MEMAHAMI GERAKAN-GERAKAN RAKYAT DUNIA KETIGA (Bagian 12/15)


Penulis                        : Noer Fauzi
Pengantar                   : Hendro Sangkoyo
Penyelaras akhir       : Herlily
Penerbit                      : INSISTPress
Tahun                         : 2005
ISBN                           : 979-3457-64-5
Kolasi                         : 15x21cm; xxxi +225 halaman

_____________________________________________________________________ 

12

Kesempatan Politik yang Dapat Dimanfaatkan Gerakan


Konteks baru dari gerakan rakyat pedesaan bermuara pada perubahan watak negara yang ditaklukkan, melayani atau setidaknya dibuat sesuai dengan tata ekonomi-politik baru yang dikuasai oleh aktor-aktor neoliberalisme. Kedudukan negara begitu penting, karena selain ekspansi kapitalis, negaralah yang menjadi pemberi kemungkinan dan arah mobilisasi aksi-aksi gerakan sosial. Sebagaimana dikemukakan oleh Guggenheim dan Weller (1989 : 12) bahwa “proses-proses umum dari ekspansi kapitalis dan (dinamika bagaimana) bekerjanya negara mempengaruhi baik repertoar dari ketidakpuasan maupun bentuk-bentuk tindakan organisational yang mungkin.” Jadi, biar bagaimanapun  kedudukan negara nasional dalam berhadapan dengan persoalan agraria yang berdimensi global ini tetaplah penting. Seperti dikemukakan olehSam Moyo dan  Paris Yeros (2005):

”… (S)uatu pemahaman yang holistik tentang arti penting dari persoalan agraria (agrarian question) dalam ekonomi politik dunia, dan khususnya dalam periode imperialisme neoliberal. Meski demikian, di samping globalisasi yang menyejarah, kita meyakini bahwa persoalan agraria tetap lah terikat oleh jaring persoalan nasional. Kita juga meyakini bahwa di bawah neoliberalisme, tantangan-tantangan bagi pemecahan persoalan agraria, dan persoalan nasional itu sendiri, menjadi jauh lebih besar.” 

 

Transisi Demokrasi dan Demokratisasi Pedesaan

            Jadi, selain pagelaran kuasa-kuasa neoliberal, gerakan-gerakan rakyat pedesaan disituasikan oleh semakin banyaknya demokrasi formal dipakai di banyak negara nasional Dunia Ketiga. Transisi demokrasi inilah yang menjadi kecenderungan global yang penting yang musti diletakkan sebagai konteks baru dari gerakan-gerakan rakyat pedesaan. Apa yang diistilahkan oleh Samuel Hungtington (1991) dengan “Demokratisasi Gelombang Ketiga”, terutama terjadi di negara-negara Dunia Ketiga ini, selain di Rusia dan negara-negara Eropa Timur yang tadinya bagian dari blok komunis. Hanya negara-negara Timur Tengah sajalah yang luput dari gelombang demoratisasi ini. Tidak heran wilayah inilah yang menjadi sasaran baru Amerika Serikat dengan metoda “perangi, kuasai lalu demokrasikan!”.

            Berakhirnya pemerintahan diktator di Amerika Latin tahun 1980-an, pada dekade selanjutnya, langsung diikuti oleh tumbangnya rejim diktator dan digunakannya pemilu prosedural sebagai cara peralihan rejim di Asia dan Afrika.  Pada tahun 1996, 23 negara di Amerika Latin telah menjadi negara yang menganut demokrasi formal dalam penyelenggaraan dan peralihan kekuasaan pemerintahannya. Di antara mereka adalah Meskiko, Brazil, Peru, Argentina dan Venezuela yang merupakan contoh yang umum ditunjukkan sebagai negara-negara besar yang muali demokratis. Di Afrika sub-Sahara makin banyak rejim yang berkuasa dari pemilihan umum, yakni lebih dari separuh dari 48 negara di wilayah ini. Di Asia, rejim-rejim yang tadinya tidak demokratis juga telah berubah dalam dekade lalu, misalnya untuk menyebut beberapa saja: Pakistan, Bangladesh, Filipina, Korea Selatan, Mongolia dan Indonesia.  

