Pengantar : Hendro Sangkoyo
Penyelaras akhir : Herlily
Penerbit : INSISTPress
Tahun : 2005
ISBN : 979-3457-64-5
Kolasi : 15x21cm; xxxi +225 halaman
_____________________________________________________________________
6
Mengambil kembali tanah yang dicuri:
Gerakan Pendudukan Tanah di Zimbabwe
Zimbabwe yang bertetangga dengan Afrika Selatan, dulu bernama Rhodesia Selatan, semasa masih dijajah Inggeris. Setelah dalam suasana perang selama 15 tahun, memerdekakan diri dan diakui oleh dunia internasional pada 18 April 1980. Negara ini luasnya 389.361 km2, terletak diapit oleh dua sungai besar yakni Limpopo dan Sambesi. Saat ini diperkirakan jumlah penduduk melebihi 12,5 juta jiwa, yang terdiri dari suku Shona 71 persen, Ndebele 16 percen, dan sisanya adalah kulit putih dan suku-suku kecil lainnya.
Jalin menjalin antara rasisme dan dominasi kelas membuat Zimbabwe mirip dengan Afrika Selatan. Namun tentunya gerakan sosial pedesaannya memiliki jalur sejarah yang berbeda. Awal mula suatu gerakan rakyat pedesaan tidak hanya dengan sendirinya mewakili suatu perubahan, tetapi juga merupakan konsekuensi dari perubahan yang mendahuluinya. Gerakan-gerakan okupasi tanah di Zimbabwe, seperti juga LPM di Afrika Selatan itu, berakar pada ketidakadilan yang jauh terbentuk sejak masa kolonial, namun ekspresinya berkembang dimungkinkan oleh kesempatan politik yang tersedia, yang perubahannya berada di luar pengaruh dari gerakan itu sendiri. Aksi-aksi langsung menduduki dan menggarap tanah-tanah milik pengusaha pertanian kulit putih oleh para veteran perang, petani tak bertanah, orang-orang miskin dan buruh pertanian tersebut memiliki jalur sejarah yang khusus. Dia tidak dapat dimengerti tanpa membuka sejarah kolonialnya yang sangat kelam.
Zimbabwe baru merdeka tahun 1980, setelah sekitar dua puluh tahun perang kemerdekaan. Dulu namanya adalah Rhodesia, yang berasal dari nama Cecil John Rhodes – pemimpin ekspedisi penjajahan dari Inggeris yang datang tahun 1890 berniat untuk mengeruk barang tambang, tetapi kemudian malah mendapatkan tanah yang subur untuk pertanian, dengan cara mengusir penduduk pribumi. Bukan hanya kaum kulit putih kolonial mengusir penduduk untuk yang menguasai tanah-tanah subur di Zimbabwe untuk dijadikan pertanian komersial, tapi juga pembelahan secara rasial terjadi sangat mencolok. Dalam waktu singkat pada tahun 1914, terbentuk tata pengusaan tanah yang sangat timpang, terbagi berdasarkan kaya-miskin, pribumi-pendatang dan kulit putih-kulit hitam. 75% dari luas tanah telah dikuasai oleh hanya 3% penduduk kulit putih yang hanya 28.000 orang, berbanding dengan 23% penduduk yang hanya menguasai 23% tanah yang kondisinya tidak subur pada daerah-daerah yang ditetapkan boleh dihuni oleh pribumi kulit hitam. Kondisi ini masih terus bercokol hingga kemerdekaan tahun 1980, dimana 70% tanah-tanah yang sangat subur dikuasai oleh penguasa-pengusaha pertanian kaya kulit putih. Neil H. Thomas (2003) dalam karyanya “Land Reform in Zimbabwe” telah dengan sangat baik argumen etis berdasarkan keadilan sosial dan persamaan mengapa land reform itu memang musti dan layak dijalankan.
Seusai perang kemerdekaan yang berlangsung selama lebih 15 tahun dan kemerdekaan dari penjajah Inggris diraih tahun 1980, maka tentu saja land reform menjadi agenda utama. Berdasar pada Lancester House Agreement 1980 yang dilakukannya bersama pemerintah Inggris, tahap pertama land reform dijalankan pemerintah Zimbabwe di bawah Robert Mugabe antara tahun 1980 sampai 1987/1988. Pada pokoknya, Lancaster House Agreement ini menetapkan ‘willing-seller, willing-buyer’ sebagai prinsip untuk mengalihkan tanah yang akan diberlakukan hingga tahun 1990. Babak ini dapat disebut sebagai babak “land reform berdasarkan mekanisme pasar” untuk meredistribusi tanah yang dikuasai para pengusaha pertanian kaya komersial kulit putih. Pemerintah membeli tanah-tanah mereka dengan menggunakan uang negara dan juga uang dari pemerintah Inggris, lalu meredistribusikannya kepada mereka yang tidak bertanah, veteran-veteran perang, orang miskin dan para buruh yang bekerja di pertanian komersial. 3 (tiga) juta hektar ditargetkan diredistribusi pada sekitar 70.000 keluarga untuk mereka tinggali dan garap sebagai usaha pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka maupun untuk usaha komersial, namun target ini tidak dapat dicapai sehingga pembelahan kelas serta ras masih menjadi problem utama di masa setelah kemerdekaan (Moyo, 2001).
