Pengantar : Hendro Sangkoyo
Penyelaras akhir : Herlily
Penerbit : INSISTPress
Tahun : 2005
ISBN : 979-3457-64-5
Kolasi : 15x21cm; xxxi +225 halaman
__________________________________________________________________
Buku kecil ini diniatkan untuk mengajak pembaca memperbaiki cara memahami gerakan-gerakan rakyat Dunia Ketiga. Isi utama dari buku ini adalah memperhadapkan antara pandangan teoritis yang selama ini dinilai sebagai “pandangan klasik” dengan kenyataan gerakan-gerakan rakyat pedesaan kontemporer yang berkembang di berbagai negara Dunia Ketiga. Penulis buku ini hendak menunjukkan bahwa konteks dari gerakan rakyat pedesaan telah berubah. Kita tidak dapat lagi mengandalkan “pandangan-pandangan klasik” mengenai “petani” dan “pemberontakan petani” untuk memahami gerakan rakyat pedesaan saat ini.
Konteks utama dari gerakan rakyat pedesaan saat ini adalah neoliberalisme, yang telah menggelar kuasanya mengenai kaum miskin pedesaan. Pagelaran kuasa tersebut tidak tunggal dan seragam. Untuk memahami kekhususan konteks dari gerakan-gerakan rakyat pedesaan itu, tentu memerlukan telaah beragam-ragam kasus. Penyajian profil-profil singkat dari berbagai gerakan tentu akan memudahkan pembaca membandingkan satu sama lainnya dan pada gilirannya mengenalkan pembaca para kenyataan bahwa konteks gerakan sosial pedesaan yang telah, sedang dan terus akan berubah. Selain perubahan konteks dan karakter dari gerakan, penulis mengajak pembaca mempelajari bagaimana rakyat miskin di pedesaan menghadapi pagelaran kuasa yang khusus, dan bagaimana (sebagian) dari eksponen utama dan pendukung gerakan-gerakan rakyat tersebut menafsirkannya, menghadapi kesempatan politik yang tersedia dan merumuskan tantangan-tantangan utama yang dihadapinya, serta pada gilirannya memilih dan melancarkan aksi kolektif yang mereka andalkan.
Naskah ini juga akan menguraikan gejala umum dari neoliberalisme yang menjadi konteks baru dari berbagai gerakan rakyat pedesaan. Meski demikian, naskah ini tidak bermaksud untuk menawarkan suatu penjelasan yang lengkap dan detil mengenai bagaimana kuasa-kuasa neoliberal tersebut digelar mengenai kaum miskin di pedesaan di masing-masing negara Dunia Ketiga. Juga naskah ini tidak bermaksud merekonstruksi penjelasan yang memadai tentang bagaimana suatu gerakan rakyat pedesaan tumbuh dan berkembang sedemikian rupa sampai mampu menentang kuasa-kuasa neoliberal yang menjadi konteks dan/atau sasarannya. Untuk kedua maksud itu, tentu diperlukan buku lain yang berisikan monografi dari masing-masing gerakan. Bahkan selayaknya naskah ini ditempatkan sebagai suatu uraian pengantar saja untuk buku kumpulan monografi tersebut yang diterbitkan secara terpisah dari buku ini. Naskah ini mampu menunjukkan anatomi dari masing-masing gerakan masing-masing yang memiliki karakter khas, sesuai dengan situasi yang dimusuhi, kesempatan politik yang dihadapi, dan pilihan jenis aksi kolektif yang mereka andalkan.
Buku ini tidak mungkin terwujud, apabila penulis tidak memperoleh kesempatan menjadi visiting fellow dari Berkeley Workshop on Environmental Politics, Institute of International Studies (IIS), University of California – Berkeley, sepanjang bulan Agustus sampai dengan Desember 2003. Selama satu semester penulis mengambil jarak dari kerja-kerja praktis, sebagai bagian dari aktivis organisasi non-pemerintah di Indonesia. Di sana, penulis punya kesempatan mempelajari karakter baru dari gerakan-gerakan rakyat pedesaan di berbagai negara Dunia Ketiga, baik dengan bertemu langsung dengan beberapa pelakunya maupun yang diwakili melalui berbagai naskah akademik yang saya baca dan film dokumenter yang saya tonton. Di sana, saya juga merasakan gunanya bergaul dengan para concerned scholars untuk mengembangkan cara memahami gerakan-gerakan rakyat pedesaan termaksud, dan terutama perihal berbagai konteks baru yang menggelar kuasa-kuasanya di pedesaan dan bagaimana gerakan rakyat mengartikulasikan diri.
Buku ini tidak mungkin terwujud apabila penulis tidak bergaul dengan Mansour Fakih (alm), guru dari banyak aktivis, yang di masa akhir hayatnya tak henti-hentinya mengingatkan ancaman dari neoliberalisme dan harapannya pada gerakan sosial untuk melawan kebijakan neoliberal di Indonesia. Di buku terakhirnya, Bebas dari Neoliberalisme, ia menulis hal-hal yang masih bergema di pikiran:
“(M)asih banyak pekerjaan rumah terbesar setiap gerakan sosial di Indonesia agar negeri ini bebas dari neoliberalisme. Pertama adalah, mempertahankan dan merebut kembali negara untuk menjadi pembela hak-hak rakyat dengan memastikan negara untuk menjaga dan melindungi hak ekonomi, budaya, dan sosial, serta mengimplementasikan ratifikasi Konvensi PBB atas Hak Asasi Manusia. Kedua, terus-menerus melakukan protes sosial untuk mengubah kebijakan negara dan mencermati kesepakatan negara dengan pasar bebas dan kebijakan neoliberal. Ketiga, PR terbesar dan tersulit yang mesti dihadapi setiap gerakan sosial, adalah melakukan pengembangan kapasitas counter discourse and hegemony atas dominasi diskursus neoliberal terhadap demokratisasi, good governance, dan civil society. Kita di Indonesia, kini tengah menyaksikan tahap awal perkembangan gerakan sosial melawan kebijakan neoliberal. Kita juga berharap dapat terus mengikuti pertumbuhan gerakan rakyat untuk mendekonstruksi diskursus dominan dari perspektif neoliberal. Termasuk di dalamnya adalah gerakan mendekonstruksi diskursus civil society dan menggantinya dengan ide gerakan sosial melawan kebijakan neoliberal di Indonesia.” (Fakih, 2003:147)
Buku ini adalah salah satu buah dari bibit yang ikut ia tanamkan. Buku ini buah pula dari perkawanan penulis dengan Nancy Peluso, Michael Watts, Gillian Hart, Lungisile Ntsebeza, Suraya Afiff, Asep Suntana, Ann Hawkins, Silvia Tiwon, Sarah Maxims, dan Herlily. Mereka ini adalah teman bekerja, belajar dan bergaul penulis selama di Berkeley. Terima kasih atas kebaikan hati kalian semua itu. Secara khusus, penulis berterima kasih atas apresiasi, kritik dan saran dari Dianto Bachriadi, Suraya Afiff dan Tri Chandra Aprianto, R. Yando Zakari dan Herlily atas versi-versi awal dari naskah ini. Seperti lazimnya, perlu dinyatakan disini, tanggungjawab atas naskah bukan pada mereka, tetapi tetap berada sepenuhnya pada penulis. Ucapan terima kasih paling istimewa penulis sampaikan pada istri dan anak-anak penulis: Budi Prawitasari, Tirta Wening dan Lintang Pradipta. Tanpa pengorbanaan, pengertian dan hiburan dari mereka tidak mungkin penulis menjadi orang seperti sekarang ini.
Yogyakarta, 7 Juli 2005
________________________________________________________________________________
Kata Pengantar Tamu
Gerakan rakyat acapkali digolongkan sebagai perlawanan kolektif di luar atau di samping prosedur politik kenegaraan yang berlaku, untuk menggugat sesuatu ketidakadilan, atau unutuk merebut kembali sumber-sumber yang diyakini pelakunya sebagai miliknya. Bergantung pada siapa yang berkeyakinan telah dijahati, dan ikatan sosial macam apa yang mengatur penguasaan sumber daya, gerakan rakyat pun bukan saja bisa berwatak mendobrak tata kuasa lama yang menindas dan menghisap, tetapi bisa juga berwatak konservatif seperti misalnya gerakan reaksi sayap kanan perkotaan pada awal rejim Soeharto, atau persekutuan para ningrat-udik di pedesaan menjelang akhir rejim kolonial Belanda dan di sepanjang jaman Soeharto. Garis depan dari medan gerakan rakyat oleh sebab itu tidak selalu menyerupai jaluran atau seawet pagar besi. Begitu pula halnya, untuk mencapai dan menguasai sumber setempat, pintu mana yang perlu diketok sama pentingnya dengan besaran tenaga yang hendak dikerahkan.
