MEMAHAMI GERAKAN-GERAKAN RAKYAT DUNIA KETIGA (Bagian 5/14)

 

  


Penulis                        : Noer Fauzi
Pengantar                   : Hendro Sangkoyo
Penyelaras akhir       : Herlily
Penerbit                      : INSISTPress
Tahun                         : 2005
ISBN                           : 979-3457-64-5
Kolasi                         : 15x21cm; xxxi +225 halaman

_____________________________________________________________________

5

Melawan Rasisme setelah rejim apartheid tumbang: 

LPM (Landless People’s Movement) di Afrika Selatan

 

            Afrika Selatan luasnya meliputi lebih dari 1.219.000 km2, termasuk negara merdeka di dalam kawasannya, yakni Lesotho. Selain karena ciri khas geografinya, Afrika Selatan adalah satu-satunya negara industri yang paling maju di benua Afrika. Ia makin lama makin berkembang menjadi suatu tipe negara dunia ketiga yang khas, dengan struktur ekonomi dan sosial yang timpang. Penduduknya yang hampir berjumlah 43 juta jiwa ini terdiri dari penduduk yang beragam. Mayoritas adalah ras Africans yang hitam berjumlah 77% (yang utamanya adalah 10 etnis), kulit putih 11%, Campuran 9%, Asia (terutama India) 2%, dan sisanya 1% lain-lain. Sebagai negara apartheid sampai tahun 1994, sepanjang masa hampir seabad,  dilakukanlah pemisahan ras berdasarkan undang-undang dalam segala bidang.   Rejim paska apartheid yang berkuasa setelah tahun 1994 tidak berhasil mengubah ketimpangan struktur ekonomi dan sosial ini. Landless People’s Movement (LPM) ini hanya dapat dimengerti bila kita menempatkannya sebagai reaksi dari kegagalan tersebut.

            LPM dibentuk di Afrika Selatan pada tahun 2001, 7 tahun setelah rejim Apartheid tumbang. LPM dibentuk oleh organisasi-organisasi rakyat tidak bertanah dari berbagai daerah dan didukung pembentukannya oleh National Land Committee (NLC) yang merupakan jaringan organisasi-organisasi non-pemerintah yang berpengaruh di tingkat nasional. Meski demikian, LPM tidak berada di bawah NLC. LPM merupakan organisasi massa yang independen. LPM dibentuk sebagai tanggapan rakyat tidak bertanah atas kegagalan program land reform pemerintah paska apartheid mengubah struktur penguasaan tanah yang sangat timpang. Mereka merumuskan dalam pernyataan pendiriannya (LPM, 2001) bahwa: 

“Kolonialisme dan apartheid secara brutal dan sistematik melenyapkan kepunyaan rakyat atas tanah-tanah Afrika Selatan, menyisakan untuk orang-orang Afrika hanya 13 persen saja dari luas semua tanah, dan mengutamakan 87 persen untuk orang kulit putih pengusaha pertanian dan negara;

Land reform, yang mencakup restitusi, redistribusi dan tenure reform, telah dijanjikan pada kami sebagai rakyat tak bertanah yang memiliki negeri ini tahun 1994, dan disyaratkan oleh undang-undang dasar yang kami perjuangkan semenjak kami melawan apartheid; 

Dalam tujuh tahun janji itu berlalu, land reform hanya mengubah sangat sedikit saja, sedemikian rupa sehingga 86 persen dari seluruh tanah dikuasai orang-orang kulit putih dan negara, sementara orang-orang Afrika sekarang hanya menguasai 14 persen saja;” 

            LPM mengklaim rejim paska-apartheid Afrika Selatan selama 7 tahun memang telah gagal mengubah warisan rejim kolonial dan apartheid. Sungguh berat pertarungan untuk mengubah warisan sejarah kolonialisme dan rasisme mereka itu. Sejarah penyerbuan, penaklukan dan pendudukan Bangsa Eropa selama 300 tahun yang kemudian dilanjutkan dengan pemerintahan nasional kulit putih, telah membelah dan memagari penduduk berdasar dominasi ras dan kelas.  Hingga sebelum tahun 1994, masyarakat kulit hitam adalah “warga negara kelas dua”, yang hanya memperoleh sedikit perlindungan dari pemerintahan. Mereka adalah golongan yang paling menjadi korban penggunaan dan penyalahgunaan kewenangan pemerintahan yang rasis. Dalam soal hak atas tanah, sebagian besar warga kulit hitam telah mengalami pengusiran dari tempat tinggalnya dan tempat usahanya, meskipun telah turun temurun diusahakannya dan menjadi kampung halamannya. 

