siscawati  2014, 2016).  Lebih dari itu, ada kewajiban yang melekat pada kepemilikan itu untuk memberi ruang hidup bukan hanya pada manusia masa kini, dahulu dan yang akan datang, serta juga kehidupan mahluk hidup lain. Jadi nilai yang melekat padanya bukan sekedar material, seperti ontologis kepemilikan pada masyarakat modern dan kapitalistik. Maka dari itu tanah, sumber daya alam, dan wilayahnya tidak dapat dinilai secara memadai dalam perhitungan komersial.

            Kabanga and Mooya (2018:101) menyarankan agar dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menemukan dasar dan metode alternatif untuk menilai kompensasi yang mengakui kepemilikan adat secara menuyeluruh dan tidak memperlakukannya secara salah sebagai kepemilikan pribadi. Selanjutnya, dasar dan metode tersebut harus dapat menggunakan data yang tersedia dalam pengaturan tertentu, dan tidak hanya data yang memenuhi kriteria nilai pasar untuk menilai kompensasi untuk kepemilikan adat.  Lebih lanjut, untuk keperluan pengajaran,  kurikulum tentang administrasi pertanahan dan penilaian kepemilikan dapat diperbaiki dengan memasukkan hak-hak kepemilikan adat sebagai bagian dari silabusnya, dan tidak hanya mengajarkan perundang-undang yang mendukung individualisasi, privatisasi dan komersialisasi kepemilikan adat.

 

Penutup

            Saya mengusulkan agar kita mempelajari dokumentasi dan penelitian atas kasus-kasus sengketa/konflik agraria yang melibatkan masyarakat adat, sehubungan dengan proses negaraisasi. 

 “Upaya pengakuan, penghormatan, dan perlindungan masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya harus dimulai dengan penyelesaian sengketa/konflikyang terkait dengan masyarakat hukum adat dan/atau hak ulayat. Tanpa hal itu, maka implementasi prinsip-prinsip keadilan dan demokrasi menjadi sia-sia dan pengakuan dan penghormatan, dan perlindungan masyarakat hukum adat hanyalah sebuah retorika semata” (Nurlinda 2009:131).

            Telah banyak dokumentasi dan penelitian dibuat. Penulis dari waktu ke waktu mengikuti perkembangan kasus-kasus konflik agraria, dan kasus-kasus terbaru yang penulis sedang pelajari adalah berkenaan dengan Proyek Strategis Nasional Waduk Lambo-Mbay di Desa Rendu, Kecamatan Aesesa Selatan, Kabupaten Nagekeo, Propinsi nusa Tenggara Timur, termasuk dengan rujukan penelitian  Muntaza (2022). Komnas HAM RI yang telah dan terus mengungkap berlangsungnya pelanggaran HAM berkenaan dengan eksistensi “hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat.” Satu kerja penting Komnas HAM bersama dengan lembaga/organisasi mitra telah melaksanakan kegiatan Inkuiri Nasional Masyarakat Hukum Adat atas Wilayahnya di Kawasan Hutan pada tahun 2014 – 2015 di beberapa region, yaitu Jawa, Nusa Tenggara, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Maluku. Terdapat 4 buku laporan kegiatan ini, yakn(1) Laporan Inkuiri Nasional Masyarakat Hukum Adat atas Wilayahnya di Kawasan Hutan; (2) Pelanggaran Hak Perempuan Adat dalam Pengelolaan Hutan; (3) Konflik Agraria Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan Sumatera-Jawa-Bali-Nusa Tenggara-Kalimantan-Sulawesi-Maluku-Papua; dan (4) Petikan Pembelajaran Inkuiri Nasional sebagai Pembuka Jalan Penyelesaian Pelanggaran HAM.[13]

            Lebih jauh Komnas HAM RI di tahun 2021 mengeluarkan dokumen Standar Norma dan Pengaturan Nomor 7 tentang Hak Asasi Manusia atas Tanah dan Sumber Daya Alam,[14] sebagai “sebagai panduan bagi pengemban kewajiban dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak asasi manusia yang berkaitan dengan konflik tanah dan sumber daya alam”, dan “dokumen yang menjabarkan secara praktis dan implementatif mengenai berbagai instrumen HAM, baik internasional maupun nasional, supaya mudah dipahami dan diterapkan, serta agar dipatuhi para pemangku kepentingan khususnya penyelenggara negara.” (Ahmad Taufan Damanik dalam Komnas HAM 2021).  Komnas HAM RI mengeluarkan dokumen ini sehubungan dengan adanya kemendesakan atas penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan HAM atas tanah dan SDA, dan masih tingginya pelanggaran HAM atas tanah dan sumber daya alam (lihat Lampiran).