Di Pedalaman kepulauan Indonesia, tajamnya perbedaan kepentingan di antara kelas penguasa setempat dengan rakyat jelata atas sumber-sumber kehidupan bersama bukanlah satu-satunya unsur yang sangat menentukan berhasil atau gagalnya tindakan mengubah tata kuasa atas sumber-sumber tersebut – dari dulu, sampai sekarang. Seperti kita tahu, paling tidak dalam sepuluh tahun terakhir penajaman perbedaan kepentingan di kampung bukannya menghasilkan perombakan agraria yang kokoh basisnya, melainkan perang saudara yang bertahan lama di kampung-kampung. Apakah cerita mutakhir ini menunjukan pesatnya inovasi organisasi kompeni industrial dan keuangan serta peningkatan kecerdasan dari penguasa pasar? Atau, seperti ditebak oleh cukup banyak uraian yang muram, apakah kekacauan yang meluas tersebut adalah “akibat yang wajar dari hilangnya kendali penguasa atas tindak-tanduk rakyat jelata” pada masa peralihan politik? Kedua-duanya tampaknya bukan jawaban yang memuaskan.
Di lain pihak, transaksi antara Negara – sebagai bangunan organisasi, tindakan pengurus dan opasnya, alat dari golongan-rakyat-yang berkuasa, perkakas untuk mengendalikan pikiran warga neara – dengan perusahaan sebagai agen perputaran kapital sesungguhnya belum lagi menunjukkan perubahan genetik semenjak instalasinya pada masa pasca VOC, walaupun syarat pengakuan keabsahan politiknya telah berganti sejak proklamasi kemerdekaan. Istilah “neo-kolonialisme” dalam pidato-pidato Soekarno di samping merupakan gugatan juga menyiratkan pengakuan akan kemungkinan yang sangat nyata bahwa sebuah Negara merdeka mau tak mau harus menjalankan peran komprador di hadapan para pengurus kapital. Salah satu kabar genting saat ini, penegasan legalisasi hak Negara untuk menguasai aset warganya secara sepihak – lewat Perpres no. 36 tahun 2005 – seperti diakui, merupakan syarat genting untuk proyek raksasa pembaruan infrastruktur produksi di kepulauan, atas biaya perusakan infrastruktur sosial ekologis rakyat, termasuk rumah, kampung halaman, dan hutan-hutan tutupan. Bukankah ini ceritayang sama dan sudah taka sing lagi untuk teling orang kampung dari jaman ke jaman?
Itulah sebabnya, buku ini agak istimewa, baik untuk sidang pembaca utamanya – aktivis organisasi partikelir yang sedikit banyak bekerja di medan gerakan rakyat – maupun untuk penulisnya. Berlainan dengan buku-buku kecil yang bertutur tentang kasus tertentu, kali ini si penulis, Noer Fauzi – biasa dipanggil Oji – terang-terangan menantang pembacanya untuk sama-sama mempertanyakan segala sesuatu yang menyangkut gerakan rakyat. Bagaimana membaca syarat-syarat politik sebuah gerakan; aliansi dengan golongan mana dengan cara seperti apa; politik citra macam apa yang menjaga api gerakan; dan seterusnya. Apa yang dituliskan dengan cekatan dan deskriptif oleh Oji mengenai duduk perkara dari lahir dan tumbuhnya gerakan-gerakan rakyat di negeri-negeri dengan latar belakang sejarah sosial yang kontras, mengganggu kita untuk menunda sejenak beraksi, untuk mempertanyakan apa yang kita pahami sebagai gerakan dan kenapa, seperti dalam humor di kalangan pembaca setia tulisan-tulisan Oji, banyak tindakan kolektif berjaringan yang sebetulnya lebih pantas disebut gerak-gerik daripada gerakan.
Sudah tentu, Oji sebagai kativis dan penulis yang produktif di tengah kalangannya tidak perlu dikenalkan lagi di sini. Meskipun begitu, barangkali ini juga tulisan pertama Oji yang sepenuhnya membandingkan gerakan-gerakan rakyat dalam konteks teoretis dan antarnegeri. Karena itu, tanpa bermaksud untuk menanggapi tafsiran mengenai berbagai kerangka teoretik/filosofis yang diungkapkan penulis, maupun posisi penulis sendiri dalam hal ini, sedikit catatan kecil berikut akan baik untuk menyambutnya.
Titik berangkat dari buku ini, adalah bahwa uraian teoretik “klasik” mengenai gerakan atau pemberontakan petani telah bangkrut. Gerakan-gerakan rakyat pedesaan di Negara-negara Dunia Ketiga telah berubah dalam konteks, watak maupun moda aksinya (hal.9). Untuk memahami duduk perkara dari gerakan-gerakan tersebut di dalam jarring kekuasaan yang dilawannya, kita membutuhkan alat-alat urai yang baru. Seperti halnya dengan beberapa penulis yang dikemukakannya, Oji menyebut tahapan kapitalisme dan juga jarring kekuasaan baru itu sebagai “neo-liberalisme”. Di bagian ketiga buku, Oji memetakan agenda dan perkakas dari rejim penguasa pasar tersebut, dan bagaimana di hadapannya, gerakan-gerakan yang bersifat setempat sebetulnya bersandarkan pada kerjasama antar kelas dan rombongan kepentingan, melampaui batas-batas ruang “pedesaan atau identitas “petani”.
Seperti judulnya, buku ini adalah sebuah studi pustaka tentang bagaimana memahami gerakan-gerakan rakyat, di mana pedesaan merupakan lokasi medan, bukan lagi mengacu sepenuhnya pada asl-usul pelaku. Beberapa pertanyaan penting muncul dari kajian ini. Salah satu pertanyaan yang paling mengemuka tentu adalah kebangkrutan pandangan klasik tentang proses serta relasi sosial yang mendasari gerakan-gerakan petani. Seberapa luas cakupan dari apa yang penulis sebut sebagai “pandangan klasik tentang (duduk perkara) gerakan/pemberontakan petani”, begitu pula siapa saja sebenarnya pemikir yang sebetulnya menghuni ruang politik dan teoretik yang sama? Apakah individualism metodologis yang diwakili Samuel Popkin betul bisa disandingkan dengan ekonomi-moral yang dibaca James Scott (untuk wilayah sejarah yang berlainan di Vietnam) untuk membaca gerakan di pedesaan? Apakah ketidakmampuan pendekatan klasik – seperti dimaksud penulis – untuk menguraikan gejala perlawanan rakyat jelata mutakhir bersumber pada keterbatasan daya urainya atau karena syarat-syarat perputaran kapital dewasa ini beserta moda perlawanannya memang bukan subyek yang ditelaah oleh para penulisnya pada waktu itu?
Penuturan kesembilan kasus yang dikemukakan garis besarnya di bagian kedua buku ini tentu merupakan bagain utama yang paling mengesankan. Bahkan dalam formatnya sebagai penunjuk awal bagi pembaca, gambaran mengenai masing-masing gerakan telah menerangkan bahwa istilah pedesaan barangkali telah menjadi terlalu sempit untuk menyebut gerakan-gerakan tersebut sesuai dengan harkatnya. Di lain pihak, duduk perkara perebutan sumber-sumber daya rakyat yang tak dapat dipisahkan dari setiap gerakan yang dilaporkan di sini, walaupun tidak mendapatkan kajian mendalam, diakui penulis sebagai bagian persoalan petani, lewat kualifikasi beberapa pandangan tentang “tamatnya riwayat petani”.