 

Struktur Kesempatan Politik

            Sebuah konsep baru yang penting untuk dipakai untuk memahami bagaimana suatu gerakan sosial tertentu dapat menampilkan diri dan berkembang adalah ‘struktur kesempatan politik’ (the political opporunity structure).  Hanspeter Kriesi (1997:170) dapat membantu kita memahaminya dengan mengemukakan dua pokok perkara. Pertama, Kriesi mengusulkan agar kita memakainya dalam pengertian sebagai aspek-aspek tertentu dari sistem politik yang menentukan perkembangan aksi-aksi gerakan dari para aktor dan pendukungnya. Hal ini tidak berarti bahwa struktur kesempatan politik bersifat tetap. Ia dapat berubah sepanjang waktu di luar dari pengaruh gerakan itu sendiri. Para pelaku gerakan tidak dapat memperkirakan pergeseran-pergeserannya sampai mereka terlibat langsung dalam berbagai aksi kolektif, yang menjadikan struktur kesempatan politik sebagai bagian dari perhitungan strategis jangka pendeknya, bahkan dapat sebagai objek yang ikut diubah.  Kedua, dalam kerangka struktur kesempatan politik, Kriesi mengusulkan agar kita membedakan tiga perangkat dari sistem politik: (i) struktur kelembagaan formalnya, (ii) prosedur-prosedur informalnya dan strategi yang umumnya dipenggunakan pemegang otoritas; dan (iii)  konfigurasi kekuasaan yang dihadapi para penantang. Seperti dapat dilihat dalam bagan, dua yang pertama, memberi suatu kerangka umum bagi gerakan untuk memobilisasi aksi-aksi kolektif. Kerangka umum ini bersama-sama dengan konfigurasi kekuasaan yang dihadapi oleh gerakan akan membentuk strategi dari pihak yang berwenang atau pejabat penjaga sistem itu untuk menghadapi para penantang: (a) apakah akan merepresi aksi mobilisasi tersebut atau justru memfasilitasinya; (b) peluang keberhasilan-kegagalan dari aksi tersebut; (c) peluang keberhasilan-kegagalan ketika aksi itu sudah tidak berlangsung lagi, sehubungan dengan ada-tidaknya sifat reformis dari para penjaga sistem dan positif atau negatifnya makna aksi mobilisasi itu. 

 


Struktur Kesempatan Politik

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


             

Perubahan politik yang dihadapi gerakan           

Tiap-tiap aksi kolektif tertentu niscaya menghadapi struktur kesempatan politik yang spesifik pula. Adalah tidak mungkin menggeneralisir struktur kesempatan politik yang dihadapi setiap aksi dari gerakan rakyat pedesaan tertentu. Namun, memang ada perubahan politik utama yang dihadapi oleh masing-masing gerakan pedesaan. Dengan maksud memudahkan dan dengan resiko menyederhanakan  berikut ini disajikan tabel yang meringkaskan karakteristik masing-masing gerakan itu dalam soal-soal: pelaku utama gerakan dan sejumlah situasi politik yang memungkinkan memobilisasi rakyat pedesaan, mengembangkan organisasi dan melancarkan aksi-aksi kolektif.  

            

 

Tabel 5. Perbandingan karakteristik pelaku utama dan situasi politik yang dihadapi 

 

Pelaku Utama Gerakan

Sejumlah situasi politik yang memungkinkan 

MST (Movimento Dos Trabalhadores Rurais Sem Terra)

MST berbasiskan pada (i) penduduk kota maupun desa yang tidak bertanah dan telah bergabung dalam tenda-tenda dan hidup secara kolektif; (ii) petani yang telah menduduki tanah dan mengusahakan agar tanah tersebut produktif; (iii) gereja, ornop dan intelektual yang mendukung kerja analisis, logistik, pengorganisasian maupun advokasi.

Pemerintah sipil Jose Sarney yang mengganti pengusa militer di tahun 1985 mewarisi krisis politik yang paling besar dalam sejarah Brazil, utang luar negeri yang paling besar di dunia dan utang dalam negeri serta inflasi terbesar yang pernah terjadi.  Warisan konflik-konflik agraria da dimana-mana di seantero negeri. Wilayah-wilayah konflik inilah yang menjadi basis MST untuk menerapkan sebuah metode agresif pendudukan tanah. Ada Konstitusi Federal yang menyatakan bahwa tanah harus berfungsi sosial dan menjadi produktif.  

Tersedia organisator yang kebanyakan mereka berasal dari Gereja Katolik dan Luteran, yang mendatangi pedesaan miskin dan wilayah perkotaan, memberitahu rakyat tentang hak-hak mereka atas tanah dan mengorganisasi pendudukan.  Ada sifat mendua dari pemerintah Cardoso (1995-2003), di satu pihak menyediakan kelembagaan, dana dan program untuk membentuk pemukiman baru dan meredistribusi tanah melalui ICRA, tapi di lain pihak mengembangkan kebijakan produksi dan perdagangan yang neoliberal. Ada hubungan yang organik dengan partai buruh yang menang dalam pemilihan presiden 2003.   