            Sekian

 

                                                                                                Bandung, 27 November 2022

 

 


 

LAMPIRAN

Kutipan dari Standar Norma dan Pengaturan Nomor 7 tentang Hak Asasi Manusia atas Tanah dan Sumber Daya Alam 

butir F. 3. 

Masyarakat Hukum Adat

Permasalahan 

359.  Pola pelanggaran HAM terhadap masyarakat hukum adat atas tanah dan SDA sangat terkait dengan masih belum terselesaikannya tiga masalah utama, yaitu minimnya pengakuan masyarakat hukum adat oleh Negara, konflik agraria struktural, dan minimnya pelindungan bagi pembela hak-hak masyarakat hukum adat. Salah satu penyebabnya adalah konsep dan kerangka hukum pengakuan yang masih berwatak konservatif dan birokratis. Dalam tiga masalah utama ini, beragam pelanggaran HAM seperti pelanggaran hak atas rasa aman, hak atas kepemilikan, hak untuk menentukan nasib sendiri, dan hak hidup, masih terus terjadi. 

360.  Pemberian izin dan konsesi industri SDA oleh pemerintah pusat dan daerah kepada korporasi asing dan dalam negeri serta kepada kelompok jaringan bisnis yang diduga terkait dengan militer banyak mengabaikan hak masyarakat hukum adat di sekitar dan di dalam kawasan hutan. Akibatnya, ekosistem tanah dan SDA yang menjadi sandaran hidup masyarakat hukum adat semakin rusak dan hancur. Hak hidup, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak mendapat kehidupan yang layak, hak atas lingkungan yang baik dan sehat yang melekat pada masyarakat hukum adat, semakin diabaikan dan hilang. 

361.  Berbagai peraturan maupun kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pembangunan di beragam sektor, seperti infrastruktur, pariwisata, reklamasi, bandara, pelabuhan, yang memberikan izin pihak ketiga dalam menjalankan aktivitas di wilayah masyarakat hukum adat. Hal ini berdampak pada masyarakat hukum adat dalam kehidupan dan wilayah adatnya yang memiliki hak untuk melakukan aktivitas dalam kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya. Akibatnya terjadi pelanggaran hak masyarakat hukum adat atas hak untuk hidup, hak memperoleh keadilan, hak atas rasa aman, hak atas penghidupan yang layak, dan hak mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum. 

362.  Pelanggaran tata ruang dan hak ulayat di wilayah masyarakat hukum adat, baik di darat maupun pesisir kelautan terjadi akibat dari perubahan dan penurunan status kawasan hutan yang disesuaikan untuk kebutuhan dan kepentingan industri ekstraktif dan land grabbing, seperti perkebunan sawit, pertambangan, dan industri kehutanan. Akibatnya industri beragam sektor tersebut masuk ke wilayah tata ruang adat yang seharusnya tidak boleh ada aktivitas nonadat. Masyarakat hukum adat yang terdampak dan tidak mendapat jaminan hak atas kehidupan mereka, semakin terhambat haknya dalam melakukan pemungutan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, serta mengelola hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang. 

363.  Pola pelanggaran HAM lainnya juga terjadi pada kelompok masyarakat hukum adat nomad yang memiliki batas teritorial yang khas-unik yang tidak sama dengan masyarakat pada umumnya. Umumnya komunitas masyarakat hukum adat ini menggantungkan hidupnya dari  wilayah lanskap ekologis yang spesifik (gunung, hutan, laut, danau, sungai, dan sebagainya). Bahkan beberapa komunitas adat berciri nomadik atau semi-nomadik. Wilayah hidup mereka melintasi batas administrasi (teritori) daerah bahkan lintas negara. Namun, negara sering kali mengabaikan batas teritorial yang khas dari masyarakat hukum adat nomadik dan seminomadik sehingga berakibat pada pelanggaran HAM. 