Pertanyaan lain yang muncul dari pembandingan gerakan rakyat dulu dan sekarang yang penting ini adalah ada tidaknya kaitan di antara ketetapan-ketetapan yang menyertai moda produksi kapitalisme di satu pihak, dengan peragaman kapasitas politik rakyat untuk bertindak pada masa dulu dan sekarang. Dalam hal ini, watak “tumpang sari” dari tema, identitas menyejarah maupun pelaku gerakan di pedesaan sekarang telah secara meluas dipertanyakan sebagai medan politik representasi yang mencerminkan tegangan antara agenda bawaan kelas menengah terpelajar dengan subjek pedesaan yang menjadi tokoh utamanya. Terus meluasnya dan kronisnya kemelaratan rakyat dan ketidakadilan – di hadapan peragaman gerakan dengan nama rakyat – juga telah membuka medan perdebatan baru tentang seberapa jitu sesungguhnya wacana-wacana baru tentang gerakan sosial membaca syarat-syarat unggulnya tindakan kolektif. Perdarahan di dalam tubuh rakyat sendiri, seperti pengalaman pahit perang saudara di kepulauan yang disebutkan di depan, juga telah menggugat kembali posisi kebenaran dari perlawanan rakyat jelata, lebaga-lembaga pengelola kepercayaan, kesucian kelas menengah kota sebagai pembela kampung, dan tegangan antara janji kemajuan kemanusiaan dengan upaya pelemahan agenda public Negara dari aliran dana filantrofis. Penulis tidak membahas masalah-masalah ini sebagai sebuah ranah persoalan, akan tetapi secara tidak langsung pembaca didorong untuk mempertanyakannya.
Naskah ini terbit tujuh tahun setelah tamatnya rejim Jendral TNI Soeharto, yang jaminan atas legitimasi politiknya di luar dan di dalam negeri bersandarkan nyarissepenuhnya pada kelangsungan perluasan medan perputaran kapital selama tigapuluh tahun lebih. Ketika sekarang kita melihat ke belakang, cukup alasan untuk mengatakan bahwa syarat kelangsungan itu pula yang ikut menentukan jatuhnya Soeharto, menentukan derajat toleransi atau dukungan terhadap presiden yang baru, atau seperti menjelang akhir rejim Soekarno, menentukan cara campur tangan untuk pengerahan perubahan politik dalam negeri. Tanpa mengabaikan bukti-bukti menguatnya proses politik lokal setelah Soeharto, pertanyaan masih saja mengganggu: apakah sungguh ada unsur yang baru dalam cara atau bangunan kuasa yang mengendalikan proses perubahan di kepulauan sekarang? Atau sebaliknya, apakah pemaksaan kepatuhan politik lewat senjata bersama dengan pengerukan hasil bumi besar-besaran – ciri rejim Soeharto – telah berganti rupa secara telak? Lewat buku ini saya kira Noer Fauzi berhasil memprovokasi pembacanya untuk berfikir lebih jernih dan sungguh-sungguh tentang apa yang sesungguhnya harus dilakukan.
Hendro Sangkoyo
Ithaca
___________________________________________________________
DAFTAR ISI
Kata Pengantar Penulis
Kata Pengantar Tamu
Daftar Isi
Pendahuluan
BAGIAN PERTAMA: PANDANGAN KLASIK TENTANG PEMBERONTAKAN PETANI
1. Pandangan klasik tentang pemberontakan petani di dunia ketiga
BAGIAN KEDUA: PROFIL GERAKAN-GERAKAN RAKYAT DUNIA KETIGA
2. Mengokupasi tanah sebagai tindakan konstitusional:MST (Movimento Dos Trabalhadores Rurais Sem Terra) di Brazil
3. Gerilyawan bertopeng membesarkan gerakan masyarakat sipil: EZLN (Ejercito Zapatista de Liberacion Nacional) di Mexico
4. Mengubah identitas perjuangan dari “petani” menjadi “masyarakat adat”: FOIN (Föderation der indigenen Organisationen des Napo) di Ekuador
5. Melawan rasisme setelah rejim apartheid tumbang: LPM (Landless Peoples Movement) di Afrika Selatan
6. Mengambil kembali tanah yang dicuri: Gerakan Pendudukan Tanah di Zimbabwe
7. Menolak dienyahkan:NBA (Narmada Bachao Andolan) di India
8. Mobilisasi untuk mengeraskan suara rakyat miskin: AOP (Assembly of the Poor) di Thailand
9. Menekan dari bawah dan mendorong dari atas: UNORKA (Pambansang Ugnayan ng Nagsasariling Lokal na mga Samahang Mamamayan sa Kanayunan) di Filipina
10. Artikulasi untuk mendapat pengakuan dari negara: AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) di Indonesia
BAGIAN KETIGA: KONTEKS DAN KARAKTER BARU GERAKAN-GERAKAN RAKYAT DUNIA KETIGA
11. Pelaku utama dan situasi utama yang dimusuhi
12. Kesempatan politik yang dapat dimanfaatkan
13. Aksi-aksi kolektif yang diandalkan
14. Penutup
Daftar Pustaka
________________________________________________________
Pendahuluan
“… (R)esistance is never in a position of exteriority in relation to power”
(Foucault, 1980:95)
“Power is never in a position of exteriority in relation to resistance”
(Scott, 1996:111)
Menurut Peter Worsley (2000:1095) dalam Ensiklopedia Ilmu-ilmu Sosial, istilah ”Dunia Ketiga” pertama kali diperkenalkan oleh Alfred Sauvy, seorang ahli demografi Perancis, pada bulan Agustus 1952 untuk menggambarkan negara-negara bangsa yang baru bermunculan pada akhir Perang Dunia ke-2, terutama di Asia dan Afrika. Istilah ”Dunia Ketiga” kian populer setelah konsolidasi negara-negara anti-kolonialisme dalam Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung, yang kemudian dalam golongan ini kemudian masuk pula negara-negara Amerika Latin. Tahun 1960-an, gagasan Dunia Ketika semakin membentuk blok tersendiri (non-blok) ketika peta politik dunia didominasi dan diperebutkan oleh dua blok, yakni Dunia Pertama, yang didominasi oleh ”dunia bebas” blok Atlantik, negara-negara Amerika dan Eropa Barat, dan Dunia Kedua, blok komunis yang diorganisir secara terpusat, yang didominasi oleh Uni Sovyet (yang walau sama-sama mengkalim negara komunis, namun juga berkonfrontasi dengan Cina). Kedua kelompok ini terdiri dari negara-negara yang teknologinya sudah jauh lebih maju dan letaknya di sebelah ”utara” dari peta bumi yang umum dipakai. Jumlah penduduk keduanya hanyalah sekitar 30% dari penduduk dunia, sementara itu luas daratan mencakup 40 % dari luas wilayah dunia. Selebihnya ”Dunia Ketiga” yang terdiri negara-negara merdeka yang pernah dijajah dan letak geografisnya adalah di bagian ”selatan” dari peta yang umum dipakai. Di dalam kelompok ini terdapat negara-negara paling miskin di dunia, padat penduduknya dan secara teknologi masih lebih terbelakang, namun pada umumnya sangat kaya dengan sumber daya alam, terutama luasan bentang tanah pertanian dan hutan, dan kandungan minyak bumi, tambang dan mineral. Kemiskinan dan keterbelakangan negara-negara Dunia Ketiga ini bukanlah disebabkan oleh sebab-sebab internal dari situasi di negara Dunia Ketiga itu sendiri, seperti dikemukakan banyak teoritisi aliran moderensasi,[1] tetapi karena kolonialisme dan neo-kolonialisme yang memiliki akar pada perkembangan dan ekspansi negara-negara Eropa yang berlangsung semenjak awal abad 17.[2]
Ada banyak istilah yang diberikan untuk menyebut golongan negara-negara ”Dunia Ketiga” ini, misalnya negara-negara paska-kolonial, negara-negara non-blok, negara-negara terbelakang, negara-negara belum maju, negara-negara kurang maju, negara-negara sedang berkembang, negara-negara selatan, kelompok 77 dan sebagainya. Berbagai peristilahan ini memang menujukkan variasi dari mereka yang menjulukinya dan kepentingan untuk memposisikan kekuasaan dirinya sendiri.[3] Yang lebih terpenting bagi kita adalah memahami bahwa Dunia Ketiga, bukanlah dunia yang seragam, seperti dinyatakan oleh Dean K. Forbes (1986:23), ”Dunia Ketiga senantiasa termasuk kategori residual, yang didefinisikan terutama secara negatif – bukan industri dan bukan komunis – ketimbang secara positif.” Bahkan lebih dari itu, sebagaimana dimaklumi, di dalam suatu negara yang termasuk dalam Dunia Ketiga pun terdapat variasi yang sangat mencolok, misalnya antara kapitalis-sosialis, modern-tradisional, kota-desa, industri-pertanian, asing-pribumi, dan sebagainya.[4]
Pada konteks ini patut kita memahami, seperti yang telah ditunjukkan oleh para sarjana yang melakukan dekonstruksi atas apa yang diistilahkan ”Pembangunan”, bahwa Dunia Ketiga sendiri diberi arti, dibentuk, dibayangkan, diurus, dieksploitasi, dimanipulasi dan dikembangkan melalui serangkaian wacana dan praktek. Mungkin ada saja yang akan mengkritik mengapa masih digunakannya istilah ”Dunia Ketiga” sehubungan dengan telah berakhirnya jaman Perang Dingin (Cold War) dengan runtuhnya kuasa Dunia Kedua, negara-negara blok komunisme. Meski tidak fundamental, kritik itu dapat dimengerti, mengingat apa yang disebut dengan ”Sistem-Dunia”[5] itu tidak memperoleh tandingan lagi dari blok komunisme. Setelah pembangunanisme berjaya melalui kuasa negara (state led development), yang terjadi di negara-negara Dunia Ketiga setelah terpecah-belahnya Uni-Sovyet dan runtuhnya Tembok Berlin di dekade terakhir abad 2000 adalah semakin kuasanya dominasi dari neoliberalisme. Jadi Neoliberalisme di Dunia Ketiga merupakan babak lanjutan dari pembangunanisme (developmentalism). Neoliberalisme ini dipompakan oleh perusahaan-perusahaan transnasional, negara-negara Kapitalisme Maju dan juga badan-badan pembangunan internasional. Seperti telah dianalisis oleh para sarjana (misalnya, Fakih 2001, 2003), neoliberalisme yang menggelar kuasa-kuasanya dengan cara yang berbeda dengan pembangunanisme, telah menjadi konteks baru dari gerakan-gerakan rakyat pedesaan. Juga, nanti akan kita lihat nanti bagaimana pagelaran kuasa itu ditafsirkan dan ditantang oleh tiap-tiap gerakan rakyat dengan aksi-aksi kolektif posisi yang dipilihnya.
