MEMAHAMI GERAKAN-GERAKAN RAKYAT DUNIA KETIGA (Bagian 11/14)


Penulis                        : Noer Fauzi
Pengantar                   : Hendro Sangkoyo
Penyelaras akhir       : Herlily
Penerbit                      : INSISTPress
Tahun                         : 2005
ISBN                           : 979-3457-64-5
Kolasi                         : 15x21cm; xxxi +225 halaman

_____________________________________________________________________ 


BAGIAN KETIGA

 

KONTEKS DAN KARAKTER BARU GERAKAN-GERAKAN RAKYAT PEDESAAN DUNIA KETIGA


11

Pelaku utama dan situasi utama yang dimusuhi 

 

Untuk menemukan jawaban atas pertanyaan “apa yang mendorong petani bergabung ke dalam gerakan”, dengan merujuk pada apa yang ditampilkan oleh masing-masing gerakan tersebut, kita tidak dapat mengandalkan hanya pada dalil-dalil baik dari Scott, Popkin maupun Paige. Menghadapi perbedaan, bahkan dalam beberapa hal merupakan pertentangan antar mereka, serta mengujinya dengan menghadapkannya pada kenyataan yang diungkap oleh masing-masing gerakan tersebut, kita harus mengambil sikap yang tepat. Ada baiknya kita memperhatikan yang dianjurkan Michael Watts (1988:122), dengan mengutip pemikiran Allan Touraine dalam bukunya  The Self-Reproduction of Society (1977:322):

Di satu pihak kita berhadapan dengan gejala perilaku sosial dan oleh karenanya memperhatikan orientasi-orientasi, aksi-aksi dan klaim-klaim dari para pelaku; dan pada pihak lain, menghadapi sistem sosial dan hubungan ekonomi, khususnya sifat dari akumulasi dan dominasi ekonomi. Seseorang tidak dapat menetapkan keberadaan suatu sistem tindakan yang menyejarah dan hubungan-hubungan kelas hanya mendasarkan diri pada perilaku sosial dan gerakan sosial; dan seseorang tidak juga bisa menghasilkan kesimpulan bahwa suatu tipe historitas tertentu dan tipe hubungan kelas tertentu tidak akan memantulkan dalam dirinya, dan oleh karenanya dalam gerakan sosial, suatu kesadaran kelas tertentu.

Dengan menggunakan anjuran Watts ini, para pengkaji dan aktivis gerakan rakyat pedesaan tidak perlu terpaku pada kecenderungan berkubu secara teoritis antara teori “ekonomi moral” atau pun “pilihan rasional”.  Penulis sangat setuju dengan anjuran Watts (1988:122) agar mampu melokasikan berbagai bentuk khusus dari kesadaran yang dikembangkan, baik moral, rasional atau lainnya, mendudukkannya dalam dinamika gerakan sosial dan dalam kaitannya dengan pergulatan kuasa dan kekuatan material yang menyejarah pada saat itu.  Hal ini sejalan dengan anjuran Touraine  (1977:314) bahwa: 

“Suatu gerakan sosial oleh karenanya harus dianalisis dalam suatu lapangan pagelaran kekuatan yang menyejarah (historic field-of-force), tempat dari berbagai kekuatan sosial yang memantulkan watak kuasa kelasnya masing-masing. Gerakan-gerakan sosial dalam arti ini mengandung suatu gerakan kepentingan-kepentingan kelas yang horisontal dan yang tampil dalam kontradiksi yang menyebabkan suatu konflik meledak.” 

 

Pagelaran Kuasa Kapitalisme 

Sejak mula, sebagai suatu bentuk khusus dari cara produksi (mode of production) kapitalisme sama sekali tidak cocok dengan keberadaan petani, alias kapitalisme akan menghilangkan petani. Dalam kalimat sederhana, dapat dikatakan kapitalisme hanya dapat tercipta dengan melepaskan kepunyaan petani atas tanahnya. Tumbuhnya mode of production kapitalisme dimanapun senantiasa bermula dengan proses ganda, yakni melepaskan petani dari ikatan dengan tanah pertaniannya dan mengintegrasikan tanah tersebut menjadi modal. Proses transformasi ganda ini yang disebut Marx (1992) sebagai akumulasi primitif. Ben Fine (1998:393) menulis pengertian akumulasi primitif dengan sangat jelas bahwa 

“Karena hubungan produksi pra-kapitalis utamanya bersifat pertanian, para petani yang memiliki alat produksi yang pokok, yakni tanah, maka kapitalisme hanya dapat diciptakan hanya dengan cara melepaskan kepemilikan petani atas tanahnya itu. Asal-usul kapitalisme dimulai dari transformasi hubungan-hubungan produksi yang terdapat pada tanah itu. Membebaskan ikatan petani dari tanahnya adalah sumber dari buruh upahan baik untuk tenaga kerja petanian maupun industri.” 

 Kapitalisme mendasarkan diri pada hubungan produksi yang memisahkan kelas sosial antara mereka yang bekerja dan hanya mendapat upah atas kerjanya itu, dengan mereka yang memiliki modal, alat produksi dan surplus yang dihasilkan. Para pekerjanya tidak memiliki ikatan dengan alat dan teknologi produksi, bahan baku, tempat produksi, termasuk hasil yang diproduksi. Mereka diasingkan dari proses produksi secara keseluruhan, walaupun ia menyumbangkan tenaganya yang menjadi pokok sumber transformasi dari bahan mentah menjadi hasil olahan. Mereka hanya memperoleh upah dari si pemilik alat produksi hasil kerjanya itu. Upah inilah yang merupakan tanda pemisah. Para buruh terpaksa menerima nilai upah yang ditentukan, terutama karena berada dalam tekanan ekonomi kebutuhan hidup dan persaingan perebutan kesempatan kerja dengan para penganggur, yang diibaratkan dengan tentara cadangan (reserve army) yang segera akan menggantikan tempat dan fungsi si buruh tersebut apabila si buruh yang aktif itu tidak sanggup lagi bekerja. 

Karakteristik penting berikutnya untuk memahami kapitalisme adalah karakter produksinya yang ditujukan untuk penjualan. Suatu barang selain punya nilai guna (use value) juga memiliki nilai tukar (exchange value). Nilai tukar suatu benda menjadi dasar dari usaha perdagangan, dan sebaliknya perdagangan dapat meningkatkan atau menurunkan nilai tukar benda itu. Dalam kapitalisme semua upacara dalam produksi diabdikan tidak lain hanya untuk menghasilkan komoditi yang bernilai tukar. Bahkan buruh yang menghasilkan tenaga kerja pun diperlakukan hanya sebagai komoditi. 

Demikianlah karakteristik dasar kapitalisme, dimana-mana. Namun, kapitalisme di negeri kolonial atau paska kolonial memiliki kekhasan. Hamza Alavi (1982) mengistilahkannya dengan Kapitalisme Pinggiran (Pheripheral Capitalism).[1] Selain ciri umum mode of production kapitalisme di atas, terdapat ciri-ciri lain yang membuatnya khas, pakni, perkara kait-mengait antara kapitalisme pinggiran dengan induknya di negeri-negeri jajahan.  

Kait-mengait lingkar produksi di kapitalisme pinggiran  tidaklah sesederhana seperti mulai dari bahan mentah diubah menjadi barang yang diproduksi hingga ditransaksikan dengan dan menjadi uang, lalu uang itu langsung masuk kembali lagi ke dalam produksi komoditi. Melainkan, lebih dari itu, pada kapitalisme pinggiran, surplus yang diperoleh dari proses produksi itu disedot oleh pemiliknya dan diakumulasikan, tidak di lokasi dimana proses produksi berada, melainkan di negeri-negeri metropolis dimana pemiliknya berada. Selanjutnya, seperti dinyatakan oleh Alavi (1982:180) bahwa kait mengait produksi komoditi yang dimaksud dalam konsep general commodity production pada kapitalisme pinggiran, menjadi lengkap hanya dengan mengait ke ekonomi kapitalis metropolitan, produksi barang ekspor, dan sebagai pasar bagi barang-barang impor dari negara yang mengkoloni. 

Dalam analisis tentang kapitalisme dikenal istilah ”reproduksi modal secara luas” (extended reproduction of capital) yang bersangkutan dengan bagaimana kapitalisme itu berkembang, yakni pembesaran kapasitas produksi (peralatan  dan teknologi produksi termasuk ketrampilan si pekerja) terjadi secara terus-menerus karena adanya bagian dari surplus yang dipakai kembali dan bergabung dengan modal yang telah ada. Dinyatakan oleh Alavi (1992:181) bahwa ”dalam kasus kapitalisme pinggiran, bila nilai surplus yang digerakkan dalam masyarakat itu diambil oleh kapitalisme metropolitan, maka pertumbuhan kekuatan-kekuatan produktif bukan pada masyarakat kapitalisme pinggiran, tetapi pada masyarakat kapitalis metropolitan.”  Secara keseluruhan, Alavi (1992:81) membuat bagan pembeda antara cara produksi feodal, kapitalis dan kapitalisme pinggiran (lihat bagan 4).

