Mensiasati Otonomi Daerah Demi Pembaharuan Agraria
Penulis: R. Yando Zakaria, Danie Munggoro, Muslich Ismail, Noer Fauzi Rachman, Abdon Nababan, Hendro Sangkoyo, Dadang Juliantara.
Penerbit: Jakarta: Konsorsium Pembaruan Agraria, 2001; Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2001. viii + 187 pg; 17 cm ISBN 979-95482-3-3
II. Pemerintah Daerah: Pemberi Perintah atau Pengurus Rakyat?
…… (P)emerintahan merupakan sebuah pertunjukan tentang bagaimana …… pemerintahan merupakan sebuah pertunjukan tentang bagaimana mengelola sumber-sumber alam, orang, barang, dan uang, dengan para pengelola negara sebagai pemain panggungnya, dan rakyat sebagai pengamat dan pembayar karcis pertunjukan. Partisipasi rakyat, paling jauh, adalah sebagai komentator atau kritikus pertunjukan. Ajakan pembaruan cara dan agenda pemerintahan dengan demikian bersifat mudah-mudahan, penuh harap pada para pengelola negara yang baru serta pada ketentuan-ketentuan yang dihasilkannya; sebuah koor nyaring dari bawah panggung tentang reformasi, yang tetap takzim pada akar kata itu: perintah.
Pengurusan merupakan suatu konsep tandingan yang sangat akrab bagi penutur bahasa Indonesia, dan mengacu kepada konsep pokok yang lebih jitu: urus. Setelah sejarah membuktikan kegagalan dari pengelolaan perubahan tanpa-rakyat selama tiga puluh tahun, penggantian orang, perombakan dekorasi panggung dan atau skenario baru saja mengandungi resiko kegagalan yang sama, selama rakyat sendiri tidak aktif dan tidak berkesungguhan mengurus apa yang menjadi persyaratan kehidupannya.
(Hendro Sangkoyo, 2000)1
Dalam bagian terdahulu telah disebutkan bahwa, di masa lampau, perimbangan kekuasaan antara Pemerintah Daerah dengan DPRD sangat timpang. Dalam susunan hubungan yang terdahulu, pemerintah daerah tidak lebih sebagai alat kekuasaan pemerintah pusat. Semua itu legal! Dalam UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah, pada bagian menimbang, butir e disebutkan:
bahwa dalam rangka melancarkan pelaksanaan pembangunan yang tersebar di seluruh pelosok Negara dan dalam membina kestabilan politik serta kesatuan bangsa, maka hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah atas dasar keutuhan Negara Kesatuan, diarahkan pada pelaksanaan Otonom Daerah yang nyata dan bertanggung jawab yang dapat menjamin perkembangan dan pembangunan Daerah dan dilaksanakan bersama-sama dengan dekonsentrasi.
Ciri-ciri dari kebijakan otonomi daerah yang lama adalah:2
Pertama, bahwa kekuasaan pusat mengupayakan suatu skema kerja dan organisasi, serta orientasi, yang sedemikian rupa sehingga otonomi daerah bukan berwujud sebagai penguatan daerah, melainkan menempatkan daerah sebagai instrumen efektif untuk keperluan realisasi tujuan yang telah ditetapkan pusat. Dengan demikian, pusat menganggap bahwa apa yang sudah diputuskan pusat merupakan hal yang lebih luhur (benar) dan dengan demikian tidak perlu dibantah, dan tidak diberikan ruang untuk membantah atau memberikan penilaian.
Kedua, posisi DPRD ada di bawah kekuasaan pemerintah daerah. Pada pasal 13 ayat 1 UU Nomor 5 Tahun 1974 disebutkan bahwa:
bahwa pemerintah daerah adalah Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Selanjutnya, dalam Pasal 22 – UU No. 5 Tahun 1974 dinyatakan bahwa:
(1) Kepala Daerah menjalankan hak, wewenang dan kewajiban pimpinan pemerintahan Daerah.