EZLN (Ejercito Zapatista de Liberacion Nacional).

Zapatista berbasiskan (i) gerilyawan di Hutan Lacondon – Chiapas yang berfungsi sebagai penjaga arah gerakan; (ii) petani-petani Indian yang memperjuangkan zona otonomi di Chiapas; (iii) organisasi-organisasi masyarakat sipil, baik  yang berafiliasi secara langsung, maupun pendukung serta simpatisannya.

Kekhususan karakter gerilya yang dilakukan dan jenis aksi kolektif yang diandalkan telah membuatnya memiliki pesona menjadi pusat perhatian gerakan masyarakat sipil di Mexico. Ia bukan hanya membangkitkan kelompok-kelompok perjuangan hak-hak indigenous peoples, tapi juga kelompok-kelompok prodemokrasi, pembaruan hukum, kesetaraan gender, pembaruan agraria, dan hak-hak asasi manusia. Lebih lanjut, sebagai bentuk organisasi, gerakan Zapatista membawa masuk sejumlah besar pendukung dalam proses-proses dan/atau upaya­-upaya perubahan itu: kelas menengah pada umumnya; partai politik (oposisi); lembaga-lembaga penelitian dan pendidikan (termasuk guru-guru); ilmuwan ‘independen’; aktivis-aktivis ‘individual’ (non-lembaga); LSM (baik nasional, propinsi, maupun lokal/distrik); organisasi massa (termasuk serikat buruh, serikat petani, serikat perempuan, dll.); lembaga-lembaga yang memperjuangankan hak-hak indigenous peoples; komunitas; dan kelompok-kelompok kepentingan lainnya. Pemilu tahun 2000 menjadi ajang demokratisasi, yang akhirnya mayoritas rakyat Meksiko memilih Vincente Fox dari PAN, menggulingkan PRI dari tampuk kekuasaan yang telah  terus dipegangnya sepanjang 71 tahun. Transisi demokrasi yang dimulai Pemerintah Federal di bawah Fox tetap memberi ruang bagi partisipasi dan aksi-aksi masyarakat sipil yang bertujuan mendemokratisir sistem politik, namun pemerintah Federal tetap mengadopsi neoliberalisme. 

FOIN (Föderation der indigenen Organisationen des Napo)

Sebagai suatu federasi, FOIN berbasiskan kelompok-kelompok petani-petani Indian Quichua di wilayah NAPO, yang didukung oleh berbagai organisasi non-pemerintah.

FOIN memiliki akar kelembagaan pada pengorganisasian kooperatis arahan negara di tahun 1960an dan 1970an dengan basis pengorganisasian berdasar kelas “Petani”. FOIN mulai beralih dari sebuah penekanan pada pembangunan modernis ke sebuah politik masyarakat adat yang lebih eksplisit, sebuah peralihan yang sebagian besar bisa ditelusuri pada empat proses yang saling terkait. Faktor penting pertama adalah berakhirnya pemerintah militer, yang terguling dan memungkinkan terjadinya pemilu demokratis di tahun 1979. Perubahan ini menciptakan ruang-ruang politik dan wacana baru yang, meski terbatas, menawarkan alternatif untuk bentuk-bentuk sindikalis pengorganisasian di bawah pemerintahan militer. Faktor kedua adalah berkembangnya organisasi-organisasi masyarakat adat regional dan nasional yang semakin terpolitisasi. Dalam kurun waktu 1976-1986 ada empat organisasi regional baru dibentuk di Amazon Ekuador dan pembentukan sebuah kelompok payung regional tahun 1980 yakni Konfederasi Kebangsaan  Masyarakat Adat Ekuador (CONAIE) — yang saat ini merupakan sebuah aktor politik utama di Ekuador. Ketiga, meningkatnya kehadiran ornop internasional di wilayah tersebut terutama ornop yang mengurusi konservasi lingkungan, pembangunan pedesaan, atau masyarakat adat memperluas susunan hubungan organisasional, yang di dalamnya FOIN terlibat, dan menyediakan sumber-sumber baru pendanaan dan bantuan teknis, begitu juga landasan ideologis baru. Keempat, bangkitnya neoliberalisme di dalam dan luar Ekuador secara radikal mengubah konteks dan sasaran mobilisasi kelompok-kelompok sosial secara politik dan budaya. 

