Mensiasati Otonomi Daerah Demi Pembaharuan Agraria
Penulis:
R. Yando Zakaria
Danie Munggoro
Muslich Ismail
Noer Fauzi
Abdon Nababan
Hendro Sangkoyo
Dadang Juliantara
Penerbit
Jakarta: Konsorsium Pembaruan Agraria, 2001;
Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2001.
viii + 187 pg; 17 cm
ISBN 979-95482-3-3
___________________________________________________________
Kata Pengantar
Buku ini lahir dari sejarah kolektif para pengarangnya bersama-sama memfasilitasi Pelatihan untuk Pembentuk Kebijakan Daerah di lima kabupaten (Sanggau dan Bengkayang di Kalimantan Barat, Toraja dan Donggala di Sulawesi Tengah, dan Garut di Jawa Barat) yang berlangsung sepanjang tahun 2000 hingga 2001. Meskipun masing-masing mempunyai latar belakang daerah dan kebudayaan yang berbeda, namun ada 3 (tiga) topik diskusi yang sama, yakni soal Desa, soal Agraria dan soal Pemerintahan Daerah. Ketiganya diikat oleh persoalan gawat yang dihadapi rakyat masing-masing, yakni ancaman keselamatan dan kesejahteraan rakyat, merosotnya pelayanan alam, dan mandegnya produktivitas rakyat.
Muara dari Pelatihan untuk Pembentuk Kebijakan Daerah ini adalah belajar bersama untuk mengurus pemenuhan syarat-syarat sosial dan ekologi dari keberlangsungan hidup mayoritas rakyat melalui apa yang disebut sebagai Pembaruan Agraria. Awal mula gagasan pelatihan ini dimulai dari membesarnya kewenangan pemerintah daerah akibat pelaksanaan kebijakan Otonomi Daerah yang mulai diberlakukan pada 1 Januari 2001. Kebijakan Otonomi Daerah memang membuka ruang yang lebih lapang bagi partisipasi rakyat. Dengan demikian rakyat mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk mempengaruhi suatu kebijakan dan menolaknya jika kebijakan tersebut merugikan dirinya. Namun jika tidak melibatkan rakyat dalam proses pembuatan kebijakan, semangat demokratis yang hendak ditumbuhkembangkan oleh kedua UU tersebut hanya terhenti sebagai kata-kata belaka. Rakyat kembali menjadi korban dan tidak memperoleh apa-apa.
Buku ini adalah suatu tanda dari proses belajar itu, sekaligus merupakan tanggung jawab para penulisnya untuk menyebarluaskan pikiran-pikiran dan keyakinan-keyakinan yang dihasilkannya. Karena itu, isi buku ini sama sekali tidak dapat dianggap sebagai dogma yang wajib ditelan mentah-mentah, dihafal dan diendapkan pengertian-pengertiannya. Melainkan, para penulis sangat gembira bila isi buku ini dihadapkan pada kenyataan hidup dimana para pembaca yang budiman bekerja. Dapatlah buku ini dianggap sebagai lanjutan dari buku Noer Fauzi dan R. Yando Zakaria, Men-siasat-i Otonomi Daerah, Panduan Fasilitasi Pengakuan dan Pemulihan Hak-hak Rakyat (Yogyakarta: Insist Press bekerja sama dengan Konsorsium Pembaruan Agraria, 2001) yang telah dijadikan pedoman pelatihan yang dimaksud di atas.
Buku berjudul Men-siasat-i Otonomi Daerah demi Pembaruan Agraria, Masuk dari Pintu yang Tersedia, Keluar dari Pintu yang Baru ini tidak mungkin terwujud tanpa budi baik dari teman-teman yang telah mendukung terwujudnya proses belajar kami semua: (i) para pengelola BSP Kemala dan Yayasan Ford yang menyediakan logistik belajar; (ii) Teman-teman belajar sesama aktivis di Yayasan Pancur Kasih dan Lembaga Bela Benua Talino di pontianak, Yayasan Pendidikan Rakyat dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Bantaya di Palu, Wahana Lestari Persada (Walda) di Toraja dan Yayasan Pengembangan Masyarakat (Yapemas) di Garut; (iii) Para Pengurus Daerah, baik dari DPRD maupun Pemerintah Kabupaten Sanggau, Bengkayang, Toraja, Donggala dan Garut yang menjadi teman belajar selama pelatihan dan selanjutnya; (iv) Para staff pendukung di Badan Pelaksana Konsorsium Pembaruan Agraria di Bandung yang menyediakan tenaganya melebihi waktu kerjanya; dan tak dapat dilupakan (v) Istri-istri dan anak-anak kami yang ikut berkorban akibat perbuatan suami dan ayah mereka memilih jalan belajar jauh-jauh ke rumah orang.
Selamat masuk ke dalam buku ini melalui pintu yang tersedia dan kemudian keluar dari pintu yang baru.
Sekian.