Tentu saja keberadaan kapitalisme dalam suatu masyarakat tertentu memiliki asal-usul. Di negara-negara Dunia Ketiga, mode of production kapitalisme mulai diperkenalkan, dikembangkan dan dipelihara oleh penguasa kolonial. Hal ini pula yang menjadi kekhasan kapitalisme pinggiran, yakni tidak terpisahnya antara penguasa ekonomi dengan penguasa politik (Alavi, 1992:182). Para penguasa negara kolonial dan paska kolonial memiliki kesamaan kepentingan dengan penguasa usaha-usaha kapitalis, bahkan lebih dari itu, perusahaan-perusahaan kapitalis itu dimiliki oleh para penguasa negara itu sendiri. 

 

Tabel 4. pembeda antara cara produksi feodal, kapitalis dan kapitalisme pinggiran 

 

Cara Produksi Feodal

Cara Produksi Kapitalis

Cara Produksi Kapitalisme Pinggiran

1.

Buruh tidak bebas, produsen langsung dalam pemilikan alat-alat produksi (tanah dan lain-lainnya)

Buruh ”bebas”: (i) bebas dari kewajiban-kewajiban feodal; (2) hak milik dicabut – pemisahan produsen dari alat-alat produksi

Sama seperti pada Cara Produksi Kapitalis

2.

Tekanan ekstra-ekonomi demi perolehan surplus

”Paksaan” ekonomi dari produsen yang dicabut hak miliknya

Sama seperti pada Cara Produksi Kapitalis

3. 

Struktur kekuasaan yang terbatas, penyatuan kekuasaan ekonomi dan politik dalam bidang produksi – suatu syarat yang diperlukan untuk memperoleh surplus secara paksa

Pemisahan kekuasaan ekonomi (kelas) dari kekuasaan politik (negara); pembentukan negara dan hukum borjuasi

Struktur kolonial yang khusus

4.

Swasembada perekonomian yang terbatas, ditunjang dengan sirkulasi komoditi-komoditi yang sederhana

Produksi komoditi untuk umum (produksi diutamakan untuk dijual; tenaga buruh sendiri adalah komoditi)

Struktur kolonial yang khusus

5.

Reproduksi yang sederhana yang sebagian besar surlusnya dikonsumsi.

Reproduksi modal yang luas dan muncul dalam komposisi modal yang dipakai (organic)

Struktur kolonial yang khusus

 

Peralihan ke kapitalisme di negara-negara Dunia Ketiga memiliki jalur yang tentunya berbeda dengan yang terjadi di Eropa Barat atau Amerika. Hal ini disebabkan oleh pengaruh dari kedudukannya sebagai satelit dari kapitalisme dan negara di pusat. Walhasil, di Dunia Ketiga kita tidak menemukan perubahan ke kapitalisme melalui apa yang diistilahkan Lenin dalam karya utamanya The Development of Capitalism in Rusia  sebagai “Jalur Kulak” seperti yang terjadi pada pertumbuhan kapitalisme di Amerika, tempat dimana para pengusaha pertanian kapitalis tumbuh berasal dari petani kecil, dan para buruh pertanian dahulunya juga berasal dari petani kecil. Perubahan sebagian kecil petani menjadi petani kapitalis, dan sebagian besar petani menjadi buruh proletariat terjadi secara internal dalam masyarakat itu. Sam Moyo dan Paris Yeros (2005) meringkaskan lima jenis jalur utama ke kapitalisme yang terjadi di Dunia Ketiga:[2]

a.     Jalur “Junker”, yakni  tuan tanah feodal yang beralih menjadi kapitalis, yang banyak terjadi di Amerika Latin dan Asia (di luar Asia Timur), dengan berbagai variasinya seperti yang terjadi pada penguasa tanah kulit putih di Afrika bagian selatan.  Sepanjang abad 20, transformasi tuan tanah feodal menjadi kapitalis ini terus terjadi dan berpuncak pada masa “revolusi hijau” awal tahun 1970-an sampai bioteknologi saat ini. Sekarang, kapitalis yang tumbuh dari jalur ini biasanya berpasangan dengan modal transnasional raksasa. Di berbagai tempat di Afrika, para penguasa tanah luas ini ada juga yang mengubahnya menjadi usaha pengelolaan eko-turisme dengan layanan alam maupun binatang-binatang liar.

b.    Jalur “perdagangan” dari anasir borjuis kota, termasuk pemodal pedagang,  birokrat, personil militer maupun kaum profesional, yang memperoleh akses pada tanah melalui mekanisme ekonomi apakah melalui sewa maupun membeli, melalui negara maupun pasar.   Meski mereka menguasai dan mengusahakan tanah yang cukup besar, namun secara umum lebih kecil dari para kapitalis yang tumbuh dari jalur pertama di atas. Saat ini mereka umumnya terintegrasi dengan pasar eksport dan agroindustri global.

c.     “Jalur Negara” yang mengandalkan pengadaan tanah yang dilakukan oleh pemerintah, utamanya demi proyek-proyek pembangunan negara-bangsa. Di jaman pembangunanisme yang dimulai tahun 1970-an, banyak terjadi privatisasi dan pemberian konsesi untuk produksi perkebunan, komoditi kehutanan, perikanan dan lain-lain. Kuasa legal dan ektra-legal dari negara dalam provatisasi dan memberikan konsesi tersebut telah mengubah sistem produksi pra-kapitalis yang sebelumnya ada.

d.    Jalur yang sedikit terjadi, adalah berubahnya para produsen pertanian yang kecil menjadi petani menengah dan kaya. Biasanya, perubahan itu diakibatkan oleh kombinasi akumulasi kekayaan dari petani itu sendiri dan fasilitas dari kebijakan negara yang menumbuhkan industri pertanian melalui kebijakan proteksi, subsidi dan fasilitasi. Mereka diuntungkan oleh kecenderungan neoliberal dari negara-negara Dunia Ketiga, seperti dekolektifisasi, dekomunalisasi yang berpasangan dengan investasi perusahaan transnasional dan nasional pada bidang non-pertanian, perdagangan pertanian, transportasi dan lainnya. Para kapitalis baru ini dapat tidak menguasa tanah secara langsung, tapi mengunakan sistem kontrak pada para pemilik tanah kecil lain dengan mengendalikan sarana untuk produksi (input, standard maupun penampungan hasil).

e.     Terakhir, “jalur Petani Miskin”, yang mampu menciptakan masa buruh pertanian. Berbeda dengan jalur-jalur yang sebelumnya, yang berpusat pada penciptaan kapitalis, jalur ini adalah penciptaan proletariat penuh dan/atau semi-proletariat. Jalur ini ditandai oleh kecenderungan dualisme fungsional, yakni proletarisasi akibat proses ekonomi maupun demografi di satu pihak, dan di pihak lain kecenderungan tetap dipertahankannya produksi pertanian subsistensi untuk menjamin keamanan makanan bagi orang miskin. Kaum proletariat dan semi-proletariat pedesaan bermigrasi di daerah pedesaan, dari daerah pedesaan ke pusa-pusat kota, termasuk melintasi batas negara sebagai tenaga kerja migran internasional; Mereka mengisi ruang-ruang di sektor informal baik di kota maupun desa. 

 

Nasib petani di hadapan kapitalisme neoliberal 

            Di kalangan sarjana pengkaji masih diperdebatkan bagaimana nasib petani dalam periode kapitalisme neoliberal ini. Perdebatan ini bukan sekedar teoritik, melainkan juga empiris. Satu kecenderungan utama diwakili oleh golongan yang menganggap petani akan lenyap, seperti yang dikemukakan oleh sejarawan kaliber dunia Eric Hobsbawm (1994: 288-9, 415) dalam karya klasiknya Age of Extremes menulis -- sebagaimana dimuat dalam Bernstein (2003:3) -- bahwa:

Bagi 80 persen manusia, Abad Pertengahan telah berakhir tiba-tiba di tahun 1950-an … perubahan yang sangat dramatis dari paruh kedua abad ini, dan sesuatu yang meutus hubungan kita dari dunia masa lalu, adalah kematian petani (the death of the peasantry) (yang merupakan mayoritas penduduk manusia sepanjang sejarah yang diketahui).

