Pengantar : Hendro Sangkoyo
Penyelaras akhir : Herlily
Penerbit : INSISTPress
Tahun : 2005
ISBN : 979-3457-64-5
Kolasi : 15x21cm; xxxi +225 halaman
_____________________________________________________________________
8
Mobilisasi untuk mengeraskan suara rakyat miskin:
AOP (Assembly of the Poor) di Thailand
Kerajaan Thailand atau sering juga kita sebut Muangtai adalah negara di Asia Tenggara yang tidak pernah dijajah. Komposisi penduduknya terdiri dari orang Thailand sendiri 75%, Cina 14%, Melayu 3% dan sisanya adalah Khmer, Hmong, Karen, dan lainnya. Luasnya meliputi 514.000 km2. Di daerah tengah negeri ini terdapat Dataran Mae Nam Chao Phraya yang merupakan lumbung beras, yang bukan Cuma mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri, melainkan mampu menjadi andalan eksport. Di daerah yang lebih tinggi, penduduk menanami wilayahnya dengan jagung, singkong, tebu, kapas dan sayuran serta buah-buahan. Sejak perang Dunia II, Pembangunan di Thailand diutamakan pada zona-zona kawasan industri (untuk tekstil, garmen, mebel, produk perikanan, minyak dan gas bumi) dan pariwisata serta infrastruktur revolusi hijau (seperti waduk-waduk dan irigasi) untuk mempertahankan produksi makanan (beras dan buah-buahan). Meski produksi industri dan turisme Thailand memberi andil yang semakin penting, namun eksport bahan pangan tetap menduduki rangking nomor satu. Selain kedua hal itu, yang juga penting adalah eksport karet dan timah.
Sejak revolusi hijau diterapkan tiga puluhan tahun lalu, Thailand mengalami krisis di pedesaan. Mayoritas usaha tani kecil-kecil. Masalah utama politik pertaniannya adalah beban hutan petani yang tinggi, semakin besar ketergantungan pada pemberi hutang yang juga makelar perdagangan. Hutang ini musti dibayar dengan bunga yang mencekik atau dengan mengijonkan tanaman. The Assembly of the Poor (AOP) di Muangtai adalah suatu jaringan petani yang paling luas di Muangtai yang bersuara paling lantang mengenai krisis pedesaan ini.
AOP dibentuk pada desember 1995, semasa kampanye besar-besaran menyuarakan masalah rakyat pedesaan yang menjadi korban dari politik pembangunan pemerintah. Mereka menggunakan kesempatan Pertemuan Tingkat Tinggi ASEAN (the ASEAN Summit) di bulan desember 1995 itu guna meresonansikan tuntutan agar pemerintahan Thailand mengubah kebijakan pembangunannya agar lebih tepat untuk orang miskin, mengakui hak-hak rakyat untuk mengelola sumber daya alamnya, mendesentralisir kewenangan pada organisasi-organisasi lokal, mengubah sistem politik agar sejalan dengan konsep “Pembangunan Berpusat pada Rakyat” (People-Centred Development), mengamendir perundang-undangan agar cocok dengan prinsip pembangunan berwawasan lingkungan, mengakui dan mendukung partisipasi organisasi rakyat dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek-proyek pembangunan. Semenjak masa pengajuan tuntuan, pemerintah diberikan tengat waktu 30 hari untuk memberi tanggapan atas tuntutan-tuntutan tersebut. Inilah kampanye awal yang menyentak setelah dua puluhan tahun tidak ada suara protes langsung dari rakyat yang sebesar AOP. Para pelopornya adalah kelompok-kelompok petani yang terutama berasal dari dari daerah timur laut Thailand.
Namun, dalam beberapa bulan saja setelah itu mereka sudah menyadari bahwa tuntutan-tuntutan mereka pada akhir tahun sebelumnya itu tidak akan dipenuhi. Karena itu, demo, rapat umum dan berkemah pertama untuk menuntut jawaban pemerintah itu dibuat di depan Government House (Kantor Pemerintahan) sepanjang 26 maret hingga 22 april 1996. Sekitar sepuluh ribu demonstran menyatukan diri untuk menekan pemerintah menjawab tuntutan-tuntutan mereka. Demo dan rapat umum ini berhasil mendorong pemerintah membentuk ‘Satuan Tugas Khusus’ untuk mempelajari empat tema dari petisi-petisi yang diajukan mereka, yakni hutan dan tanah, pembuatan waduk, proyek-proyek pembangunan dan nasib permukiman kumuh, dan lingkungan dan kesehatan kerja. Selanjutnya, dibentuk komite baru pada 14 Mei 1996 yang beranggotakan 23 orang, terdiri dari wakil-wakil dari AOP dan pemerintah. Tugas dari komite ini adalah mengawasi dan memantau implementasi dari janji-janji yang dibuat pemerintah menjawab tuntutan AOP. Kenyataannya, komite ini mencatat bahwa implementasi resolusi-resolusi pemerintah ini tidak selancar perundingannya. Akhirnya, pimpinan AOP menyadari bahwa janji yang dibuat pemerintah hanyalah siasat untuk membubarkan rapat umum dan demo itu. Oleh karena itu, pada 11 oktober, mereka mengorgansir demo dan rapat umum kedua selama 26 hari dengan 3.000 an orang di tempat yang sama untuk menuntut kembali janji-janji tersebut. Akhirnya, pemerintah mengakui 10 masalah yang disuarakan AOP.