(2) Dalam menjalankan hak, wewenang dan kewajiban pemerintahan Daerah, Kepala Daerah menurut hirarkhi bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.
(3) Dalam menjalankan hak, wewenang dan kewajiban pemerintahan Daerah, Kepala Daerah berkewajiban memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sekurang-kurangnya sekali setahun, atau jika dipandang perlu olehnya, atau apabila diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Jelas, posisi DPRD yang lemah, tidak mempunyai hak untuk meminta pertanggungjawaban Kepala Daerah, membuat aspirasi rakyat tidak bisa tersalurkan secara efektif melalui perwakilan rakyat di daerah. Kekuasaan eksekutif daerah lebih tinggi, sehingga fungsi kontrol tidak bisa berjalan. DPRD bukan sebagai parlemen daerah, melainkan sebagai kelengkapan dari eksekutif.
Dengan demikian, pemerintahan daerah tidak lebih ditempatkan sebagai bagian dari mesin pembangunannya pemerintah pusat untuk keselarasan dan efektivitas kerja pencapaian pertumbuhan ekonomi, dan pemerintahan daerah dijadikan perpanjangan tangan untuk keperluan stabilitas nasional, yang merupakan prasyarat bagi gerak pembangunan ekonomi. Jika demokrasi diindikasikan oleh ruang rakyat yang lebih terbuka, maka sangat jelas tampak bahwa kebijakan yang ada telah dengan sengaja mengorbankan demokrasi demi keperluan kepentingan birokrasi, melalui pembatasan atas posisi dan peran institusi legislatif. Selain itu, pembatasan parlemen daerah, menjadikan institusi kontrol tidak bisa berjalan efektif. Segala sesuatu di bawah kendali pusat.
Ketiga, alasan efisiensi dan kebutuhan-kebutuhan untuk mewujudkan apa yang sering disebut sebagai mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan RI, membuat pemerintah pusat sangat terlihat menyimpan keengganan untuk menyerahkan wewenang yang lebih besar kepada daerah otonom. Yang tampak malah suatu pengingkaran terhadap desentralisasi dengan mengedepankan dekonsentrasi. Otonomi sebagai konsep yang memaksudkan berlangsungnya proses penguatan daerah, untuk lebih berdaya dalam menampung dan mengaktualisasi aspirasi rakyat setempat, dalam praktek telah dipalsukan dan dijegal oleh pola penyelenggaraan pemerintahan pusat yang sentralistik-otoritarian yang mendukung per-tumbuhan ekonomi.
Jadi, jelas sekali bahwa pemerintahan daerah di bawah Orde Baru lebih mengakar ke atas, dan tidak memiliki pertanggungjawaban ke bawah. Oleh sebab itu tidak responsif terhadap dinamika aspirasi rakyat. Secara formal, parlemen telah dikooptasi dan lebih terbatas peran dan kapasitasnya. Di tingkat informal, politik massa mengambang dan hegemoni kekuasaan menjadikan rakyat sulit untuk mengembangkan sikap kritis terhadap penguasa. Pemerintahan tidak bisa berfungsi dan difungsikan untuk kebutuhan mem-perjuangkan suatu bentuk perubahan yang mendasar berbasis kehendak atau aspirasi rakyat. Dapat pula dikatakan bahwa pemerintahan (pemerintah dan parlemen) daerah, telah diasingkan dari rakyatnya. Sehingga aktivitasnya tidak mencerminkan kehendak, kebutuhan dan kepentingan massa rakyat.
