MEMAHAMI GERAKAN-GERAKAN RAKYAT DUNIA KETIGA (Bagian 10/14)


Penulis                        : Noer Fauzi
Pengantar                   : Hendro Sangkoyo
Penyelaras akhir       : Herlily
Penerbit                      : INSISTPress
Tahun                         : 2005
ISBN                           : 979-3457-64-5
Kolasi                         : 15x21cm; xxxi +225 halaman

_____________________________________________________________________ 

10

Artikulasi untuk mendapat pengakuan dari negara:

AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) di Indonesia

 

            Indonesia adalah negara kepulauan yang terbesar di dunia, yang terdiri dari 13.000 pulau, namun hanya 931 pulau yang dihuni, dengan luas keseluruhan 7 juta m2. Luas daratan pulaunya seluruhnya adalah 1,9 juta km2.  Dari seluruh penduduk yang berjumlah sekitar 235 juta jiwa, diperkirakan terdiri dari etnis Jawa 45%, Sunda 14%, Madura 8%, Melayu 7 % dan sisanya adalah ratusan kelompok kecil etnik lain yang berjumlah  26%.  

            Sebagaimana di kebanyakan negara Dunia Ketiga lainnya, mayoritas rakyat Indonesia masih tinggal di pedesaan dan masih hidup dari pekerjaan pertanian. Sebagian dari mereka hidup dalam satuan-satuan kelompok etnik dan/atau sub-etnik yang berbeda dari kelompok dominan.  Mereka adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya. Kelompok-kelompok Masyarakat Adat inilah yang menjadi kepedulian dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) karena mereka  mengalami penindasan berbagai bentuk, terutama ketika mereka berada di bawah rejim Orde Baru yang berkuasa semenjak tahun 1967. 

Pada bidang politik, lembaga-lembaga adat, yang menjadi pengatur Mayarakat Adat, diporak-porandakan dengan dipaksakanya lembaga-lembaga pemerin-tahan daerah dan desa yang berlaku seragam untuk seluruh wilayah berdasarkan Undang-undang Pemerintahan Daerah No. 5/ 1974 dan Undang-undang Pemerintah Desa No. 5/1979. Konsep “desa” yang dipaksakan itu, telah menimbulkan konflik yang hebat dalam masyarakat yang telah memiliki otonomi sisitem pemerintahan adat tersendiri. Kesatuan-kesatuan wilayah Masyarakat Adat dipecah-gabungkan dalam satuan-satuan yang baru, secara politik, dapatlah dikatakan tidak ada pengakuan akan otonomi kelembagaan adat dalam mengatur urusan ke dalam maupun ke luar. Lebih-lebih lagi, tidak ada sama sekali perwakilan dari Masyarakat Adat dalam kelembagaan-kelembagaan negara yang mengambil keputusan-keputusan berkenaan nasib Masyarakat Adat. 

Pada bidang hukum, konsep penguasaan Negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya telah menjadi suatu alat yang  ampuh enghilangkan kedaulatan Masyarakat Adat. Berbagai UU, seperti UU No. 5/1960, UU No. 5/1967, UU No. 11/1967, mendasarkan diri pada konsep Hak Menguasai Negara yang merupakan wujud kekuasaan Negara mengambil alih kedaulatan Masyarakat Adat atas tanah dan kekayaan alamnya. Pemegang Hak Menguasai Negara ini, dalam hal ini adalah pemerintah pusat, pada prakteknya mengeluarakan keputusan-keputusan yang membuka  peluang bagi terjadinya pelanggaran-pelangaran Hak Asasi Manusia yang serius. Selama negara RI berada dalam pengguasaan rejim militer Orde Baru, Masyarakat Adat telah mengalami kekerasan langsung, seperti intimidasi dan penyiksaan, bahkan hingga menghilangkan nyawa warga Masyarakat Adat terutama ketika Masyarakat Adat memperjuangkan kedaulatan dan hak-hak Masyrakat melawan proyek-proyek pemerintah maupun pemodal. 

Pada bidang ekonomi, luasnya tanah dan kayanya sumber daya alam masyarakat adat telah menjadi objek bagi pemerintah dan pemodal untuk mengadakan proyek-proyek raksasa. Tanpa adanya konsultasi, pemerintah memberikan hak-hak bagi para pengusaha dan badan-badan pengelolaan lainnya yang asing bagi Masyarakat Adat. Berbagai undang-undang, seperti UU No.5/1960, UU No.5/1967, UU No.11/1967, telah memberikan kemudahan bagi pengusaha untuk mengambil tanah dan mengeksploitasi kekayaan alam kepunyaan masyarakat adat. Di lain pihak, kedaulatan dan hak-hak Masyarakat Adat atas tanah dan kekayan alamnya diambil alih penguasaannya oleh negara dan pengusaha. Konsep-konsep yang merugikan seperti, tanah negara atau hutan negara telah menjadi alat yang ampuh untuk melumpuhkan kedaulatan masyarakat adat atas tanah dan kekayaan alamnya. 