LPM (Landless Peoples Movement).

LPM berbasiskan rakyat tak bertanah, baik di pedesaan maupun perkotaan yang menjadi korban perampasan tanah secara rasial oleh rejim apartheid.    LPM didukung pula oleh tetua-tetua adat di pedesaan-pedalamansejumlah ornop dan jaringan organisasi gerakan sosial lain di Afrika Selatan yang anti-neoliberalisme.

Fraksi pendukung modal yang tadinya mendukung rejim kulit putih mengubah strateginya, menjadi bekerjasama dengan kepemimpinan gerakan progresif ANC, dengan konsesi bahwa hanya akan dilakukan redistribusi terbatas atas modal dan aset-aset produktif yang dikuasai kelas kapitalis yang dahulu bersifat rasis. Perintah konstitusi 1994 untuk meredistribusi tanah, menjamin kepemilikan tanah bagi semua dan mengembalikan tanah kepada mereka yang dirampas tanahnya dengan sewenang-wenang berdasarkan hukum yang rasial, telah membentuk ide penting seputar pengorganisasian kaum tak bertanah. Namun, harapan akan pengembalian dan redistribusi besar-besaran tanah kepada kaum yang tak berpunya menjadi pupus ketika ANC mengadopsi model land reform yang diatur oleh pasar. Model ini menempatkan redistribusi tanah pada lingkup kecil yang tidak dipentingkan dalam proses restrukturisasi perekonomian kapitalis dan mengarahkannya kembali pada jalur ekonomi pertumbuhan.  

Gerakan-gerakan Pendudukan Tanah.

Gerakan ini tidak menyatu dalam organisasi tertentu, tapi basisnya tersebar di seantero negeri pelaku aksi-aksi pendudukan tanah yang umumnya terdiri dari pekerja pertanian, veteran-veteran eks-combatan, yang didukung  langsung oleh Partai ZANU-PF yang berkuasa maupun sayap organisasi massanya ZAPU-PF.

Akibat warisan kolonial Zimbabwe, konflik mendarah daging atas masalah tanah telah menjadi isu kompetisi politik dalam pemilu, yang pada gilirannya ditandai oleh polarisasi antara strategi radikalisme land reform dengan strategi pengalihan tanah secara konservatif. Sebelum pemilu parlemen bulan Juni 2000, para pemimpin ZANU-PF menyerukan percepatan pengambilan tanah dari ‘kulit putih’, sambil menghasut sekaligus menyokong timbulnya gerakan pendudukan. Gerakan pendudukan tanah dihegemonisasi dan dikontrol oleh para veteran perang dan partai berkuasa. Sementara itu, para pemimpin oposisi MDC menyerukan proses pasar yang trans­paran dalam perolehan tanah, tapi tidak mendefinisikan secara kongkrit proses pasar dimaksud. Kampanye tahun 2000 menjadi kampanye yang paling penuh sengketa dan kekerasan sepanjang sejarah pemilu Zimbabwe. Partai berkuasa ZANU-PF berkampanye dengan slogan ‘Tanah Itu Ekonomi, Ekonomi Itu Tanah’. MDC berfokus pada manajemen ekonomi dan reformasi tata pemerintahan. MDC punyai sekutu dengan partai petani-petani kulit putih dan kelompok bisnis, serta dari organisasi-organisasi masyarakat sipil yang terhubung dengan dana donor. MDC menuduh partai berkuasa membagi-bagi tanah untuk kroninya, dan membuat isu tanah sebagai monopoli ZANU-PF padahal mereka dianggap gagal mengatasi masalah ini selama 20 tahun. 

NBA (Narmada Bachao Andolan). NBA dimotori oleh kelompokaktivis yang kebanyakan ber­pendidikan tinggi dan profesional, yang menjalankan kepemimpinan gerakan dan mengambil putusan-putusan pokok mengenai sumberdaya, strategi, dan politik NBA. NBA memiliki komite-komite lokal yang terdiri dari kelompok-kelompok informal masyarakat setempat yang memimpin dan menyediakan dukungan termasuk logistik gerakan. Di wilayah-wilayah adivasi, mereka bekerja dengan tokoh-tokoh adat, sedang ditempat lain mereka berbasiskan dari petani-petani kaya dan berpengaruh.