364.  Cara pandang yang menyederhanakan hubungan masyarakat hukum adat dengan tanah dan SDA semata-mata ekonomistik, dan mengabaikan hubungan berlapis secara sosial, budaya, ekonomi, ekologi, politik, dan religio magis, menyebabkan pelanggaran HAM yang berlapis terhadap masyarakat hukum adat, seperti hak hidup, hak mendapatkan penghidupan yang layak, hak atas kesejahteraan, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. 

365.  Tanah dan SDA masyarakat hukum adat yang telah rusak akibat eksploitasi dan ekstraksi dari industri kehutanan, pertambangan, dan perkebunan seolah dianggap bisa digantikan dengan cara ganti rugi dan kompensasi dengan uang. Hal inilah yang menyebabkan banyak pelanggaran HAM berupa perusakan ekosistem atas tanah dan SDA sebagai sumber kehidupan masyarakat hukum adat masih terus terjadi

 

Kewajiban Negara

366.  Negara wajib melindungi hak atas rasa aman masyarakat hukum adat dengan cara menyusun mekanisme pencegahan atau deteksi dini atas konflik dan mendorong segera penyelesaian beragam konflik agraria struktural yang terjadi di wilayah adat, termasuk dalam keadaan darurat. Hal ini bisa dilakukan dengan membentuk dan menyusun kelembagaan penyelesaian konflik agraria struktural yang otoritatif dan adekuat atau dengan Satgas Khusus yang bersifat lintas Kementerian dan Lembaga seta melibatkan pemerintah daerah dan multipihak terkait (akademisi dan masyarakat sipil). 

367.  Negara wajib (i) untuk meluruskan tafsir sebagaimana terdapat dalam peraturan pelaksana, mengenai pengakuan keberadaan dan hak-hak MHA yang diatur dalam UUD NRI 1945. Dengan demikian, pelindungan dan penghormatan tidak harus menunggu formalisme dalam bentuk pengakuan keberadaan dan hak; (ii) mensegerakan pemberian kepastian tenurial pada hak-hak MHA terhadap tanah dengan cara melakukan pengadministrasian tanah-tanah ulayat.

368.  Negara wajib melindungi sumber kehidupan masyarakat hukum adat, secara sosial-ekonomi, hukum, politik, ekologis, dan budaya, baik dalam jangka pendek maupun panjang, dengan cara mempercepat legalitas payung hukum atas masyarakat adat (Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat) serta melakukan audit perizinan korporasi SDA yang terbukti melanggar HAM atas masyarakat hukum adat atas tanah dan sumber daya alamnya, serta memberikan sanksi tegas dan efek jera agar pelanggaran HAM atas masyarakat hukum adat tidak berulang. 

369.  Negara wajib memastikan bahwa dalam setiap kebijakan dan program apa pun secara nasional, global atau daerah yang masuk di dalam kawasan masyarakat hukum adat, wajib memenuhi hak partisipasi substantif dan penuh masyarakat hukum adat. Baik dari hulu perencanaan, pelaksanaan, dan pascapelaksanaan program. Negara juga harus memenuhi jaminan informasi yang benar tentang dampak dan risiko yang akan dihadapi masyarakat hukum adat jika program dan kebijakan itu masuk, sebagaimana diwajibkan dalam Free Prior Informed Concern (FPIC) dan prinsip-prinsip serta norma HAM. 

370.  Negara wajib melindungi dan menjamin keselamatan, hak hidup, hak atas tanah dan SDA, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak memperoleh keadilan bagi masyarakat hukum adat, termasuk masyarakat hukum adat nomadik dan semi-nomadik, serta para aktivis dan pembela HAM masyarakat hukum adat yang selaras dengan prinsip nondiskriminasi dan keadilan gender. 

371.  Negara wajib penegakan hukum yang tegas dan adil kepada semua pihak, termasuk kepada anggota TNI/Polri yang terbukti melanggar hukum dan melanggar hak masyarakat hukum adat dan ruang hidupnya. 

372.  Negara wajib melindungi dan menghormati kekayaan sistem pengetahuan, SDA, dan sumber kehidupan ekonomi masyarakat hukum adat dari ancaman perusakan dan penghancuran sistematis dengan cara mendorong keadilan tata ruang dengan keterpaduan kebijakan dan regulasi masyarakat hukum adat, serta memfasilitasi pengembangan alternatif ekonomi berkelanjutan dan berkeadilan dengan mendasarkan pada prinsip-prinsip dan norma HAM. 