Bandung, Oktober 2001
___________________________________________________________
Daftar Isi
Kata Pengantar ~~~ v
Daftar Isi ~~~ ix
Ø Celaan Pada Ajaran Sentralistik-Otoritarian Sebagai Pemula Jaman Otonomi Daerah ~~~ 1
Ø Peralihan Kesetiaan, Main-main atau Sungguh-sungguh? ~~~ 19
Ø Pemerintahan Daerah, Pemberi Perintah atau Pengurus Rakyat? ~~~ 33
Ø Otonomi Asli, Pemberian atau Bawaan? ~~~ 51
Ø Politik Agraria dan Pembangunan, demi Modal, Negara atau Rakyat? ~~~ 67
Ø Pembaruan Agraria, Jalan Lama atau Jalan Baru? ~~~ 83
Ø Membongkar Bangunan Lama untuk Memasang Fondasi Baru, Dari Bawah atau Dari Atas? ~~~ 121
Ø Agenda Belajar Kaum Pembaharu, Khayalan atau Niatan? ~~~ 145
Ø Jalan Otonomi, Jalan emansipasi kah? ~~~ 167
Daftar Pustaka ~~~ 181
___________________________________________________________
Pembukaan: Celaan pada Ajaran Sentralistik-Otoritarian sebagai Pemula Jaman Otonomi Daerah
“Tatanan kehidupan politik yang dibangun selama tiga puluh dua tahun telah menghasilkan stabilitas politik dan keamanan. Namun demikian, pengaruh budaya masyarakat yang sangat kental corak paternalistik dan kultur neo-feodalistiknya mengakibatkan proses partisipasi dan budaya politik dalam sistem politik nasional tidak berjalan sebagaimana mestinya. (…) Kekuasaan eksekutif yang terpusat dan tertutup di bawah kontrol lembaga kepresidenan mengakibatkan krisis struktural dan sistemik sehingga tidak mendukung berkembangnya fungsi berbagai lembaga kenegaraan, politik, dan sosial secara proporsional secara optimal. Terjadinya praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme di masa lalu adalah salah satu akibat dari keterpusatan dan ketertutupan kekuasaan. (…) Mekanisme hubungan pusat dan daerah cenderung menganut sentralisasi kekuasaan dan pengambilan keputusan yang kurang sesuai dengan kondisi geografis dan demografis. Keadaan ini menghambat penciptaan keadilan dan pemerataan hasil pembangunan dan pelaksanaan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. (…) Pengembangan kualitas sumber daya manusia dan sikap mental serta kaderisasi pemimpin bangsa tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pola sentralistik dan neofeodalistik mendorong mengalirnya sumber daya manusia yang berkualitas ke pusat sehingga kurang memberi kesempatan pengembangan sumber daya manusia di daerah. Akibatnya terjadi kaderisasi dan corak kepemimpinan yang kurang memperhatikan aspek akseptabilitas dan legitimasi”.
Kalimat-kalimat di atas sama sekali bukan dipetik dari sebuah pamflet atau selebaran gelap yang dibuat oleh orang-orang yang berniat menjelek-jelekkan rezim politik-ekonomi yang lampau. Melainkan kalimat yang dipetik dari TAP MPR RI No. X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.
Jelas sekali, itu adalah celaan terhadap rezim yang lampau. Pada masa Orde Baru, demikian ‘label politik’ rezim yang lampau itu, mustahil kiranya kita men-dapatkan informasi yang berisi celaan seperti itu. Bahkan hingga ketika tanda-tanda krisis (moneter dan ekonomi) nasional sedang bergulir sekalipun. Dapat dikatakan bahwa tidak ada pula yang menyangka bahwa krisis tersebut akan berkembang menjadi situasi kritis multidimensional, yang pada akhirnya mampu membuka gerbang perubahan: tumbangnya rezim sentralistik-otoriter Orde Baru1.
Yang penting dipelajari dari pengalaman rezim Orde Baru adalah: Pertama, Orde Baru adalah rezim yang lahir dari sebuah situasi krisis. Legitimasi awal Orde Baru adalah kondisi darurat – yang dengan itu dibutuhkan dan “dibenarkan” adanya tindakan-tindakan paksa dengan kekerasan. Akibatnya, kekuatan utama penyangga pemerintahan tidak lain dari militer. Suatu kekuasaan berbasis militer tentu akan membutuhkan biaya yang besar. Bukan saja biaya dalam arti operasional, melainkan juga biaya dalam arti bencana yang dialami oleh rakyat. Termasuk di dalamnya akibat tindakan-tindakan kekerasan, yang ironisnya, dibenarkan oleh produk hukum. Masa itu memang ditandai oleh semacam kekebalan politik dan hukum. Kedua, Orde Baru adalah rezim dengan dukungan kuat dari kekuatan anti-perubahan struktural, yakni kekuatan kapitalisme global. Gagasan pembangunan yang dibawa Orde Baru tidak lain dari baju baru dari badan lama: kapitalisme. Dengan demikian, arah dasar dari mesin kekuasaan tidak lain adalah memberikan jalan seluas-luasnya bagi pertumbuhan modal atau pertumbuhan ekonomi kapitalis.
Kedua hal ini sudah barang tentu membawa akibat yang sangat besar pada corak hubungan negara, modal dan rakyat. Penyelenggara kekuasaan negara dengan segera menjelma menjadi kekuatan baru, yang bisa menjadi independen di hadapan rakyat, bahkan anti partisipasi rakyat. Negara bukan saja membatasi sejauh mungkin partisipasi tetapi juga memandulkan semua saluran aspirasi rakyat. Karena tak ada kontrol, pada gilirannya, memberi ruang hidup bagi ekonomi biaya tinggi dan sekaligus merebaknya KKN (Kolusi, Korupsi, Nepotisme). Kekuasaan pada akhirnya menjadi alat untuk “mencari uang” yang –lagi-lagi– ironisnya menjadi kejahatan yang dilindungi dan dibenarkan oleh hukum.
Bersamaan dengan itu, sistem pemerintahan disusun dengan tidak memperbesar ruang bagi daerah untuk menata dirinya sendiri, sebagaimana yang diatur oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah. Melainkan, sebaliknya, daerah selalu dicurigai sebagai berpotensi mengadakan pemisahan diri. Oleh sebab itu, meskipun otonomi daerah diagendakan, namun ia tetap dalam rangka menjadikannya sebagai kepanjangan tangan pemerintahan pusat. Hal ini bukan saja memperpanjang proses birokrasi, tetapi juga menjadi faktor penghambat bagi percepatan integrasi daerah ke dalam ekonomi global. Resistensi daerah dan issue ketidakadilan yang menguat, menjadi masalah tersendiri: meningkatkan biaya ekonomi dan sekaligus menciptakan ruang yang tidak kondusif bagi kegiatan-kegiatan yang produktif.