Sepanjang masa apartheid, berbagai hukum negara yang dimulai dengan Land Act tahun 1913 dan 1936, membatasi penduduk Afrika Selatan hanya boleh pada 13 % dari total wilayah negara.  Group Areas Act tahun 1950 menetapkan alokasi wilayah berdasarkan kelompok ras. Sebagai contoh, berdasarkan UU ini, wilayah District Six, yang sejak dahulu merupakan tempat hidup berbagai orang dengan jenis ras beragam, tiba-tiba tahun 1966 ditetapkan sebagai Wilayah Orang Kulit Putih. Sehingga, penduduk kulit hitam tidak dapat memiliki tanah di sana. Pemaksaan penghilangan kepemilikan tanah itu tentunya mengakibatkan perubahan posisi orang-orang kulit hitam. Banyak orang kulit hitam digusur dengan paksa. Harta kekayaannya dirampas tanpa kompensasi dan rumah-rumah mereka diratakan dengan buldoser, segala hasil peradaban masyarakat dimusnahkan, serta mereka diangkut paksa dengan truk-truk menuju “wilayah reservasi”. Tentu saja, pada gilirannya “wilayah reservasi” itu dimana penduduk Afrika dibolehkan secara hukum memiliki tanah,  menjadi sangat padat. Selain tinggal di wilayah reservasi, mereka terpaksa menempati wilayah-wilayah pedalaman atau hidup sebagai penghuni liar di pinggir-pinggir kota. 

Harapan perubahan nasib masyarakat kulit hitam, seiring-sejalan dengan keberhasilan gerakan nasional menumbangkan rejim apartheid dan diletakkannya prinsip-prinsip baru dalam konstitusi yang menjadi dasar kehidupan berbangsa-bernegara Afrika Selatan. Pimpinan Pemerintahan Kulit Putih yang terakhir di Afrika Selatan, Presiden De Klerk, memilih untuk mengakhiri sejarah supremasi ras kulit putih dalam pemerintahan, dengan mengantar kemenangan ANC (African National Congress) dengan Nelson Mandela sebagai pemimpin yang kemudian menjadi Presiden kulit hitam pertama pada tahun 1994. Pemerintahan baru ini menghadapi “tiga kenyatan yang kait-mengait”, yakni perampasan hak atas tanah, diskriminasi rasial dan kemiskinan di pedesaan-pedalaman. Andalan utama mereka untuk mengatasi tiga masalah itu adalah program landreform yang terdiri dari program restitusi hak  atas tanah, redistribusi tanah dan tenure reform. Pemerintah menetapkan bahwa tujuan keseluruhan program land reformnya adalah memastikan terjadinya pengalihan setidaknya 30 % dari seluruh tanah pertanian kepada kelompok-kelompok yang pada masa lalu tidak mendapatkan akses yang memadai (Departement of Land Affairs, 2002: 2)

            Program land reform pemerintahan semenjak 1994 memperoleh kritik yang pedas dari lingkaran gerakan sosial yang paling besar dan kuat yakni Landless People’s  Movement (LPM)Model land reform yang dijalankan pemerintah, yang berprinsipkan “willing seller, willing buyer” ini menempatkan redistribusi tanah yang tidak penting dalam proses restrukturisasi perekonomian kapitalis dan mengarahkan pemanfaatan tanah tersebut kembali pada jalur ekonomi pertumbuhan. Perintah konstitusional untuk meredistribusi tanah, jaminan hak garap dan kepemilikan tanah bagi semua dan mengembalikan tanah kepada mereka yang dirampas tanahnya secara sewenang-wenang berdasar hukum yang rasis, telah menjadi issue utama dalam pengorganisasian LPM.   LPM yang tidak memiliki afiliasi politik pada partai apapun juga ini telah melakukan mobilisasi massa yang cukup luas dan tersebar menyatakan bahwa (Landless People’s Movement, 2002):

“… (D)elapan tahun sesudah berakhirnya apartheid, kami masih tetap tak bertanah. Kami masih menderita  penggusuran dan pelanggaran HAM pada tanah pertanian kami, dan kami masih menderita ketidakpastian hak atas tanah yang kami tinggali di pinggiran-pinggiran kota. Kaum miskin kota tak dapat menemukan tempat untuk tidur tanpa ditangkapi. Semua ini karena kami tak bertanah. Program landreform pemerintah sangatlah lamban dan kebanyakan menguntungkan petani yang kaya daripda untuk kami. Masalah utama dari program ini adalah bahwa kami diminta untuk membeli kembali tanah kami sendiri yang telah dikuasai pihak lain, padahal kami sangat miskin. LPM menuntut Tanah Sekarang! LPM juga menuntut pemerintah menyediakan akses tanah bagi kami sedemikian rupa sehingga kami dapat hidup dari tanah itu. Ini adalah hak kami!