Pada bidang sosial budaya, berbagai pengetahuan dan kearifan lokal milik masyarakat adat telah dilecehkan, dihilangkan dan dicuri. Pemahaman dan penguasaan masyarakat adat atas kekayaan alamnya yang telah dihancurkan oleh kebijakan-kebijakan yang memaksakan keseragaman kehidupan sosial-budaya. Pengetahuan dan kearifan lokal dalam pengelolaan hidup masyarakat adat tidak dipandang ‘sebelah mata‘ pun oleh sistem sosial budaya yang disebut ‘modern’ itu. 

Kehidupan perempuan dalam Masyarakat Adat adalah golongan orang yang paling merasakan penderitaan akibat penindasan politik, ekonomi dan sosial-budaya diatas. Perempuan adat lebih banyak menderita, seperti meningkatnya beban kerja perempuan adat akibat hilangnya tanah dan kekayaan alam, kekerasan langsung berupa pelecehan dan pemerkosaan”.

Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) untuk pertama kalinya berlangsung bulan Maret 1999 di Jakarta lalu, dihadiri lebih dari 200-an orang wakil dari tokoh adat dan lebih 200-an aktivis ornop dan pemerhati masyarakat adat yang juga ikut memfasilitasi dan menyemarakkannya. Kongres ini merumuskan situasi dan sumber utama penindasan itu sebagai berikut: 

“Jauh sebelum Negara Republik Indonesia berdiri, telah hidup bermacam-macam Masyarakat Adat dalam komunitas-komunitas yang tersebar di se-antero Nusantara. Kami  Masyarakat Adat, adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun temurun diatas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat. 

(…) 

Diakui dengan jelas bahwa adanya keanekaragaman budaya Masyarakat Adat di seantero Nusantara, sebagaimana yang telah dirumuskan dalam istilah Bhineka Tunggal Ika. Tapi, kenyataannya, kami tidak memperoleh pengakuan atas kedaulatan. Kehidupan Masyarakat Adat dalam Republik Indonesia mengalami penderitaan-penderitaan yang serius. Penderitaan itu pada pokoknya bersumber dari tidak diakuinya kedaulatan  Masyarakat Adat oleh kedaulatan Negara Republik Indonesia dalam berbagai praktek-praktek penyelenggaraanya.”

            Karya tulis dari Tania Li (2001a, 2002), telah berhasil menunjukkan bagaimana proses kontruksi perjuangan atas sumber daya alam dan keberlanjutan hidup ini dikerangkakan dalam perjuangan “masyarakat adat” – yang berbeda dengan perjuangan yang pernah ada pada masa sebelumnya. Ia menulis:

“Indonesia memiliki sejarah perjuangan perlawanan rakyat untuk mendapatkan hak atas sumber daya yang, saat kemerdekaan di masa pemerintahan Sukarno dan selanjutnya pada masa berdirinya partai komunis di Indonesia, dinyatakan bukan sebagai tuntutan-tuntutan ‘masyarakat adat’ yang memiliki kekhususan budaya yang menyatu dengan alam, tetapi sebagai perjuangan-perjuangan ‘rakyat’ untuk mendapatkan tanah.”

Dalam karya lainnya, ia juga menelaah bagaimana dan mengapa gerakan ini menggunakan konsep masyarakat adat, serta menelaan apa saja kekuatan dan keterbatasannya. Tania Li (2001b:25 dan 2004:362) sampai pada kesimpulan bahwa:

“Wacana masyarakat adat di Indonesia muncul dari pandangan-pandangan dan hubungan-hubungan baru yang membentuk kesempatan, namun tanpa jaminan. Terdapat potensi untuk terbangunnya suatu gerakan sosial yang luas dimana para aktivis kota dan rakyat pedesaan mulai mengartikulasikan kepentingan-kepentingan yang sama. Ada juga resiko-resiko. Dalam rumusan Hall, artikulasi adalah adalah suatu proses penyederhanaan dan pembuatan-pagar serta hubungan. Bentuk-bentuk yang terwujud tidaklah telah ditentukan sebelumnya oleh struktur-struktur dan posisi-posisi yang objektif, melainkan muncul melalui proses aksi dan imajinasi yang dibentuk oleh  “permainan sejarah, budaya dan kuasa yang berkesinambungan.”