Kesadaran akan kesalahan-kesalahan masa lampau inilah yang menggerakkan para anggota MPR RI memerintahkan pelaksanaan suatu agenda yang kita kenal dengan nama Otonomi Daerah, yang pada hakekatnya adalah salah satu semangat jaman (zeitgeist), dengan menjadikannya sebagai salah satu agenda reorganisasi Negara Kesatuan Republik Indonesia pasca rezim Orde Baru. Agenda Otonomi Daerah ini memperoleh alas yang sangat tepat ketika dikaitkan dengan kenyataan-kenyataan berikut ini:2
Pertama, semakin terkuaknya ke permukaan berbagai keterbatasan dan persoalan yang melekat dan atau sebagai sampingan dari tata cara pengelolaan politik dan pemerintahan yang bercorak hyper-sentralis dalam 32 tahun terakhir ini. Keter-gantungan daerah-daerah ke pusat yang berjalan beriringan dengan hilangnya kemandirian daerah-daerah, dominannya instruksi pusat yang dibarengi dengan matinya inisiatif daerah-daerah, terjadinya uniformitas secara eksesif yang berjalan bersisian dengan memudarnya kemajemukan dan marginalisasi kultur dan nilai-nilai daerah, terjadinya eksploitasi sumber daya daerah secara eksesif demi kepentingan pusat yang berjalan bersamaan dengan terjadinya kemunduran kehidupan sosial-ekonomi daerah-daerah, dan masih banyak lainya. Ini semua merupakan contoh-contoh yang menyertai penyelenggaraan pemerintahan dan politik yang hyper-sentralistis selama sekian lama.
Kedua, hal pertama di atas sebenarnya merupakan refleksi dari sebuah kecenderungan global, yakni bangkrutnya model pengelolaan kehidupan sosial, ekonomi dan politik yang bercorak sentralistis yang mendominasi model pembangunan di rata-rata negara dunia ketiga sejak tahun 1970-an. Meluasnya kesenjangan sosial dan kesenjangan antardaerah yang terungkap baik lewat semakin terkonsentrasinya penguasaan alat-alat produksi dan aset-aset ekonomi di tangan sejumlah kecil daerah dan kelompok masyarakat maupun lewat terjadinya penggelembungan kemiskinan di sebagian daerah dan masyarakat menyebabkan kedigdayaan model sentralistik yang sekian lama dipercaya sebagai mesin penyebaran kemakmuran dalam sebuah masyarakat kehilangan kegayuhannya.
Ketiga, terjadinya perubahan secara dramatis politik domestik Indonesia dari rezim otoritarianisme ke arah pemujaan terhadap rezim demokratik. Pergeseran rezim ini menyebabkan pula terjadinya pergeseran mendasar dalam masyarakat. Otoritarianisme yang mengunggulkan konsentrasi dan sentralisasi kekuasaan yang merupakan prefensi lama harus berhadapan dengan tuntutan demokrasi yang berangkat dari tesis tentang penyebaran kekuasaan yang kini menjadi preferensi utama masyarakat.
Keempat, gejala di atas berlangsung dalam lingkungan politik internal yang ditandai oleh memudarnya kapasitas pusat untuk mempertahankan model sentralistik sebagai akibat dari memudarnya kemampuan dua instrumen penegakan politik sentralisasi, yakni politics of sticks dan politics of carrot. Hancurnya basis material negara sebagai akibat dari krisis ekonomi berkepanjangan dan KKN menyebabkan pusat kehilangan sumber daya financial (material) untuk membeli dan mempertahankan loyalitas dan kepatuhan daerah-daerah kepada Jakarta. Sebuah syarat yang selama sekian lama mudah dipenuhi Orba justru karena kuatnya topangan penghasilan dari eksplorasi dan eksploitasi SDA dan bantuan LN. Dengan ini, operasionalisasi politics of carrots menjadi mustahil untuk diwujudkan. Sementara, pengungkapan kepermukaan aneka pathology yang melekat dalam militer membuat tentara sebagai instrumen politics of sticks kehilangan landasan moral, politis dan legitimasi untuk berfungsi sebagai kekuatan pemaksa kepatuhan dan loyalitas daerah-daerah. Bahkan, lebih lagi, berbagai penyimpagan tentara terutama yang berkaitan dengan pelanggaran HAM telah menjadi energi pembenar bagi semakin kuatnya penentangan terhadap otoritas Jakarta.
Kelima, bangkit dan semakin meluasnya gerakan ethno-nationalism di berbagai daerah sebagai bagian dari kesadaran identitas/kultural. Kebijaksanaan-kebijaksanaan Jakarta yang selama sekian lama lebih memihak pusat dan merugikan daerah-daerah telah berakibat pada terjadinya degradasi pemahaman terhadap Jakarta. Jakarta tidak lagi dimaknai sebagai “pusat” bagi setiap daerah, tetapi telah mendapatkan status primordialnya sebagai identik dengan “Jawa”. “Jakarta adalah representasi Jawa”. Akibatnya, terjadi perluasan penentangan terhadap Jakarta yang telah dirumuskan sebagai kekuatan “kolonial”. Meluasnya pengunaan terminologi semisal intercolonialism, kolonialisme Jawa, atau Jawanisasi, adalah contoh-contoh konkret dari gejala di atas. Secara positif kecenderungan ini diungkapkan lewat keyakinan daerah-daerah mengenai kemampuan untuk mengelola diri sendiri.