373.  Negara wajib melindungi keberlanjutan kekayaan keanekaragaman hayati dan pengetahuan/ kearifan lokal yang menjadi ruang hidup masyarakat hukum adat. Untuk itu: (a) Negara wajib melindungi hak masyarakat hukum adat atas sumber daya keanekaragaman hayati di sekitarnya dan yang dimiliki serta dikembangkan/dibudidayakan secara turun-temurun untuk berbagai kebutuhannya; (b) Negara wajib memfasilitasi proses pelindungan Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) atas sumber daya hayati milik masyarakat hukum adat; dan (c) Negara wajib menghormati dan melindungi kearifan budaya lokal masyarakat hukum adat, termasuk di dalamnya kekayaan pengetahuan tradisional individu dan yang bersifat komunal, yang menyatakan suatu ekosistem adat, meskipun hal itu tidak masuk dalam kategorisasi HAKI. 

374.  Negara wajib melindungi keberlanjutan kehidupan, regenerasi, dan eksistensi masyarakat hukum adat sebagai warga negara dengan cara melindungi sumber pangan, sumber air, ekosistem hutan, sungai, gunung, tanah dan SDA, wilayah sakral/suci, dikelola dengan sistem pengetahuan dan tradisi adat yang selaras dengan tujuan kelestarian, keberlanjutan sosialekologis, serta keberlangsungan yang juga dinikmati oleh generasi yang akan datang (intergenerational justice). 

375.  Negara wajib menghormati dan melindungi hak masyarakat hukum adat atas tanah dan SDA dengan cara mempercepat pengakuan hak masyarakat hukum adat dan mengesahkan undang-undang tentang perlindungan masyarakat hukum adat. 

 


 

 

Daftar Pustaka

 

Arizona Yance (2022). Rethinking Adat Strategies: The Politics of State Recognition of Customary Land Rights in Indonesia (PhD Dissertation, Leiden University, 2022). 

Badan Registrasi Wilayah Adat/BRWA (2022) “Status Pengakuan Wilayah Adat di Indonesia: 1.119 Peta Wilayah Adat telah teregistrasi dengan luas 20,7 juta ha”, Agustus 2022.

Bedner, Adriaan (2021), "Legal pluralism in pursuit of social justice: Cornelis van Vollenhoven and the continued relevance of his legacy in contemporary Indonesia", Quaderni fiorentini per la storia del pensiero giuridico moderno 2021, 50(1):365-398.

Berenschot, Ward (2020) “150 Tahun Belenggu atas Hak Tanah”, Kompas (20/7/2020) .

Burns, Peter (2004) The Leiden Legacy: Concepts of Law in IndonesiaLeiden: KITLV Press.  

Djalins, Upik (2015) “Becoming Indonesian citizens: Subjects, citizens, and land ownership in the Netherlands Indies, 1930-37” Journal of Southeast Asian Studies 46(2):227-245.

_____ (2012) Subjects, Law Making And Land Rights: Agrarian Regime and State Formation In Late-Colonial Netherlands East Indies, Ph.D. dissertation in Cornell University, Ithaca.

Fakultas Hukum UGM (2021) “Inventarisasi dan Identifikasi tanah Adat Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Tahun 2021”, Kerjasama Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan nasional dengan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada. 

Food and Agricultural Organisation (2012). Voluntary Guidelines on the Responsible Governance of Tenure of Land, Fsheries and Forests in the Context of National Food Security, FAO, Rome, Italy.

Hutama, Wimba. R. (2021). “Eksistensi Hak Ulayat Pasca Berlakunya Peraturan Menteri Agraria Nomor 18 Tahun 2019”. NotaireJournal of Notarial Law 4(3), 489–502. https://doi.org/10.20473/ntr.v4i3.28036

 Kabanga, Lucky and Manya M Mooya (2018a). “Compensation Theories and Expropriation of Customary Property Rights: A Critical Review.” Journal of African Real Estate Research, 3(2), pp.87-106. DOI: 10.15641/jarer.v3i2.4

_____  Kabanga, L., & Mooya, M. M. (2018b). Compensation Theories and Expropriation of Customary Property Rights. Journal of African Real Estate Research, 3(2), 87-106. 

Kabanga, Lucky (2021) “Compensastion Assessment Practice in Expropriation of Customary Land Rights in Malawi”.  Thesis presented for the degree of Doctor of Philosophy in the Department of Construction Economics and Management Supervisor: Associate Professor Manya Mainza Mooya University of Cape Town, October 2021. 

