Pengantar : Hendro Sangkoyo
Penyelaras akhir : Herlily
Penerbit : INSISTPress
Tahun : 2005
ISBN : 979-3457-64-5
Kolasi : 15x21cm; xxxi +225 halaman
_____________________________________________________________________
BAGIAN KEDUA
PROFIL GERAKAN-GERAKAN RAKYAT PEDESAAN DUNIA KETIGA
2
Mengokupasi tanah sebagai tindakan konstitusional: MST (Movimento Dos Trabalhadores Rurais Sem Terra) di Brazil
Brazil dengan luas 8.511.965 km2 adalah negara terbesar, yang meliputi 47,3 % dari seluruh wilayah di Amerika Selatan. Penduduknya pada tahun 2000 diperkirakan sekitar 180 juta jiwa. Sekitar 90% penduduknya terpusat pada 1/3 wilayah negara tersebut, yaitu di daerah-daerah padat dekat pantai di sebelah timur laut, tenggara dan selatan. Menurut perkiraan, sekitar 60% penduduk Brazil berkulit putih, kebanyakan keturunan Portugis, Italia dan Spanyol, Jerman. Sekitar 25% adalah orang Mulat dan Cabolos (campuran antara Indian dan kulit putih), 10% – 12% adalah kulit hitam dan Cafulos (campuran antara Indian dan kulit hitam), 1 % orang Jepang, dan sisanya adalah orang Indian yang pada awal tahun 1980-an sejumlah 180.000-an hidup berpencar di sebelah utara dan barat negara tersebut. Bahasa nasionalnya adalah Portugis, bahasa dari negara yang menjajahnya semenjak tahun 1500-an. Dengan 89% penduduknya beragama Katolik, Brazil merupakan negara beragama Katolik terbesar di dunia. Namun, banyak di antaranya merupakan pengikut mistisisme Afro-Brasilia. Sisanya adalah Protestan, Ortodoks, Yahudi, Budha dan sebagainya.
MST (Movimento Dos Trabalhadores Rurais Sem Terra atau Pergerakan Pekerja Pedesaan Tak Bertanah), yang dibentuk secara formal dalam Kongres Nasionalnya yang pertama tahun 1985 adalah sebuah gerakan rakyat terbesar di Brazil sepanjang 20 tahunan belakang ini dan paling dinamis di Amerika Latin. Gerakan ini telah memberi contoh yang sangat jelas, bagaimana (eksponen utama) gerakan itu mengembangkan tafsir atas situasi yang ditentangnya, pengambilan posisi yang jelas dan pilihan aksi kolektif yang dilakukannya. Ketiga hal ini merupakan daya tarik bagi mereka yang akan menjadi bagian dari gerakan ini. Dalam pembukaan sebuah film dokumenter 42 menit yang berjudul Strong Roots, yang diproduksi bersama oleh A Friend of MST, Realizacao, Centro de Justica Global, Global Excahnge, 2000 telah diringkaskan secara sangat padat bagaimana gerakan ini menafsirkan situasi yang dimusuhinya, posisi yang diambil dan aksi kolektif yang dijalankannya.
Gerakan Rakyat Tidak Bertanah, MST, mulai pada tahun 1985 sebagai tanggapan atas distribusi tanah yang tidak adil di Brazil, dimana 46% dari semua tanah pertanian dikuasai oleh kurang dari 1% penduduk. Para tuan tanah luas mengutamakan peternakan skala luas yang merusak lingkungan. Sementara banyak sekali tanah mereka ditelantarkan, 4,8 juta keluarga tidak memiliki tanah, dan 35 juta rakyat Brazil hidup di bawah garis kemiskinan.
Brazil adalah satu dari beberapa negara di dunia yang tidak pernah menjalankan pembaruan agraria. MST adalah gerakan sosial yang paling penting di negeri ini, Ia telah berhasil menguasai 16 juta (sic!) ha tanah untuk 300.000 keluarga. Ia telah membangun ribuan koperasi produksi makanan dan sekolah.
Perjuangan MST didasari oleh Undang-undang Dasar yang menyatakan tanah harus berfungsi sosial. Saat ini 100.000 keluarga siap-siap untuk menduduki tanah agar mampu menghidupi keluarganya sendiri. Mereka hidup di tenda-tenda menunggu kesempatan menggarap bidang-bidang tanah Brazil.
MST menilai rejim militer yang berkuasa dimulai dengan kudeta militer pada 1964 dan berakhir sampai dengan 1985 tidak hanya gagal dalam menjalankan mandat konstitusi itu. Alih-alih menyelesaikan masalah-masalah agraria, rejim militer malahan ikut menciptakan berbagai konflik agraria yang penuh dengan kekerasan meletus di sana-sini. Para tuan tanah mempekerjakan satpam-satpam bersenjata dan polisi resmi untuk menghadapi para petani yang menuntut hak-hak agraria mereka.
