Mensiasati Otonomi Daerah Demi Pembaharuan Agraria (Bagian 6 dari 6)


Mensiasati Otonomi Daerah Demi Pembaharuan Agraria

Penulis: R. Yando Zakaria, Danie Munggoro, Muslich Ismail, Noer Fauzi Rachman, Abdon Nababan, Hendro Sangkoyo, Dadang Juliantara.

Penerbit: Jakarta: Konsorsium Pembaruan Agraria, 2001; Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2001. viii + 187 pg; 17 cm ISBN 979-95482-3-3 

 

 

VI. Membongkar Bangunan Lama untuk Memasang Fondasi Baru, Dari Atas atau Dari Bawah?  


Jika oposisi politik terhadap reformasi terlalu kuat, pengorbanan manusia dalam proses transformasi akan sangat besar. Namun, pengorbanan itu harus ditimbang dengan korban manusiawi

apakah yang harus diberikan andaikata status quo dipertahankan, yang ditandai dengan berlangsungnya penindasan kronis terhadap lapisan bawah. ....

Penguasaan tanah yang sangat tidak adil bukannya menimbulkan stabilitas. Statistik internasional menunjukkan bahwa tingkat kekerasan dan ketakstabilan politik cenderung terjadi paling tinggi di negara-negara yang pola pemilikan tanahnya sangat tidak adil.

Dengan demikian, dari waktu ke waktu,

ketidakadilan dapat menimbulkan jatuhnya korban manusia jauh lebih besar daripada korban yang jatuh dalam usaha mewujudkan landreform yang berhasil.   

(Eric Eckholm, 1983)1 

                                                                                                                       

 

Pada bagian terdahulu telah dijelaskan bahwa pola hubungan antara pusat dan daerah yang timpang, telah memungkinkan terjadinya krisis kehidupan rakyat, yang terdiri dari (i) krisis keadilan, berupa ancaman keselamatan rakyat dan menajamnya kaya-miskin, seperti dimulai oleh proses negaranisasi tanah dan sumber daya alam milik rakyat, dan kemudian pemerintah pusat dengan mudahnya menerbitkan hak-hak baru di atasnya untuk pihak badan usaha raksasa; (ii) krisis layanan alam, berupa kerusakan lingkungan, dan menurunnya kapasitas lingkungan, sebagai akibat dari praktek eksploitasi dan ekstraksi sumber daya alam bersar-besaran; (iii) krisis produk-tivitas, berupa kemandekan kemampuan rakyat untuk memanfaatkan tanah dan sumber daya alam setempat untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraannya.

Ketiga krisis inilah yang nyata-nyata dialami oleh rakyat. Perubahan kebijakan dan pelaksanaan otonomi daerah saat ini memungkinkan para pemrakarsa Pembaruan Agraria memenuhi syarat-syarat untuk mewujudkan Pembaruan Agraria yang telah dijabarkan dalam bagian sebelum ini. Terbuka pintu yang lebar, meskipun tetap harus disadari kesulitan memasuki pintu ini. Ketegangan antara pusat dengan daerah telah ditandai oleh menurun kemampuan pusat untuk melakukan kontrol terhadap daerah, yang berarti kesempatan bagi daerah untuk menata atau membentuk suatu pemerintahan yang benar-benar dekat dan bisa melayani masyarakat secara lebih baik.

Selain itu, pemerintahan daerah juga sedang menghadapi berbagai mesin globalisasi – dalam mana kekuatan global menghendaki berjalannya proses yang sejalan dengan kepentingan kapitalisme global dan kaki tangannya di arena nasional dan daerah. Kekuasaan kapitalisme global ini mengembangkan pula program memperlemah kekuasaan negara melindungi rakyat miskin di satu pihak, dan di pihak lain menciptakan kondisi yang bisa memfasilitasi berkembangnya investasi dan perdagangan barang (termasuk juga tenaga kerja) dan jasa.

Dengan demikian, otonomi daerah, dimana kewenangan pemerintahan, administrasi dan anggaran diserahkan ke tingkat kabupaten, pada gilirannya akan menempatkan daerah sebagai arena pertarungan kepentingan. Maka, pintu yang terbuka harus dengan segera dimasuki, dan dari sana dibangun langkah-langkah strategis, sehingga perubahan pada masa kini bisa memberi makna besar bagi gerak pembaruan yang lebih substansial.

Pemisahan kekuasaan eksekutif dan legislatif – dalam mana DPRD mendapatkan momentum untuk ambil peran lebih produktif, bukan saja dalam melakukan kontrol pada eksekutif, melainkan untuk lebih bisa menampung apa yang dikehendaki dan apa yang menjadi kebutuhan dan tuntutan dasar rakyat. Di pihak rakyat sendiri, terdapat peluang untuk mengorganisasi diri, dan mengupayakan kristalisasi aspirasi, yang kemudian disampaikan pada parlemen, agar bisa dijadikan bahan untuk mengajukan kebijakan-kebijakan baru.

Apa yang perlu diupayakan tidak lain dari:

Pertamapembaruan watak dan kinerja dari parlemen, yakni meninggalkan watak kerja yang hanya menempatkan parlemen sekedar sebagai “juru stempel” pemerintah dan melupakan kepentingan rakyat. Pemberdayaan parlemen, sebagai akibat dari perubahan format politik, tentu saja tidak dimaksudkan untuk “hanya memberdayakan” parlemen, tanpa kejelasan tugas dan tanggung jawabnya. Parlemen yang kuat, namun bila tidak memiliki ikatan yang jelas dengan para pemilihnya, maka hal tersebut akan tidak banyak artinya. Malahan, parlemen yang kuat hanya akan menjadi ajang “konspirasi” dan “politik dagang sapi”,  yakni alat untuk memberikan tekanan pada eksekutif bagi kepentingan partai atau kepentingan golongan. Penguatan posisi parlemen yang tidak diikuti oleh perubahan dalam sistem kepartaian dan pendidikan politik rakyat, tidak akan banyak artinya. Parlemen diharapkan bisa “memaksa” eksekutif untuk bekerja sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh rakyat.