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dirjen PSKL (2022) “Hutan Adat”, naskah sajian disampaikan Bambang Supriyanto pada pertemuan dengan Dirjen Kebudayaan 8 Agustus 2022.

Komnas HAM (2021) Standar Norma dan Pengaturan Nomor 7 tentang Hak Asasi Manusia atas Tanah dan Sumber Daya Alam. Jakarta: Komnas HAM

Muntaza (2022), “Negara dan Waduk, Kasus Waduk Lambo-Mbay di Kabupaten Nagekeo, Provinsi Nusa Tenggara Timur”, draft, Tesis Master, Pendidikan Pascasarjana, Departemen Antropologi, Fakultas Sosial dan Politik, Universitas Indonesia.

Nurlinda, Ida. 2009. Prinsip-prinsip Pembaruan Agraria: Perspektif Hukum. Jakarta: Rajawali Press.

Perkumpulan HuMa (2018) “HuMa Outlook Meretas Mimpi Hutan Adat” https://publikasi.huma.or.id/pub/81-outlook-meretas-mimpi-hutan-adat (diunduh 2 November 2022). 

Rachman, Noer Fauzi (2002)  “Konflik tenurial:  Yang diciptakan tapi tak hendak diselesaikan”, Berebut Tanah:Beberapa Kajian Berperspektif Kampus dan Kampung, Lounela dan Zakaria (Eds) Yogyakarta: Insist Press, bekerjasama dengan Jurnal Antropologi, Universitas Indonesia, dan Karsa. Halaman 337-373.

_____ 2014 “Masyarakat Hukum Adat Adalah Bukan Penyandang Hak, Bukan Subjek Hukum, dan Bukan Pemilik Wilayah Adatnya.” Wacana, Jurnal Ilmu-ilmu Sosial Transformatif  33: 25–50).

_____  (2000). “Budaya Menyangkal, Politik Hukum Agraria Yang Menyangkal Kenyataan Hak-hak Masyarakat Adat”. Wacana, Jurnal Ilmu Sosial Transformatif. No. 5 tahun II, Yogyakarta, Insist Press, 2000. 

_____ (2018). “Rantai Penjelas Konflik-Konflik Agraria Yang Kronis,. Sistematik, Dan Meluas Di Indonesia”, Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan, (37), 1–14.

_____ (2022) “Perjuangan Pengakuan Hak Ulayat”, Kompas 18/10/2022.

Rachman, Noer F., Siti Rakhma Mari, Yance Arizona, Nurul Firmansyah  (2012) “Kajian Kritis atas Peraturan Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Permasalahan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat”, Kertas Kerja Epistemia no. 1/2012, Jakarta: Epistema Institute (http://epistema.or.id/kajian‐kritis‐atas‐peraturan‐menteri‐agraria/).  

Rachman, Noer F. and Mia Siscawati (2014). Masyarakat Hukum Adat adalah Penyandang Hak, Subyek Hukum, dan Pemilik Wilayah Adatnya: Memahami secara Kontekstual Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia atas Perkara Nomor 35/PUU-X/2012. Yogyakarta, Indonesia: Insist Press.

_____   (2016). Forestry law, masyarakat adat, and struggles for inclusive citizenship in Indonesia. In Antons C, ed. Routledge Handbook of Asian Law. London: Routledge. 224–29. 

 Riddell, J. C. (1987). Land Tenure and Agroforestry: a Regional Overview. In J. B. Raintree (Ed.), Proceedings of an International Workshop and Tinure Issues and Agroforestry (p. 16). ICRAF dan Land Tenure Center

Roewiastoeti, Maria R.  (2014). “Dampak Sosial Politik Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012”, Wacana, Jurnal Ilmu-ilmu Sosial Transformatif 33: 51–61.

Scott, James C. (1995) “State Simplifications: Nature, Space and People, Journal of Political Philosophy 3 (3):191, dan 

______ (1998) Seeing like a State: How Certain Schemes to Improve the Human Condition Have Failed (New Haven: Yale University Press, 1998). 

Sembiring, Julis. 2018. Dinamika Pengaturan dan Permasalahan Hak Ulayat, Yogyakarta: STPN Press.

