MEMAHAMI GERAKAN-GERAKAN RAKYAT DUNIA KETIGA (Bagian 13/14)

 


Penulis                        : Noer Fauzi
Pengantar                   : Hendro Sangkoyo
Penyelaras akhir       : Herlily
Penerbit                      : INSISTPress
Tahun                         : 2005
ISBN                           : 979-3457-64-5
Kolasi                         : 15x21cm; xxxi +225 halaman

_____________________________________________________________________ 

13


Aksi-aksi kolektif yang diandalkan 

 

            Naskah ini mengundang pembaca untuk memahami karakter gerakan-gerakan rakyat pedesaan di jaman kapitalisme neoliberal dewasa ini.  Karakter dari masing-masing gerakan itu dapat dikenali dari pelaku utama dari gerakan itu dan pilihan aksi-aksi kolektif yang diandalkannya. Dalam tabel 5 dapat dipelajari perbandingan karakteristik pelaku utama dan jenis aksi kolektif yang diandalkannya.

 

Tabel 5. Perbandingan karakteristik pelaku utama, posisi dan jenis aksi kolektif utama yang diandalkan

 

Pelaku Utama Gerakan

Posisi dan Jenis Aksi kolektif utama yang dipilih

MST (Movimento Dos Trabalhadores Rurais Sem Terra)

MST berbasiskan pada (i) penduduk kota maupun desa yang tidak bertanah dan telah bergabung dalam tenda-tenda dan hidup secara kolektif; (ii) petani yang telah menduduki tanah dan mengusahakan agar tanah tersebut produktif; (iii) gereja, ornop dan intelektual yang mendukung kerja analisis, logistik, pengorganisasian maupun advokasi.

Berkonfrontasi langsung dengan tuan tanah latifudia (dan para penyokongnya) dengan melakukan aksi-aksi pendudukan tanah oleh rakyat tidak bertanah yang telah terorganisir;  mengusahakan agar negara melegalisasi hak atas tanah yang diduduki, menyediakan fasilitas untuk keperluan produksi maupun kesejahteraan rakyat yang menjadi basis gerakan; dan menata kehidupan sosial rakyat yang menjadi basis gerakan ke dalam ikatan-ikatan kolektif.

EZLN (Ejercito Zapatista de Liberacion Nacional).

Zapatista berbasiskan (i) gerilyawan di Hutan Lacondon – Chiapas yang berfungsi sebagai penjaga arah gerakan; (ii) petani-petani Indian yang memperjuangkan zona otonomi di Chiapas; (iii) organisasi-organisasi masyarakat sipil, baik yang berafiliasi secara langsung, maupun pendukung serta simpatisannya.

Berkonfrontasi secara bersenjata pada tingkat yang paling minimal dan berkonfrontasi melalui “kata” pada tingkat yang paling maksimal serta secara langsung meluaskan basis gerakan melalui perluasan zona otonom yang diatur melalui sistem demokrasi langsung yang berdasar pada adat-istiadat lokal; memperjuangkan hak-hak petani Indian, demokrasi secara umum  dan menolak neoliberalisme melalui perundingan dengan pemerintahan nasional dan mendorong partisipasi politik organisasi masyarakat sipil. 

FOIN (Föderation der indigenen Organisationen des Napo)

Sebagai suatu federasi, FOIN berbasiskan kelompok-kelompok petani-petani Indian Quichua di wilayah NAPO, yang didukung oleh berbagai organisasi non-pemerintah.

Mengkonstruksi identitas etnis yang berakar pada kewilayahan dan diikat oleh kesamaan tradisi Quichua, terutama dengan mengajukan klaim-klaim kembali atas wilayah adat; bekerjasama secara kritis dengan pemerintah dalam rangka mentransformasi proyek-proyek pembangunan agar beralaskan tradisi Indian-Quichua; bersama dengan eksponen gerakan lain, termasuk dengan memobilisasi indigenous peoples berdemontrasi besar-besaran,  mengubah pemerintahan agar memperjuangkan keberlanjutan hidup dan representasi kewargaan indigenous peoples dalam negara bangsa Equador 

LPM (Landless Peoples Movement).