Satu buku relatif baru yang merekam pemikiran aliran ini disunting oleh Bryceson, Kay, and Mooij (2000), Disappearing Peasantries? Rural Labour in Africa, Asia, and Latin America.  Kumpulan karya tulis berbagai peneliti pedesaan Asia, Afrika dan Amerika Latin ini sampai pada kesimpulan si penyunting bahwa secara umum ”penerapan kebijakan-kebijakan penyesuaian struktural (structural adjustment policies) dan liberalisasi pasar skala dunia akan terus memberi akibat pemusnahan (dissolving effect) kehidupan petani (Bryceson dkk 2000: 29). Hal ini sejalan dengan pula pandangan Henry Bernstein (2003), dalam karya terkenalnya baru-baru ini: "Farewells to the Peasantry". Ia ”mempertanyakan apa dan bagaimanakah yang diistilahkan dengan petani (peasants/peasantry) di dunia kontemporer dapat diteoritisasi dengan menyelidiki kondisi-kondisi dan reproduksi keberadaannya, kedudukannya dalam mode of production kapitalis: hubungan-hubungan sosial, dinamika akumulasi dan pembagian-pembagian kerja kapiralisme/imperialisme” (Berstein, 2003:4). Setelah ia mempertimbangkan kedudukan usaha produksi petani yang berupa petty commodity production dan kedudukan pertanian dalam kapitalisme, serta bagaimana peran dan kedudukan petani-petani di Selatan dan keluarga-keluarga petani di Utara dalam konteks pembagian kerja internasional, sampailah Bernstein (2003:14) pada kesimpulan bahwa : 

Disamping adalah tidak mungkin mengeneralisasikan akibat (dari bentuk yang tidak sama dan sangat beragam) dari globalisasi pada petani (yang terdiferensiasi), adalah jelas bahwa dalam masa imperialisme dewasa ini, banyak petani miskin masih bergulat dalam lingkaran reproduksi yang sederhana, sebagai bagian dari mayoritas orang miskin di Selatan maupun Utara. Bersama dengan proletariat pedesaan yang tidak bertanah, petani-petani miskin menjadi bagian dari cadangan tenaga kerja (reserve army of labour) di pedesaan dan di kota-kota kecil serta kota-kota besar yang menjadi bagian utama dari satelit imperialis, yang mengisi hubungan-hubungan desa-kota, termasuk migrasi reguler dalam rangka mengisi kesempatan kerja berupah sebagai tenaga kerja lepas -- footloose labour,  menggunakan istilah Jan Breman (Breman 1996). Namun hal ini tidak merupakan rute yang seragam dan satu-arah menuju tujuan yang tidak terelakkan: yakni kematian yang pasti atau menyeluruh  dari usaha kecil produksi komoditi di sektor pertanian (agricultural petty commodity production). Aliran perubahan ekonomi yang dijalankan oleh globalisasi, dan bagaimana mereka diperantarai oleh struktur kelas yang beragam dan dinamikanya sebagai satelit dari imperialis, dapat mengkonsolidasikan ruang hidup tertentu dari usaha produksi kecil komoditi (petty commodity production), dan juga membentuk ruang hidup baru serta menghabisi ruang hidup yang telah ada. Sesungguhnya tekanan pada kesempatan kerja industrial dan perkotaan, pada tingkat tertentu dapat menghasilkan kecenderungan pembentukan-petani-kembali (re-peasantisation). Sejumlah contoh utama ada dari Amerika Latin, seperti para bekas buruh tambang timah, yang secara historis adalah bagian dari kelas buruh di Bolivia, sekarang beralih ke penanam coklat (Petras 1997:26-9), dan Gerakan Pekerja Pedesaan di Brazil (Movimiento Rural Sem Terra) yang James Petras (1998:124) nilai sebagai gerakan sosial pedesaan yang paling dinamis di Amerika Latin dewasa ini. 

 

            Ada juga pemikir lain, yang juga bersetuju dengan kecenderungan kapitalisme menghabisi keberadaan petani di pertanian, akan tetapi menyaksikan bahwa secara empiris di negara-negara Dunia Ketiga, mode of production kapitalisme dan perlawanan terhadapnya ini tidak menghabisi seluruh petani dalam sektor pertanian wilayah seantero negeri. Mereka percaya para petani di sebagian wilayah negeri masih dapat hidup dalam sistem produksi non-kapitalis (petty commodity production) yang dipraktekkannya. Bahkan, menurut Alavi (1992:175), kapitalisme pinggiran memiliki dua proses ganda yang paradoks, yakni di satu pihak menghancurleburkan, dan di pihak lain justru melestarikan mode of production yang ada sebelumnya. Formula ini disebutnya sebagai conservation-dissolution. Alavi merujuk pada kenyataan bahwa banyak sekali cara produksi pertanian subsistensi di negara-negara Dunia Ketiga dilestarikan keberadaannya, karena kesanggupannya menyediakan buruh murah untuk sektor-sektor produksi kapitalis. Kita dapat juga menunjuk pada kenyataan bahwa pertanian rakyat di pedesaan dipertahankan keberadaannya karena mampu menghasilkan banyak barang makanan yang lebih murah dan dapat menjamin buruh industri mendapatkan makanan. Dengan demikian, sektor kapitalis industri tetap dapat mempertahankan eksploitasi terhadap kerja buruh dengan upah yang sangat murah. 

 

Kapitalisasi Alam Jilid Kedua 

 

            Kehebatan cara produksi kapitalis adalah mengintegrasikan segala sesuatu menjadi modal  dan komoditi. Dalam tahapannya yang terdahulu, tanah dan alam didefinisikan dan diperlakukan sebagai arena luar yang dapat dimasukkan ke dalam modal. Istilah-istilah seperti “eksploitasi sumber daya alam” atau ”alam adalah eksternalitas dari produksi” merupakan turunan saja dari cara pandang pada tahapan ini.  Alam selama ini dianggap sebagai pemberi input dan penerima resiko saja dari produksi kapitalistik. Persaingan yang menghebat antar usaha produksi kapitalis  telah membuat perlombaan merusak alam, sehingga  para manajer kapitalis dan para ahli yang mengabdikan diri padanya sampai pada kesadaran tentang keterbatasan alam itu sendiri sebagai kondisi-kondisi produksi yang mereka jalankan. Lebih dari itu, kesadaran ini telah sampai pada kesadaran global pada kepala pemerintahan dimana usaha-usaha kapitalis itu diandalnya. Bahwa apa yang disebut sebagai krisis ekologi ini wajib menjadi keprihatinan global dan perlu mengubah pola pembangunan kapitalis menjadi apa yang dirumuskan kemudian sebagai “pembangunan berkelanjutan” atau sustainable development.  Karya terkenal dari James O’Connor (1988), ”Capitalism, Nature, Socialism: A Theoritical Introduction”, merupakan pelopor utama dalam upaya memahami krisis ekologi ini dalam rangka restrukturisasi dalam kapitalisme Ia mengistilahkan situasi ini sebagai “kontradiksi kedua”, untuk membedakan dengan “kontradiksi pertama” yang terjadi antara kekuatan produktif dengan hubungan sosial dalam produksi (O’Connor, 1988).  

            Berbeda dengan cara pandang terdahulu itu, pada cara pandang tahap yang dapat disebut sebagai ”tahap ekologis”, alam yang tadinya belum masuk menjadi modal karena belum dieksploitasi telah dikelola menjadi apa yang disebut sebagai “modal ekologis”.  Bagian-bagian dari alam yang semula tidak dijadikan modal,  dengan modus pengelolaan khusus dapat dijadikan unsur internal dari modal.  Dalam karya lainnya, ia menuliskan bahwa (O’Connor, 1993:8):

“Sejalan dengan kapitalisme itu, dinamika pokok kapitalisme berubah bentuk, dari akumulasi dan pertumbuhan yang hidup dari suatu ranah eksternal menuju pengelolaan-diri dan konservasi sistem berkenaan dengan kapitalisasi alam sebagai suatu sistem yang tertutup yang kembali ke dirinya sendiri”

Alam yang tadinya merupakan eksternalitas dari produksi telah ditransformasikan menjadi internalitas. Arturo Escobar (1996:47) memberi contoh yang sangat baik bagaimana keanekaragamanhayati di hutan-hutan tropis telah dijadikan ”modal ekologis” ini. 

“Kunci keberlangsungan hidup hutan-hutan tropis dipandang terletak pada gen-gen galur biologis, yang kemanfaatannya dapat diwujudkan menjadi keuntungan melalui rekayasa genetik dan bio-teknologi dalam produksi komoditi yang bernilai komersial, seperti produksi farmasi. Dengan demikian, modal telah mengembangkan kecenderungan sebagai pelestari alam, (praktek) yang sangat berbeda dari bentuk lazimnya yang serampangan dan merusak.”