            Dikonstruksinya “masyarakat adat” sebagai identitas dan pengemban hak yang diperjuangkan pengakuannya dari negara sungguh merupakan penemuan yang hanya dimungkinkan oleh ragam bentuk penindasan, kesempatan politik, dan kombinasi perjuangan eksponen gerakan lingkungan pada tingkat global, nasional dan lokal. Sedangkan tuntutan pengakuan dari negara, seperti yang dilukiskan oleh Li (2001a:651-652), memasuki arena pertarungan kekuasaan yang amat rumit. 

“Supaya memperoleh pengakuan maka pihak-pihak yang menuntut pengakuan harus diidentifikasi lebih dulu. Gagasan bahwa masyarakat adat memiliki hak-hak istimewa, atau bahwa akses terhadap sumber daya harus dikaitkan dengan identitas budaya dan pengetahuan lingkungan ‘tradisional’, tidak akan ada artinya jika para pengemban hak dan ciri tersebut tidak dapat diidentifikasi berdasarkan kriteria birokrasi secara legal. Para pendukung juga harus mampu mengidentifikasi pihak-pihak yang menjadi perhatian mereka. Masyarakat adat harus cocok dan dikembangkankan sesuai dengan serangkaian citra dan mitos-mitos yang sudah ada. Berbagai citra ini dibentuk oleh berbagai hasrat nasional dan transnasional untuk memperoleh kembali gaya hidup bergotong royong di masa lalu di mana masyarakat desa memiliki otonomi, jaminan mata pencaharian, sumber daya alam yang melimpah dan keterikatan spiritual dengan lahan. 

...  

Setelah berbagai subjek diidentifikasi, pengakuan tetap merupakan hal yang rumit. Pengakuan bukanlah sesuatu yang bisa diberikan dengan mudah oleh satu pihak kepada pihak lain. Pengakuan tidak bisa ‘disumbangkan begitu saja ... Pengakuan memerlukan pengetahuan. Pengakuan ditentukan oleh komunikasi, dan keterbukaan terhadap penemuan sesuatu yang baru ... Pengetahuan mengubah orang. Idealnya, perubahan ini bersifat timbal-balik.  

...

Bagi yang menuntut agar hak-hak mereka diakui, mereka harus menggunakan bahasa-bahasa yang dominan dan menuntut untuk mendapatkan suara dalam birokrasi dan pertemuan-pertemuan lainnya yang berpengaruh, meskipun mereka harus menarik-ulur, mengulang atau bahkan membalikkan arti sesungguhnya ... Tuntutan untuk mendapatkan pengakuan melibatkan banyak komponen dan kelompok dengan agenda yang beranekaragam. Termasuk di dalamnya adalah berbagai aturan hukum yang berlaku dan yang masih diteruskan dari jaman penjajahan, yang menjadi persengketaan tafsir; para politisi dan birokrat secara individu yang cenderung ingin menyenangkan rakyat; para donor internasional; berbagai organisasi ‘non-pemerintah’ nasional dan internasional; dan media baik yang membentuk dan merespon berbagai pemahaman dan sentimen masyarakat atas dasar akal sehat. 

Arena inilah yang digeluti oleh para penggeraknya, dan lebih dari itu secara kreatif ditampilkan berbagai manufer agar kejutan-kejutan baru dapat terjadi dmi tercapainya pengakuan yang dimaksudkan. Padahal pengakuan negara barulah merupakan anak tangga pertama saja, untuk ke anak-anak tangga berikutnya. Pada tahun 2002, dalam suatu kesimpulan lokakarya internalnya AMAN merumuskan perannya sebagai berikut (AMAN:2002): 

“... Masyarakat Adat akan memperhatikan terus, sampai dimana penyelenggara negara mengakui atau justru menyingkirkan masyarakat adat beserta hak-haknya, sambil terus aktif ikut campur dalam pembuatan kebijakan yang akan mempengaruhinya. 

Manakala pengakuan dari penyelenggara negara telah terwujud, maka partisipasi politiknya akan dilanjutkan dengan upaya perolehan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat. Artinya, penyelenggara negara menghormati hak-hak masyarakat adat, manakala seluruh jajaran pemerintahan (di daerah dan pusat) secara bersama-sama mengubah seluruh kebijakan dan proyek-proyek pembangunan sehingga tidak melanggar hak-hak masyarakat adat. Penyelenggara negara (pusat dan daerah) melindungi  hak-hak masyarakat adat, manakala mereka mencegah dan menindak pihak-pihak lain yang “non-negara” (seperti perusahaan-perusahaan besar) yang melanggar hak-hak masyarakat adat. Penyelenggara negara memenuhi hak-hak masyarakat adat, manakala  pemerintah menggunakan kebijakan, anggaran dan proyek-proyeknya untuk mengembalikan hak-hak masyarakat adat yang dimilikinya, termasuk hak-hak yang dirampas sebelumnya, baik oleh penyelenggara negara sebelumnya maupun oleh pihak-pihak lain yang non-negara.”