LPM berbasiskan rakyat tak bertanah, baik di pedesaan maupun perkotaan yang menjadi korban perampasan tanah secara rasial oleh rejim apartheid.    LPM didukung pula oleh tetua-tetua adat di pedesaan-pedalamansejumlah ornop dan jaringan organisasi gerakan sosial lain di Afrika Selatan yang anti-neoliberalisme.

 

Menekan pemerintah untuk menyelenggarakan land reform dengan lebih cepat dan menguntungkan rakyat tidak bertanah baik di pedesaan maupun perkotaan;  mengkampanyekan bahwa rasisme masih berlangsung selama rakyat masih tidak memiliki tanah dengan memanfaatkan saat-saat pertemuan-pertemuan skala dunia untuk memobilisasi rakyat dan berdemo menggemakan kritik dan tuntutan.

Gerakan-gerakan Pendudukan Tanah.

Gerakan ini tidak menyatu dalam organisasi tertentu, tapi basisnya tersebar di seantero negeri pelaku aksi-aksi pendudukan tanah yang umumnya terdiri dari pekerja pertanian, veteran-veteran eks-combatan, yang didukung  langsung oleh Partai ZANU-PF yang berkuasa maupun sayap organisasi massanya ZAPU-PF.

Berkonfontasi dengan para penguasa tanah kulit putih, dengan secara langsung melakukan aksi-aksi pendudukan tanah; mengandalkan dukungan kekuatan partai yang berkuasa dan koalisinya untuk menyelenggarakan land reform secara radikal.

NBA (Narmada Bachao Andolan). NBA dimotori oleh kelompok aktivis-aktivis yang kebanyakan ber­pendidikan tinggi dan profesional, yang menjalankan kepemimpinan gerakan dan mengambil putusan-putusan pokok mengenai sumberdaya, strategi, dan politik NBA. NBA memiliki komite-komite lokal yang terdiri dari kelompok-kelompok informal masyarakat setempat yang memimpin dan menyediakan dukungan termasuk logistik gerakan. Di wilayah-wilayah adivasi, mereka bekerja dengan tokoh-tokoh adat, sedang ditempat lain mereka berbasiskan dari petani-petani kaya dan berpengaruh.

Berkonfrontasi menolak proyek pembangunan waduk dengan penengelaman wilayah hidup mereka dengan melancarkan aksi-aksi langsung non-kekerasan—mulai dari demonstrasi dan pawai, per­kemahan dan aksi-duduk  satyagraha, puasa serta mogok makan; menggunakan saluran-saluran hukum resmi seperti Mahkamah Agung India untuk memperkarakan legitimasi kebijakan pembangunan di lembah Narmada, memperkarakan analisis dampak lingkungan dalam proyek-proyek pemba­ngunan—untuk menegaskan bagaimana waduk-waduk Narmada itu melanggar hukum; menggunakan jaringan kerjasama ornop internasional untuk melakukan advokasi menggagalkan pembiayaan atas komponen-komponen tertentu dari proyek-proyek raksasa ini.

AOP (Assembly of the Poor)

AOP sebagian besar dipimpin oleh anak-anak petani pedesaan yang telah hidup bergelimang di pusat-pusat kota sebagai organisator, guru dan para pengacara hukum yang didukung oleh ornop-ornop. AOP berbasiskan para petani penggarap, kelompok masyarakat adat, yang terutama dari pegunungan dan dataran tinggi di wilayah timur laut Thailand. Banyak dari mereka adalah korban penggusuran proyek-proyek pembangunan waduk, terancam akan digusur oleh proyek-proyek baru, juga menjadi korban dari kekurangan akses atas hutan dan masalah-masalah hak atas tanah. Bergabung pula bersama AOP juga kelompok-kelompok nelayan, buruh industri dan miskin kota dari pemukiman kumuh

