Pengantar : Hendro Sangkoyo
Penyelaras akhir : Herlily
Penerbit : INSISTPress
Tahun : 2005
ISBN : 979-3457-64-5
Kolasi : 15x21cm; xxxi +225 halaman
_____________________________________________________________________
9
Menekan dari bawah dan mendorong dari atas:
UNORKA (Pambansang Ugnayan ng Nagsasariling Lokal na mga Samahang Mamamayan sa Kanayunan) di Filipina
Seperti Indonesia, Filipina adalah negara kepulauan yang mencakup 7.107 pulau dengan luas keseluruhan (dengan lautnya) adalah 300.000 km2. Pulau utamanya dari utara sampai selatan adalah Luzon (tempat ibukota Manila terletak), kelompok pulau Visayas, dan Mindanao. Jumlah penduduknya hampir 90 juta orang, yang terdiri dari 95% orang Melayu (Tagalog, Visayan, Ilocano), orang Cina 2% dan lainnya 3%.
Struktur agraria di pedesaan Filipina saat ini ditandai oleh penguasaan tanah-tanah yang sangat luas berupa perkebunan-perkebunan hacienda. Hal ini merupakan warisan langsung dari penjajahan penguasa Spanyol yang dimulai semenjak tahun 1565. Perang antara penjajah Spanyol dengan Amerika yang berakhir di tahun 1898, telah mengakibatkan Filipina berada di bawah penjajahan Amerika. Meski demikian, konsentrasi penguasaan tanah oleh tuan tanah Hacienda sama sekali tidak diubah oleh penjajah Amerika. Tahun 1946, sesudah lebih dari 300 tahun di bawah kuasa kolonial asing, Filipina menjadi negara merdeka. Namun kemerdekaan ini juga tidak berhasil mengubah kedudukan tuan-tuan tanah hacienda tersebut. Sebaliknya, meski berganti-ganti penguasa politik nasional, namun pada umumnya selalu saja para tuan tanah di pedesaan inilah yang menjadi sekutu utama dari elite politik nasional yang berkuasa. Tidak terkecuali juga ketika Filipina berada di bawah Marcos, yang berkuasa semenjak tahun 1965.
Musuh bersama yang hadir berupa kongkalikong antara rejim diktator dengan tuan-tuan penguasa tanah hacienda telah menyediakan dirinya menjadi konteks dan sekaligus objek dari keberadaan gerakan-gerakan sosial politik yang berbasiskan ideologi, baik yang menggunakan metoda mobilisasi massa maupun gerakan bersenjata, maupun aksi-aksi kolektif yang berbasiskan kepentingan praktis dari petani-petani miskin dalam rangka perolehan akses atas tanah. Dapat dimengerti bahwa gerakan-gerakan ini menjadi rujukan dari massa petani yang tidak puas.
Ketakutan akan membesarnya gerakan kiri-komunis, disamping juga untuk menghadapi gerakan-gerakan berideologi Islam di kepulauan bagian selatan Mindanao, telah membuat Marcos pada tahun 1972 memberlakukan keadaan darurat (martial law) agar dapat mengendalikan seluruh situasi dan membolehkan penggunaan segala cara represi. Kekuasan diktator Marcos yang berkuasa semenjak 1965 diakhiri oleh suatu pergolakan politik yang merupakan kombinasi antara gerakan massa (people’s power) dan perpecahan yang serius di tubuh elite politik dan militer Filipina pada bulan februari 1986. Pergolakan ini kemudian bermuara pada pengangkatan presiden demokratik pertama Cory Aquino tahun 1986.
Pada masa awal kepemimpinan pemerintah Aquino, situasi pedesaan Filipina dicirikan oleh kemiskinan, yang utamanya disebabkan oleh ketiadaan akses atas tanah produktif. Sebagaimana dapat ditemukan penjelasannya secara komprehensif pada karya Putzel (1992) misalnya, keberadaan para petani yang tidak bertanah ini, menjadi dasar dari tuntutan redistribusi (redistributive reform) yang meluas di seluruh kepulauan. Menjawab tuntutan yang meluas tersebut Aquino mengeluarkan undang-undang yang diberi judul Comprehensive Agrarian Reform Law atau CARL (Undang-undang Pembaruan Agraria yang Menyeluruh) pada tahun 1988 yang dapat kita dudukkan sebagai kerangka hukum yang mensituasikan gerakan-gerakan rakyat pedesaan yang berpokokkan perjuangan atas tanah-tanah produktif atau redistribusi tanah-tanah perkebunan besar (hacienda) yang dimiliki oleh keluarga-keluarga kaya. Aquino juga membuka suatu tradisi baru dimana sebagian pejabat tinggi DAR direkrut dari aktivis-aktivis ornop yang lama bergelut dengan perjuangan agraria para petani di pedesaan.