Fokus Buku ini
Naskah ini, seperti diisyaratkan oleh kalimat Foucault (1980:95) dan Scott (1996:111) yang dikutip di bagian awal naskah ini, hendak mengantarkan pembaca ini untuk memahami dinamika pasangan ”perlawanan” dan “kuasa” pada gerakan-gerakan rakyat pedesaan yang terbuka, dengan membatasi diri pada diskusi teoritis dan mengemukakan profil sejumlah contoh gerakan di Dunia Ketiga. Akan terlebih dahulu penulis ringkaskan pokok-pokok analisis klasik dari sejumlah sarjana -- seperti Barington Moore (1966), Eric R. Wolf (1969), Joel Migdal (1974), Jaime Paige (1975), James Scott (1976) dan Samuel Popkin (1979) -- mengenai asal-usul pemberontakan petani yang dinilai mereka sebagai akibat dari penetrasi kapitalisme dan negara pada pedesaan Dunia Ketiga. Membaca karya para sarjana ini telah memberi kesan yang mendalam pada penulis bahwa perubahan konfigurasi kekuasaan di pedesaan adalah ”ibu” dari gerakan rakyat yang dilahirkannya. Selanjutnya, akan disajikan secara ringkas pula bagaimana para sarjana itu mengkonsepkan apa yang disebut sebagai petani sebagai golongan utama di pedesaan Dunia Ketiga, dan secara khusus berargumen perihal alasan-alasan pemberontakan (sebagian) petani menghadapi perubahan sosial yang mengenai mereka. Meski para sarjana yang pendapat utamanya disajikan secara sangat ringkas itu sama-sama tergerak untuk mengabdikan karyanya untuk menjelaskan bagaimana petani menjadi terlibat dalam pemberontakan terhadap para penguasa penindasnya, namun sebagaimana akan dapat dibaca nanti, terdapat perbedaan penjelasan serta perdebatan yang sengit di antara mereka.
Buku kecil ini diniatkan untuk mengajak pembaca memperbaiki cara memahami gerakan-gerakan rakyat pedesaan Dunia Ketiga. Inti dari naskah ini adalah memperhadapkan antara pandangan teori-teori klasik tersebut dengan kenyataan gerakan-gerakan rakyat pedesaan yang berkembang di berbagai negara Dunia Ketiga, seperti MST (Movimento Dos Trabalhadores Rurais Sem Terra atau Pergerakan Pekerja Pedesaan Tak Bertanah) di Brazil; EZLN (Ejercito Zapatista de Liberacion Nacional atau Tentara Pembebasan Nasional Zapatista) di Mexico; FOIN (Föderation der indigenen Organisationen des Napo atau federasi organisasi masyarakat adat Napo) di Ekuador; LPM (Landless People’s Movement atau gerakan Rakyat Tak Bertanah) di Afrika Selatan; Gerakan-gerakan Pendudukan Tanah atau land occupation movements di Zimbabwe; NBA (Narmada Bachao Andolan atau Gerakan Menyelamatkan Narmada) di India; AOP (The Assembly of the Poor atau Dewan Kaum Miskin) di Muangtai; UNORKA (Pambansang Ugnayan ng Nagsasariling Lokal na mga Samahang Mamamayan sa Kanayunan atau yang secara tekstual berarti Kordinasi Nasional Organisasi-organisasi Rakyat Pedesaan Lokal Otonom) di Filipina, dan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) di Indonesia.
Penulis akan memprofilkan dinamika ringkas dari masing-masing gerakan, khusus dalam 3 (tiga) pokok utama yang membingkai gerakannya masing-masing, yakni (i) tafsir atas situasi yang dimusuhi. Tentu saja, tafsir atas situasi yang dimusuhi akan menghasilkan rumusan tentang ancaman yang harus dihadapi para pelaku gerakan. Tafsir ini bukan cuma berbeda dengan pihak yang ditentang, tetapi tafsir termaksud secara sengaja dan jelas dimaksudkan untuk menentang;[6] (ii) kesempatan politik yang memungkinkan para aktor gerakan menetapkan pilihan-pilihan strategis; dan (iii) pilihan jenis aksi kolektif yang diandalkan para pelaku gerakan. Aksi-aksi kolektif ini lah yang menyumbang pada perubahan posisi gerakan yang berhadap-hadapan dengan posisi para golongan yang ditentang dan dalam membentuk, memelihara dan mengubah posisi dari para konstituen, pendukung dan para penonton gerakan.
Penulis buku ini hendak mengikuti anjuran dari McKeon dkk (2004:5) bahwa
Asosiasi-asosiasi petani dalam periode kontemporer ini harus dipandang dalam hubungannya dengan pembagian kerja kapitalis (kekhususan-kekhususan persoalan agraria dalam abad kedua puluh satu ini) yang dikaitkan dengan restrukturisasi neo-liberal yang terbentuk mulai 1980-an; hal ini menyadarkan kita bahwa ada berbagai ragam cara yang dipakai negara, badan-badan donor asing, dan bentuk-bentuk lokal dari kepentingan kelas dan akumulasi, dalam membentuk asosiasi-asosiasi petani.
Gerakan-gerakan rakyat pedesaan yang terjadi di berbagai negara Dunia Ketiga kontemporer dewasa ini, seperti akan diringkaskan di bagian Kedua nanti, memberi teladan mengenai bangkrutnya anggapan-anggapan kuno tentang petani dan pemberontakan petani. Kalau sungguh-sungguh mempelajari apa yang terjadi, kita akan mengetahui watak baru dari gerakan rakyat pedesaan, mulai dari bagaimana mereka menafsirkan situasi yang ditentangnya, gagasan perjuangan yang disuarakannya, posisi yang diambilnya, hingga bentuk aksi yang dilancarkannya. Penulis hendak mengajak pembaca untuk membuka diri pada kenyataan telah berubahnya konteks dan bentuk-bentuk aksi kolektif dari berbagai gerakan rakyat pedesaan kontemporer di Dunia Ketiga. Pandangan klasik tentang pemberontakan petani ternyata tidak lagi dapat cocok dengan kenyataan baru tersebut. Penjelasan mengenai bagaimana sebab-musabab munculnya niscaya perlu ditinjau ulang. Demikian pula, dan dari padanya perlu dibangun suatu pemahaman baru yang lebih bersesuaian dengan konteks pagelaran kuasa-kuasa neo-liberal yang sedang mendominasi Dunia Ketiga saat ini.