Sejalan dengan hal ini, Vandana Shiva (1992: 14-15) menegaskan bahwa,

Ketika dahulu, tanah adalah pusat akumulasi primitif dari kapitalisme awal, sekarang sumber daya biologis adalah pusat dari akumulasi primitif dari kapitalisme lanjut”

 

            Jadi, alam yang dalam cara pandang terdahulu ini hanyalah ditempatkan hanya sebagai kondisi dari produksi, telah diperhatikan secara khusus menjadi suatu “modal ekologis” yang perlu dipelihara tersendiri. Bahkan, cara pandang atau wacana bahwa “alam musti dipelihara” itu sendiri pun perlu dipelihara secara khusus. Lebih lanjut, Escobar (1996: 47) menjelaskan bahwa: 

”Kecenderungan lain adalah diperlukan penggabungan yang lebih luas antara wacana dan alam sebagai modal. Penggabungan ini bukan berujung pada akumulasi eksloitatif yang akan menggerogoti kondisi produksi melainkan sebaliknya, meminta manajemen berkelanjutan atas sistem-sistem alam yang terkapitalisasi. Kendati kedua bentuk modal tersebut hadir berdampingan, namun bentuk yang pertama mengawali bentuk yang kedua, yang hadir ketika perampasan oleh modal yang berlangsung secara kasar itu ditentang habis-habisan oleh gerakan sosial. Jelas, bentuk modal kedua mensyaratkan dominasi budaya secara mendalam – bahkan disini gen-gen galur kehidupan pun dipandang dalam pengertian produksi dan peluang keuntungan yang bisa dihasilkan.”  

 

Escobar (1996: 56-57 ) lebih lanjut mengkritisi kapitalisasi alam model baru ini:

”Bentuk modal kedua ini bukan saja terletak pada penaklukan terhadap alam (sebagai ”sumber keanekaragaman hayati”) dan komunitas lokal (sebagai ”perawat alam”); ia juga membutuhkan penaklukan semiotik terhadap pertarungan lokal, sedemikian rupa sehingga untuk ”menyelamatkan alam,” pengetahuan lokal yang dikodifikasi mkenurut sistem pengetahuan ”adat” dan ”tradisional” dianggap sebagai pelengkap yang bermanfaat bagi biologi modern. Kendati demikian dalam wacana-wacana ini, pengetahuan dipandang sebagai sesuatu yang berada di ”benak” pribadi-pribadi (pawang atau para tetua adat) tentang suatu ”objek” di luar mereka (”tetumbuhan”, ”galur-galur kehidupan”), yang ”manfaat” medis atau ekonomisnya diharapkan ditularkan dari para pembawa pengetahuan lokal itu kepada kita. Pengetahuan lokal tidak dipandang sebagai suatu konstruksi budaya yang rumit, yang melibatkan berbagai gerakan sosial peristiwa historis yang bersifat relasional. Padahal bentuk-bentuk pengetahuan ini lazimnya mengandung cara kerja dan cara relasi di bidang sosial dan budaya yang sama sekali berbeda. ... Ketika pengetahuan lokal dibawa memasuki politik, sains modern mengkodifikasinya ulang dengan cara-cara utilitarian.” 

Dengan perspektif demikian, kita menjadi mudah mengerti adanya gejala kapitalisasi ganda di Dunia Ketiga, yakni selain terus hadir bentuk-bentuk konvensional dari usaha produksi kapitalis yang memproletarisasi kaum petani dan merusak lingkungan, telah pula berkembang semenjak dua puluhan tahun lalu, suatu bentuk baru kapitalisasi alam berupa proyek-proyek konservasi wilayah yang sangat luas, baik atas biaya negara sendiri maupun dari bantuan hibah, hutang ataupun bentuk lain dari badan-badan internasional ataupun negara-negara Barat, seperti yang dikenal dengan istilah debt swap for nature (penghapusan hutang dengan cara menetapkan suatu wilayah luas sebagai kawasan konservasi dan berada di bawah fasilitasi atau yurisdiksi suatu badan internasional tertentu), atau pun biaya dari perusahaan-perusahaan transnasional secara langsung maupun tindak. Dengan demikian pula, tidak perlu kita heran pula mengapa banyak orang berpendapat bahwa usaha dari badan-badan internasional yang memperjuangkan dan membiayai penetapan kawasan-kawasan konservasi di Dunia Ketiga dijuluki dengan istilah “conservation-industry” atau  istilah yang berusaha mengingatkan orang pada watak kapitalisme industri. 

            Dalam konteks ini sangat penting bagi eksponen gerakan sosial untuk menyadari bagaimana diaturnya proses dan manajemen internalisasi dari alam,  komunitas lokal dan pengetahuan yang tadinya eksternalitas dari produksi.  Escobar (1996:57) menerangkan bahwa:

”Alam dan komunitas lokal kini dipandang sebagai sumber dan pencipta nilai – bukan sekedar bahan mentah atau buruh. Wacana keanekaragaman hayati telah mendudukkan keduanya pada posisi baru. Harga spesies-spesies mikroorganisme, flora dan fauna sebagai sumber daya tidak sebesar kalau ia dinilai sebagai penampung nilai – nilai ini tepat berada dalam gennya – yang oleh riset ilmiah bersama bioteknologi bisa diaktualisasikan demi kepentingan modal dan komunitas. Inilah alasan mengapa komunitas masyarakat adat dan pedesaan di kawasan-kawasan hutan-hujan tropis di seluruh dunia akhirnya diakui sebagai pemilik wilayah mereka (apapun yang tersisa dari sana). Namun, hanya sebatas ketika mereka bersedia menerima dan memperlakukan wilayah mereka sendiri sebagai penampung modal. Komunitas-komunitas di berbagai belahan dunia lantas dikenai proyek-proyek keanekaragaman hayati agar menjadi ”perawat modal” sosial dan alam, yang pengelolaannya secara berkelanjutan sekaligus merupakan tanggungjawab mereka dan kaum bisnis yang bekerja untuk ekonomi dunia.”

Di lain pihak, eksponen gerakan-gerakan sosial sendiri  secara eksplisit membentuk suatu strategi politik tertentu agar penduduk lokal dapat mempertahankan wilayah, budaya dan identitas yang melekat pada tempat yang khusus dan tak tergantikan tersebut. Gerakan-gerakan ini mengkombinasikan suatu politik kebudayaan tertentu dengan pertimbangan-pertimbangan ekologis. Golongan ini

“menyadari bahwa “keanekaragaman hayati” adalah suatu bangunan konsep yang hegemonik, para aktivis gerakan-gerakan ini mengakui bahwa discourse ini membuka ruang untuk konstruksi bentuk-bentuk pembangunan yang berdasar budaya, yang dapat menandingi kecenderungan-kecenderungan etnosentrik dan ektraktivist. Tugas paling utama mereka adalah proyek mempertahankan keseluruhan kehidupan, dan bukan hanya ”sumber daya” atau keanekaragaman hayati (Escobar, 1998:61).”

 

Mesin-mesin Neoliberalisme 

 

Pagelaran kuasa yang utama saat ini dihadapi negara-negara Dunia Ketiga, termasuk rakyat pedesaannya adalah ekspansi dari perusahaan-perusahaan kapitalis transnasional (TNC - transnasional corporations). Watak dasar egoistik dari perusahaan kapitalis transnasional ini sesungguhnya tetap tidak berubah, yakni bagaimana menciptakan situasi dan kondisi yang mendukung dirinya, namun berbeda cara kerjanya. Bonnie Setiawan (2004) merumuskan:

”Dari abad-ke-abad hingga sekarang, penguasaan agraria dikuasai oleh kelas penguasa dan merupakan inti dari sistem ekonomi-sosial-politik-budaya (kapitalistik). Ketika kelas penguasa memakai strategi pasar (neo-liberal), maka sumber-sumber alam diletakkan sebagai komoditas bebas di dalam pasar bebas yang bisa dikuasai oleh siapa saja asalkan mampu membelinya. Ada dua tahap penguasaan. Pertama, tahap kapitalisme primitif, di mana penguasaan sumber-sumber alam (dan tanah) dilakukan melalui mekanisme ekstra-ekonomi, yaitu kekuasaan politik. Hal ini masih terjadi di Indonesia sampai sekarang, di mana perampasan dan penggusuran tanah dilakukan lewat kekuasaan negara dan militer. Tahap kedua, adalah tahap kapitalisme modern (sekaligus kapitalisme global), di mana penguasaan sumber-sumber alam dilakukan melalui kekuatan modal. Sumber-sumber alam itu harus ditaruh dalam pasar komoditas yang bebas diperdagangkan, sehingga siapa saja akan mempunyai akses untuk memperjual-belikannya, termasuk dari pihak asing.”