Tahun 1996, AOP memanfaatkan momentum pemilu untuk mendekati partai-partai politik mengagendakan penyelesaian masalah orang-orang miskin. Sesudah pemilu, mereka mengirimkan delegasi untuk menemui Perdana Mentri yang baru dan meminta pemerintahan yang baru memecahkan masalah mereka. Namun, apa mau dikata, pemerintahan yang baru ini pun tidak memperlakukan tuntutan mereka dengan serius. Mereka pun melancarkan demo, rapat umum dan berkemah yang ketiga. Di depan Kantor Pemerintahan, AOP membuat apa yang diistilahkannya sebagai ”Desa Kaum Miskin” selama 101 hari dengan kisaran 30,000 orang. Inilah aksi demonstrasi yang terlama dalam sejarah Thailand, yang berlangsung mulai 25 Januari dampai 5 Mei 1997. Dalam siklus pertanian mereka, masa itu bukanlah masa tanam, melainkan musim kering sebelum masa tanam padi. Sepanjang berkemah, setiap unit mengorganisir kebutuhan dan perlengkapannya masing-masing dari desa masing-masing dan menjaring dukungan dari para kelompok akar rumput di desa-desa lain maunpun di perkotaan, serta dari para donatur. Sepanjang waktu itu, mereka mendaftar lebih banyak lagi tuntutan, sehubungan dengan makin banyak sektor dan aktor yang terlibat. Terdapat 121 butir tuntutan yang dibagi 6 golongan, yakni: masalah tanah dan hutan, proyek-proyek waduk, proyek-proyek pembangunan pemerintah, permukiman kumuh, kesehatan kerja untuk buruh industri, dan pertanian alternatif.
Kampanye “Desa Kaum Miskin” yang menyimbolkan krisis di pedesaan telah menjadi pusat perhatian. Dari aksi kolektif “Desa Kaum Miskin” nampak bahwa peran media yang meliput kampanye mereka sangat menentukan dalam mengeraskan suara mereka agar sampai ke pejabat pemerintahan dan publik yang luas. Kampanye massa dan aksi demo lalu berkemah ini telah menjadi ciri utama dari gerakan AOP, selain ciri-ciri berikut ini (Institute of Development Studies, tt):
- Organisasi-organisasi berbasis lokal dan terdesentralisir
- Kepemimpinan yang tersebar
- Kemampuan memobilisasi massa
- Advokasi baik yang mengangkat masalah lokal maupun global
- Kemampuan berunding dengan para pejabat pemerintahan
§ Kesanggupan berlanjut melalui jaringan yang berdasar sumber daya sendiri tanpa pembiayaan dari luar yang berarti.
Selanjutnya, studi dari Institute of Development Studies - at the University of Sussex di Inggeris mengenai AOP ini, yang berjudul “Bringing Citizen Voice and Client Focus into Service Delivery”, mengemukakan bahwa:
“Tujuan dari the Assembly (dalam bahasa Thailand samatcha juga berarti datang bersama-sama atau konferensi) adalah agar pemerintah dan pembuat kebijakan publik memperhatikan masalah-masalah penduduk pedesaan yang hidup dalam situasi miskin dan tak menentu. Mereka utamanya terdiri dari para petani penggarap, berbagai kelompok masyarakat adat, yang terutama dari pegunungan dan dataran tinggi di wilayah timur laut Thailand. Banyak dari mereka pernah digusur oleh proyek-proyek pembangunan waduk dan tidak menerima ganti-rugi, atau terancam akan digusur oleh proyek-proyek baru, atau menjadi korban dari kekurangan akses atas hutan dan masalah-masalah hak atas tanah. Adalah suara dari mereka inilah yang disampaikan. Beberapa kelompok nelayan, buruh industri dan miskin kota dari pemukiman kumuh ikut bergabung. Kata “Kaum Miskin” nama mereka ini sungguh merupakan ungkapan yang dipilih secara hati-hati, tepat dan strategis. Mereka adalah golongan yang dimarjinalisir dan umumnya kelompok yang tidak ada perwakilannya dalam sistem politik formal Thailand.
Tujuan kongkrit mereka adalah memperbaiki hak-hak atas sumber daya lokal – tanah, air, dan hutan – sedemikian rupa sehingga mampu melanjutkan ekonomi lokal semi-subsisten. Pemerintah menanggapi aksi berkemah dengan memerintahkan menteri muda untuk berunding dengan para pemimpin Assembly. Atas pertimbangan-pertimbangan yang strategis, Assembly mengedepankan enam kelompok masalah: sengketa hutan dan tanah; akibat dari proyek-proyek waduk; pertanian alternatif; akibat dari proyek-proyek pembangunan pemerintah; masalah-masalah kondisi kerja (industrial); dan penggusuran permukiman kumuh.