Semenjak inilah hubungan antara negara, tuan tanah dan petani di pedesaan memasuki babak baru, dimana sebagian dari kalangan gerakan petani menggunakan kesempatan politik ini. Kombinasi kerja mobilisasi sosial dengan prakarsa reformasi dari kalangan pemerintahan inilah, yang dikonsepkan oleh Borras (1998, 2001, 2004) sebagai strategi Kue Bika (Bibingka Strategy). Dinamika eksponen gerakan petani yang menggunakan strategi ini pada gilirannya terkonsolidasi menjadi UNORKA (Pambansang Ugnayan ng Nagsasariling Lokal na mga Samahang Mamamayan sa Kanayunan) atau yang secara tekstual berarti Kordinasi Nasional Organisasi-organisasi Rakyat Pedesaan Lokal Otonom.
UNORKA lahir pada bulan Juni 2000 saat berbagai pimpinan organisasi petani lokal merayakan ulang tahun UU ke 12 dari Undang-undang Pembaruan Agraria yang Menyeluruh (Comprehensive Agrarian Reform atau CARP) dalam kondisi dimana presiden Estrada sedang mengalami krisis legitimasi politiknya yang semakin lama semakin membesar. Para pimpinan pendiri UNORKA menyadari betul bahwa mereka memilih jalan bekerja di dalam sistem dan menganggap bahwa sistem hukum itu sendiri adalah suatu arena tempat bertarungnya dengan para tuan tanah.
Tujuan pendirian gerakan ini adalah untuk mendorong pelaksanaan land reform dengan menggunakan strategi ganda: tekanan dari massa rakyat di bawah dan inisiatif kebijakan dari pemerintah yang reformis. Organisasi-organisasi yang berafiliasi ke dalam UNORKA mendorong agar negara meredistribusi 200.000-an hektar tanah-tanah di seantero pedesaan yang dikuasai oleh para tuan tanah besar. Sebagaimana dijelaskan oleh karya dari Salvador H. Feranil (2005:272-273):
”Dominasi dari tuan tanah menjadi konteks dan objek dari mobilisasi petani secara otonom. Mobilisasi-mobilisasi UNORKA merupakan reaksi terhadap terhadap perlakuan yang kasar dan tidak manusiawi dari para tuan tanah, dan dengan demikian mereka diarahkan untuk menyasar tanah-tanah yang dimiliki para tuan tanah itu. Meskipun otonomi itu bertingkat-tingkat dan klaim-klaim mengenai otonom mutlak itu adalah problematik, mobilisasi-mobilisasi yang dilakukan UNORKA sejauh ini bebas dari perintah, dorongan dan dukungan dari CPP-NPA (Partai Komunis Filipina-Tentara Rakyat Baru), atau dari segala manufer politik para pejabat atau partai politik yang mencoba meraih suara dalam pemilu. Aksi politik penentangan yang dilakukan UNORKA itu umumnya beralaskan kehendak kuat dari kaum miskin pedesaan tidak bertanah untuk mengakhiri penguasaan tuan tanah di seantero pedesaan. Dengan demikian, para anggota UNORKA, dengan keyakinan bahwa pembaruan itu mungkin terwujud, memobilisasi dan memperjuangkan hak-haknya dengan bekerja di dalam sistem untuk mempengaruhi perubahan hubungan-hubungan kepemilikan dan hubungan kekuasaan di pedesaan Filipina.”
Memang klaim UNORKA sebagai gerakan petani yang otonom hanya bisa dimengerti bila menghubungkannya dengan posisi pemberontakan petani yang dipimpin oleh golongan komunis, yang sejak lama menjadi penentang utama dari penguasa tuan-tuan tanah hacienda yang menjadi sandaran rejim penguasa politik nasional. Selain itu, pengertian otonom dari gerakan petani UNORKA pun perlu dipahami dalam hubungannya dengan arena perjuangan di tubuh negara. Borras (1998:19) merumuskan karakteristik organisasi-organisasi otonom sebagai berikut:
”(Mereka) menembus negara dari atas ke bawah, mempengaruhinya dari dalam dan membuka kemungkinan-kemungkinan baru, dan mampu keluar dari ikatan-ikatan interaksi demikian ketika ”pemutusan hubungan” diperlukan, atau mampu mempertahankan diri sendiri ketika ”pintu” kesempatan politik tertutup setelah diperolehnya kekuatan tertentu dari perjuangan menggunakan negara dimana kekuatan ini dapat dipergunakan untuk berjuang memasuki ”pintu reformasi” yang mungkin terbuka di kemudian hari.”