Perubahan politik di tingkat negara federal, maupun di negara bagian tidak banyak memberi ruang bagi NBA. Gerakan NBA lebih ditentukan oleh  jaringan di dalam gerakannya sendiri. Gerakan ini terdiri dari kelompok inti aktivis-aktivis yang gigih, kebanyakan ber­pendidikan tinggi dan profesional, yang menjalankan kepemimpinan gerakan dan mengambil putusan-putusan pokok mengenai sumberdaya, strategi, dan politik NBA. Banyak di antara aktivis ini datang dari luar lembah Narmada dan beroperasi dari kantor-kantor gerakan tersebut di kota. Mereka mengurus hubungan dengan ornop dan kelompok-kelompok aktivis nasional dan internasional lainnya, menggelar riset, dokumentasi, dan diseminasi; melobi departemen-depar­temen pemerintah, organisasi-organisasi internasional dan media; memobilisasi dan meng­koor­dinasi protes di lembah; menggalang dana dan merancang strategi.

Kelompok-kelompok dukungan NBA terdiri dari grup-grup aktivis India serta ornop di luar lembah yang berminat pada persoalan HAM, lingkungan, dan pembangunan alternatif. Mereka menyediakan dukungan logistik dan finansial sambil turut beraksi di lembah. Mereka juga ber­peran sebagai penghubung antara NBA dengan perjuangan-perjuangan lainnya di India. NBA juga memiliki komite-komite lokal yang terdiri dari kelompok-kelompok informal masyarakat setempat yang memberi dukungan logistik bagi gerakan. 

AOP (Assembly of the Poor)

AOP sebagian besar dipimpin oleh anak-anak petani pedesaan yang telah hidup bergelimang di pusat-pusat kota sebagai organisator, guru dan para pengacara hukum yang didukung oleh ornop-ornop. AOP berbasiskan para petani penggarap, kelompok masyarakat adat, yang terutama dari pegunungan dan dataran tinggi di wilayah timur laut Thailand. Banyak dari mereka adalah korban penggusuran proyek-proyek pembangunan waduk, terancam akan digusur oleh proyek-proyek baru, juga menjadi korban dari kekurangan akses atas hutan dan masalah-masalah hak atas tanah. Bergabung pula bersama AOP juga kelompok-kelompok nelayan, buruh industri dan miskin kota dari pemukiman kumuh.

AOP dibentuk pada desember 1995, semasa kampanye besar-besaran menyuarakan masalah rakyat pedesaan yang menjadi korban dari politik pembangunan pemerintah.  Mereka menggunakan kesempatan Pertemuan Tingkat Tinggi ASEAN (the ASEAN Summit) di bulan desember 1995 itu guna meresonansikan tuntutan-tuntutannya pda pemerintahan Thailand. Pengabaian dan penolakan pemerintah atas aksi-aksi AOP sepanjang 1995-1997 telah membakar semangat pemimpin rakyat dan ornop untuk menyelenggarakan demo-kemah besar di depan Kantor Pemerintahan selama 101 hari dengan 30.000 orang. Pemerintahan Chavalit mau tidak mau responsif terhadap tuntutan AOP dan berjanji dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan dan memperhatikan semuanya. Beberapa proyek negara dibatalkan. Jaminan kompensasi bagi penduduk lokal yang terkena dampak waduk dan proyek-proyek pemba­ngunan besar diberikan. Komite-komite yang berisi perwakilan pemerintah, jajaran birokrasi, dan AoP dibentuk untuk menindaklanjuti perjanjian-perjanjian yang dicapai selama protes. Tetapi ketika koalisi Chavalit jatuh pada November 1997, semua komite dibubarkan dan proses pe­menuhan kesepakatan ter­henti sekali lagi.  

UNORKA (Pambansang Ugnayan ng Nagsasariling Lokal na mga Samahang Mamamayan sa Kanayunan).

UNORKA berbasiskan organisasi-organisasi petani lokal dari para petani tidak bertanah yang  lansung memperjuangkan  redistribusi atas tanah-tanah hacienda. Organisasi anggota-anggota UNORKA didukung oleh beberapa ornop yang memiliki reputasi panjang dalam mengadvokasikan land reform.