Menekan melalui mobilisasi rakyat, demonstrasi, berkemah dalam jangka waktu yang panjang di depan Gedung Pemerintahan, agar pemerintah  mau berunding dan mengubah kebijakan pembangunannya agar lebih tepat untuk orang miskin, mengakui hak-hak rakyat untuk mengelola sumber daya alamnya, mendesentralisir kewenangan pada organisasi-organisasi lokal,  mengubah sistem politik agar sejalan dengan konsep “Pembangunan Berpusat pada Rakyat” (People-Centred Development), mengamendir perundang-undangan agar cocok dengan prinsip pembangunan berwawasan lingkungan, mengakui dan mendukung partisipasi organisasi rakyat dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek-proyek pembangunan.

UNORKA (Pambansang Ugnayan ng Nagsasariling Lokal na mga Samahang Mamamayan sa Kanayunan).

UNORKA berbasiskan organisasi-organisasi petani lokal dari para petani tidak bertanah yang lansung memperjuangkan  redistribusi atas tanah-tanah hacienda. Organisasi anggota-anggota UNORKA didukung oleh beberapa ornop yang memiliki reputasi panjang dalam mengadvokasikan land reform.

Menekan dengan mobilisasi massa dari bawah dan memanfaatkan inisiatif reformis dari pejabat pemerintah yang reformis. UNORKA bekerja dalam koridor sistem hukum, selain melalui okupasi tanah secara langsung atas tanah-tanah hacienda, UNORKA juga secara berulang-ulang menggencarkan rapat-rapat umum, mogok kerja, demonstrasi, dan juga melakukan aksi menduduki kantor-kantor pemerintahan dalam rangka menekan Departement of Agrarian Reform agar menghasilkan, memelihara dan melaksanakan kebijakan-kebijakan pro land reform.

AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara).

AMAN berbasiskan komunitas-komunitas adat, serta organisasi adat regional yang secara langsung melakukan pengorganisasian, mobilisasi, berjaringan dan advokasi untuk mendapatkan pengakuan atas wilayah dan hak-hak yang melekat padanya. AMAN memiliki kepemimpinan kolektif dan eksekutif pelaksananya yang  umumnya diisi oleh aktivis-aktivis ornop. AMAN memiliki pendukung luas dari jaringan Ornop  nasional hingga internasional.

AMAN telah  mengakhiri perjuangan diam-diam dari masyarakat adat dan tampil secara terbuka dan high profile  menuntut perubahan perundang-undangan, kebijakan dan praktek pembangunan agar mengakui keberadaan masyarakat adat; AMAN telah berhasil menjadikan adat sebagai argumen klaim ulang atas wilayah adat beserta hak-hak yang melekat padanya, mengedepankan adat sebagai , identitas perjuangannya, dan mengartikulasikan wacana adat, hukum adat, dan masyarakat adat melalui mobilisasi, demonstrasi, protes,  kampanye, pertemuan-pertemuan dengan para pejabat hingga penggunaan instrumen-instrumen hukum dan perjanjian internasional.

 

Dengan ragam pelaku dan aksi kolektif yang disajikan berbagai contoh gerakan di atas, menjadi jelas bahwa berbagai dalil lama jelas tidak lagi memadai untuk memahami karakter gerakan sosial yang berkembang dalam konteksnya yang baru. Mengenai konsep “petani” (peasant/peasantry), naskah ini mengundang pembaca untuk meninjau ulang penggunaannya. Menyaksikan perubahan-perubahan di dunia pedesaan saat ini, terutama menyaksikan para pelaku yang terlibat dalam gerakan sosial pedesaan, penulis mengikuti Webster (2004:2) yang menganjurkan kita untuk:

“meninggalkan konsep petani (peasantry) dari Shanin (1971), Alavi (1973a, 1973b) and Wolf (1971, 1990), untuk menyebut beberapa contoh saja;  aksi-aksi kolektif pedesaan tidak lagi dapat disempitkan  sekedar menjadi perjuangan-perjuangan petani (peasant struggles). Garis batas spasial dari petani yang pernah ada, telah diporak-porandakan oleh migrasi musiman; mobilitas petani generasi muda untuk menemukan pekerjaan baru; diversifikasi dan komodifikasi produksi agraria; munculnya pola-pola konsumsi baru dengan berbagai implikasi budaya, sosial dan ekonomi yang menyertainya; dan tentunya, akses kepada bentuk-bentuk baru transmisi budaya dengan televisi, radio, dan kadang kala juga, yang lebih mutakhir adalah internet.”