Keenam, perubahan sistem pemilu dan kepartaian yang telah menempatkan “daerah” sebagai pusat legitimasi aktivitas berpemilu dan berpartai kita. Penempatan daerah lewat pem-berian legitimasi kepada cabang partai untuk berfungsi sebagai kekuatan penentu proses rekruitmen politik –terlepas dari fakta hal ini masih berjalan tersendat-sendat– dan lewat penempatan “kecamatan” dan Daerah Tingkat II sebagai “distrik” pemilu telah memberikan energi baru bagi bangkitnya kembali politik lokal secara signifikan.
Pertanyaannya sekarang adalah: perubahan apa yang dapat diharapkan dengan politik otonomi daerah yang baru itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu, ada baiknya jika kita mengkaji makna ‘otonomi daerah’ itu sendiri.
Kata “otonomi” pada hakekatnya berarti mengatur rumah tangga sendiri. Kata otonomi itu kemudian didampingkan dengan kata “daerah”. Dengan otonomi daerah, karenanya, ada kehendak untuk memperbaharui hubungan pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah. Yaitu melalui perubahan corak hubungan yang semula titik tekannya berada pada azas-azas dekonsentrasi dan medebewind menjadi berpokok pada azas desentralisasi (lihat Bagan 1).
Itu berarti bahwa, dengan corak hubungan yang baru itu, hal-hal yang berkaitan dengan sifat pemberian kewenangan dan implikasinya pada perbedaan kewenangan antara pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/kota juga berubah coraknya.
Sejatinya, dengan perubahan itu, yakni dari dominan dekonsentrasi dan medebewind yang sejatinya merupakan ekspresi dari sentralisasi pembuatan kebijakan menjadi lebih dominan desentralisasi, jarak antara rakyat dengan policy makers (pembuat kebijakan) menjadi akan lebih dekat. Dengan itu diharapkan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan juga akan menjadi lebih sesuai dengan hajat hidup rakyat. Lebih jauh lagi, diharapkan akan semakin terbuka pula akses rakyat dalam pembuatan kebijakan-kebijakan yang menyangkut kehidupannya.
| Bagan 1: Tiga Jenis Hubungan Pusat-Daerah | ||||
| Azas | Sifat Pemberian Kewenangan | Perbedaan Kewenangan Pada Pemerintah | ||
| Pusat | Propinsi | Kabupaten/Kota | ||
1 | Desentralisasi | Penyerahan | Pengawasan Pengendalian Pertanggungjawaban umum | Koordinasi Pengawasan | Kebijakan Perencanaan Pelaksanaan Pembiayaan (kecuali gaji pegawai) |
2 | Dekonsentrasi | Pelimpahan | Kebijakan Perencanaan Pembiayaan Pengawasan | Koordinasi | Menunjang Melengkapi |
3 | Pembantuan (medebewind) | Pengikutsertaan | Kebijakan Perencanaan Pelaksanaan Pembiayaan Pengawasan | Koordinasi | (membantu pelaksanaan) |
Diadopsi dari Ateng Syarifuddin, dalam Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, LP3ES, 1998, hal. 94. |
Pemahaman tentang pentingnya desentralisasi, sebagaimana dimaksud dalam uraian di atas, telah menjadi wacana umum. Secara formal ditandai oleh adanya TAP MPR RI Nomor XV/MPR/1998, UU 22/1999, UU 25/99 hingga PP No. 25/2000. Di dalam berbagai perangkat peraturan-perundangan itu desentralisasi didudukkan sebagai formula yang dipertentangkan dengan sentralisasi kewenangan yang diwujudkan melalui pola dekonsentrasi dan medebewind. Model pengelolaan politik dan pemerintahan yang hyper-centralistic ini pada era reformasi menjadi kehilangan kapasitasnya sebagai akibat dari memudarnya kemampuan dua instrumen penegaknya. Masing-masing adalah politics of sticks dan politics of carrot. Hancurnya basis material negara sebagai akibat dari krisis ekonomi berkepanjangan dan KKN menyebabkan pusat kehilangan sumber daya finansial (material) untuk membeli dan mempertahankan loyalitas dan kepatuhan daerah kepada Jakarta. Syarat-syarat yang sejak sekian lama mudah dipenuhi Orde Baru, terutama karena kuatnya topangan penghasilan dari eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam dan hutang luar negeri, tak dapat dipenuhi lagi. Dengan demikian operasionalisasi politics of carrot menjadi mustahil untuk diwujudkan. Sementara itu, pengungkapan aneka pathology yang melekat dalam militer membuat tentara sebagai instrument politics of sticks kehilangan landasan moral, politis dan legitimasi untuk berfungsi sebagai kekuatan pemaksa kepatuhan dan loyalitas daerah. Bahkan, berbagai penyimpangan tentara terutama yang berkaitan dengan pelanggaran HAM telah menjadi pembenar bagi semakin kuatnya penentangan terhadap otoritas Jakarta3.
Seperti telah disebut di atas, apa yang didiskusikan di atas sebenarnya merupakan salah satu agenda reorganisasi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Agenda itu telah menjadi pilihan yang tidak mungkin dicabut kembali alias suatu keniscayaan. Sama sekali tidak tersedia point of no return (jalan untuk mundur). Meskipun segera harus diberikan catatan bahwa konjungtur politik, baik pada pemerintah pusat maupun pemerintahan daerah di masa kini, belum menjanjikan iklim perubahan yang lebih mendasar.
Keseluruhan uraian buku kecil ini berangkat dari anggapan bahwa keberlangsungan Negara Republik Indonesia akan ditentukan oleh seberapa jauh Negara ini mampu menata ulang hubungannya dengan rakyat. Negara ini tidak akan bertahan –tanpa tindakan-tindakan politik yang represif– jika tidak didukung oleh rakyat yang hidup. Terkandung keinginan, buku kecil ini adalah suatu undangan bagi perubahan tentang cara pikir yang menyangkut interaksi antara Negara dan Masyarakat: dari yang semula bercorak state centered approach (berpusat pada Negara) menjadi cara pikir yang society centered approach (bepusat pada rakyat).