Jadi dengan mudah dapat kita temukan perbedaannya bahwa dahulu pada jaman kolonial dan pembangunan, perusahaan-perusahaan kapitalis global bekerja dengan mengandalkan kuasa koersif dari negara-negara jajahan dan nasional yang otoritarian. Sekarang, ketika negara otoritarian nasional makin dinilai semakin berbiaya tinggi, sudah merugikan dan tidak lagi mampu mendukungnya, maka pilihannya menjadi pasti: bagaimana mereformasi negara nasional untuk kemudian menjadikan negara nasional itu sebagai kekuatan pendukung proses transaksi investasi dan pasar. Reformasi dalam konteks ini tidak bisa dibaca sebagai upaya memungkinkan perubahan tata pemerintahan yang mendasar, melainkan lebih untuk melakukan penataan agar kerja tata pemerintahan bisa kembali ramah  terhadap kepentingan modal raksasa merajai investasi dan pasar (market friendly). 

Mansour Fakih (2003:112) menerangkan mekanisme kerja neoliberalisme dengan penciptaan mekanisme globalisasi sistem dan proses produksi, yakni konsolidasi sistem fabrikasi dunia melalui penciptaan hierarki jaringan produksi dan perdagangan skala global. 

“Proses ekspansi sistem produksi global ini dikembangkan melalui penciptaaan dan pengalokasian Zone Proses Ekspor (Export Proccessing Zone/EPZs). EPZ adalah suatu wilayah yang dikhusukan bagi ekspor dengan syarat mampu mengembangkan aturan duane, pajak domestik, dan perburuhan yang minimal, supaya menjadi menarik bagi TNCs. Dengan demikian jelas, bahwa TNCs lah yang berkepentingan, karena merekalah yang diuntungkan. Tidak heran, mengapa selama dua dasawarsa menjelang berakhirnya abad Millenium, jumlah TNCs meningkat pesat, dari sekitar 7000 TNCs di tahun 1970, dalam tahun 1990 jumlah itu mencapai 37,000 TNCs. Selain jumlahnya TNCs juga berhasil menguasai perkonomian dunia. TNCs berhasil menguasai 67 persen perdagangan dunia. Lebih lanjut mereka juga telah berhasil menguasai 75 persen dari total investasi global. Ada 100 TNCs dewasa ini menguasai ekonomi Dunia. Mereka mengontrol 75 persen perdagangan dunia.” 

            Selain TNCs, aktor lain yang memainkan peran besar dalam globalisasi adalah lembaga Finansial Internasional (IFIs), yang sering juga disebut “Multilateral Development Banks.” IFIs merupakan organisasi global yang beranggotakan negara-negara maju, bertugas memberi utang kepada negara miskin. Ada dua IFIs yang secara global dikenal yakni The World Bank dan International Monetary Fund (IMF). IMF ini adalah organisasi yang paling berkuasa di abad 20. Berpusat di Washington DC, IMF memiliki misi untuk mengupayakan stabilitas keuangan dan ekonomi melalui pemberian utang, guna meringankan penyesuaian neraca pembayaran dengan suatu “kondisionalitas” yang ditentukan. IMF saat ini beranggotakan 182 negara. Namun Amerika Serikat yang paling berkuasa atas segala keputusan IMF, karena negara itu memiliki hak voting mencapai 17.8 persen. Selain Amerika Serikat tidak ada yang memiliki hak voting lebih dari 6 persen. Sementara mayoritas negara anggota hanya memiliki kurang dari 1 persen. 

            Selain IMF, Bank Dunia juga aktor penting yang pada dasarnya adalah lembaga pemberi utang multilateral. Bank Dunia terdiri atas empat lembaga keuangan yang saling berkaitan, namun IBRD yang lebih sering disebut sebagai Bank Dunia. Misi Bank Dunia adalah sebagai lembaga internasional yang membantu mengurangi kemiskinan dan membiayai investasi untuk pertumbuhan ekonomi. Namun berbagai program Bank Dunia seperti “Structural Adjustment Program”  mengubah misi awalnya itu dan justru menjadi pendukung utama model ekonomi pasar bebas. 

Memang begitulah, Structural Adjustment Programs (Program-program Penyesuaian Struktural) merupakan program utama dari neo-liberalisme dalam rangka membuat negara menjadi ramah kepada pasar. Rita Abrahamsen (2003:65-66) telah meringkaskan dengan sangat baik anatominya sebagai berikut:

”Diketahui secara luas bahwa tipe program-program penyesuaian dapat dibedakan menjadi dua: stabilisasi dan kebiajkan-kebijakan penyesuaian struktural. Stabilisasi didorong oleh IMF dan umumnya berjangka pendek serta dirancang untuk segera mempunyai dampak pada nota anggaran negara melalui kebijakan-kebijakan seperti devaluasi, deflasi, serta kontrol moneter dan fiskal. Program-program ini, diharapkan mengurangi pendapatan riil sehingga dapat menekan permintaan domestik baik terhadap barang-barang import maupun eksport. Meskipun program-program stabilisasi memusatkan perhatian pada pengendalian permintaan, namun kebijakan-kebijakan penyesuaian struktural ditujukan pada sisi suplai ekonomi. Sementara itu, tindakan-tindakan penyesuaian struktural dikelola oleh Bank Dunia dan berusaha mengatasi persoalan keseimbangan pembayaran dengan meningkatkan produksi ekspor. Program-program ini umumnya lebih berjangka-panjang serta berupaya meningkatkan produktifitas dan efisiensi, mengubah sumberdaya menjadi proyek-proyek yang produktif, dari sektor yang tidak dapat diperdagangkan menjadi sektor yang dapat diperdagangkan.

Bagaimanapun, stabilisasi dan tindakan-tindakan penyesuaian struktural, biasanya tidak berdiri sendiri, program-program yang aktual biasanya mengandung kombinasi keduanya.  Dalam pembagian tugas antara lembaga-lembaga Bretton Woods, saran mengenai kebijakan-kebijakan ekonomi-makro dari IMF harus dijalankan ketika Bank Dunia setuju untuk menopang negara tersebut. Karena itu, dalam prakteknya, kedua tipe penyesuaian tersebut saling berjalin kelindan dan nyaris tidak bisa dibedakan. ...

Program-program ini memiliki landasan teoritis yang sama dengan pandangan perekonomian neo-liberal dan asumsi utama program tersebut adalah bahwa pasar di dalam dirinya bersifat superior untuk merencanakan dan mengontrol fisik dalam alokasi sumber daya, demikian pula dalam menghadapi persoalan pembangunan. Karena itu, ”negara tidak boleh campur tangan ketika pasar dapat bekerja meski secara moderat” (World Bank 1994a:183). Akibat dari Program-program Penyesuaian Struktural adalah liberalisasi ekonomi ... pada umumnya, dan peran-negara secara drastis telah direduksi melalui pengurangan-pengurangan pengeluaran publik, privatisasi kegiatan-kegiatan sektor publik, serta penghapusan kontrol atas impor, ekspor dan devisa.”

            

Selain itu, globalisasi pasar, investasi dan proses produksi dari perusahaan-perusahaan transnasional (TNCs) juga diatur melalui organisasi perdagangan Global yang dikenal dengan GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) yang ditandatanginya April 1994 di Marrakesh Maroko. GATT adalah kumpulan aturan internasional yang mengatur perilaku perdagangan antar-pemerintah dan forum negosiasi dan pengadilan perdagangan antar-pemerintah, jika terjadi perselisihan dagang antara bangsa pesertanya. Mereka yakin bahwa persaingan bebas akan meguntungkan bagi yang efektif dan efiesien. Pada tahun 1995 GATT dilembagakan dalam organisasi perdagangan dunia baru yang dikenal dengan World Trade Organizations (WTO).[3] Tugas WTO pada dasarnya mengatur kapitalisme seluruh dunia.  Sementara aturan GATT lebih terbatas pada melakukan regulasi atas perdagangan barang barang, namun wewenang  WTO lebih luas lagi, organisasi itu tidak hanya mengatur barang manufaktur,  mereka juga mengatur jasa,  termasuk jasa transportasi internasional, sistim komunikasi, bahkan mereka ingin mengatur perdagangan bebas di bidang  produk pertanian dan benih.  

Bonnie Setiawan (2004) meringkaskan pengaruh kerja mesin neoliberal itu dalam sektor pertanian pangan dengan nada yang memperlihatkannya sebagai ancaman yang nyata saat ini dan masa depan:

”Bahaya strategi Pasar Neo-Liberal saat ini bukan saja sedang mengancam, tapi sudah terjadi dan telah memakan korban. Kekuasaan pasar dan dominasi pemikiran neo-liberalisme terhadap pertanian nyatanya telah membawa petani ke dalam lubang kematiannya. Sebentar lagi seluruh dunia akan dikuasai oleh agen-agen paling utama dari pertanian global, yaitu perusahaan-perusahaan multinasional raksasa di bidang agribisnis dan bisnis pangan (agrifood). Dunia sedang dibawa ke dalam sebuah proses produksi dan proses perdagangan yang membuat para petani se-dunia dalam situasi yang mirip buah simalakama: dimakan, mati; tidak dimakan juga mati. 