Adapun faktor-faktor yang membuat kelompok ini sanggup mengedepankan masalah-masalah dan tuntutan-tuntutannya adalah:
§ Perubahan ekonomi politik pedesaan Thailand
Strategi-strategi pembangunan menunjukkan adanya suatu kesadaran baru dan pemahaman tentang perubahan ekonomi politik yang lebih luas di Thailand. Sehubungan dengan mayoritas orang miskin masih menggantungkan diri pada pembagian pendapatan dari perekonomian perkotaan, mereka memelihara basis pedesaannya karena alasan-alasan sosial dan budaya, juga kepentingan ekonomi.
§ Modal manusia dalam bentuk kepemimpinan
Kepempinan Assembly sebagian besar tersusun dari anak-anak petani pedesaan yang telah hidup bergelimang di pusat-pusat kota sebagai organisator, guru dan para pengacara hukum, menggantikan para para aktivis Ornop. Seorang peneliti dari Thailand sendiri yang mewawancarai 268 pemimpin Assembly menemukan bahwa 80 persen dari mereka bekerja di luar desa mereka, khususnya di Bangkok dan sebagai tenaga kerja migran di luar negeri. Naker (2000:11) menerangkan, “Assembly mendapatkan bentuk organisasi dan arah strategi yang berbeda ketika para pemimpin dengan asal usul pedesaan dan pengalaman hidup di perkotaan mengambil alih posisi yang menentukan”.
§ Dukungan dari jaringan Ornop lokal
Faktor yang menyatu adalah Ornop-ornop yang lahir dan terus berkembang akhir tahun 1980-an hingga akhir 2000. Mereka menyajikan dukungan formal maupun informal pada the assembly.
§ Media Thailand
Kapasitas yang terus bertambah dan media cetak dan TV yang semakin “bebas” adalah suatu faktor yang menyuburkannya.
Seperti dijelaskan oleh Bruce Missingham (2002) dalam karyanya “The Village of the Poor Confronts the State: A Geography of Protest in the Assembly of the Poor” bahwa pilihan mereka mengubah pelataran depan Gedung Pemerintahan itu menjadi apa yang diistilahkan sebagai “Desa Kaum Miskin” memang merupakan suatu makna yang khusus buat gerakan ini.
“… ‘Desa Kaum Miskin’ ini telah menciptakan sebuah pijakan bersama yang riil sekaligus simbolik. Di situ aneka macam kelompok yang menyusun gerakan bisa bergabung bersama untuk menegaskan kesatuan identitas politik mereka dan mengajukan petisi ke negara. Seperti halnya desa ‘normal’, Desa Kaum Miskin ini juga menyediakan tempat di mana para demonstran membangun komunitas yang tertata dan kooperatif tidak hanya demi menjaga keberlangsungan aksi protes mereka, namun juga untuk menghilangkan cap ‘gerombolan’ yang ditabalkankan pada mereka di media. Lebih jauh, ‘Desa Kaum Miskin’ melambangkan sebuah komunitas yang dilanda krisis, terancam kekuatan-kekuatan pembangunan ekonomi yang ditujukan demi kemakmuran kota besar.”
Lebih dari itu, Missingham (2002) menyimpulkan bahwa:
”... sebagaimana telah ditunjukkan oleh para ahli geografi yang tertarik pada hubungan antara tempat, identitas dan perlawanan kolektif, makna dan identitas yang terkait pada suatu tempat bukanlah harga mati, melainkan terus menerus digarap dan dinegosiasikan ulang. Aksi protes Majelis Kaum Miskin menciptakan makna baru pada jalanan di depan Gedung Pemerintahan. Jalanan itu kini tercakup dalam perjuangan untuk menegaskan dan melegitimasi identitas politik mereka. Demonstran menemukan pijakan untuk berjuang di kota, pindah dari suasana lokal dan tempat-tempat pinggiran yang menjadi sumber utama tuntutan dan identitas mereka. Dalam melakukannya, para demonstran mengubah lanskap pusat kota yang mereka duduki, menciptakan sebuah Desa Kaum Miskin yang riil dan simbolik sebagai suatu ruang untuk menegaskan identitas kolektif mereka dan melancarkan tuntutan kepada negara. Membangun Desa Kaum Miskin di jantung kota menciptakan suatu pijakan bersama secara simbolik di mana beragam kelompok yang menyusun keanggotaan Majelis bisa melegitimasi sebuah identitas politik kolektif. Desa Kaum Miskin juga secara eksplisit menegaskan hubungan destruktif antara kota dan desa, melambangkan sebuah udik pedesaan yang dilanda krisis, terancam oleh pembangunan industrial dan eksploitasi lingkungan yang menjadi gantungan kemakmuran ekonomi kota besar. Hal ini menantang gambaran umum mengenai udik pedesaan yang harmonis sebagai sumber identitas nasional masyarakat Thailand.”
No comments:
Post a Comment