Yang diperlukan sekarang adalah –di satu pihak– mengubah sosok negara tak lebih sebagai suatu sistem pengurusan dan administrasi kehidupan bersama yang lentur sejalan dengan dengan mandat yang diberikan oleh rakyatnya. Hal ini hanya bisa terjadi manakala ada suatu kesadaran atas kekeliruan praktek Negara akibat ‘sesat pikir’ tentang (konsep) Negara itu sendiri, yang dalam perjalanan pengalaman Indonesia, telah menjadi sosok yang semakin menjauh dari jangkauan dan kepentingan rakyat.
Di pihak lain, dari sisi rakyat sendiri, agaknya diperlukan sebuah upaya yang lebih dari upaya-upaya hari kemarin. Yakni suatu upaya untuk mengembalikan ingatan rakyat akan hak dan kewajibannya atas keberadaan Negara. Termasuk di dalamnya kesadaran kritis dan keyakinan bahwa mereka lah sesungguhnya subyek dari seluruh perbuatan Negara itu. Rakyat yang ditempatkan dan/atau menempatkan diri hanya sebagai objek perbuatan-perbuatan negara adalah cerita hari kemarin: suatu masa lalu yang harus ditinggalkan.
Undangan ini makin menjadi suatu keniscayaan jika mengingat situasi aktual di mana Rakyat dan Negara Indonesia sedang terperangkap dalam kapitalisme global. Masalah dasar yang dihadapi oleh kapitalisme global, yang sekarang dihaluskan dengan istilah globalisasi, sesungguhnya tidak berubah dari watak lamanya, yakni bagaimana menciptakan situasi dan kondisi yang mendukung kapitalisme global itu sendiri. Ketika negara (baca: pemerintahan) makin dirasakan tidak mendukung, maka pilihannya menjadi “bagaimana mengubahnya menjadi kekuatan pendukung proses integrasi dalam kapitalisme global”. Karenanya, apa yang disebut-sebut sebagai “Reformasi”, dalam konteks ini, sesungguhnya tidak boleh dibaca sebagai upaya yang serta merta memungkinkan pembaruan yang mendasar bagi kehidupan rakyat, melainkan tak lebih sebagai upaya merubah watak pemerintahan –sebagai salah satu penggerak perubahan yang diinginkan– menjadi market friendly. Yaitu suatu sistem pemerintahan yang ramah terhadap kepentingan pasar yang sejatinya dikuasai oleh para pemodal raksasa. Karenanya pula, tidak menjadi aneh jika banyak pejabat pemerintahan menyuarakan kepentingan pasar dengan bungkus kepentingan rakyat.
Kecenderungan yang demikian perlu mendapatkan perhatian yang serius. Sebab,
“Apa yang biasanya terjadi adalah suatu proses sosial yang agak kompleks di mana ideologi menjembatani antara kepentingan-kepentingan dengan kebijakan. Suatu ideologi adalah sistem-kepercayaan –seperangkat teori, kepercayaan, dan mitos dengan sejumlah pertalian di dalamnya– yang berupaya menguniversalkan kepentingan suatu sektor sosial tertentu kepada masyarakat seluruhnya. Dalam ideologi pasar, sebagai contoh, membebaskan kekuatan pasar dari hambatan-hambatan negara dikatakan suatu usaha bagi kepentingan umum bukan hanya kalangan bisnis, tetapi juga bagi keseluruhan masyarakat”4.
Ekspresi kecenderungan yang demikian amatlah kasat mata. Terutama ditandai oleh adanya (i) tekanan internasional untuk menciptakan suatu tata peme-rintahan baru yang disebut dengan good governance dan memperkecil peran negara –dengan tekanan penurunan subsidi dalam segala bidang, serta penghapusan kegiatan negara yang berorientasi sosial; (ii) derasnya perusahaan-perusahaan raksasa asing untuk berinvestasi, terutama di bidang yang memerlukan tanah dan sumber daya alam yang kaya, seperti pada sektor pertanian, pertambangan, perkebunan dan kehutanan; (iii) dirancangnya dan kemudian dijalankannya program-program pemerintah berbasis hutang (debt related programs), yang secara langsung maupun tidak, menyediakan fasilitas yang subur untuk melayani kepentingan investasi dalam negeri maupun asing, dan (iv)ikatan-ikatan perjanjian internasional yang memaksa pemerintahan, termasuk Indonesia, untuk menghilangkan halangan arus transaksi pasar.
Singkat kata, hendak dinyatakan di sini bahwa tugas-tugas utama pemerintahan –baik pemerintahan pusat maupun daerah– untuk meng-urus-i rakyat, terutama golongan-golongan marjinal, digerogoti sedemikian rupa. Padahal terdapat masalah yang sangat serius, yakni membiarkan rakyat bertarung dalam arena yang sudah pasti akan kalahnya. Ketika krisis terjadi dan memperparah kondisi kehidupan kelompok dan atau golongan-golongan marjinal, layanan pemerintahan tetap saja dijalankan layaknya melayani urusan-urusan yang bersifat likely business (bisnis belaka).
Gambar singkat di atas pada dasarnya hendak menunjukkan adanya perubahan-perubahan penting di tingkat global. Termasuk perubahan watak pemerintahan dengan maksud mengubah tata ekonomi-politik lama, yang dipandang sudah tidak memadai, dan digantikan dengan tata baru. Tatanan baru itu, yang sekarang diistilah dengan nama neo-liberalisme, tak lain adalah suatu tatanan global yang disuarakan oleh transnasional corporations (perusahaan-perusahaan transnasional), negara-negara Eropa dan Amerika Utara, dan badan-badan dunia seperti Bank Dunia, International Monetary Fund (IMF) dan World Trade Organisation (WTO).