 

Ini karena perdagangan dunia telah dikuasai oleh TNC-TNC agribisnis. Merekalah yang mampu menetapkan harga, menjatuhkan harga, menaikkan harga, dan mengatur mata rantai perdagangan di seluruh dunia. Skenarionya adalah seperti ini: mereka menguasai sejak dari titik hulu, dimana benih diproduksi lewat rekayasa genetika, benih-benih tradisional dibajak dan dimatikan, dan perdagangan benih mereka kuasai. Mereka juga menguasai produksi input (asupan) pertanian, sejak dari pupuk, obat-obatan, pestisida dan lain-lainnya. Setelahnya bank-bank pemerintah diprivatisasi agar tidak ada lagi bantuan kredit murah dan harus memakai bunga bank komersial. Setelahnya program-program pembangunan pertanian diarahkan ke paradigma pasar bebas dan pertanian neo-liberal, dimana semua ditentukan oleh pasar. Pinjaman utang juga diarahkan bagi proyek-proyek pertanian berorientasi pasar dan eksport. Selanjutnya TNC menguasai mata rantai produksi hingga perdagangan sampai ke titik hilir penjualan di supermarket-supermarket, sehingga mampu mengambil keuntungan berlipat-lipat, yang disebut sebagai system “cluster”. Para TNC di negara maju juga mendapat subsidi pertanian milyaran dollar, sehingga mereka mampu menjual dengan harga dumping (lebih murah dari harga produksi dan harga di pasar dalam negeri mereka sendiri). Belum lagi puas, maka lewat WTO mereka mencoba membuat aturan-aturan pertanian global yang membuka pasar domestik negara-negara berkembang, yang notabene agraris, agar bisa leluasa dimasuki oleh eksport pertanian dan pangan mereka. Dengan aturan WTO, maka tarif bea masuk sebagai satu-satunya alat pertahanan sebuah negara juga dilucuti. Ke depan, industri pertanian dan pangan AS diproyeksikan akan bisa mencukupi kebutuhan pangan seluruh dunia.”

 

Land Reform-nya Bank Dunia 

            Dalam dekade ini, skenario neo-liberalisme juga telah sampai pada upaya mengubah kebijakan pertanahan negara-negara Dunia Ketiga secara langsung melalui pinjaman dan asistensi  teknis yang mereka berikan. Pada tahun 2003, Bank Dunia mengeluarkan suatu buku Land Policies for Growth and Poverty Reduction yang menandakan adanya suatu skenario resmi Bank Dunia untuk mengubah kebijakan pertanahan negara-negara Dunia Ketiga dengan memperkenalkan, memprogramkan hingga membiayai agar pasar tanah dapat bekerja.  Hal terakhir ini lah – pengabdiannya pada pembentukan, penggunaan dan percepatan pasar tanah – yang membedakannya secara prinsipil dengan kebijakan khusus Bank Dunia Land Reform: Sector Policy Paper (World Bank, 1975) yang dikeluarkan untuk menghadapi arus besar land reform pada tahun 1960-an hingga 1970-an. Saturnino M. Boras (2003:6) meringkaskan argumen kebijakan pertanahan Bank Dunia dalam paragraf yang padat berikut ini: 

“Pada awal kemunculan neo-liberalisme global pada akhir periode 1970an, land reform diabaikan oleh agenda kebijakan pembangunan dengan berbagai alasan, termasuk prioritas pembayaran kembali hutang bagi banyak negara. Beberapa konflik politik dramatis berbasis tanah pada tahun 1990an, menjadikan land reform hidup kembali sebagai agenda kebijakan yang utama. Upaya pencarian kaum neo-liberal untuk mendapatkan ‘alokasi dan pemanfaatan lahan yang paling efisien’ bagaimanapun juga memberi andil besar bagi kemunculan kembali kebijakan tersebut. Para ahli ekonomi Neo-Liberal, terutama mereka yang bekerja dalam land policy unit di Bank Dunia, percaya bahwa pertanian yang kompetitif dan efisien secara ekonomi harus diciptakan dan diperkuat jika tujuan kebijakan ekonomi global neo-liberal hendak dicapai. Terdapat banyak jalan untuk mencapai tujuan tersebut, tergantung pada struktur agraria yang berlaku di setiap negara. Pertama, melakukan privatisasi secara besar-besaran dan pendaftaran tanah sistematik secara pribadi (individual) atas tanah-tanah komunal/publik dengan rangka mengaktifkan modal yang belum aktif (“tidur”) dalam bentuk tanah. Di samping negara-negara di Afrika sudah dan akan terus dipengaruhi oleh inisiatif ini, kebijakan tersebut juga diterapkan di tanah-tanah masyarakat adat di Amerika Latin dan Asia. Kedua, menerapkan privatisasi dan memecah-mecah tanah pertanian milik negara dan kolektif lainnya dalam kerangka ‘kebijakan ekonomi transisi’, seperti yang dilakukan di Eropa Timur. Dua Kebijakan yang pertama diarahkan pada tanah-tanah yang tidak dimiliki oleh individu. Berbagai kebijakan selanjutnya diarahkan pada tanah swasta. Ketiga, mempromosikan sistem bagi hasil atau pengaturan penyewaan tanah sebagai jalan untuk memaksimalkan efisiensi penggunaan sumber daya tanah. Pilihan tersebut mengandung makna bahwa peraturan yang sudah ada sebelumnya yang melarang kepemilikan tanah dengan luas tertentu dan melarang sistem sewa bagi hasil harus dihapuskan. Tiga resep kebijakan tersebut dapat ditemukan dalam prinsip-prinsip neo-liberal yang mengasumsikan bahwa tanah-tanah yang dimiliki secara pribadi akan dapat digunakan secara sah untuk berhubungan dan dijadikan jaminan (collteral) untuk mendapatkan pinjaman dari bank. Dengan demikian akan meningkatkan gerak modal di daerah pedesaan, yang pada gilirannya akan merangsang akumulasi modal dan mengurangi kemiskinan (lihat World Bank, 2003). Resep kebijakan yang keempat adalah yang paling kontroversial, karena melibatkan kepemilikan tanah pribadi dan menyerukan untuk menghentikan kebijakan yang dinilai konvensional: land reform yang dijalankan oleh negara (state-led approaches to land reform). Kebijakan neo-liberal yang utama dalam upaya menuju kepemilikan tanah pribadi adalah dengan mendukung sistem bagi hasil, dan hanya dalam situasi tertentu dimana terdapat pihak “yang ingin menjual” dan “yang ingin membeli” maka penjualan tanah diijinkan. ‘Land reform’ neo-liberal yang berdasarkan pada prinsip ‘willing seller – willing buyer’ ini mempunyai corak yang sungguh bertolak belakang dengan kebijakan land reform yang dilakukan oleh negara secara konvensional (lihat Tabel). Kebijakan yang lebih dikenal sebagai “Market-Led Agrarian Reform (MLAR) adalah land reform yang bersifat sukarela dimana tuan tanah dibayar secara kontan 100 persen sesuai dengan 100% harga pasar tanah. Kebijakan ini dianggap sebagai pendekatan yang dikendalikan oleh “permintaan pasar” karena hanya mereka yang secara eksplisit menginginkan tanah dan hanya tanah yang diinginkan yang disertakan dalam programnya. Para penyokong menyatakan bahwa MLAR akan merangsang, dan bukannya merusak pasar tanah. Dengan melakukan reformasi pasar ini diharapkan menghasilkan penambahan jumlah tanah yang tersedia untuk dibeli oleh berbagai macam produsen. Pencabutan subsidi (dari petani besar), sertifikasi tanah, penetapan pajak tanah yang bersifat progresif, penjualan tanah dan kebebasan untuk menyewakan tanah, serta sistem informasi pasar yang lebih baik merupakan beberapa persyaratan kebijakan yang dianggap penting agar MLAR dapat menjadi efektif (lihat Bank Dunia, 2003).”

 

 

Tabel. 

Perbedaan ciri-ciri utama land reform

antara pendekatan “state-led approach” dan “market-led approach”

menurut keterangan dan klaim-klaim para pendukung pasar

 

 

Masalah yang diperbandingkan

 

 

State-Led

(Diatur oleh Negara)

 

Market-Led

(Diatir oleh Pasar)

-------------------------------------- Cara Mendapatkan Tanah --------------------------------------

Cara Pengadaan Tanah

Dengan paksa; Pembayaran ditunda dengan harga dibawah pasar, dan dengan demikian tuan tanah menentang sedemikian rupa sehingga menggagalkan kebijakan

Sukarela; 100% pembayaran kontan dengan 100% harga pasar, dan dengan demikian tuan tanah tidak akan menentang.