Posisi pemerintahan yang demikian, sudah barang tentu menjadikan rakyat dalam pihak yang sulit. Secara normatif seharusnya masyarakat mengandalkan pemerintahan sebagai badan kekuasaan yang mendapatkan mandat dari rakyat untuk bekerja sesuai dengan aspirasi rakyat, namun kenyataannya, pemerintahan telah mengukuhkan kedudukannya bukan terikat pada masyarakat, independen dan punya kepentingan sendiri. Akibatnya rakyat harus berjuang sendiri untuk bisa mengubah hidup dan kehidupannya. Dapat dikatakan bahwa rakyat sama sekali tidak bisa mengandalkan pemerintahan untuk membantu dirinya keluar dari kesulitan. Bahkan dalam banyak kasus, pemerintahan justru ikut memberikan sumbangan bagi pembentukan persoalan rakyat. Urusan rakyat pada pemerintahan lebih merupakan urusan administrasi belaka, sebagai kewajiban yang diemban rakyat pada pemerintahanya.
Koreksi yang dilakukan, sebagaimana termuat dalam UU No. 22 Tahun 1999 bagian penjelasan umum nomor 4, adalah:
Susunan Pemerintahan Daerah Otonom meliputi DPRD dan Pemerintah Daerah. DPRD dipisahkan dari Pemerintah Daerah dengan maksud untuk lebih memberdayakan DPRD dan meningkatkan pertanggungjawaban Pemerintah Daerah kepada rakyat. Oleh karena itu hak-hak DPRD cukup luas dan diarahkan untuk menyerap serta menyalurkan aspirasi masyarakat menjadi kebijakan Daerah dan melakukan fungsi pengawasan.
Jadi,3 pertama, bentuk pemerintahan daerah otonom dengan tegas memisahkan antara posisi DPRD dan Kepala Daerah, supaya tidak terjadi duplikasi dan kerancuan antara tugas eksekutif dan tugas legislatif; Kepala Daerah melakukan tugas di bidang eksekutif, dan DPRD di bidang legislasi. DPRD diberdayakan sedemikian rupa, sehingga benar-benar dapat melakukan fungsi legislasi dan pengawasan, serta sungguh-sungguh berperan sebagai penyalur aspirasi masyarakat. Berkaitan dengan perubahan peran di atas, proses legislasi di daerah mengalami sejumlah perubahan pula. Semua Peraturan Daerah yang dikeluarkan oleh Pemerintah Propinsi, Kabupaten, Kota tidak lagi harus disahkan oleh Pemerintah Pusat melalui Departemen Dalam Negeri. Begitu DPRD menyetujui sebuah rancangan Peraturan Daerah dan Gubernur/Bupati/Walikota mengesahkannya maka dengan sendirinya menjadi Perda, tidak lagi menunggu pengesahan dari Jakarta. Proses ini jelas berbeda sekali dengan mekanisme yang diberlakukan sebelumnya melalui UU No. 5 Tahun 1974.
Kedua, pelaksanaan otonomi daerah diharapkan dapat menumbuhkan demokrasi, meningkatkan prakarsa, kreativitas, dan peran serta masyarakat, serta dapat menentukan keputusan sesuai dengan kepentingan daerahnya. Hal tersebut diwujudkan dalam pengaturan tentang susunan, kedudukan keanggotaan, hak-hak dan kewajiban-kewajiban DPRD, dan tentang syarat-syarat, proses pemilihan, pemberhentian, masa jabatan dan pertanggungjawaban Kepala Daerah.
Ketiga, penguraian pasal-pasal yang menyangkut mengenai DPRD dilebihdulukan daripada pasal-pasal mengenai Kepala Daerah. Hal ini menunjukkan bagaimana pemerintah (pusat) ingin mengedepankan kedaulatan ada di tangan rakyat, dengan mendudukkan DPRD sebagai badan legislatif.