Buku ini tak hendak mengurai anatomi dari mesin-mesin neo-liberalisme itu sendiri, melainkan hendak mengajukan suatu kerangka kerja bagi (calon-calon) penggerak Pembaruan Agraria (agrarian reform) dalam konteks reorganisasi pemerintahan daerah, yang konon makin menguat dengan munculnya UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999. Karenanya buku ini juga undangan bagi para pelaku Otonomi Daerah. Baik Pemerintah Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Organisasi Non-Pemerintah, Perguruan Tinggi, Tokoh-tokoh Masyarakat, dan terutama sekali rakyat yang berkepentingan langsung dengan kebijakan-kebijakan politik itu. Yakni undangan untuk men-siasat-i Otonomi Daerah sedemikian rupa, sehingga para pihak dimaksud mampu meletakkan fondasi bangunan masyarakat yang mantap melalui penataan ulang penguasaan dan pemanfaatan tanah serta sumber daya alam yang ada di daerahnya masing-masing.
Catatan Akhir:
1 Bahkan pengamat sosial-politik Indonesia sekaliber Prof. William R. Lidle pun terkesan pesimis akan kemungkinan jatuhnya rezim Orde Baru. Silahkan simak beberapa tulisan dan hasil wawancaranya di berbagai media massa yang terbit sekitar pertengahan tahun 1997.
2 Cornelis Lay, “Pemberdayaan Lembaga-lembaga Legislatif Daerah dalam rangka Otonomi Daerah”, dalam WACANA, Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, Edisi 5 Tahun II, th. 2000. Yogyakarta: Institute for Social Tranformation/INSIST, 2000.
3 Cornelis Lay (2000), Op Cit.
4 Walden Bello et al. (1994), Dark Victory, The United States, Structural Adjustment and Global Poverty, Amsterdam, The Transnational Institute, hal.8.
___________________________________________________________
I. Peralihan Kesetiaan, Main-mau, atau Sungguh-sungguh?
Peralihan kesetiaan dari (suatu) paradigma ke paradigma (lain) adalah suatu pengalaman perobahan keyakinan yang tidak dapat dipaksakan.
(Thomas S. Kuhn, 1970)1
TAP MPR RI No. XV/MPR/1998 tentang Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan; serta Pembagian Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, adalah dasar hukum pertama yang meletakkan prinsip-prinsip baru dalam (politik) otonomi daerah. Dinyatakan bahwa:
Penyelenggaraan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah (Pasal 1);
Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokratisasi dan memperhatikan keanekaragaman daerah (Pasal 2);
Pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional antara pusat dan daerah dilaksanakan secara adil untuk kemakmuran masyarakat daerah dan bangsa secara keseluruhan (Pasal 3, ayat 1), dan pengelolaan sumber daya alam dilakukan secara efektif dan efisien, bertanggung jawab, transparan, terbuka, dan dilaksanakan dengan memberikan kesempatan yang luas kepada pengusaha kecil, menengah dan koperasi (ayat 2);
Perimbangan keuangan pusat dan daerah dilaksanakan dengan memperhatikan potensi daerah, luas daerah, keadaan geografis, jumlah penduduk, dan tingkat pendapatan masyarakat daerah (Pasal 4);
Pemerintah Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan (Pasal 5);
Penyelenggaraan otonomi daerah; Pengaturan, pembagian, pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan; dan Perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka mempertahankan dan memperkukuh Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan berdasarkan asas kerakyatan berkesinambungan yang diperkuat dengan pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan masyarakat (pasal 6).
Seluruh ketentuan ini lebih lanjut diatur melalui Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Kedua UU ini menempatkan Otonomi Daerah secara utuh pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, yang dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 berkedudukan sebagai Kabupaten Daerah Tingkat II dan Kotamadya Daerah Tingkat Il.
Argumen yang membenarkan “pemerintahan daerah sebagai alat dari pemerintahan pusat” sudah tak diterima lagi. Bahkan nyata-nyata telah dicela. Argumen yang dicela itu adalah bagian Penjelasan UU nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah. Pada bagian ini tertulis:
e. Prinsip yang dipakai bukan lagi “otonomi yang riil dan seluas-luasnya” tetapi “otonomi yang nyata dan bertanggung jawab.” Dengan demikian prinsip otonomi yang rill atau nyata tetap merupakan prinsip yang harus melandasi pelaksanaan pemberian otonomi kepada Daerah. Sedang istilah “seluas-luasnya” tidak lagi dipergunakan karena berdasarkan pengalaman selama ini istilah tersebut ternyata dapat menimbulkan kecenderungan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan Negara Kesatuan dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada Daerah sesuai dengan prinsip-prinsip yang digariskan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara. Istilah “nyata” dan “bertanggung jawab” kiranya akan menjadi lebih jelas di dalam penjelasan-penjelasan selanjutnya;
f. Maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada Daerah sudah ditegaskan di dalam Garis-garis Besar Haluan Negara yang berorientasi pada pembangunan. Yang dimaksud dengan pembangunan di sini adalah pembangunan dalam arti yang luas, yang meliputi segala segi kehidupan. Jadi pada hakikatnya Otonomi Daerah itu lebih merupakan kewajiban dari pada hak, yaitu kewajiban Daerah untuk ikut melancarkan jalannya pembangunan sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan rakyat yang harus diterima dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab;