            Yang perlu ditinjau ulang juga pandangan mengenai karakteristik pemimpin petani. Seperti uraikan oleh Webster (2004:20), kita patut mempertanyaan apakah masih berlaku apa yang disebut Eric Wolf (1971:269) mengenai peran kunci kepemimpinan dari petani menengah, baik dalam artian kapasitas ekonomi untuk mengambil kepemimpinan, maupun kemampuannya untuk mengartikulasikan berbagai ketidakpuasan dan asprirasi orang-orang miskin pedesaan dalam bahasa protes yang terfokus pada tuntutan tertentu pada waktu tertentu pula. Menurut Wolf (1971:269), dua jenis kelompok ini merupakan sumber dari rekrutmen ”petani yang dapat menjelajah dan trampil bertaktik” yang sangat berguna untuk gerakan-gerakan petani: 

“Ada dua unsur petani yang memiliki daya dongkrak internal untuk menjadi ikut terus dalam pemberontakan. Yakni (a) petani menengah yang memiliki tanah; atau (b) petani yang berkedudukan di wilayah pinggiran di luar dari kendali para penguasa tanah.” 

            Kita tidak lagi dapat menggunakannya untuk memahami asal-usul pemimpin petani dalam gerakan-gerakan rakyat pedesaan sekarang ini. Di hampir semua gerakan petani yang disajikan dalam buku ini, para pemimpin organsisasinya memiliki basis pengetahuan yang sehebat para aktivis kota, seperti dikemukakan oleh James Petras (1997) sebagaimana dikemukakan oleh Webster (2004:23):

“Suatu generasi baru pimpinan petani yang terdidik muncul dan berkembang lebih sepuluh tahun belakangan ini dengan kemampuan organisasi yang handal. Pemahaman yang canggih perihal politik internasional dan nasional serta komitment untuk menciptakan sejumlah kader yang tangguh secara politik.”

Bukan hanya karakterik ini saja yang berubah. Juga komposisi laki-perempuan dalam memimpin gerakan. James Petras (1998) menuliskan apa yang ia saksikan sepanjang acara Kongres Organisasi-organisasi Pedesaan Amerika Latin (Congreso Latinoamericano de Organizaciones del Campo, CLOC) yang diselenggarakan di Brazil 3 – 7 November  1997:

Pada konferensi CLOC itu banyak perwakilan yang datang berumur antara 20 dan 30 tahun. Mereka adalah buah dari perjuangan nasional dan regional. Kongres Perempuan Pedesaan Amerika Latin pertama yang diikuti oleh 100-an peserta diselenggarakan sebelum CLOC. Lebih dari 40 % peserta pertemuan CLOC adalah petani perempuan, kebanyakan umur 20-an hingga 30-an. Ini perubahan yang luar biasa: pada pertemuan CLOC sebelumnhya, hanya dibawah 10 persen perempuan yang menjadi peserta.