Piagam Rakyat Tak Bertanah menyatakan bahwa pemerintah harus mengambilalih tanah-tanah dari tuan tanah guntai, petani kaya yang kejam, petani kaya yang berutang, semua tanah yang ditelantarkan dan kurang dimanfaatkan, dan semua tanah yang tidak produktif. 

LPM menyatakan bahwa sesungguhnya tak ada kelangkaan tanah di Afrika Selatan. Masalahnya adalah hanya 60.000 petani kaya yang memiliki lebih dari 80% tanah Afrika Selatan.  Banyak dari tanah ini tidak digunakan secara produktif. Di pihak lain, lebih dari setengah penduduk Afrika Selatan adalah rakyat tak bertanah yang membutuhkan tanah. Ini sungguh immoral dan tak dapat diterima. Kami bukanlah tak bertanah dari dulunya. Kami tak bertanah karena sejarah rasis negeri ini bahwa tanah nenek moyang kami dicuri. 

LPM menuntut Tanah Sekarang! “

            Seperti yang juga telah ditunjukkan oleh hasil penelitian Stephen Greenberg (2004) Landless People Movement (LPM) benar-benar menantang program land reform pemerintah (yang  sekarang dipegang oleh Tabo Mbeki), yang mengandalkan mekanisme pasar dengan prinsip “willing seller, willing buyer”. Para pemimpin LPM telah menggunakan pertemuan-pertemuan dunia untuk menggemakan kritik dan tuntutan mereka. Waktu diselenggarakan the World Conference Against Racism (WCAR) tahun 2001, mereka menggencarkan suatu kampanye ‘Landlessness = Racism’. Begitu pula sewaktu the World Summit on Sustainable Development (WSSD) tahun 2002 mereka menyelenggarakan ‘Week of the Landless’ yang langsung diiringi dengan demonstrasi berjalan dari puluhan ribu orang ke tempat konferensi berlangsung. Saat itu mereka meluaskan temanya menjadi land, food and jobs, agar bukan cuma orang-orang desa yang bergabung, tapi juga mereka yang tidak bertanah maupun tinggal di permukiman kumuh dan informal di kota-kota (Greenberg, 2002). Mulai saat itu, LPM berkoalisi dengan berbagai kelompok anti neoliberalisme menentang kehadiran dan pengaruh badan-badan pembangunan multilateral seperti Bank Dunia, IMF dan negara-negara barat serta perusahaan-perusahaan transnasional, yang mencanangkan program the New Partnership for Africa’s Development (NEPAD).  

Memang seperti dituliskan oleh Greenberg (2004),

“LPM boleh jadi adalah gerakan yang unik diantara gerakan-gerakan akar rumput independen lainnya karena keanggotaan aktif LPM bisa ditemukan baik di daerah perkotaan maupun pedesaan di negara tersebit. Gerakan ini menantang pemisahan perjuangan kota dan desa dengan menegaskan bahwa penggusuran di kota dan ketiadaan jaminan hukum untuk penggarapan tanah adalah isu-isu yang secara fundamental terkait dengan akses tanah.

Karena LPM masih berada pada tahap awal maka terlalu dini untuk membuat generalisasi dari pengalaman-pengalaman dan praktek-praktek LPM. Tetapi, keberadaanya yang begitu mendasar menimbulkan sejumlah isu tentang arti lebih luas LPM bagi masyarakat sipil di Afrika Selatan pasca apartheid. Khususnya, bagaimana transisi dari apartheid telah menciptakan kemungkinan-kemungkinan baru dan batasan-batasan untuk pengorganisasian sebuah gerakan berbasis tanah di area perkotaan dan pedesaan? Dan bagaimana proses-proses dinamis reformasi negara dan pembentukan kembali masyarakat sipil berdampak pada kemungkinan untuk sebuah gerakan akar rumput kaum tak bertanah independen?”

 


No comments:

Post a Comment