Penerima Manfaat

Diarahkan oleh pihak yang menyediakan; Penerima manfaat disaring oleh Negara sehingga mencakup pula rumah tangga yang secara ekonomis tidak efisien dan tidak sanggup berkompetisi

Diarahkan oleh pihak yang menginginkan; dengan sendirinya tersaring sehingga hanya rumah tangga yang secara ekonomis efisien yang mendapat manfaat

Metoda Pelaksanaan 

Terpusat pada negara; dan dengan transparansi serta akuntabilitas yang rendah

Terdesentralisasi-terserah pada usaha swasta, sehingga transparansi dan akuntabilitas tinggi.

Lamanya Proses 

Berlarut-larut; secara politik dan hukum penuh dengan pertengkaran

Cepat; secara politik dan hukum tidak penuh pertengkaran

Harga Tanah

Lebih mahal

Lebih murah

Hubungan Land Reform dengan Pasar Tanah

Land reform menyebabkan distorsi pasar tanah; pajak tanah progresif dan program pendaftaran tanah tidak perlu

Land reform: sebab dan akibat dari proses pasar tanah; pajak tanah progresif dan program pendaftaran dibutuhkan

--------- Perkembangan Penerima dan Usaha Pertaniannya setelah Tanah dialihkan ----------

Rangkaian program; layanan untuk peningkatan produksi pertanian

Rencana-rencana pengembangan usaha pertanian sesudah redistribusi tanah; perkembangan setelah tanah dialihkan adalah berlarut-larut, tidak pasti dan tidak berlanjut; Layanan untuk peningkatan produksi pertanian dari negara = tidak efisien

Rencana-rencana pengembangan usaha pertanian sebelum redistribusi tanah; perkembangan setelah tanah dialihkan adalah cepat, pasti dan dinamis; Layanan untuk peningkatan produksi dari swasta = efisien 

Kredit dan investasi

Kredit dan investasi rendah

Investasi dan kredit meningkat 

Pilihan untuk keluar

Tidak ada

Pilihan beragam

------------------------------------------------------ Pembiayaan --------------------------------------------------

Mekanisme

Subsidi sepenuhnya dari negara; Pihak yang berwenang yang menjamin; penerima manfaat membayar tanah dengan harga yang disubsidi; mengembangkan mental peminta-minta diantara para penerima manfaat 

Mekanisme pinjaman-bantuan yang fleksibel; resiko ditanggung bersama; pihak yang menerima manfaat menanggung harga tanah secara penuh; biaya pengembangan usaha pertanian diberikan melalui bantuan

Resiko perubahan

Tinggi

Rendah

 

Sumber:  Saturnino O. Boras Jr, “La Vía Campesina, An Evolving Transnational Social Movement,” TNI Briefing Series, transnasional Institute, No 2004/6, halaman 8. 

 

 

Gerakan Rakyat Pedesaan dan Situasi yang dimusuhinya

Dengan demikian, memahami pagelaran kekuasaan yang datang, menguasai dan menindas inilah yang merupakan prioritas utama bagi kita yang hendak memahami bagaimana kemunculan dan perkembangan dari suatu gerakan rakyat pedesaan tertentu. Gerakan-gerakan rakyat yang dilukiskan itu telah memberi teladan bagaimana mereka menemukan dan membangun dasar-dasar kolektifitas perjuangannya, yakni rasa senasib-seperjuangan melawan kuasa-kuasa yang digelar untuk memanfaatkan sumber daya, memeras, menaklukkan dan menggunakan tenaga mereka. 

            Dengan maksud memudahkan dan dengan resiko menyederhanakan -- padahal profil yang disajikan dimuka sudah merupakan penyederhaan -- berikut ini disajikan tabel yang meringkaskan karakteristik masing-masing gerakan itu dalam hal pelaku utama gerakan dan situasi utama yang dimusuhi.  

 

Tabel 3. Perbandingan karakteristik pelaku utama dan situasi utama yang dimusuhi masing-masing gerakan rakyat pedesaan

 

Pelaku Utama Gerakan

Situasi utama yang dimusuhi

MST (Movimento Dos Trabalhadores Rurais Sem Terra)

MST berbasiskan pada (i) penduduk kota maupun desa yang tidak bertanah dan telah bergabung dalam tenda-tenda dan hidup secara kolektif; (ii) petani yang telah menduduki tanah dan mengusahakan agar tanah tersebut produktif; (iii) gereja, ornop dan intelektual yang mendukung kerja analisis, logistik, pengorganisasian maupun advokasi.

Kapitalisme di Brazil bekerja atas dasar distribusi penguasaan tanah yang sangat tidak adil: 46% dari semua tanah pertanian dikuasai oleh kurang dari 1% penduduk. Para tuan tanah luas mengutamakan peternakan skala luas yang merusak lingkungan. Di samping itu, banyak sekali tanah yang mereka ditelantarkan. Negara memiliki kewajiban untuk menjalankan land reform dan menyediakan infrastruktur untuk membuat penerima manfaat land reform dapat membuat tanahnya menjadi produktif dan meningkat kesejahteraannya. Model Market-Led Agrarian Reform tidak mampu mengubah konsentrasi penguasaan tanah latifundia yang sangat luas. Pemerintahan ‘memodernisasi’ daerah pedesaan dengan merangsang perkebunan berorientasi ekspor dalam skalabesar; mengalihkan kontrol atas  pasar pertanian ke tangan perusahaan-perusahaan multinasional; dan mengijinkan agro industri untuk mengontrol gudang-gudang penyimpanan makanan.

EZLN (Ejercito Zapatista de Liberacion Nacional).

Zapatista berbasiskan (i) gerilyawan di Hutan Lacondon – Chiapas yang berfungsi sebagai penjaga arah gerakan; (ii) petani-petani Indian yang memperjuangkan zona otonomi di Chiapas; (iii) organisasi-organisasi masyarakat sipil, baik yang berafiliasi secara langsung, maupun pendukung serta simpatisannya.

Petani Indian dan rakyat miskin Mexico telah dimarjinalisir oleh penguasa pemerintahan nasional, tuan tanah hacienda dan usaha-usaha produksi kapitalis neoliberal, yang menjadikan tanah dan tenaga kerja petani Indian sebagai pelayan bagi produksi untuk kepentingan eksport. Negara telah dikuasai oleh agen-agen neoliberal yang telah berhasil mengubah pasal 27 UUD yang menjamin tersedianya hak atas tanah bagi seluruh warga Meksiko, membuat perjanjian NAFTA yang memasukkan petani Indian dan rakyat miskin Mexico ke sistem kapitalis global.

FOIN (Föderation der indigenen Organisationen des Napo)

Sebagai suatu federasi, FOIN berbasiskan kelompok-kelompok petani-petani Indian Quichua di wilayah NAPO, yang didukung oleh berbagai organisasi non-pemerintah.

Kehidupan rakyat pedesaan sangat diterbelakangkan di bawah rejim kolonial maupun paska-kolonial. Indigenous peoples tidak memperoleh pengakuan atas hak-hak historisnya, seperti hak atas tanah dan kekayaan alam yang tersedia di wilayah adatnya, hal untuk mengatur diri sesuai dengan adatnya, dan hak atas identitasnya. Meski pimpinan berganti-ganti, negara Equador terus menjalankan proyek-proyek pembangunan mengancam keberlanjutan kebudayaan Indian Quichua.  Ideologi-ideologi dominan demokrasi dan kewarganegaraan di Ekuador telah gagal menciptakan rasa keterlibatan (sense of inclusion) dan partisipasi sektor-sektor populer seperti kelompok-kelompok indigenous peoples. 

LPM (Landless Peoples Movement).

LPM berbasiskan rakyat tak bertanah, baik di pedesaan maupun perkotaan yang menjadi korban perampasan tanah secara rasial oleh rejim apartheid.    LPM didukung pula oleh tetua-tetua adat di pedesaan-pedalamansejumlah ornop dan jaringan organisasi gerakan sosial lain di Afrika Selatan yang anti-neoliberalisme.

 

Kolonialisme dan apartheid secara brutal dan sistematik melenyapkan kepunyaan rakyat atas tanah-tanah Afrika Selatan, menyisakan untuk orang-orang Afrika hanya 13 persen saja dari luas semua tanah, dan mengutamakan 87 persen untuk orang kulit putih pengusaha pertanian dan negara; Land reform yang dijalankan semenjak 1994, termasuk dengan model Market-Led Agrarian Reform sangat lamban untuk mengubah distribusi penguasaan tanah, sedangkan  yang telah dilakukan kebanyakan lebih menguntungkan tuan tanah dari pada rakyat yang tidak bertanah.  