            Lebih dari itu, karakter gerakannya secara keseluruhan juga berubah. Gerakan-gerakan rakyat pedesaan dalam masa neoliberal dewasa ini tidak dapat disamakan polanya seperti ”perang petani” yang dianalisa Atau sepert Eric Wolf (1969) pada kasus Rusia, Vietnam, Mexico, Angola, Cuba dan China.  Atau gerakan petani yang dianalisas oleh Theodor Shanin (1971), yakni yang terjadi di Rusia tahun 1905, Cina tahun 1926 dan di Mexico tahun 1910an. Menurut Shanin (1971) mobilisasi petani terbagi tiga jenis, antara  (i) aksi-aksi kelas yang masndiri (independent class action); (ii) aksi-aksi politik yang terpimpin; dan (iii) aksi-aki politik yang sepenuhnya spontan dan tak berpola, seperti kerusuhan dan perlawanan pasif. Undangan untuk memahami karakter baru dari gerakan rakyat pedesaan datang dari James Petras (1998), yang menuliskan bahwa:

Gerakan-gerakan petani kontemporer tidak dapat dibandingkan dengan gerakan-gerakan yang terdahulu, yang tidak juga cocok dengan pandangan umum mengenai para petani yang tidak kemana-mana, buta huruf dan tradisional yang berjuang demi “tanah untuk penggarap.” Banyak perwakilan petani dan suku-suku asli Indian pada kongres CLOC ini adalah kalangan terdidik (baik otodidak dan setidaknya lulusan sekolah dasar enam tahun) dan sadar tentang masalah-masalah nasional dan internasional. Gerakan-gerakan petani baru mempunyai suatu agenda nasional: mereka tidak hanya peduli dengan masalah-masalah pedesaan. Lebih khusus lagi, mereka menyadari bahwa kebijakan-kebijakan distribusi tanah hanya dapat berhasil bila disertai kredit, asistensi teknis dan perlidungan pasar. Mereka paham bahwa kerjasama-kerjasama politik dengan kelas-kelas dan organisasi perkotaan perlu untuk mentrasformasikan rejim yang berkuasa. Gerakan ini tidak sesederhana “organisasi-organisasi ekonomi”. Mereka adalah gerakan-gerakan sosio-politik, yang berjuang melawan kebijakan-kebijakan privatisasi, deregulasi dan promosi eksport yang merupakan agenda pasar bebas. Gerakan-gerakan pedesaan terus membentuk kerjasama-kerjasama politik politik dengan serikat-serikat buruh dan menyokong organisasi para kaum miskin di kawanan kumuh kota. Pemogokan umum yang mengguncangkan Ekuador di bulan Februari 1997, Brazil di bulan June 1996, Bolivia di bulan December 1996 sebagai contoh, dimotori oleh kerjasama-kerjasama antara serikat-serikat buruh, suku-suku Indian dan kaum miskin kota. 

Memang, slogan-slogan yang dipakai, seperti dikemukakan oleh Webster (2004:2) berbagai macam gerakan bisa saja sama seperti yang dahulu, seperti land for the tiller (“tanah untuk penggarap”), no land no vote (“tidak akan ikut pemilu, bila tidak dapat tanah”), security to the tenant (“kenyamanan untuk para penyewa”), power away from the money-lender (“enyahkan kuasa para rentenir”) sack the corrupt official (“jebloskan pejabat korup ke penjara”), drop the new tax (“hapuskan pajak baru”), dan sebagainya. Kita sebaiknya memahami penggunaan slogan-slogan lama ini sebagai bahwa kelanjutan dari kebudayaan gerakan (protes) yang dihidup-hidupkan (kembali) oleh para aktivisnya. Tapi, jangan sampai kita merasa cukup memahami gejala gerakan rakyat yang baru ini dengan cara yang lama yang sudah tidak dapat diandalkan lagi.  Kita perlu membuka diri pada karakter, bentuk, tujuan dan teknik yang dipakai gerakan itu berbeda dengan yang ditampilkan oleh gerakan-gerakan petani terdahulu. Ia menilai bahwa (Webster, 2004:2):

”Bentuk-bentuk umum dari tindakan kolektif sungguh telah berubah. Dapat dipastikan adanya perbedaan yang nyata dengan karakter gerakan-gerakan sosial pedesaan yang dahulu bertumbuhan mulai awal tujuh dekade pertama abad 20 dan seterusnya, baik perubahan bentuk organisasinya, bentuk mobilisasinya, gagasan perjuangan yang disuarakannya, hingga bentuk aksi yang dilancarkannya. Peristilahan yang dipakainya juga berubah; untuk menyebut beberapa contoh saja: Peasant movements telah diganti menjadi  diganti menjadi land movements, farmers’ movements, forest dwellers’ movementsenvironmental movement dan indigenous peoples’ movements