Simarmata, Rikardo (2021) "Orientasi Negara dalam Pendaftaran Tanah Adat di Indonesia," The Indonesian Journal of Socio-Legal Studies: Vol. 1 : No. 1 , Article 3. Available at: https://scholarhub.ui.ac.id/ijsls/vol1/iss1/3 

Small, G. & Sheehan, J. (2008). The metaphysics of Indigenous ownership: Why Indigenous ownership is incomparable to Western conceptions of property value. In: Simons, R.A., Malmgren, R. & Small, G. (eds.) Indigenous Peoples and Real Estate Valuation. New York: Springer. Page 102-119.

Sumardjono, Maria SW (2021) "Tata Kelola Pertanahan Pasca-UUCK", Kompas 16/3/2021.

van Volenhoven, Cornelis (2015) Orang Indonesia dan Tanahnya. Terjemahan dari Indonesiër en Zijn Grond (1919). Yogyakarta: Insist Press.

von Benda-Beckmann, F dan Keebet Von Benda-Beckmann (2011) “Myths and Stereotypes about Adat Law: A Reassessment of Van Vollenhoven in the Light of Current Struggles over Adat Law in Indonesia” Bijdragen Tot de Taal-, Land-En Volkenkunde 167 (2–3) halaman 167–95.

Wignjosoebroto, Soetandyo (1998) “Kebijakan Negara untuk Mengakui atau Tak Mengakui Eksistensi Masyarakat Adat Berikut Hak-hak atas Tanahnya”, Jurnal Masyarakat Adat - Konsorsium Pembaruan Agraria, No. 01/1998.

Zakaria, R. Yando (2016) “Strategi Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat (Hukum) Adat: Sebuah Pendekatan Sosiologi-Antropologis”, Jurnal Bhumi 2(2):133-149.  

_____ (2022) "Hutan Adat yang Bikin Masyarakat Adat Setengah Mati", dalam KSPPM, (2022). Nunga Leleng Hami Mian di Son. Masyarakat Adat Menghadapi Negara. Yogyakarta: INSIST Press & KSPPM.   

 

 




[1] Wignjosoebroto, Soetandyo (1998) “Kebijakan Negara untuk Mengakui atau Tak Mengakui Eksistensi Masyarakat Adat Berikut Hak-hak atas Tanahnya”, Jurnal Masyarakat Adat - Konsorsium Pembaruan Agraria, No. 01/1998.

[2] Konsep negaraisasi tanah-tanah adat ini, saya tuliskan pertama kali pada “Budaya Menyangkal, Politik Hukum Agraria Yang Menyangkal Kenyataan Hak-hak Masyarakat Adat”. Wacana, Jurnal Ilmu Sosial Transformatif. No. 5 tahun II, Yogyakarta, Insist Press, 2000. Lebih lanjut, cara bagaimana negaraisasi tanah-tanah adat menjadi sebab dari konflik-konflik tenurial saya tuliskan pada naskah  “Konflik Tenurial:  Yang diciptakan tapi Tak Hendak Diselesaikan”, Berebut Tanah: Beberapa Kajian Berperspektif Kampus dan Kampung, Lounela dan Zakaria (Eds) (Kerjasama Insist Press, Jurnal Antropologi, Universitas Indonesia, dan Karsa, 2002), halaman 337-373. Lihat juga, Rachman, Noer Fauzi. (2013). “Rantai Penjelas Konflik-Konflik Agraria Yang Kronis,. Sistematik, dan Meluas Di Indonesia”, Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan, (37), 1–14. Selain menjadikan tanah ulayat sebagai tanah negara, ada jenis negaraisasi yang berlangsung lewat pemberlakuan dan penetapan tanah-tanah adat perorangan (yang juga berasal dari tanah ulayat) sebagai tanah negara, seperti ditunjukkan oleh Rikardo Simarmata (2021:26).

[3] Lihat juga Djalins, Upik (2015) “Becoming Indonesian citizens: Subjects, citizens, and land ownership in the Netherlands Indies, 1930-37” Journal of Southeast Asian Studies 46(2):227-245.

[4] Rachman 2014 “Masyarakat Hukum Adat Adalah Bukan Penyandang Hak, Bukan Subjek Hukum, dan Bukan Pemilik Wilayah Adatnya.” Wacana, Jurnal Ilmu-ilmu Sosial Transformatif  33: 25–50. 