g. Garis-garis Besar Haluan Negara dengan tegas telah memberikan pengarahan-pengarahan yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan otonomi Daerah yang nyata dan bertanggung jawab. Pengarahan-pengarahan tersebut mencakup hal-hal sebagai berikut: (1) harus serasi dengan pembinaan politik dan Kesatuan bangsa; (2) harus dapat menjamin hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah atas dasar keutuhan Negara Kesatuan; (3) harus dapat menjamin perkembangan dan pem-bangunan Daerah. Dari pengarahan-pengarahan tersebut tampak dengan jelas perwujudan dari prinsip Otonomi Daerah yang nyata dan bertanggung jawab. Nyata, dalam arti bahwa pemberian otonomi kepada Daerah haruslah didasarkan pada faktor-faktor, perhitungan-perhitungan dan tindakan-tindakan atau kebijaksanaan-kebijaksanaan yang benar-benar dapat menjamin Daerah yang bersangkutan secara nyata mampu mengurus rumah tangga sendiri. Bertanggung jawab, dalam arti bahwa pemberian otonomi itu benar-benar sejalan dengan tujuannya, yaitu melancarkan pembangunan yang tersebut di seluruh pelosok Negara dan serasi atau tidak bertentangan dengan pengarahan-pengarahan yang telah diberikan, serasi dengan pembinaan politik dan kesatuan bangsa, menjamin hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta dapat menjamin perkembangan dan pembangunan Daerah. Kiranya dapat dimengerti bahwa istilah “otonomi yang seluas-luasnya” adalah tidak sesuai dengan jiwa pengarahan-pengarahan tersebut, terutama ditinjau dari segi kesatuan bangsa dan keutuhan Negara Kesatuan;
h. Intisari keempat adalah bahwa pemberian otonomi kepada Daerah, dilaksanakan bersama sama dengan dekonsentrasi. Rumusan ini adalah sangat tepat dan secara prinsipiil berbeda dengan rumusan yang terkandung dalam penjelasan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XXI/MPRS/1966, dimana dekonsentrasi dinyatakan sebagai komplemen saja sekalipun dengan predikat “vital”. Dengan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab, asas dekonsentrasi bukan sekedar komplemen atau pelengkap terhadap asas desentralisasi, akan tetapi sama pentingnya dalam penyelenggaraan pemerintah di daerah. Apakah sesuatu urusan pemerintahan di daerah akan tetap diselenggarakan oleh perangkat Pemerintah (atas dasar dekonsentrasi) ataukah diserahkan kepada Daerah menjadi urusan otonomi (atas dasar asas desentralisasi) terutama didasarkan pada hasilguna dan dayaguna penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Oleh karena menurut Undang-Undang Dasar 1945 negara kita adalah Negara Kesatuan, maka dalam penyusunan Undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dan dalam melaksanakan usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan apa pun dalam rangka kenegaraan harus tetap dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
i. Dari uraian-uraian di atas jelaslah kiranya bahwa penyelenggaraan pemerintahan di daerah menurut Undang-undang ini dilaksanakan berdasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut: (1) pelaksanaan pemberian otonomi kepada Daerah harus menunjang aspirasi perjuangan rakyat, yakni memperkokoh Negara Kesatuan dan mempertinggi tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia seluruhnya; (2) pemberian otonomi kepada Daerah harus merupakan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab; (3) asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi, dengan memberikan kemungkinan pula bagi pelaksanaan asas tugas pembantuan; (4) pemberian otonomi kepada Daerah mengutamakan aspek keserasian dengan tujuan di samping aspek pendemokrasian; (5) tujuan pemberian otonomi kepada Daerah adalah untuk meningkatkan dayaguna dan hasilguna penyelenggaraan pemerintahan di daerah, terutama dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan terhadap masyarakat serta untuk meningkatkan pembinaan kestabilan politik dan kesatuan bangsa;
Seperti telah disinggung, di masa lampau, pilihan model hubungan Pusat dan Daerah, terlebih lagi hubungan Negara (baca: Pemerintahan) dan Rakyat, dengan sendirinya menimbulkan masalah yang nyata. Masalah itu tentu saja tidak hanya terletak pada pola hubungan kekuasaan di mana pemerintahan daerah sekedar menjadi alat pemerintahan pusat, melainkan terutama terletak pada akibat-akibat yang ditimbulkannya.
Pertama, adalah dominasi pemerintah pusat atas pemerintah daerah. Dalam corak hubungan yang demikian ini, kepentingan pemerintah daerah tidak boleh tidak sejalan atau tidak memiliki kesesuaian dengan kepentingan pemerintah pusat. Padahal terdapat fakta di mana pemerintah pusat menjadi penikmat terbesar dari hasil-hasil kekayaan. Hal ini setidaknya bisa dilihat dari ketimpangan pendapatan dan pembelanjaan pusat dan daerah. Sebagai contoh, untuk paruh pertama tahun 1990-an perbandingan antara pendapatan pusat dan daerah adalah 96:4, sedangkan perbandingan pembelanjaan 79:212. Dengan demikian, kekayaan lebih banyak tersedot ke pusat, dan daerah hanya memperoleh sedikit, dan itupun masih harus dibagi secara merata dengan berbagai daerah. Karenanya, jika situasinya akan diperbaiki, koreksi tidak hanya boleh diarahkan oleh semangat penertiban manajerial (teknis-administratif) hubungan pusat-daerah saja, melainkan juga didasari oleh tuntutan akan keadilan.
Kedua, suatu pola hubungan yang mengedepankan dan memposisikan pusat sebagai pihak “pemilik kebenaran”, pada dasarnya membawa masalah lain, yang tidak kalah seriusnya – yakni penyeragaman demi memudahkan pekerjaan pusat. Pemaksaan melalui penyeragaman ini dengan sendirinya menghancurkan lokalitas yang merupakan sendi-sendi keberlanjutan hidup rakyat, yang setidaknya terdiri dari (i) sistem penguasaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam yang telah bersesuaian dengan kebudayaan dan alam setempat; (ii) sistem produksi, konsumsi dan distribusi yang telah menjamin keberlangsungan hidup masyarakat; (iii) sistem norma - hukum adat yang mengatur keseimbangan keseharian kehidupan, termasuk di dalamnya sistem pengelolaan atau pengaturan kehidupan bersama (governance system); dan (iv) sistem reproduksi sosial yang mengatur regenerasi (‘tongkat estafet’) kebudayaan pada generasi berikutnya.