Selain karena perkara relevansinya dengan kenyataan -- baik perubahan konteks, bentuk aksi-aksi kolektifnya dan karakter gerakannya itu -- pemahaman kita ditantang pula dengan kehadiran gejala New Social Movement (NSM) atau Gerakan Sosial Baru, yang bukan hanya berupa suatu tipe garakan sosial, melainkan juga sudah merupakan paradigma untuk membaca kenyataan. Gejala NSM ini mulai berkembang sepanjang dua dekade lalu, sebagai suatu respon terhadap “peralihan bentuk-bentuk gerakan sosial kontemporer di bangsa-bangsa Barat, yang berkait dengan berkembangnya suatu dunia post-modern” (Pichardo, 1997:411). Apa yang disebut sebagai New Social Movement (NSM) ini pada mulanya diungkap oleh para sarjana Barat yang menyaksikan perubahan watak gerakan di negara-negara Barat itu sendiri. Michael Woods (2003) dalam karyanya yang berjudul. “Deconstructing Rural Protest: The Emergence of a New Social Movement,” banyak merujuk pada gerakan protes pedesaan di negara-negara dunia pertama, seperti di Inggris, Perancis, Amerika dan Australisa. Ia menulis (Woods, 2003:309-310):
“Penyelidikan terhadap arus baru protes-protes, konflik-konflik dan kampanye pedesaan dengan sendirinya mensyaratkan penggunaan kosa kata akademik dan kerangka analitik baru. Model-model kerja jaringan dan para pembuat kebijakan, serta cara-cara kerja kelompok-kelompok kepentingan, yang menentukan analisis proses pembuatan kebijakan, tidak lagi memadai dalam situasi ketika konflik jauh lebih banyak dari pada konsensus, aksi langsung telah menggantikan pemikiran yang mendalam, dan kukuh meraih kepentingan digantikan oleh mempertahankan identitas.”
Namun bukan berarti bahwa gejala NSM ini hanya ada di Dunia Pertama saja, melainkan juga di Dunia Ketiga. Kita banyak menyaksikan kalangan aktivis yang mengembangkan gerakan hak asasi manusia, lingkungan, feminis, etnis dan masyarakat sipil umumnya. Gerakan ini pada umumnya bertumpu pada kaum profesional kelas menengah bawah, yang terus bergerak setelah selesai melawan rejim-rejim otoritarian di Dunia Ketiga. Dalam buku Social Movements, Old and New: A Post-Modernist Critique, sosiolog dari India menulis sebagai berikut:
“Tidak seperti gerakan ‘lama’ di masa silam, … (New Social Movement) tidak melibatkan dirinya pada wacana ideologis yang meneriakkan ‘anti kapitalisme’, ‘revolusi kelas’ dan ‘perjuangan kelas’. Malah, gerakan baru tidak tertarik pada gagasan revolusi dan penggulingan sistem pemerintahan negara secara revolusioner. Tujuan dan strategi gerakan baru cuma sedikit persamaannya dengan gerakan di masa lalu yang berjuang untuk isu-isu seperti kenaikan upah buruh dalam industri dan perlawanan terhadap ketimpangan ekonomi dan eksploitasi kelas. Gerakan kontemporer pada umumnya tidak mendukung potensi munculnya ‘pemberontakan petani’ atau ‘perjuangan agraria’.
... Tampilan tegas NSM adalah plural. Ekspresinya yang beragam bentuk ini (polymorphous) terentang mulai anti rasisme, anti nuklir, perlucutan senjata, feminisme, environmentalism, regionalisme dan etnisitas, kebebasan sipil dst., sampai ke isu-isu kebebasan individu dan perdamaian …
Sementara gerakan ‘lama’ diperlakukan sama dengan ‘representasi’ kapitalisme dan industrialisme, yakni sebuah pantulan ekspansi dan dominasi peradaban Barat terhadap masyarakat non-Barat, NSM menyiratkan keletihan dari representasi modernis itu. NSM pada kenyataannya menolak inti gagasan pertumbuhan dan pembangunan, yakni roda ideologis yang menggulirkan kapitalisme, materialisme dan modernitas.”
Gejala Gerakan-gerakan Sosial Baru ini tentu berbeda dengan gerakan rakyat pedesaan yang menjadi bahan bahasan utama buku ini. Namun NSM sudah lebih dari sekedar suatu tipe gerakan tertentu, ia telah berkembang menjadi adalah paradigma yang dipakai untuk melihat kenyataan.
Saat ini para sarjana di Barat telah mengembangkan metode penelitian gerakan sosial (Klandersman dan Staggenbotk, Eds, 2002.), yang menganalisa aspek-aspek tertentu dari gerakan-gerakan sosial, dengan konsep-konsep yang baru baru pula – misalnya collective action frame, resource mobilization, collective identity, political opportunity structure, circle of protest, network building dan banyak lagi. Bahkan, mereka telah mempunyai jurnal-jurnal akademik tersendiri, yang masing-masing memiliki situs maya sendiri pula.[7]
Dengan bekal sikap kritis dan semangat memperbaiki dan memajukan gerakan, para aktivis dan sarjana sama sekali tidak dapat mengabaikan perkembangan-perkembangan terbaru ini bila mau tetap memiliki analisa yang lebih segar dan lebih cocok dengan perkembangan gerakan-gerakan itu sendiri.
[1] Cukup banyak naskah lama maupun baru perihal kebangkrutan teori-teori moderenisasi, misalnya dapat dipelajari dalam Bjorn Hettne, Ironi Pembangunan di Negara Berkembang, Jakarta, Sinar Harapan 1982, yang merupakan terjemahan dari Development Theory and The Third World; Ian Roxborouh, Teori-teori Keterbelakangan, Jakarta: LP3ES, 1986 yang merupakan terjemahan dari Theories on Underdevelopment.; juga Dean K. Forbes, Geografi Keterbelakangan, Jakarta, LP3ES, 1986, yang merupakan terjemahan dari Geography of Underdevelopment. Juga pelajari buku-buku, Alvin Y. So dan Swasono, ”Teori-teori Pembangunan dan Perubahan Sosial”, Jakarta, LP3ES, 1990; Sritua Arief, Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan, Jakarta, CIDES, 1998. Untuk karya lebih baru dari perspektif aktivis, baca Mansour Fakih, Gagalnya Teori-teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta, Insist Press, 2001.
[2] Sangat baik untuk mempelajari karya klasik dari Eric R. Wolf, Europe and the People Without Hystory, Berkeley, University of California Press, 1982. Khusus untuk konteks Asia Tenggara, pelajari karya Antony Reid, Sejarah Modern Asia Tenggara, Jakarta, LP3ES, 2004, khususnya bab 10 “Asal-usul Kemiskinan Asia Tenggara” hal 287-311.
[3] Banyak karya dari para analis yang mendekonstruksi wacana dan praktek “pembangunan”. Aliran ini sangat dipengaruhi oleh konsep Foucault tentang “Kuasa/Pengetahuan”. Pelajarilah buku-buku yang mempergunakan pendekatan Foucault-ian, misalnya buku bagus dari James Ferguson The Anti Politics Machine, “Development”, Depolitization and Bureaucratic Power in Lesotho, London, Unersity of Minnesota Press, 1997; Arturo Escobar, Encountering Development, The Making and Unmaking of the Third World, New Jercey, Princeton University Press, 1995. Untuk uraian tematik, baca Wolfgang Sach (Ed), Kritik atas Pembangunanisme, Telaah Pengetahuan sebagai Alat Penguasaan, Jakarta, CPSM, 1995. Buku yang ini merupakan terjemahan dari The Development Dictionary, A Guide to Knowledge as Power, London, Zed Book, 1992.