[5] Bacalah Maria R. Roewiastoeti, 2014. “Dampak Sosial Politik Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012”, Wacana, Jurnal Ilmu-ilmu Sosial Transformatif 33: 51–61, dan baca pula evaluasi R. Yando Zakaria (2022) "Hutan Adat yang Bikin Masyarakat Adat Setengah Mati", dalam KSPPM, 2022. Nunga Leleng Hami Mian di Son. Masyarakat Adat Menghadapi Negara. Yogyakarta: INSIST Press & KSPPM.).  

[6] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dirjen PSKL, “Hutan Adat” 2022, naskah sajian disampaikan Bambang Supriyanto pada pertemuan dengan Dirjen Kebudayaan 8 Agustus 2022.

[7] Badan Registrasi Wilayah Adat/BRWA, 2022, “Status Pengakuan Wilayah Adat di Indonesia: 1.119 Peta Wilayah Adat telah teregistrasi dengan luas 20,7 juta ha”, Agustus 2022.

[8] R. Yando Zakaria (2022) "Hutan Adat yang Bikin Masyarakat Adat Setengah Mati", dalam KSPPM, 2022. Nunga Leleng Hami Mian di Son. Masyarakat Adat Menghadapi Negara. Yogyakarta: INSIST Press & KSPPM. Baca pula:  Perkumpulan HuMa (2018) “HuMa Outlook Meretas Mimpi Hutan Adat” https://publikasi.huma.or.id/pub/81-outlook-meretas-mimpi-hutan-adat (diunduh 2 November 2022). 

[9] Saya telah menuliskan bentuk-bentuk penyangkalan atas keberadaan masyarakat adat beserta hak-hak bawaan yang menyertainya. Bacalah: Noer Fauzi (2000) “Budaya Menyangkal: Konsep Dan Praktek Politik Hukum yang. Menyangkal Kenyataan Hak-Hak Masyarakat Adat Atas Tanah”, Wacana, Jurnal Ilmu-ilmu Sosial Transformatif VI/2000 halaman 102-113.

[10] Terima kasih untuk R. Yando Zakaria yang menunjukkan pentingnya kutipan karya Andrian Bedner, guru besar Guru besar Law and Society in Indonesia di KITLV – Leiden University, dan Kepala Department of the Van Vollenhoven Institute for Law, Governance and Society.

[11] Menurut Hasan Basri Durin, “Di beberapa daerah Indonesia, masih banyak terdapat kesatuan‐kesatuan masyarakat adat. Kesatuan‐kesatuan masyarakat adat itu mempunyai dan menguasai tanah ulayat. Yaitu tanah‐tanah yang dianggap wilayahnya dan kepunyaan bersama itu. Secara garis besar, ada kesamaan antara suatu daerah dengan daerah lain. Kesamaannya, suatu masyarakat adat dimana mereka bermukim adalah wilayah yang dikuasai oleh masyarakat adat itu. Dikuasai dalam arti jika ada anggota‐anggota masyarakat adat ada yang mau menggarap bagian‐bagian tanah ulayat itu harus seijin pimpinan masyarakat adat. Misalnya di Minangkabau ada yang disebut nagari. Masyarakat di nagari itu meyakini dan merasa bahwa tanah dalam batas‐batas yang mereka ketahui itu adalah batas alam, sungai kecil, pohon‐pohon besar, dan laut. Jadi kalau ada anggota masyarakat yang ingin menggarap harus minta ijin pada pimpinan. Pada umumnya diberi dengan catatan bahwa kalau nanti tidak digarap lagi atau ditinggalkan menjadi tanah ulayat kembali” (Hasan Basri Durin, Wawancara, 18/5/2012, sebagaimana dimuat dalam Rachman et al 2002).

[12] World Bank East Asia & Pacific (EAP) and the Republic of Indonesia’s Ministry of Agrarian Affairs and Spatial Planning (2022) International Conference on Land Acquisition, “Global Trend on Compulsory Acquisition of Unregistered and Customary Lands. How to Avoid a Costly Delay while Promoting Fairness for All?”,  December 1st, 2022. halaman 2

[14] Komnas HAM RI mengesahkan Standar Norma dan Pengaturan tentang Hak Asasi Manusia atas Tanah dan Sumber Daya Alam melalui Sidang Paripurna Nomor: 14/PS/00.04/XI/2021 Tanggal 2 November 2021 pada Putusan Nomor 15.

No comments:

Post a Comment