Keempat, untuk lebih memberdayakan DPRD dalam pelaksanaan otonomi daerah, dalam UU ini terdapat penonjolan hak-hak dan kewajiban DPRD. Masing-masing adalah hak untuk (a) meminta pertanggungjawaban kepada Kepala Daerah atas pelaksanaan kebijakan Pemerintah Daerah; (b) meminta keterangan pada Kepala Daerah atas suatu rencana kebijakan, atau akibat dari pelaksanaan satu kebijakan, atau atas suatu masalah yang menurut hukum dan atau etika yang berlaku termasuk dalam lingkup tanggung jawab Kepala Daerah; (c)mengadakan penyelidikan, termasuk meminta pejabat dan atau warga masyarakat yang diperlukan untuk memberikan keterangan tentang sesuatu hal demi kepentingan Daerah, masyarakat dan pemerintahan (hak subpoena).; serta wajib untuk (a) membina kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah; (b) memajukan tingkat kehidupan rakyat di daerah berdasarkan demokrasi ekonomi; serta (c) memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan pengaduan masyarakat, serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya. Selain itu DPRD dapat membela kepentingan Daerah dan penduduknya di hadapan Pemerintah, dan memperjuangkannya kepada DPR (hak petisi).
Kelima, syarat-syarat untuk menjadi Kepala Daerah lebih sederhana dan dapat diukur secara konkret. Proses rekruitmen Kepala Daerah sepenuhnya dilakukan oleh Daerah tanpa campur tangan Pemerintah Pusat, kecuali untuk calon Gubernur yang harus dikonsultasikan dulu kepada Presiden untuk mendapatkan persetujuan, mengingat kedudukan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat, di samping kedudukannya sebagai Kepala Eksekutif Daerah Propinsi; tata cara dan tata aturan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lebih memberikan kewenangan kepada DPRD.
Keenam, Kepala Daerah secara tegas dinyatakan bertanggung jawab pada DPRD, dan menyampaikan pertanggungjawabannya itu pada setiap akhir tahun anggaran. Kewajiban Kepala Daerah juga dinyatakan secara tegas. Keleluasaan untuk melakukan vrijbestuur sebagaimana dianut dalam pasal 81 UU No. 5 Tahun 1974 tidak dianut lagi.
Dengan ketentuan UU No. 22 Tahun 1999 di atas, yang sama dan sebangun dengan isi UU Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD, nampak jelas bahwa DPRD dipandang terlalu berkuasa (overpowered), dan sangat rawan bagi penyalahgunaan wewenang.4 Menjadi jelas bahwa sekalipun merupakan sebuah kecenderungan baru yang tidak terhindarkan dan menjanjikan berbagai hal positif, tidak bisa dinihilkan mengandung pula di dalamnya sejumlah persoalan yang membutuhkan adanya pemahaman yang sungguh-sungguh dari kekuasaan politis DPRD. Kemungkinan-kemungkinan negatif tersebut antara lain5:
(1) Kemungkinan negatif pertama adalah terjadinya benturan atau konflik antara DPRD dan birokrasi (elit) lokal. Hal ini sangat mungkin terjadi karena (a) politisi baru berasal dari lingkungan yang sama sekali lain dibandingkan politisi anggota DPRD sebelumnya yang merupakan “partner” birokrasi lokal, dan sekaligus men-share banyak kesamaan, termasuk cara melihat persoalan dan memecahkannya, bahkan dalam penggunaan bahasa dan simbol. Mereka juga diikat oleh kepentingan yang sama. Akibatnya “konflik” tidak pernah muncul. Kini semuanya serba berbeda yang bisa dengan mudah berubah menjadi konflik. (b)Politisi baru berasal dari lingkungan yang selama orba mendapatkan perlakuan diskriminatif, bahkan menjadi korban kekejaman politik Orba yang justru dimotori pula oleh para birokrat daerah. Ini merupakan investasi negatif bagi keduanya ketika harus bekerja bersama-sama. (c) Politisi baru juga adalah para “pecundang” atau yang “dipecundangi” selama 32 tahun terakhir ini. Akibatnya, psikologi sebagai orang-orang atau kelompok “kalah”’ akan mewarnai tindakan politik mereka terhadap birokrasi. (d) Di sisi birokrat, mereka berasal dari lingkungan yang lebih terdidik dan memiliki lebih banyak pengalaman dalam hal pengelolaan pemerintahan daerah. Akibatnya, ada kecenderungan di kalangan birokrat untuk arogan dan memandang rendah politisi baru. (e) Sementara di mata para politisi baru, birokrat dipandang sebagai “penyamun” yang karenanya tidak akan dan tidak bisa dipercaya. Benturan antara kedua hal ini akan sangat mungkin terjadi.