[4] Bagi pembaca yang ingin mengetahui tema-tema pokok yang lazim dialami oleh negara-negara Dunia Ketiga, bisa pelajari buku yang agak tua, Alan B. Mountjoy, Dunia Ketiga dan Tinjauan Permasalahannya, Jakarta Bumi Aksara, 1984, yang merupakan terjemahan dari The Third World Problems and Perspectives. Untuk perspektif yang luas silakan pelajari misalnya Kamus Dunia Ketiga, Dieter Nohlen (Ed), Jakarta: Grasindo, 1994. Buku pengantar studi kritis tema-tema pembangunan di negara-negara Dunia Ketika, yang sangat menarik karena penuh dengan ilustrasi kasus dengan perspektif baru setelah perang dingin berakhir adalah Philip McMichael, Development and Social Change, A Global Perspective, Pine Forge Press, 1996.
[5] Istilah “Sistem-Dunia” telah menjadi istilah yang baku dalam studi-studi pembangunan. Pelopornya adalah karya klasik trilogi dari Immanuel Wallerstein, The Modern World-System, Vol 1, Capitalist Agriculture and the Origin of the European World-Economy in the Sixteenth Century, New York: Academic Press, 1974; The Modern World-System, Vol 2, Mercantilism and Consolidation of the European World-Economy, New York: Academic Press, 1980; The Modern World-System, Vol 3, The Second Era of Great Expansions of the Capitalist World-Economy 1730-1840s. New York: Academic Press, 1989.
[6] Belakangan ini, konsep collective action frame -- disini diterjemahkan dengan bingkai aksi kolektif -- sangat banyak dipakai untuk mempelajari gerakan-gerakan sosial. Konsep ini telah menjadi salah satu pusat perhatian ilmuan sosial, khususnya mereka yang meneliti tentang studi psikologi kognitif, analisa discourse dan linguistik, studi-studi komunikasi dan media serta ilmu politik dan studi-studi kebijakan. Konsep ini semakin menjadi pusat perhatian para ilmuan sosial setelah didengungkan oleh Erving Goffman (1974) dalam bukunya Frame Analysis: An Essay on the Organization of the Experience. Benford dan Snow dalam karyanya “Framing Processes and Social Movements, An Overview and Assessment” (2000:614) menekankan bahwa proses menghasilkan bingkai aksi kolektif ini biasa disebut sebagai framing atau pembingkaian, yang niscaya bersifat aktif dan melalui proses tertentu. Ia bersifat aktif karena secara periodik senantiasa tersedia momentum pengambilan keputusan sebagai konsekuensi dari perubahan posisi yang terbentuk akibat aksi-aksi kolektif yang dijalankan. Selain itu, dinamika pembentukannya melintasi proses tertentu, bahkan dalam proses itu terdapat berbagai perubahan bentuk dan kualitas (metamorfosa) dari organisasi gerakan itu.
[7] Misalnya Jurnal Mobilisation (http://www.mobilization.sdsu.edu/) dan Social Movement Studies: Journal of Social, Cultural and Political Protest (lihat http://www.tandf.co.uk/journals/titles/14742837.asp)
_______________________________________________________________________
1. Pandangan klasik tentang pemberontakan petani di dunia ketiga
Merupakan kenyataan historis di pedesaan mana saja, termasuk di wilayah yang menjadi pokok perhatian kita yakni pedesaan negara-negara Dunia Ketiga, bahwa sebagian golongan petani mengambil jalan menentang dan menantang hadir dan bekerjanya kuasa-kuasa baru yang menindas mereka. Pada intinya, gerakan-gerakan rakyat pedesaan yang hadir baik yang dahulu ada maupun yang saat ini adalah tantangan-tantangan yang relatif berkelanjutan atas kekuasaan yang menindas golongan-golongan tertentu dari rakyat di pedesaan. Tantangan-tantangan yang mengacaukan dan terus-menerus (disruptive and continuous challanges) itu pada mulanya adalah suatu tanggapan kolektif atas merosotnya kondisi hidup akibat penggunaan dan penyalahgunaan kekuasaan pihak pemegang kuasa-kuasa ekonomi-politik. Tanggapan itu bukan hanya terhadap masalah lokal, seperti dinyatakan oleh studi Wolf lebih 30 tahun yang lalu dalam buku klasiknya Peasant War in The Twentieth Century (Wolf 1971:273):
… pemberontakan-pemberontakan petani abad kedua puluh tak lagi sederhana merespon masalah-masalah lokal, jika memang benar-benar pernah ada. Tetapi hal itu merupakan reaksi-reaksi yang langsung pada keguncangan sosial yang mengenainya, yang digerakkan oleh perubahan sosial yang lebih besar lagi. Penyebaran pasar telah membongkar manusia dari akarnya, dan mengguncang mereka agar lepas dari hubungan-hubungan sosial dari mana mereka dilahirkan. Industrialisasi dan perluasan komunikasi telah memunculkan tandan sosial baru, sampai sekarang tak percaya pada posisi-posisi dan kepentingan sosial mereka sendiri, tetapi dipaksa oleh ketidakseimbangan kehidupan mereka untuk mencari suatu tambahan baru. Otoritas politik tradisional terkikis atau ambruk; para pesaing baru untuk kekuasaan sedang mencari para pemilih baru untuk dimasukkan ke dalam arena politik yang kosong. Dengan demikian ketika pembela pro-petani menerangi obor pemberontakan, bangunan besarmasyarakat telah membara dan siap mengambil api. Ketika perang berakhir, bangunan itu tak akan sama seperti sebelumnya.
Penindasan atas suatu golongan rakyat di pedesaan Dunia Ketiga bukanlah cerita baru. Demikian pula perlawanan terhadap penindasan itu. Bagi sejarawan (mereka yang meneliti dan menulis sejarah) pedesaan Dunia Ketiga, penindasan dan perlawanan ini telah mengisi wajah pedesaan yang merentang dari dulu hingga sekarang. Setelah feodalisme ditaklukkan dan kehilangan kuasa utama di pedesaan, para penguasa kapitalis dan negara kolonial telah menjadi sumber dari penindasan dan perlawanan itu.
Memang, dalam semua lukisan naratif intelektual tentang gerakan petani dimanapun juga selalu dianut suatu ketetapan bahwa ”sebelum melongok pada petani, adalah perlu untuk memperhatikan keseluruhan masyarakat” – sebagaimana ditulis oleh Barington Moore (1966:457) dalam karya klasiknya yang terkenal, Social Origin of Dictatorship and Democracy. Adapun Moore membedah bagaimana ”proses moderenisasi itu sendiri”, derajat dan bentuk yang khas dari komersialisasi dapat mempertinggi atau membuka kemungkinan terjadinya pemberontakan petani melawan kelas-kelas di atasnya. Sementara itu, Eric R. Wolf (1969), Joel Migdal (1974), Jaime Paige (1975), James Scott (1976) dan Samuel Popkin (1979) mencarinya pada konteks makro struktural yang mendorong pembentukan gerakan petani. Dengan caranya sendiri-sendiri, mereka menekankan ekspansi kapitalisme barat yang imperialistik (imperialistic-western capitalism) dan merosotnya hubungan patron-client sebagai promotor pokok dari gerakan petani.
Buku klasik dunia yang menunjukkan penindasan atas petani dan perlawanannya adalah Eric Wolf Peasant War in Twentieth Century yang diterbitkan pertama kali di tahun 1969. Wolf menyimpulkan penyebaran kapitalisme dari Atlantik Utara sebagai pemaksaan ekonomi pasar pada masyarakat pra-kapitalis.
“... (S)ebelum masa kapitalisme...keseimbangan sosial bergantung pada timbal balik antara pengalihan kekayaan (surplus transfer) dari petani kepada tuan tanah, dengan jasa keamanan yang diberikan tuan-tuan itu pada para petani”. Kapitalisme itu telah mengacau-balaukan keseimbangan-keseimbangan itu yang dahulu ada pada masyarakat petani. Rakyat petani telah ditransformasi menjadi “aktor ekonomi, terlepas dari komitmen sosial yang terdahulu pada sanak keluarga dan tetangga.” (Wolf, 1969: 279).
Menyebarnya pasar telah meretakkan hubungan eksploitatif antara petani dan tuan tanahnya, baik itu tuan-tuan feodalnya maupun tuan tanah aristrokrat kolonial dan lainnya. Di pihak lain, menyebarnya pasar itu disertai dengan berbagai jalur ekonomi, politik dan pendidikan untuk memunculkan elit baru, baik pedagang, intelektual, kaum profesional termasuk aktivis politik. Dalam situasi peralihan yang sangat bergejolak ini, perlawanan petani mendapat tempat. Secara spesifik, gejala perlawanan petani ini terjadi pada saat terjadinya:
“perpaduan politik antara organisasi (termasuk organisasi bersenjata) dari kalangan elit baru yang marjinal – kalangan intelektual dan professional baru – dengan kalangan petani yang tidak puas dikarenakan pasar tidak memberi peluang yang cukup.” (Wolf, 1969: 9).