Perpecahan ideologis-strategis di kalangan pemimpin organisasi kaum tani yang memperjuangkan land reform sehubungan dengan sikap terhadap CARL telah memungkinkan rekonsolidasi kelompok-kelompok tani lokal yang memperjuangkan hak atas tanah dalam kerangka hukum. Reformasi kebijakan dan institusional yang dimulai oleh kelompok pro reformasi di DAR di bawah kepemimpinan mantan eksekutif ornop Ernesto Garilao (1992-98) menyumbang sebuah perubahan baik dalam peluang-peluang politik bagi kemunculan gerakan-gerakan land reform lokal otonom dan tumbuhnya kerja sama yang berarti dengan negara. Demikian pula ketik DAR berada di bawah kepemimpinan Morales dalam pemerintahan Estrada (1998-2001). Kebalikan dengan era selanjutnya yang ditandai dengan meningkatnya ketegangan-ketegangan, ironi-ironi dan kontradiksi-kontradiksi dalam front land reform.  Namun, justru pengalaman konfrontasi ini menjadi bahan bakar mobilisasi gerakan  UNORKA menjadi militan.

AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara).

AMAN berbasiskan komunitas-komunitas adat, serta organisasi adat regional yang secara langsung melakukan pengorganisasian, mobilisasi, berjaringan dan advokasi untuk mendapatkan pengakuan atas wilayah dan hak-hak yang melekat padanya. AMAN memiliki kepemimpinan kolektif dan eksekutif pelaksananya yang  umumnya diisi oleh aktivis-aktivis ornop. AMAN memiliki pendukung luas dari jaringan Ornop  nasional hingga internasional.

Ekspansi kapitalisme yang didukung oleh negara yang otoritarian dan rente telah meluluhlantakkan dasar-dasar keberlanjutan masyarakat-masyarakat yang tinggal di pedesaan-pedalaman yang hidup masih dalam ikatan adat. Orde Baru telah menyediakan korban-korban yang kebanyakan diadvokasi oleh ornop-ornop nasional maupun internasional. Transisi demokrasi yang dimulai tahun 1998, membuka ruang hidup bagi gerakan AMAN untuk mengartikulasikan diri.  Didukung oleh ornop-ornop nasional dan internasional, yang marak bekerja juga dalam rangka dekade indigenous peoples, organisasi-organisasi masyarakat adat yang asalnya bekerja dalam basis kewilayahan telah menaikkan arena kerjanya ke pentas nasional yang dipenuhi konfigurasi kekuasaan dan proses politik yang lebih rumit. Tata ulang orientasi departemen-departemen sektoral, terutama Departemen Kehutanan dan Badan Pertanahan Nasional, hingga perubahan konstitusional telah memberi ruang bagi AMAN untuk mengartikulasikan hak-hak sumber daya “masyarakat adat”. Kesaksian-kesaksian dan tuntutan-tuntutan dari masyarakat adat telah menjadi pesona bagi media-media massa untuk mempertanyaakan akar lokal dari negara nasional. 

 

 

            Hampir semua amatan atas gerakan-gerakan rakyat di atas itu menunjukkan bahwa perubahan politik nasional mempengaruhi bagaimana susunan kekuasaan di pedesaan dipertarungkan, khususnya pertarungan kekuasaan yang berbasis pada penguasaan tanah. Seperti dinyatakan oleh Jonathan Fox (1990:1) bahwa “distribusi kekuasan pedesaan di negara-negara yang sedang berkembang ikut membentuk dan dibentuk oleh politik nasional”.  Dengan adanya perubahan susunan kekuasaan di pedesaan ini, tentu gerakan-gerakan rakyat pedesaan ikut terpengaruh dan mempengaruhinya pula. oleh perubahan kekuasaan ini. Fox (1990:1) mengemukakan istilah “demokratisasi pedesaan” (rural democratisation) untuk menunjukkan bagaimana pencarian keseimbangan baru terjadi dalam interaksi antara masyarakat dan negara. 

“Dalam masyarakat sipil, hal ini menyangkut kebangkitan dan konsolidasi lembaga-lembaga sosial dan politik yang sanggup mengemban kepentingan-kepentingan pedesaan berhadap-hadapan dengan (vis-a-vis) negara. Beberapa bisa saja secara khusus bersifat pedesaan, seperti organisasi-organisasi petani, sementara yang lain dapat berupa keorganisasian yang nasional sifatnya, seperti partai-partai politik, yang mengembangkan pengaruhnya sampai pedesaan. Bagi negara, demokratisasi pedesaan membutuhkan adanya penguasa yang efektif didukung oleh mayoritas, juga akuntabilitasnya secara formal maupun informal terhadap warga-warga yang tinggal di pedesaan.  