(2) Akan terjadi “over-acting” di kalangan politisi. Kemungkinan ini terjadi baik sebagai konsekuensi dari mekanisme sistem presidential ke arah mekanisme semi-parlementer di daerah-daerah maupun sebagai akibat dari tindakan kompensasi atas keterbatasan kemampuan yang dimiliki anggota DPRD.
(3) Kemungkinan lainnya adalah terjadinya resistensi di kalangan para birokrat. UU baru secara tegas membuka kemungkinan bagi pimpinan politik daerah yang berasal dari lingkungan ‘tradisional”, yakni birokrasi (sipil dan militer). Tampaknya, birokrasi lokal sulit menerima kenyataan dipimpin oleh tokoh non-birokrasi dengan pendidikan yang lebih rendah. Kemungkinan terjadinya “boikot,”’ atas keputusan politik politisi terpilih oleh lapisan tengah sangat terbuka. Pada saat yang bersamaan, kepercayaan politisi terpilih pada pejabat birokrasi juga rendah. Dua hal ini akan menimbulkan dua akibat: tejadinya saling by-passingatau terjadi pergantian secara drastis pada lapisan birokrasi atas. Hal pertama akan berdampak pada bubarnya mekanisme kelembagaan karena relasi-relasi personal berdasarkan garis-garis kepartaian dan hubungan serta etnisitas akan dieksploitasi. Sementara hal kedua akan berakibat pada semakin runyamnya persoalan “nepotisme” dan pembengkakan birokrasi lokal yang dihuni oleh orang-orang yang tidak profesional.
(4) Akibat lanjut dari dua hal ini adalah terjadinya sengketa di lapisan birokrasi atas antara birokrat baru hasil rekruitmen politisi dan birokrat lama. Belum tersudahinya sengketa antara pilihan ke arah spoil system -yang dikendalikan selama Orba sekalipun dengan pemberlakukan kriteria meritokrasi- dengan sistem meritokrasi semakin merunyamkan persoalan daerah.
Dapatlah dipahami bahwa ketegangan antara pemerintah daerah dengan DPRD yang baik yang berasal dari konteks di atas, maupun pengaturan kewenangan yang berasal dari teks formal hukum –seperti dalam kegiatan legislasi, anggaran, pengawasan maupun pemilihan-pertanggungjawaban Bupati– dapat menyandera keduanya dalam ketegangan yang tak habis-habisnya, dengan resiko yang sangat fatal, yakni sekedar menghasilkan perintah-perintah pada rakyat dan bukan mengurusi rakyat.
Selain ketegangan antara eksekutif daerah dengan DPRD itu, koreksi yang dibuat oleh UU No. 22 Tahun 1999, sama sekali belum membebaskan atau lebih tepatnya memelihara ketegangan antara pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah. Hal ini terutama terletak pada rumusan mengenai pembagian kewenangan antar keduanya. Dinyatakan bahwa dalam pasal 7:
(1) Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain;
(2) Kewenangan bidang lain, sebagaimana disebut pada ayat (1) meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan standarisasi nasional. Pengaturan lebih lanjut mengenai berbagai ketentuan kewenangan ini akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Jadi dalam hal ini, kewenangan daerah adalah kewenangan sisa. Terhadap rumusan tersebut, sudah tentu bisa menimbulkan banyak tafsir. Bagi daerah, kewenangan yang dimiliki pusat masih sangat besar. Bagi pusat, apa yang sudah diberikan pada daerah sudah cukup besar – bahkan diduga daerah tidak akan mampu menjalankan apa (kewenangan) yang sudah diberikan tersebut. Bagi daerah sendiri, kekhawatiran mengenai masih adanya peluang bagi intervensi pusat masih sangat besar, baik akibat trauma pada masa lalu, ataupun peluang yang terbuka pada UU No. 22 Tahun 1999. Misalnya, pasal 112 antara lain menyatakan bahwa dalam rangka pembinaan, pemerintah memfasilitasi penyelenggaraan otonomi daerah. Yang dimaksud dengan memfasilitasi di sini adalah upaya memberdayakan Daerah Otonom melalui pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan, dan supervisi.