Walaupun UNORKA bekerja dalam koridor sistem hukum, namun setiap upaya mengawali tuntutan hak atas tanah (land reform) senantiasa menuai reaksi balik. Demikian pula yang terjadi pada UNORKA berupa penggusuran dari tanah yang telah diduduki dan digarap, penggunaan kekerasan dan teror terhadap para pemimpin dan anggota organisasi, penaklukan atas organisasi rakyat dengan cara memberi perlakuan iming-iming untuk perbaikan kondisi kerja, hingga upaya memecah-belah. Menghadapi hal ini, UNORKA telah terbukti memiliki daya tahan dan justru menjadikan reaksi ini sebagai alasan bagi dilancarkannya aksi-aksi politik langsung menghadapi negara dan para tuan tanah. Mereaksi balik tindakan penindasan tuan tanah telah menjadi ciri dari taktik politiknya UNORKA. Selain okupasi tanah secara langsung melawan para tuan tanah, UNORKA juga secara berulang-ulang menggencarkan rapat-rapat umum, demonstrasi, dan juga melakukan aksi menyegel kantor-kantor pemerintahan dalam rangka menekan Departemen Pembaruan Agraria (Departement of Agrarian Reform) untuk mewujudkan tuntutan mereka.
UNORKA merupakan contoh dari perlawanan dengan menggunakan ”hak” sebagai senjatanya. Feranil (2003, 2005) mengistilahkan model perjuangan UNORKA ini dengan istilah rightful resistance, istilah yang yang dipinjamnya dari Kevin O’Brien (1996). Pada pokoknya, perjuangan UNORKA berusaha untuk mengubah penguasaan para tuan tanah hacienda melalui perjuangan hak para petani yang tidak bertanah. Hal ini mengingatkan kita pada apa yang dikemukakan oleh A. Hunt (1991) yang merupakan tokoh aliran Studi Hukum Kritis (Critical Legal Study) bahwa:
”Hak-hak membentuk dan dibentuk oleh dan melalui perjuangan. Jadi, ia memiliki kapasitas untuk menjadi unsur-unsur pembebasan, meskipun tentu ia tidak merupakan alat yang sempurna dan satu-satunya untuk pembebasan. Hak-hak dapat hanya berguna sebagai pembentuk utama dari suatu strategi transformasi sosial ketika ia menjadi bagian dari ”akal sehat” yang hidup dan diutamakan dalam praktek-praktek sosial ...
Ia mengedepankan suatu cita-cita agar hak-hak tersebut diakui, kerangka bagaimana hak-hak itu dimungkinkan terpenuhi, yang pada gilirannya membentuk aspirasi dan aksi politik ...”
Perjuangan hak ini tentu dapat menjadi pintu pada perubahan tananan yang lebih luas. Seperti dikemukakan oleh Feranil (2003:54) dalam karyanya yang menganalisis pengalaman perjuangan gerakan petani di Negros – Filipina:
”... mendudukkan dan memasukkan perjuangan tanah dalam kerangka perjuangan hak-hak sungguh potensial untuk mengubah prioritas politik ekonomi alokasi dan distribusi sumber daya demi sebesar-besar kemakmuran rakyat miskin.”
Meski perjuangan agraria telah berakar panjang pada sejarah Filipina, umur organisasi UNORKA masih muda. Meski demikian, pengalaman mobilisasi dan aksi-aksi kolektif UNORKA, seperti dituliskan oleh Feranil (2005: 279), telah memberi setidaknya tiga pelajaran penting:
”Pertama, ia menunjukkan bahwa aksi-aksi politik menentang – yang merentang dari rapat-rapat umum, demo-demo, boikot dan mogok hingga berbentuk penggarapan tanah secara radikal – tetap berperan penting untuk melibatkan negara agar menghasilkan dan terus memelihara kebijakan-kebijakannya yang reformis. Lebih lanjut, pengalaman menunjukkan perlunya aksi-aksi politik demikian ketika ruang-ruang reformis menyempit di dalam birokrasi pemerintahan. Kedua, senjata hukum yang dipakai oleh tuan-tuan tanah menghadapi aksi-aksi politik termaksud – yang sering kali melewati batas-batas yang dibolehkan hukum – dapat ditandingi dengan menggunakan hukum secara kreatif untuk mengekang kekuasaan politik dan ekonomi para penguasa tanah. Ketiga dan terakhir, meskipun mobilisasi dan aksi kolektif petani akan menuai reaksi penindasan dari lawan, namun dukungan para sekutu lokal hingga internasional telah memberi kekuatan tambahan untuk menandingi kekuatan lawan baik yang berada di dalam negara maupun masyarakat.”
No comments:
Post a Comment