Akhir dari periode ini diisi dengan perbedaan pendapat antara pemerintah Zimbabwe dan pemerintah Inggeris, khususnya tentang pembiayaan pengadaan tanah dan mutu dari tanah yang diperoleh melalui mekanisme pasar – ternyata bermutu rendah dan terpencar-pencar. Perberdaaan pendapat itu makin mengemuka ketika pemerintah mulai menerapkan kebijakan pengadaan tanah dengan paksaan kompensasi tertentu. Hal ini memutus kelanjutan perundingan antara pemerintah Zimbabwe dengan Inggris mengenai pendanaan land reform setelah berakhirnya Lancester House Agreement.
Situasi tersebut melahirkan tahap kedua, yang berlangsung antara tahun 1988 hingga sekitar 1996. Namun yang terjadi pada masa periode ini adalah justru kemerosotan implementasi land refrom dan kontradiksi kebijakan. Meninggalkan Lancester House Agreement dan berdasar amandemen UUD tahun 1990, pemerintah Zimbabwe mulai menerapkan paksaan dalam pengadaan tanah dan meminimalisir biaya pengadaan tanah untuk redistribusi. Akan tetapi, di pihak lain mereka mulai meninggalkan orientasi sosialisme sebagaimana yang ditetapkan tahun 1980-an, dan mulai menggunakan menyesuaikan diri dengan kerangka kebijakan ekonomi neo-liberal yang berorientasi penciptaan pasar. Jadi, saat itu pemerintah bukan hanya mengutamakan petani tak bertanah dan para korban kolonialisme lainnya, tetapi juga pengusaha pertanian yang telah memiliki kecakapan berproduksi dan memasarkan hasil dan mampu bertarung di pasar. Walhasil, yang dilayani untuk tumbuh dan berkembang bukan cuma produksi pertanian dari usaha pertanian komersial yang dimiliki pribumi kulit hitam, tapi juga kulit putih.
Pengalaman dari Zimbabwe menunjukkan bahwa land reform adalah masalah politik yang melibatkan aktor mulai dari yang sangat lokal, nasional hingga internasional. Konfigurasi pemegang kekuasaan politik di negara maupun di masyarakat, seperti dijelaskan oleh Sam Moyo (2001) dalam artikelnya 'The Land Occupation Movement and Democratisation in Zimbabwe: Contradictions of Neo-liberalism', menjadi sangat mempengaruhi karakter, dinamika implementasi serta keberhasilan-kegagalan pencapaian program land reform. Setelah tahun 1996, masalah pertanahan ini menjadi ajang dari kompetisi politik yang pada gilirannya ditandai oleh polarisasi antara strategi radikalisme land reform dengan strategi pengalihan tanah secara konservatif. Sam Moyo (2001:316) menulis:
“Sebelum pemilu parlemen bulan Juni 2000, para pemimpin Zimbabwe African National Union – Patriotic Front (ZANU-PF) menyerukan percepatan pendudukan tanah dari ‘kulit putih’, sambil menghasut sekaligus menyokong timbulnya gerakan pendudukan. Sementara itu, para pemimpin oposisi Movement for Democratic Change (MDC) menyerukan proses pasar yang transparan dalam pengadaan tanah, tapi tidak mendefinisikan secara konkret proses pasar dimaksud. Kampanye tahun 2000 menjadi kampanye yang paling penuh sengketa dan kekerasan sepanjang sejarah pemilu Zimbabwe.
Partai yang berkuasa ZANU-PF berkampanye dengan slogan ‘Tanah Itu Ekonomi, Ekonomi Itu Tanah’. MDC berfokus pada manajemen ekonomi dan reformasi pemerintahan. Partai yang berkuasa menuduh kaum oposisi berniat menjungkirbalikkan land reform dan berkhianat memihak penguasa-penguasa kolonial terdahulu, dengan imbalan uang dari pengusaha pertanian kulit putih dan kelompok bisnis, serta dari organisasi-organisasi masyarakat sipil yang terhubung dengan dana donor. MDC menuduh partai berkuasa membagi-bagi tanah untuk kroninya, dan membuat isu tanah sebagai monopoli ZANU-PF padahal mereka dianggap gagal mengatasi masalah ini selama 20 tahun.”
Selanjutnya, dijelaskannya bahwa (Moyo, 2001:316-317):
“Gerakan-gerakan oposisi yang tumbuh sejak akhir tahun 1980-an di Zimbabwe punya kepentingan politik yang sangat sempit. Mereka semua mencanangkan beberapa tuntutan yang sahih bagi demokratisasi, dalam kerangka pemilu liberal dan HAM, tapi tanpa tuntutan yang lebih luas akan redistribusi sumberdaya atau restrukturisasi ekonomi. Hanya Zimbabwe African People’s Union – Patriotic Front (ZAPU-PF) pada tahun 1980-an – yang bersama-sama ZANU-PF menjadi pemain dalam perjuangan pembebasan – yang memiliki agenda bawah tanah yaitu land reform radikal. Anjloknya perekonomian dan perlawanan yang ditimbulkannya terhadap ZANU-PF belum membuahkan gerakan sosial demokrasi sejati yang menuntut redistribusi hak-hak sosial politik berdasarkan pemahaman yang lebih kompleks atas gerakan-gerakan sosial. Yang timbul malah gerakan protes yang terpusat pada kawasan-kawasan perkotaan, yang berupaya menggulingkan Presiden dan menuntut pengurangan korupsi serta perbaikan masalah-masalah ekonomi jangka pendek, seperti tingginya harga kebutuhan pokok. Dalam konstelasi beginilah ZANU-PF mampu terus menguasai suara di pedesaan dengan mengagendakan pembenahan ketimpangan warisan kolonial.”
No comments:
Post a Comment