Pandangan Joel Migdal (1974) tentang kekuatan yang dapat menyulut potensi keterlibatan revolusioner petani di Dunia Ketiga memperdalam pandangan Eric Wolf, tetapi ada dua penekanan utama. Pertama, berbeda dengan fokus Wolf yang melihat masyarakat secara luas, Migdal melihat secara lebih sempit dan mendalam pada desa-desa petani. Argumentasi dasar Migdal membahas transisi ekonomis yang mengacaukan “orientasi ke dalam” yang dianut para petani dan ditandai dengan pertanian subsisten dan otoritas kontrol komunal dan/atau patronase yang kuat, menjadi “orientasi keluar” yang ditandai dengan keterlibatan substansial petani dan rumah tangganya dengan “mekanisme saling berjalinan (multiplier mechanism): pasar, uang tunai, dan tenaga penggarap” (Migdal, 1974:87). Menurut Migdal, situasi pedesaan terus “berorientasi ke dalam” untuk memberi keamanan minimal bagi para petani tradisional dari kondisi ekologis yang tidak menentu. Pada saat krisis terjadi, yang sering berulang datang, petani tradisional mencoba melindungi diri mereka sendiri lewat eksploitasi diri dalam skala yang lebih dari biasanya dan lebih bersandar pada patron atau ikatan komunal. Hanya krisis luar biasa yang dampaknya begitu besar dan terus-menerus yang dapat mendorong petani mengubah diri menuju “orientasi keluar” yang lebih besar dalam perilaku ekonominya.
Seperti Wolf, Migdal melihat akar dari krisis dalam ekspansi dunia berasal dari kapitalisme-industri Barat abad ke 18. Tetapi ada penekanan kedua dalam pandangan Migdal – dia memberi perhatian khusus mediasi politik dari ekspansi ini. Migdal berbicara tentang “imperialisme” ketimbang “kapitalisme” atau “pasar” sebagai kekuatan utama untuk perubahan dalam dan antar negara. Dia menggambarkan perubahan yang mengacaukan (disruptive), seperti kenaikan jumlah penduduk dikarenakan program kesehatan masyarakat, dan bertambahnya penetrasi pasar karena pajak, perbaikan transportasi, dan peralihan tanah secara legal. Kesemua itu disebabkan peningkatan kontrol negara atas pedesaan yang tadinya mempunyai otonomi lokal. “Imperialisme,” menurut Migdal,
“menyebabkan reorganisasi dari pusat masyarakat, memungkinkan tercapainya tingkatan efisiensi yang baru dalam peralihan kekayaan dari pinggiran. Pemerintahan langsung oleh penguasa kolonial, atau dominasi kekuasaan imperial secara tidak langsung, akan menuju pada peningkatan penguasaan negara lewat teknik administratif. Sehingga memungkinkan birokrasi yang kompleks dan padu menerobos masuk ke daerah-daerah pedesaan dengan spektrum yang lebih luas dari pada sebelumnya.” (Migdal, 1974: 92)
Demikianlah, dengan mengemukakan terlebih dahulu konteks dan arus besar yang melingkupi keberadaan petani, hendak dikedepankan suatu prinsip bahwa dalam setiap gerakan rakyat di pedesaan selalu ada perubahan kemasyarakatan yang lebih luas yang melingkupinya. Bahkan keduanya memiliki hubungan yang saling mengikat (entangled). Namun, kemampuan mengenali hal ini belum cukup untuk melukiskan suatu gerakan sosial secara lengkap. Karya tulis klasik dari Henry A. Landsberger (1974), ”Peasant Unrest: Themes and Variations”[1] telah memberi kerangka analitis yang dahulu banyak dirujuk para akademisi untuk memahami, menganalisa dan melukiskan suatu gerakan rakyat petani. Kerangka itu terdiri dari 7 (tujuh) golongan tematik, yakni:
(i) Perubahan Kemasyarakatan yang Mendahului Gerakan Petani
(ii) Sasaran dan Ideologi Gerakan
(iii) Sarana dan Metode Gerakan
(iv) Dasar Masa dari Gerakan
(v) Kondisi yang Memperlancar Organisasi
(vi) Sekutu-sekutu Gerakan Petani
(vii) Kondisi-kondisi yang memberhasilkan dan menggagalkan
Berbagai sarjana utama yang telah membuat lukisan dan analisis tentang gerakan petani, ternyata tidak mempergunakan pengertian dasar yang seragam mengenai apa yang dimaksudkannya dengan istilah ”petani” (peasant) itu. Memang pada intinya petani dirumuskan sebagai petani (peasant) adalah penggarap tanah di pedesaan. Markus J. Kurtz (2000) telah mendaftar adanya tiga ciri lain yang menjadi pembeda dari pengertian antara satu dengan lain ahli, sebagaiman termuat dalam naskah-naskah buku yang telah dijadikan pegangan di kalangan akademisi. Ketiga ciri lain itu adalah (i) Penguasaan dan/atau pemilikan kaum petani atas tanah; (ii) Hubungan subordinasi dari kelompok penguasa lain; dan (iii) Komunitas petani yang ditandai oleh praktek budaya yang khusus. Seperti dapat dilihat di bagan 1, aliran Weberian merumuskan bahwa petani memiliki tambahan ketiga-tiga ciri lain itu; aliran Marxian mengutamakan kombinasi ciri antara menjadi penggarap tanah pedesaan dan berada di bawah dominasi penguasa lainnya; kalangan Antropologis memusatkan perhatian pada kekhususan budaya dari komunitas petani; kaum Ekonomi Moral selain kekhususan budayanya, juga menambahkan dengan sifatnya yang berada di bawah kuasa kelas lainnya; terakhir, kaum Minimalis yang hanya memahaminya sebagai penggarap tanah pedesaan saja.
Menjadi jelas variasi pengertian perihal petani mulai dari yang sederhana sampai kompleks. Variasi perbedaan pengertian petani itu menyertai variasi penjelasan perihal gerakan petani. Walau tentu tidak seluruhnya, kenyataan menunjukkan sebagian petani menunjukkan perlawanan secara terbuka terhadap penindasan. Para sarjana terdahulu telah sungguh-sungguh menghadapi dan menggeluti pertanyaan-pertanyaan, “Apa yang membuat sebagian petani melawan secara terbuka, sebagian lain tidak?” “Faktor-faktor apa saja yang berkombinasi yang bekerja sebagai transformator dari pengalaman tertindas menjadi perlawanan petani?” Mereka telah meneliti secara mendalam kasus-kasus perlawanan petani dan pada gilirannya membuat teori-teori yang bermutu. James Scott (1976) telah mengabdikan seluruh buku karyanya The Moral Economy of Peasant,[2] untuk menjawab pertanyaan tersebut. Selain itu, karya dari Samuel Popkin (1979), The Rational Peasant, juga diabdikan untuk menjawab pertanyaan yang sama, tetapi jelas-jelas menantang penjelasan yang diberikan James Scott tersebut.
Bagan 1. Dimensi-dimensi konseptual yang mendasari ragam pengertian tentang petani
Minimalis | Antropologis | Ekonomi Moral | Marxian | Weberian | ||
1. | Penggarap Tanah Pedesaan | Ya | Ya | Ya | Ya | Ya |
2. | Komunitas Petani yang ditandai oleh praktek budaya yang khas | Ya | Ya | Ya | ||
3. | Berada di bawah kuasa kelas sosial lain | Ya | Ya | Ya | ||
4. | Petani menguasai dan/atau memiliki tanahnya sendiri | Ya | Ya | |||
Luasan keberlakuan konsep | Sangat Besar | Besar | Sedang | Sedang | Sangat kecil | |
Tokoh pengguna utama | Popkin (1979) | Redfield (1960) | Scott (1976) | Wolf (1976)*), Paige (1975). | Moore (1966), Shanin (1982) | |
*) Walaupun konseptualisasi Wolf adalah Marxian, argumen teoritisnya kadang kala bernada ekonomi moral. Sumber: Disadur dari Marcus J. Kurts, “Understanding Peasant Revolution: From Concept to Theory and Case”, Theory and Society 29: Kluwer Academic Publishers, halaman 93-124, 2000, halaman 96. |
James Scott (1976) meyakini bahwa para petani senantiasa berperilaku “menghindari resiko” (risk aversion) yang dinilainya sebagai karakter dari masyarakat tradisional. Sementara Samuel Popkin, sebaliknya, meyakini adanya suatu “rasionalitas” petani untuk memperoleh keuntungan individual dengan berkompetisi. Bila pendekatan Ekonomi Moral diperbandingkan dengan Petani Rasional maka akan tampak tesis-tesis masing-masing mengenai perlawanan petani memang sangat berbeda.