Gerakan-gerakan sosial pedesaan yang sasarannya terdahulu mempertahankan suatu gaya hidup tertentu, tipe produksi tertentu, yang tadinya dimiliki komuntas, dari gelombang serbuan dan tuntutan negara telah diganti dengan gerakan-gerakan sosial yang melintas batas-batas wilayah fisik, politik dan kebudayaan.  Ketika negara, mekanisme kelembagaan-kelembagaan dan organisasi-organisasinya sungguh-sungguh ditantang dan digempur, negara dilihat sebagai sesuatu yang terpencar-pencar kekuasaannya, dengan keragaman kepentingan dari para pelakunya yang berbeda-beda. Saat ini, elite pemerintah yang berkuasa dapat ditantang dalam pemilu, para politisi dipengaruhi keputusannya, para pejabat dituntut, perubahan konstitusi diperjuangkan dan hak-hak warga dikedepankan. Ragam taktik, baik di dalam dan di luar kerangka politik dan hukum formal,  dipakai pada berbagai tingkat pemerintahan dan masyarakat, dan kerjasama-kerjasama lintas wilayah bahkan lintas negara pun dibangun. Sasaran dari gerakan-gerakan sosial adalah mengubah kebijakan-kebijakannya, implementasinya dan hasilnya, dari pada menuntut penarikan diri negara dan pemerintah dari wilayahnya rakyat. Godaan ilusi pedesaan perihal cara hidup masa lalu yang bebas gangguan para penguasa luar, tidak lagi menjadi pusat dari berbagai gagasan perjuangan yang diromatisir.”

             

Pandangan-pandangan klasik itu juga tidak dapat dipertahankan lagi, karena gerakan-gerakan rakyat pedesaan sekarang ini telah menjadi menjadi gejala global. Maksudnya, walau menghadapi secara kongkrit kuasa-kuasa yang tergelar di tempat masing-masing, aksi-aksi kolektif dari para pelaku utama dan pendukungnya telah sampai melintasi batas-batas lokalitasnya. Bahkan, berbagai gerakan rakyat pedesaan dapat membangkitkan solidaritas dari rakyat di berbagai wilayah atas-lokal untuk sama-sama menantang sumber pagelaran kuasa di tingkat lokal, dan bahkan semua gerakan yang diuraikan ini umumnya secara terbuka menentang neoliberalisme dan membangun solidaritas serta aksi kolektif di tingkat global, seperti yang ditunjukkan oleh La Via Campensina (Borras, 2004a, 2005).

Ini lah yang dimaksudkan oleh Gerrit Huizer  (2000) dengan istilah globalisasi dari bawah (globalization from below). Dasar utama dari semua gerakan ini adalah kolektivitas, yang memang sungguh-sungguh merupakan musuh dari neoliberalisme itu.[1]  Gerakan-gerakan rakyat yang dilukiskan itu telah memberi teladan bagaimana mereka menemukan dan membangun dasar-dasar kolektifitas perjuangannya, yakni rasa senasib-seperjuangan melawan kuasa yang digelar untuk memanfaatkan sumber daya, menindas, menaklukkan dan memeras tenaga mereka.

 




[1] Dalam kalimat Pierre Bourdieu, ”Apakah neoliberalisme itu? (ialah) Suatu program untuk menghancurleburkan bangunan-bangunan kolektif yang dapat merintangi logika pasar yang murni” (What is neoliberalism? A programme for destroying collective structures which may impede the pure market logic).  Pierre Bourdieu, “Utopian of Endless Exploitation – The Essense of Neoliberalism”, © Le Monde Diplomatique, traslated by Jeremy J. Shapiro, Paris, 1997-2001.

No comments:

Post a Comment