MST memilih dan menerapkan metode yang aktif untuk menjalankan land reform: menduduki secara langsung tanah-tanah latifundia (tanah yang sangat luas mencapai puluhan ribu hektar) yang ditelantarkan. Di pihak lain, MST secara terus menerus menuntut pelaksanaan amanat undang-undang dasar yang menyatakan bahwa tanah berfungsi sosial dan harus diusahakan menjadi produktif. Para aktivis mendatangi pedesaan miskin dan wilayah perkotaan, memberitahu rakyat tentang hak-hak mereka atas tanah dan mengorganisasi pendudukan. Di sinilah awal mula dari masuknya rakyat tidak bertanah ke dalam MST, termasuk mereka yang di kampung-kampung miskin kota yang tidak lagi mengenal budaya hidup bertani.
MST membuat anggotanya menganut doktrin yang sangat jelas dan padat, yang dikenal sebagai “10 perintah MST” (sebagaimana dimuat sebagai “Appendix B” dalam Toews, 2003:37), yakni:
1. Mencintai dan merawat tanah dan semua kehidupan alam.
2. Selalu berusaha memperbaiki pengetahuan kita tentang alam dan pertanian.
3. Menghasilkan makanan untuk memberantas kelaparan umat manusia.
4. Mencegah pertanian monokultur, menggunakan pestisida dan herbisida.
5. Merawat mata air, sungai-sungai, danau-danau dan kolam-kolam.
6. Membuat permukiman dan masyarakat yang indah, menanam bunga-bungaan, sayur-sayuran dan pepohonan.
7. Mengurus sampah dengan tepat dan memusuhi setiap kelakuan yang mencemari dan merusak lingkungan kita.
8. Mempraktekkan solidaritas dan melawan segala ketidakadilan, agresi dan praktek-praktek eksploitatif.
9. Berjuang melawan tuan tanah luas sampai semua orang dapat mempunyai tanah, roti pendidikan dan kebebasan.
10. Tidak pernah menjual tanah yang didapat. Tanah adalah andalan hidup untuk generasi mendatang.
Rakyat tak bertanah yang berasal dari kampung-kampung miskin di kota-kota maupun dari desa-desa yang bergabung dengan MST terlebih dahulu tinggal di kemah-kemah sederhana, hidup dari usaha pertanian kolektif di sekitar itu, dan menerima pendidikan melalui metoda studi-dan-kerja. Mereka dapat tinggal dan hidup di sini dalam ukuran tahunan. Sementara itu, aktivis-aktivis MST bekerja memilih dan memeriksa hacienda, bidang tanah sangat luas yang dikuasai tuan tanah, yang akan diduduki dan digarap secara langsung. Termasuk memperkirakan berbagai reaksi dari para tuan tanah, para pendukungnya dan pemerintah. Ketika saatnya ditentukan mereka pindah, menduduki dan menggarap bidang tanah yang ditelantarkan itu. Ketika sebuah camp perkemahan berhasil dibuat di tanah yang diduduki, para aktivis dan anggota baru menunggu perwakilan pemerintah atau tuan tanah (kadang orangnya sama) untuk berkunjung. Konfrontasi dan negosiasi mengenai nasib tanah dan penduduknya seringkali diwarnai kekerasan dan berlarut-larut. Dalam banyak kasus, MST berhasil memenangkannya dengan kombinasi antara kerja penguasaan dan penggarapan tanah secara langsung dengan kerja politik dan hukum.
Yang menarik adalah bagaimana MST memposisikan negara dan semua aparatnya. Negara tidak dimusuhi, dienyahkan jauh-jauh atau dihindari pengaruhnya. Seperti yang ditunjukkan oleh artikel Wendi Wolford (2003), MST telah berhasil mendudukkan dan memainkan peran sebagai mediator antara rakyat miskin dengan negara Brazil. MST senantiasa mengusahakan andil negara dalam membesarkan gerakan, seperti upaya melegalisasi tanah-tanah yang diduduki, mengirimkan tenaga-tenaga guru, menyediakan kredit untuk produksi dan lainnya. Karena itu, dalam rute perjuangan menciptakan masyarakat baru, MST senantiasa mengusahakan agar negara menyumbangkan andilnya.
Bukan hanya karena kejelasan dari rute tempuh gerakan yang membuatnya mampu menjadi daya tarik orang-orang miskin tidak bertanah untuk bergabung. Tapi MST memiliki apa yang disebut mereka sebagai “mistik” yang “… digunakan oleh para anggota sendiri untuk menandakan keteguhan, komitmen emosi, pengabdian untuk mengurbankan hidup, dan harapan untuk perubahan radikal.”[1] Mistik dan harapan milenarian ini ditampilkan dalam berbagai jenis kegiatan organisasi, seperti upacara-upacara, pidato-pidato, teks-teks dan kegiatan2 rapat maupun pendidikan. Dalam kalimat Pedro Stedile, salah seorang pemimpin utama MST, sebagaimana dikutip Michael Lowe (2000),
“Mistik gerakan ini mematrikan diri dalam simbol-simbol budaya kami, dalam nilai-nilai kami, dalam keyakinan akan keharusan berjuang, dan kemungkinan mewujudkan masyarakat yang adil dan penuh persaudaraan.”