            Sepanjang 6 tahun perjalanannya AMAN telah memposisikan dirinya sebagai  ”wadah perjuangan bersama masyarakat adat untuk menegakkan hak-hak adatnya, eksistensinya dan kedaulatan dalam mengatur dirinya sendiri secara adil dan mengelola sumberdaya alamnya secara berkelanjutan.”  Hingga tahun 2004, sebagaimana terdaftar pada kongres AMAN yang kedua, AMAN memiliki anggota 927 komunitas adat yang terdaftar (777 di antaranya telah terverifikasi); 18 organisasi adat di tingkat lokal, dan 11 organisasi adat wilayah. Di tingkat daerah, AMAN memiliki anggota-anggota organisasi dan komunitas adat yang secara langsung melakukan pengorganisasian, mobilisasi, berjaringan dan advokasi sesuai kapasitas masing-masing menghadapi masalah-masalah masing-masing. Di masing-masing daerah terdapat mekanisme rapat,  AMAN merekrut wakil tokoh adat yang menjadi anggota Dewan AMAN. Dewan inilah yang setiap tahun bersidang menentukan arah gerakan dan program-program yang akan dijalankan oleh kepemimpinan kolektif AMAN dan eksekutif pelaksananya. Eksekutif pelaksana AMAN ini lah yang umumnya diisi oleh aktivis-aktivis ornop.  

            AMAN berhasil mengakhiri perjuangan diam-diam dari masyarakat adat dan tampil secara terbuka dengan cara bergerak yang high profile (Moniaga, 2003), yang dijiwai oleh moto “Kalau Negara tidak mengakui kami, kamipun tidak akan mengakui Negara.” Tuntutan pengakuan AMAN menjadi jelas bentuk perwujudannya sambil diperjuangkan. AMAN telah berhasil mematerialkan wacana adat, hukum adat, dan masyarakat adat dan menjadikan tuntutan yang kuat agar pemerintah mewujudkan “pengakuan” yang dimaksudkannya. Misalnya, para pejabat tinggi di Departemen Kehutanan sungguh menyadari bagaimana AMAN mengadvokasi kedudukan dan hubungan masyarakat adat dengan kawasan hutannya, ketika mereka mengadakan usaha merevisi UU Kehutanan No. 5 tahun 1967 menjadi UU Kehutanan No. 41 tahun 1999 dan pembentukan draft Peraturan Menteri tentang Hutan Adat.  Juga, Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional harus menanggapi tuntutan dan tekanan AMAN dengan mengeluarkan Permenag No. 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

            Selain contoh yang menunjukkan arena kerja advokasi AMAN di tingkat nasional, kita juga dapat melihat di pedesaan secara langsung di seantero wilayah Indoenesia bagaimana perjuangan komunitas-komunitas adat dan organisasi adat yang menjadi anggota AMAN melakukan klaim, baik dengan pendudukan kembali dan aksi-aksi konfrontasi langsung lainnya maupun aksi-aksi negosiasi berkenaan dengan tanah-tanah dan kekayaan alam yang berada di wilayah yang dipersengketaan dengan badan-badan usaha produksi maupun konservasi.  Ketika desentralisasi diimplementasikan sebagai akibat dari UU no. 22 tahun 1999, di berbagai Kabupaten seperti Toraja, Sanggau, Solok, Paser, Lombok Utara, Liwa, dll, kita dapat menyaksikan proses perjuangan pengakuan eksistensi lembaga adat dan wilayah adatnya.

            Selain itu, AMAN juga telah menjelajah arena internasional bersama-sama dengan organisasi-organisasi sejenis dari negara lain yang memperjuangan eksistensi dan hak-hak indigenous peoples. Misalnya, dalam rangka WSSD (World Summit on Sustainable Development) dan momentum proses perumusan deklarasi PBB mengenai hak-hak Indigenous Peoples AMAN menjadi organisasi yang aktif sekali menggunakan momentum ini untuk menggunakan strategi mengubah kebijakan-kebijakan global, dan menggunakan kebijakan global untuk menguatkan agenda perubahan kebijakan nasional maupun lokal.  

No comments:

Post a Comment