Demokratisasi pedesaan tidak dapat dipisahkan dari tantangan demokratisasi negara yang lebih umum. Meskipun demikian, suatu fokus pada arena politik pedesaan membutuhkan serangkai pertanyaan analitis yang khusus, karena penduduk miskin pedesaan nyatanya memiliki halang-rintang internal maupun eksternal ketika mereka mencoba menuntut akuntabilitas negara dalam bentuk yang konkrit. Sebagai misal, berbagai bentuk organisasi yang sering mencoba mengartikulasikan dan memperantarai kepentingan-kepentingan masyarakat sipil berhadap-hadapan dengan negara, seperti partai politik, serikat-serikat, perkumpulan-perkumpulan warga dan media massa, pada kenyataannya hanya menyentuh sisi-sisi permukaan saja dan tidak dapat hadir mempengaruhi secara sama pada dunia pedesaan di negara-negara berkembang.”

Meski arus demokratisasi politik pada tingkat nasional dapat berhubungan bolak-balik dengan demokratisasi pedesaan, namun rakyat miskin pedesaan tetap saja menghadapi banyak halang-rintang untuk ikut serta melalukan aksi kolektif memanfaatkan kesempatan politik yang tersedia akibat demokratisasi tersebut. Fox (1990:3-4) mengidentifikasi dua jenis hambatan utama: pertama, yang lebih bersifat internal bagi gerakan; dan kedua hambatan yang bersumber dari interaksi gerakan-gerakan ini dengan negara (baik lokal maupun nasional):

Pertama,  aksi kolektif melintasi batas desa sering dihalangi oleh faktor-faktor yang sebagian besar berasal dari dalam proses mengartikulasikan dan mempertahankan kepentingan-kepentingan: kesulitan membuat pertemuan massa, komunitas-komunitas yang relatif tersebar, keragaman kegiatan ekonomi, konteks ekologis dan kegentingan keberlanjutan hidup sehari-hari, dan semua yang memberatkannya atau resiko yang musti mereka tanggung bila mereka memutuskan untuk berpartisipasi dalam kegiatan gerakan. Meskipun demikian, aksi kolektif melintasi batas komunitas mereka sendiri sungguh penting dan sulit karena kekuasaan negara maupun sektor bisnis yang mengekang hidup mereka seringkali bekerja pada tingkat wilayah. Elite-elite wilayah sering mengendalikan mesin pemilu, sistem pengadilan, harga tukar barang-barang, jatah kredit, dan – ini bukan yang terakhir – juga alat-alat untuk menindas secara langsung. Meski demikian, kaum miskin pedesaan telah menunjukkan bahwa dalam keadaan tertentu mereka sungguh ingin dan mampu memutus tali kekang yang berasal dari luar desa, memobilisasi untuk mempengaruhi putusan pejabat publik yang membuat hidup mereka lebih menderita.

Serangkaian halangan kedua bersumber dari luar gerakan-gerakan rakyat pedesaan: meyakinkan mereka agar memperjuangkan kebebasan-kebebasan politik yang dasar sering lebih sulit di wilayah pedesaan dari pada di perkotaan. Kekuatan yang digunakan pemerintah maupun swasta untuk menindas lebih sering lebih menampakkan diri secara langsung di wilayah pedesaan, sehingga tentunya lebih mudah melakukan aksi penindasannya atas segala sesuatu kegiatan demokratik, khususnya usaha-usaha membangun kelembagaan lokal. Biasanya,  ketidakadaan media massa telah memudahkan penggunaan kekerasan tanpa adanya penghukuman terhadap yang berbuat, dan membatasi akses pada informasi-informasi politik. Intervensi eksternal juga seringkali berupa strategi divide et impera (“pecah dan kuasai”) yang menggunakan kombinasi antara insentif material dan ancaman penindasan. Keterbatasan daya jangkau lembaga-lembaga demokrasi yang formal membuat banyak kegiatan politik pedesaan tetap tidak terpublikasi, dan oleh karenanya sering tidak tampak oleh pengamat dari luar.  Ancaman yang berlanjut dari para agresor dari luar merupakan yang selalu harus diperhatikan sepanjang masa tahapan awal dari transisi nasional yang diproses melalui pemilu, ketika harapan-harapan para pejuang demokrasi di pedesaan dibangkitkan, mereka tetap saja butuh dukungan aktif dari kawan seperjuangan mereka yang berkedudukan di kota agar dapat membentuk dan mempertahankan ruang politik bagi mereka di pedesaan. Dalam arah transisi demikian, kekuatan politik nasional yang anti-demokratik sering bekerjasama dengan para aristokrat pedesaan. Hasilnya dapat dibayangkan adalah meningkatnya penggunaan kekerasan terhadap kaum miskin pedesaan, seiring dengan adanya suatu keterbukaan politik yang awalnya merupakan gejalan nasional yang terjadi di kota-kota. 