Selain itu, sebagaimana dengan sangat baik telah ditunjukkan oleh Wendi Wolford (2003), dalam karyanya berjudul “Producing Community: The MST and Land Reform Settlements in Brazil”, MST mampu membangun apa yang disebut sebagai komunitas yang diidam-idamkan (imagined communties) – menggunakan istilah dari Ben Anderson (1983). Ia menulis:
Sejak awal, aktivis MST telah mencita-citakan sebuah perjuangan yang lebih dari sekedar tuntutan sederhana akan tanah. Cita-cita ini telah menciptakan beberapa kesulitan bagi gerakan karena sebagian besar mereka yang bergabung, melakukannya sebagai sebuah alat untuk mencapai suatu hasil yang pasti. Meskipun para anggota memiliki anggapan yang berbeda mengenai tanah ..., sebagian besar bergabung ke gerakan dengan harapan dimasukan ke dalam program reforma agraria pemerintah. Anggota yang berhasil biasanya mengungkapkan rasa terimakasih terhadap gerakan dan mengenang pengalaman mereka dengan kebanggaan dan bahkan kenikmatan. Tapi tanpa sebuah penjelasan yang mengharuskan mereka untuk melanjutkan perjuangan sebagai sem terra (kaum tak bertanah). Setelah mendapatkan tanah, banyak yang berhenti terlibat teratur dalam kegiatan-kegiatan gerakan atau malah keluar. MST tidak dapat membiarkan ini terjadi, karena anggota-anggota yang bertanah merupakan satu sumberdaya dukungan ideologis dan material yang berharga. Anggota yang bertanah seringkali diminta untuk menyediakan makanan bagi rakyat yang hidup di perkemahan di tanah yang diduduki. Dan mereka kerap berpartisipasi dalam pendudukan tanah yang baru sebagai sebuah cara menambahkan kekuatan jumlah dan emosional ... Anggota yang bertanah juga menghadiri demonstrasi publik secara teratur. Demonstrasi publik dianggap penting untuk meningkatkan kesadaran pemerintah dan publik mengenai kondisi hidup buruh tani tak bertanah dan petani keluarga kecil yang buruk.
Pimpinan MST menangani dilema partisipasi di antara anggota-anggota yang sukses melalui penciptaan sebuah komunitas terbayang lengkap dengan norma-norma kelompok dan pengharapan yang akan mengikat seluruh anggota ke dalam pergerakan. Seperti yang dituliskan Benedict Anderson tentang nasionalisme, komunitas sem terra ini adalah komunitas yang dibayangkan karena diantara para anggota tersebut sebenarnya tidak akan pernah benar-benar bertemu satu sama lain, tak peduli berapa banyak pertemuan nasional yang mereka hadiri. Sebagai tambahan, komunitas ini dibayangkan karena kesetiaan pada panduan ideologi dan praktek MST menuntut setiap individu untuk melampaui pengalaman-pengalaman yang sebelumnya untuk membayangkan sebuah tatanan sosial, ekonomi dan politik baru yang ideal.
Sungguh banyak pelajaran yang dapat ditarik dari perjuangan MST ini. Monica Dias Martins dalam artikelnya “The MST Challenge to Neoliberalism” (2000:42), praktek gerakan MST ini telah memberi pelajaran pada kita perihal 4 hal baru, yakni (1) cara hidup kolektifnya, yang merentang dari mulai proses-proses produksi hingga kreasi artistiknya; (2) originalitas sistem pendidikannya yang ditandai oleh metoda kerja-dan-studi, (3) penghargaannya pada keragaman pendapat yang dikombinasi dengan kesatuan perspektif, dan (4) konfrontasinya yang teguh terhadap proyek-proyek neoliberal. Pendek kata, sangat menarik untuk dipelajari pembentukan masyarakat baru yang berbeda dari kapitalisme, dengan praktek-praktek aplikasi ilmu-ilmu sosial modern, dengan menetapkan tujuan-tujuan yang konkrit dan berjangka waktu, dengan merundingkan dengan pihak pemerintah tentang hak-hak dan kuasa yang mereka punyai, dengan mengorganisir koperasi-koperasi produksi yang menguntungkan, dan lainnya. Lowe (2000) menilai,
“Sintesa yang berhasil antara utopia dan realisme tak diragukan lagi telah mendudukkan MST bukan hanya suatu ungkapan perjuangan terorganisir dari rakyat miskin di pedesaan untuk pembaruan agraria yang radikal, tetapi juga rujukan utama bagi semua kekuatan “masyarakat sipil” Brazil – serikat buruh, gereja, partai-partai kiri, ikatan-ikatan profesi maupun akademik – yang berjuang melawan neoliberalisme.
[1] Michael Lowe (2001) dalam karyanya “The Socio-Religious Origins of Brazil's Landless Rural Workers Movement”, menuliskan bahwa meski gerakannya dinyatakan “sungguh sekuler dan tidak membatasi diri pada golongan apapun, MST memiliki akar-akarnya kuat pada budaya sosio-religius yang dapat disebut “teologi pembebasan”. Kita tidak dapat memahami asal-mulanya, tanpa menyinggung peran Gereja Brazil dan khususnya Pastoral Land Commission.”
No comments:
Post a Comment