Selain soal kewenangan pemerintahan itu, ketegangan juga dipelihara melalui mekanisme anggaran. Harus diakui bahwa masing-masing daerah memiliki kemampuan sumber daya (PAD, pendapatan asli daerah) yang berbeda-beda, dan kebutuhan yang juga berbeda. Namun demikian, bila dilihat dari skema dasar yang dikembangan pemerintah pusat melalui UU No. 25 Tahun 1999 (lihat bagan perimbangan keuangan), maka sangat nampak bahwa pusat tetap memegang peranan yang sangat penting, sementara daerah tidak memiliki daya yang cukup. Alasan mengenai pengaturan perimbangan dan tugas pusat untuk menjaga integrasi, serta kemakmuran seluruh rakyat, telah menempatkan pusat dalam posisi “punya hak untuk mengelola atau melakukan sentralisasi” atas penerimaan.6
Bagan Perimbangan Keuangan | ||
Pos | Pusat (%) | Daerah (%) |
PBB | 10 | 90 |
Hak atas Tanah dan Bangunan | 20 | 80 |
Hasil Hutan, pertambangan umum dan perikanan | 20 | 80 |
Minyak bumi (setelah dikurangi pajak) | 85 | 15 |
Gas alam | 70 | 30 |
Penerimaan Dalam Negeri (dana alokasi umum) | 75 | 25 |
Sumber: UU No. 25 Tahun 1999 |
Kedua, masalah hubungan antara eksekutif dan legislatif – pada masa Orde Baru, skema otonomi yang dikembangkan menempatkan legislatif sebagai bagian dari eksekutif. Posisi ini membuat parlemen daerah tidak berdaya, dan praktis tidak mampu menjalankan fungsi kontrol dan fungsi menampung aspirasi masyarakat.
Jadi, penyerahan kewenangan ke pemerintahan daerah tanpa kendali langsung dari rakyat mengandung implikasi bahwa “segala penyakit yang tadinya ada di pemerintahan pusat beralih ke pemerintahan daerah” atau ketidakmampuan pemerintahan daerah untuk menjalankan wewenang yang diserahkan tersebut. Pokok soalnya terletak pada bagaimana perpolitikan pemerintahan daerah dapat melayani kepentingan-kepentingan rakyat, dan bukan justru, atas nama reformasi dan otonomi daerah, terjadi penguatan eksploitasi, penindasan dan penaklukan rakyat oleh elit politik yang baru.
Catatan Akhir:
1 Hendro Sangkoyo (2000), Pemenuhan Syarat-syarat Sosial dan Ekologis sebagai Agenda Pokok Pengurusan Masyarakat dan Wilayah, Kertas Posisi Konsorsium Pembaruan Agraria No. 8.
2 Lapera (2000), Otonomi Versi Negara, Yogyakarta, Lapera Pustaka Utama.
3 Afan Gaffar (2000), “Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap Penyelenggaraan Pemerintahan di Masa Mendatang”, dalam WACANA, Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, Edisi 5 Tahun II. Yogyakarta: Institute for Social Tranformation (INSIST)
4 Afan Gaffar (2000), Ibid.
5 Cornelis Lay (2000), Op Cit.
6 Revrison Baswir (2000), “Penjarahan Jakarta dan UU 25/99”, dalam WACANA, Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, Edisi 5 Tahun II. Yogyakarta: Institute for Social Transformation/INSIST.
No comments:
Post a Comment