Gerakan-gerakan Pendudukan Tanah.

Gerakan ini tidak menyatu dalam organisasi tertentu, tapi basisnya tersebar di seantero negeri pelaku aksi-aksi pendudukan tanah yang umumnya terdiri dari pekerja pertanian, veteran-veteran eks-combatan, yang didukung  langsung oleh Partai ZANU-PF yang berkuasa maupun sayap organisasi massanya ZAPU-PF.

Penduduk terbagi berdasarkan ras yang juga sejalan dengan pembagian berdasarkan penguasaan tanah dan kekayaan. Ketimpangan penguasaan tanah dan kekayaan yang berbasiskan usaha produksi pertanian. 70% tanah-tanah yang sangat subur dikuasai oleh penguasa-pengusaha pertanian kaya kulit putih. Land reform dengan mekanisme “jual-beli”, dengan penyediaan uang dari eks-negara penjajah yakni pemerintah Inggeris,  gagal meredistribusi tanah-tanah yang diandalan untuk dengan usaha pertanian komersial.

NBA (Narmada Bachao Andolan). NBA dimotori oleh kelompok aktivis-aktivis yang kebanyakan ber­pendidikan tinggi dan profesional, yang menjalankan kepemimpinan gerakan dan mengambil putusan-putusan pokok mengenai sumberdaya, strategi, dan politik NBA. NBA memiliki komite-komite lokal yang terdiri dari kelompok-kelompok informal masyarakat setempat yang memimpin dan menyediakan dukungan termasuk logistik gerakan. Di wilayah-wilayah adivasi, mereka bekerja dengan tokoh-tokoh adat, sedang ditempat lain mereka berbasiskan dari petani-petani kaya dan berpengaruh.

Proyek raksasa mengubah Sungai Narmada dan 41 anak sungainya menjadi serangkai penampung air raksasa (3.200 waduk) termasuk dua waduk raksasa, yakni Sardar Sarovar di in Gujarat dan the Narmada Sagar di Madhya Pradesh, dan juga 30 waduk besar, serta 135 waduk sedang serta ribuan waduk kecil. Perlawanan rakyat lembah Narmada ini adalah perlawanan yang menolak dienyahkan dari wilayah tempat hidup sejak dahulu di lembah Narmada ini. Mereka yakni Narmada ini tidak dapat sekedar dihitung nilai ekonomis belaka sebagai tempat dimana air dapat dikumpulkan untuk kemudian dialihkan untuk kepentingan lain. Mereka sadari bahwa wilayah hidup di lembah Narmada itu memiliki nilai sejarah dan religius. Juga wilayah itu menjadi alas dari keberadaan kebudayaan dan kehidupan sosial. Yang berhak atas wilayah itu bukan cuma yang sudah hidup, melainkan juga yang belum. 

AOP (Assembly of the Poor)

AOP sebagian besar dipimpin oleh anak-anak petani pedesaan yang telah hidup bergelimang di pusat-pusat kota sebagai organisator, guru dan para pengacara hukum yang didukung oleh ornop-ornop. AOP berbasiskan para petani penggarap, kelompok masyarakat adat, yang terutama dari pegunungan dan dataran tinggi di wilayah timur laut Thailand. Banyak dari mereka adalah korban penggusuran proyek-proyek pembangunan waduk, terancam akan digusur oleh proyek-proyek baru, juga menjadi korban dari kekurangan akses atas hutan dan masalah-masalah hak atas tanah. Bergabung pula bersama AOP juga kelompok-kelompok nelayan, buruh industri dan miskin kota dari pemukiman kumuh

Kebijakan publik dan proyek-proyek pembangunan yang dibuat pemerintah tidak untuk kepentingan rakyat miskin, terutama rakyat miskin pedesaan yang hidup dalam situasi tak menentu. Revolusi hijau memberi keuntungan pada perusahaan-perusahaan industri pertanian dan petani kaya dan tidak pada petani kecil, petani penggarap dan buruh tani. Beban hutang petani menjadi tinggi. Hutang ini musti dibayar dengan bunga yang mencekik atau dengan mengijonkan tanaman dan mengakibatkan ketergantungan pada pemberi hutang yang juga makelar perdagangan. 

Proyek-proyek waduk menenggelamkan dan menggusur tanpa memberi kompensasi yang memadai. Berbagai proyek baru mengancam keberlajutan hidup nelayan dan juga rakyat miskin kota.

UNORKA (Pambansang Ugnayan ng Nagsasariling Lokal na mga Samahang Mamamayan sa Kanayunan).

UNORKA berbasiskan organisasi-organisasi petani lokal dari para petani tidak bertanah yang lansung memperjuangkan  redistribusi atas tanah-tanah hacienda. Organisasi anggota-anggota UNORKA didukung oleh beberapa ornop yang memiliki reputasi panjang dalam mengadvokasikan land reform.

Penguasaan tanah yang sangat timpang di pedesaan, yang merupakan hasil warisan dari kolonialisme Spanyol. 83 persen tanah pertanian dikuasai oleh tidak lebih 5 persen keluarga tuan tanah saja.  Meski elite politik berganti-ganti, namun di pedesaan dominasi tuan tanah hacienda menjadi sandaran bagi kelangsungan kekuasaan mereka. UNORKA memilih jalan bekerja di dalam sistem dengan menggunakan Comprehensive Agrarian Reform Law dan menganggap bahwa sistem hukum itu sendiri adalah suatu arena tempat bertarungnya dengan para tuan tanah.

AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara).

AMAN berbasiskan komunitas-komunitas adat, serta organisasi adat regional yang secara langsung melakukan pengorganisasian, mobilisasi, berjaringan dan advokasi untuk menuntut pengakuan atas wilayah dan hak-hak yang melekat padanya. AMAN memiliki kepemimpinan kolektif dan eksekutif pelaksananya yang  umumnya diisi oleh aktivis-aktivis ornop. AMAN memiliki pendukung luas dari jaringan Ornop  nasional hingga internasional.

 

Tidak adanya  pengakuan atas kedaulatan masyarakat adat oleh Negara Republik Indonesia dalam berbagai praktek-praktek penyelenggaraanya merupakan sumber penderitaan masyararakat adat di seantero negeri. Lembaga-lembaga adat, yang menjadi pengatur Mayarakat Adat, diporakporandakan. Tidak ada pengakuan akan otonomi kelembagaan adat dalam mengatur urusan ke dalam maupun keluar. Tidak ada sama sekali perwakilan dari Masyarakat Adat dalam kelembagaan-kelembagaan negara yang mengambil keputusan-keputusan berkenaan nasib Masyarakat Adat. Luasnya tanah dan kayanya sumber daya alam masyarakat adat telah menjadi objek bagi pemerintah dan pemodal untuk mengadakan proyek-proyek raksasa. Tanpa adanya konsultasi, pemerintah memberikan hak-hak bagi para pengusaha dan badan-badan pengelolaan lainnya yang asing bagi Masyarakat Adat. Pada bidang sosial budaya, berbagai pengetahuan dan kearifan lokal milik masyarakat adat telah dilecehkan, dihilangkan dan dicuri. Pemahaman dan penguasaan masyarakat adat atas kekayaan alamnya yang telah dihancurkan oleh kebijakan-kebijakan yang memaksakan keseragaman kehidupan sosial-budaya. 

 

 

 




[1] Karya Hamza Alavi (1992) ini pernah diterbitkan dalam ”Struktur Kapitalisme Pinggiran”, dalam Kapitalisme Dulu dan Sekarang, M. Dawam Rahardjo (Ed), Jakarta, LP3ES, 1987.

[2] Dengan cara yang berbeda, Terry Byres (1991) dalam artikel berjudul The Agrarian Question and Differing Forms of Capitalist Agrarian Transition: An Essay with Reference to Asia,  telah menjelaskan berbagai jalur menuju kapitalisme dengan merujuk pada pengalaman berbagai negara seperti Inggris, Rusia, Amerika, Perancis, Jepang, dan juga India. 

[3] Jika WTO adalah forum kesepakatan perdagangan tingkat global, di tingkat regional forum serupa dibentuk misalnya The North American Free Trade Agreement (NAFTA) antara Amerika Serikat dan Mexico, maupun tingkat regional seperti The Asia Pasific Economic Conference (APEC). Bahkan banyak kesepakatan dalam skala wilayah yang lebih kecil lagi seperti segitiga pertumbuhan Singapore, Johor dan Riau (SIJORI) ataupun BIMP-EAGA (Brunei, Indonesia, Malaysia, Philipina - East Asia Growth Area).

 

No comments:

Post a Comment