Bagi Scott (1976) masyarakat tradisional mempunyai suatu tertib moral yang tak dapat dipisahkan dari masalah subsistensi. Tatanan sosial dari kehidupan petani telah menghasilkan sistem jaminan keamanan hidup internal yang secara normatif dapat ditegakkan untuk memenuhi semua orang desa; Kolonialisme telah mengukir eksploitasi tanpa batas yang dikenakan pada para petani sedemikian rupa sehingga terbentuklah diferensiasi sosial yang baru, dislokasi agraria, kemerosotan dari moral mengutamakan kebersamaan, dan kapitalisme agraria yang rakus – kesemua ini sungguh mengancam keberlangsungan hidup petani. Scott (1976) mengutamakan moralitas dan kemarahan petani sebagai respon yang niscaya begitu adanya menghadapi hilangnya jaminan keamanan subsistensi minimum. Walhasil, pemberontakan petani pada dasarnya bersifat ingin konservatif dan restoratif (mempertahankan dan/atau mengembalikan tatanan yang terdahulu).
Sementara itu, Popkin (1979) meyakini masyarakat tradisional tidak kurang eksploitatifnya ketimbang kolonialisme dan solidaritas sosial dari pedesaan tradisional hampir tidak pernah ada. Ia hanyalah adalah ilusi para pelancong dan sarjana romatik. Kolonialisme memang menyediakan berbagai kesempatan yang berbeda (tentunya juga untuk para penguasa tradisional). Menghadapi hal itu, para petani menanggapinya berbeda-beda tergantung rasionalitasnya. Dalam suatu kalimat, Popkin menyebutnya, “para individu mengevaluasi apa yang mungkin diperoleh akibat dari pilihan yang akan diambilnya berdasarkan kecenderungan dan nilai yang dianutnya” (1979:431-432). Petani menanggapinya, ibarat seperti seorang penjudi saja, dengan perhitungan untung rugi dan penuh cemas-harap, khususnya ketika menghadapi kelembagaan baru yang datang menerpa, yakni pasar. Gerakan petani bukanlah bersifat restoratif tetapi mencari jalan untuk menjinakkan kapitalisme, lalu bekerja di dalam kapitalisme yang telah dijinakkan itu; Para pemimpin gerakan dan pengikutnya memerankan diri sebagai entrepreneur politik. Mempraktekkan peran ini terbukti mampu memberi mereka imbalan individual.
Selain Scott dan Popkin, ada Jeffery Paige (1975) dengan karyanya Agrarian Revolution, Social Movement and Export Agriculture in the Underdeveloped World yang tidak memperdulikan soal-soal moralitas, rasionalitas dan kait-mengait yang diuraikan kedua mereka itu. Pada pokoknya, Paige menabalkan analisis kepentingan kelas, pada situasi pedesaan yang diistilahkan menjadi “objective vector of capitalism”. Ia merujuk pada situasi apa yang nyata orang-orang desa lakukan dalam proses kerja, misalnya organisasi dan struktur kerja, ekologi produksi, dan lainnya. Paige secara khusus memperkarakan kondisi-kondisi yang memungkinkan pemberontakan agraria dan bentuk-bentuk tampilan lain dari ekspresi politik petani itu. Model analisa kelas Marxis yang menjadi rujukan Paige (1975) ini memperkirakan kemungkinan gerakan petani akan terjadi manakala: (i) suatu kelas penguasa tanah berkuasa melulu atas dasar penguasaan tanahnya; (ii) para petani dihambat kemungkinan mobilitas naik ke atas; (iii) kondisi kerja dan karakter pekerjaan para petani memungkinkan pembentukan solidaritas. Dengan penelitian yang mendalam atas pengalaman di Peru, Anggola dan Vietnam, Paige (1975) mampu merumuskan corak-corak politik rakyat pedesaan, misalnya yang diistilahkannya dengan rebellion, reform labor movement, dan reform commodity movement, berdasarkan tipe-tipe corak struktur kelas agraria yang melingkupi gerakan-gerakan itu.[3]
Begitulah ringkasan dan perbandingan argumen Scott, Popkin dan Paige dalam menerangkan gerakan petani (lihat bagan 2).
Bagan 2. Teori-teori revolusi petani dan batas-batas pemberlakuannya
Pengarang | Definisi | Kasus yang dianalisis | Argumen utama | Kasus-kasus dimana teori itu tidak dapat diberlakukan |
Scott | Moral Ekonomi | Vietnam dan Burma masa Kolonial (sepanjang masa Depresi Besar) | Bangunan-bangunan komunitas tradisional menetapkan bentuk penyedotan surplus yang dapat diterima secara budaya. Apabila penetrasi pasar atau negara mengubah bentuk penyedotan dalam arti yang dalam ukuran tahunan meluluh-lantakkan jaminan kolektif akan makanan, maka dengan sendirinya melanggar etika subsistensi dan kemudian menjadi pemberontakan. | § Konteks masyarakat yang sangat terindividualisasi dan modern. § Tempat dan saat transisi kapitalis terkonsolidasi. § Saat struktur komunitas lemah.
|
Popkin | Minimalis | Vietnam (1940 s/d 1950)*) | Para pembonceng (free-rider) dilihat sebagai rintangan utama untuk mobilisasi petani. Mereka sukses dapat ditanggulangi melalui kombinasi kepemimpinan yang efektif, insentif-insentif individual, dan kredibilitas. janji-janji akan keuntungan masa depan yang dibuat para pekerja organisasi. | § Sewaktu perhitungan untung-rugi individu yang sederhana itu bukanlah model pengambilan keputusan petani. § Sewaktu para pembonceng (free-rider) tidak menentukan pola-pola aksi-aksi kolektif. |
Paige | Marxisme | Vietnam dan Guate- mala 1940an s/d 1980an
| Hasil-hasil yang revolusioner dan non-revolusioner dilihat sebagai hasil dari ragam hubungan-hubungan kelas agraria.Secara khusus, para petani pemilik tanah tidak dapat menghasilkan revolusi, yang sesungguhnya merupakan hasil dari kombinasi penggarap yang bergantung pada upah dan kaum elite yang bergantung pada tanah. | § Sewaktu struktur kelas agraria tidak terkonsolidasi yang baik. § Sewaktu transisi kapitalis yang beorientasi eksport tidak sempurna.
|
*) Sementara Popkin mendiskusikan organisasi sosial dan politik Vietnam jauh ke belakang masa jaman pra-kolonial, contoh-contoh nyata mobilisasi yang dia analisa antara waktu tahun 1940an dan 1950an. Disadur dari: Marcus J. Kurts, 2000, “Understanding Peasant Revolution: From Concept to Theory and Case”, Theory and Society 29: Kluwer Academic Publishers, halaman 93-124, 2000, halaman 104. |
[1] Dahulu, artikel ini pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Hendry A. Landsberger ”Pergolakan Petani, Beberapa Tema dan Variasinya”, Hendry A. Landsberger dan Yu G. Alexandrov, Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial, terjemahan Aswab Mahasin, Jakarta: CV. Rajawali, 1981.
[2] Buku James Scott, The Moral Economy of Peasant ini telah dipublikasi dalam bahasa Indonesia menjadi Moral Ekonomi Petani, Jakarta, LP3ES, 1985.
[3] Buku klasik Jeffery M. Paige, Agrarian Revolution ini telah diterjemahkan menjadi Revolusi Agraria, Gerakan Sosial dan Pertanian Ekspor di Negara-negara Dunia Ketiga, Pasuruan, Pedati, 2004.
No comments:
Post a Comment