 

Tirani Partisipasi yang Dikembangkan Ornop

            Andil ornop dapat ditemukan di hampir di semua gerakan rakyat pedesaan yang disajikan. Memeriksa bagaimana andil ornop terhadap gerakan-gerakan rakyat pedesaan yang memanfaatkan dan sekaligus dipengaruhi oleh kesempatan politik yang terbuka juga merupakan agenda yang penting, selain tentunya mendudukkannya dalam hubungan dengan pagelaran kuasa-kuasa neoliberal yang terus membesarkan diri.  

            Dalam rangka itu, penting kiranya menyadari bahwa bertumbuhannya gerakan-gerakan rakyat pedesaan ternyata diiringi oleh kehadiran ornop-ornop yang bergerak di pedesaan. James Petras (1997) dalam karyanya “Imperialism and NGOs in Latin America” menulis: 

Terdapat sebuah hubungan langsung antara pertumbuhan gerakan-gerakan sosial yang bertujuan menentang model neoliberal dan usaha-usaha untuk menumpas gerakan-gerakan tersebut dengan menciptakan bentuk-bentuk aksi alternatif melalui LSM. Titik temu antara LSM dan Bank Dunia adalah kesamaan mereka dalam melawan “statisme”. Di permukaannya LSM mengkritik negara dengan menggunakan perspektif “kiri” dalam mempertahankan masyarakat sipil, sementara sejatinya (sadar atau tidak) hal itu dilakukan atas nama pasar. Bagaimanapun, kenyataannya Bank Dunia, rezim-rezim neoliberal, dan yayasan-yayasan Barat mengkooptasi dan menganjurkan LSM untuk menggerogoti kemampuan negara mengurusi kesejahteraan sosial dengan cara LSM menyediakan “pelayanan sosial” sebagai kompensasi bagi para korban perusahaan-perusahaan multinasional (MNC). Dengan kata lain, selagi rezim-rezim neoliberal dari atas menghancurkan komunitas-komunitas yg ada dengan membanjiri seluruh negeri dengan impor-impor murah, memeras pembayaran hutang luar negeri, menghapuskan jaminan perlindungan hukum bagi buruh, dan menciptakan lautan buruh berupah rendah serta samudera pengangguran; LSM didanai utk menyelenggarakan proyek-proyek “keswadayaan”, “pendidikan populer”, dan pelatihan-pelatihan kerja, supaya secara temporer dapat menyerap kelompok-kelompok kecil kaum miskin, mengkooptasi para pemimpin lokal, dan ini utk meluluhkan berbagai perjuangan anti-sistem.

Ornop menjadi “wajah komunitas” dari Neoliberalisme, secara amat dekat ornop berhubungan dg mereka yg berkedudukan di atas dan melengkapi kerja destruktif mereka yg di atas dg proyek-proyek lokal. Begitulah kaum neoliberal mengorganisir suatu operasi “penjapit” alias strategi ganda. Sialnya begitu banyak kaum kiri memfokuskan perhatian semata pada "Neoliberalisme" dari atas dan dari luar (IMF, Bank Dunia) dan bukannya juga mengarahkan perhatian ini pada neoliberalisme dari bawah (ornop, usaha-usaha mikro).

Sinyalemen Petras tentang “wajah komunitas” dari neoliberalisme ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Bill Cooke and Uma Kothari (2002:4) dalam buku Participation: The New Tyranny?, bahwa: 

“... potensi tirani dari pembangunan partisipatori bersifat sistemik, dan bukan hanya soal bagaimana para praktisi memakai teknik-teknik dan alat-alat yang mereka gunakan. Kami ingin bergerak maju dari keterbatasan metodologis dalam pembangunan partisipatori, ... bukan hanya masalah bagaimana mempraktekkannya, melainkan mengagendakan lebih langsung pada bagaimana ajaran yang dominan (discourse) itu diserap dan membenarkan penggunaan kekuasaan yang sesungguhnya tidak dapat dibenarkan.

Hal inilah yang membawa kami pada apa yang kami maksudkan dengan tirani. ... Singkat kata tirani adalah penggunaan kekuasaan yang tidak sah dan/atau tidak layak.”


No comments:

Post a Comment