Ketiga, adanya ketimpangan dalam pola hubungan yang terbangun antara pemerintahan dan rakyat. Pada satu sisi pemerintahan memiliki posisi dominan, dan dengan sendirinya memiliki kewenangan yang mutlak, sehingga tidak merasa perlu untuk bertanya pada rakyat, apalagi memperkuat inisiatif rakyat. Di pihak pemerintahan sendiri terdapat kesenjangan yang besar antara pemerintah di satu sisi, dan badan perwakilan rakyat di sisi yang lain. Keberadaan perwakilan rakyat yang seharusnya bisa menjalankan fungsi menyerap, menyalurkan dan memperjuangkan aspirasi rakyat, dalam praktek menjadi sangat sulit bisa diwujudkan. Yang terjadi justru suatu situasi di mana badan perwakilan tidak lebih hanya sebagai “juru stempel”, pembenar (pemberi legitimasi) atas apa yang sudah diputuskan atau sikap yang diambil pemerintah (pemegang kekuasaan eksekutif atau penyelenggara pemerintahan, terutama dari Pusat). Rakyat akhirnya berposisi sebagai manusia pengungsi, bangsa asing, atau manusia terlantar, yang seakan-akan tidak punya hak untuk ikut campur, lebih-lebih sebagai pelaku utama. Kalangan cerdik pandai kadang membenarkan proses tersebut dengan menyebut bahwa massa rakyat dalam posisi tidak siap atau tidak memiliki kecakapan yang cukup untuk ikut campur atau berpartisipasi. Pada akhirnya pemerintah berjalan dengan menempatkan rakyat sebagai objek belaka, kecuali mereka meminta keaktifan rakyat ketika pemilu. Selebihnya tidak.
Apa yang hendak dikoreksi oleh politik Otonomi Daerah yang baru? Sangat jelas bahwa:
(1) Ada perubahan pola hubungan antara pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah, yang lebih memberdayakan pemerintahan daerah melalui pemberlakuan desentralisasi;
(2) Penyelenggaraan otonomi daerah, tidak ditujukan bagi kepentingan pusat, melainkan untuk kepentingan daerah, agar bisa tercipta perbaikan layanan pemerintahan untuk rakyat; dan
(3) Lebih dari sekedar memperbaiki layanan pada rakyat, penyelenggaraan otonomi daerah hendak membuka ruang lebar-lebar partisipasi rakyat yang sejati dalam membentuk kebijakan pemerintahan, baik secara langsung maupun melalui parlemen daerah.
Menjadi jelas bahwa hal ini menjanjikan berbagai hal harapan baru. Namun terbersit pula sejumlah kemungkinan yang sebaliknya. Antara lain3:
e. Pengalihan kekuasaan secara besar-besaran ke Daerah-daerah yang masih ditandai oleh bekerjanya struktur otoritarian bisa jadi akan berakhir dengan pengalihan otoritarianisme pada tingkat sistem politik nasional menjadi otoritarianisme lokal.
f. Pengalihan kekuasaan secara besar-besaran ke dalam politik lokal yang masih ditandai oleh kuatnya struktur feodal bisa jadi akan berakhir secara negatif dengan terjadinya penguatan kembali struktur aristokrasi lokal.
g. Pengalihan secara besar-besaran ke Daerah-daerah yang bercorak majemuk tetapi didominasi oleh salah satu kelompok kategori tertentu, bisa berakhir secara negatif dengan penindasan terhadap kelompok minoritas atau paling tidak berakibat pada terjadinya diskriminasi.
h. Pengalihan kekuasaan secara besar-besaran ke Daerah-daerah yang bercorak mejemuk tanpa adanya kelompok dominan bisa jadi berakhir secara negatif dengan meluasnya konflik horisontal antarkelompok masyarakat, terutama sebagai akibat dari usaha masing-masing kelompok untuk merebut kontrol atas resources politik lokal yang ada.
i. Pengalihan kekuasaan secara besar-besaran kepada Daerah-daerah dalam situasi kentalnya KKN bisa jadi akan berakhir sebagai pengalihan KKN dari tingkat nasional ke Daerah-daerah. Hal ini menjadi krusial untuk diperhatikan, terutama bagi daerah-daerah dengan sistem extended family yang kenyal ataupun dengan sistem tribe yang masih kental.
j. Pengalihan kekuasaan secara besar-besaran kepada Daerah-daerah yang masih dikukung oleh pemahaman bahwa “otonomi” adalah kata lain dari “auto money” akan berakibat negatif pada eksploitasi sumber daya alam tanpa kendali demi peningkatan PAD. Hal ini berisiko terutama untuk daerah-daerah dengan kepemilikan SDA yang berlimpah. Persoalannya bukan semata-mata terkait dengan laju kerusakan lingkungan yang akan terus meningkat dan hancurnya basis kehidupan generasi mendatang, tetapi sekaligus dapat berakibat pada konflik lintas etnik ataupun kelompok primordial. Hal ini terutama disebabkan karena “SDA” di banyak daerah memiliki kaitan-kaitan sosial, kultur, ekonomis dengan “etnisistas”.
Catatan Akhir:
1 Sebagaimana dikutip oleh Egon G. Guba (1978), Menuju Metodologi Inkuiri Naturalistik dalam Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Penerbit Djambatan
2 Mengenai hal ini lihat: F. Wahono (1999), Demokrasi Ekonomi, Yogyakarta, Pidato Dies Natalis Universitas Sanata Dharma.
3 Cornelis Lay (2000), Op Cit.
__________________________________________________________
Lanjut ke "Mensiasati Otonomi Daerah Demi Pembaruan Agraria (Bagian 2)"
No comments:
Post a Comment