Sistem pemilihan umum seperti sekarang ini pasti akan berubah. Sekarang ini, rakyat dimobilisir untuk memilih lambang-lambang partai-partai peserta pemilu, sementara itu partailah yang menentukan calon-calon anggota parlemennya, baik untuk parlemen daerah maupun pusat. Arah perubahan sistem pemilu ini menuju pemilu distrik, dimana rakyat bebas akan memilih anggota parlemennya langsung. Dengan demikian, anggota parlemen yang terpilih akan memliki kedekatan dengan rakyat pemilihnya. Pada masa-masa yang akan datang, pembaruan watak kerja parlemen ini dimungkinkan oleh adanya pemilu sistem distrik ini.

Bagaimana pembaruan parlemen dimungkinkan? Dalam hal ini ditempuh dengan Pendekatan Pengembangan Kapasitas dan/atau Pendekatan Kontrol. Pengembangan Kapasitas ini dilakukan dapat banyak cara, antara lain (i) menyelenggarakan kerjasama untuk memungkinkan anggota parlemen daerah untuk mengkaji dengan seksama masalah yang dihadapi dan kapasitas yang dimiliki. Dari proses ini diharapkan muncul semacam kesadaran untuk meningkatkan kapasitas, dan sekaligus pemahaman mengenai kecakapan-kecakapan yang perlu di-tingkatkan. Hal yang sejak awal perlu disadari bahwa apa yang sangat perlu untuk ditingkatkan adalah kecakapan dalam menyerap, menanggapi dan menyalurkan aspirasi rakyat; dan (ii) meningkatkan akses rakyat pada parlemen daerah, sehingga anggota parlemen dan proses kerja parlemen tanggap terhadap perubahan-perubahan ekspresi aspirasi rakyatnya. Kedekatan rakyat dengan parlemen daerah akan meningkatkan kepahaman anggota parlemen daerah dengan masalah-masalah rakyat dan akan membuat anggota parlemen lebih perhatian dan teguh untuk terus-menerus membantu penyelesaian problem-problem rakyat. 

Sedangkan kontrol terhadap kinerja parlemen daerah dimaksudkan untuk: (1) senantiasa mengingatkan anggota parlemen atas tugas dan amanat yang dipikulnya; dan (2) memberikan dasar legitimasi (terus-menerus), sehingga parlemen daerah tidak lagi dalam keraguan untuk memberikan kontrol terhadap parlemen. Pada sisi yang lain, kontrol diperlukan, untuk memastikan agar anggota parlemen tidak terjebak dalam semangat yang sempit, yang hanya memperhatikan kepentingan pribadi maupun golongannya. Parlemen yang terkontrol adalah parlemen yang bekerja sesuai dengan aspirasi rakyat. Jika hal ini berlangsung, maka sesungguhnya peran dari lembaga-lembaga ekstra parlemen menjadi lebih sedikit, atau bahkan dapat dialihkan pada agenda lain. Parlemen baru adalah parlemen yang berakar ke bawah, dan bukan berakar ke atas (pusat, elit) atau ke samping (partai).

Keduapembaruan relasi eksekutif dan legislatif, dari pola hubungan atas – bawah menjadi pola hubungan mitra (namun bukan dalam arti kolusi, melainkan hubungan yang setara dan kerja sama kritis (critical collaboration); dan pembaruan hubungan rakyat dan pemerintahan, yang yang memungkinkan partisipasi rakyat terutama dalam pembentukan kebijakan publik. Kesaksian dari sejumlah tempat menunjukkan bahwa masih sangat banyak sisa-sisa watak lama pada anggota parlemen daerah, yakni sikap “minder” dari anggota parlemen daerah di hadapan Bupati. Dalam kasus ini, parlemen daerah masih menempatkan diri berada di bawah eksekutif. Sebaliknya di pihak eksekutif masih menempatkan diri sebagai penguasa utama, sehingga (masih) berkecenderungan membatasi ruang gerak dari parlemen, seperti mensyaratkan ijin, laporan, dan lain-lain. Pembaruan pola hubungan ini sangat dibutuhkan, dan untuk mencapai maksud ini, pemahaman mengenai format politik yang sudah berubah sangat diperlukan. 

Hal pokok yang harus terlebih dulu diatur dalam kebijakan pemerintahan daerah adalah tata penguasaan dan penggunaan tanah dan sumber daya alam yang menyertainya. Kekeliruan pokok selama ini adalah tidak memisahkan antara wilayah kelola rakyat dengan ruang permainan negara dan bisnis. Walhasil, terjadi peng-hancuran dari wilayah kelola rakyat, di mana rakyat lokal tidak memiliki ruang belajar yang memadai. Adapun untuk wilayah kelola yang dilekati konflik kalin antara negara, bisnis dan rakyat harus ada mekanisme penyelesaiannya melalui delineasi/demarkasi yang mantap. Pemerintahan daerah ditantang untuk bersiasat menghadapi kenyataan hukum bahwa (Peraturan Pemerintah No. 25 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, Bab IV Pasal 8):

Perizinan dan perjanjian kerja sama Pemerintah dengan pihak ketiga berdasarkan kewenangan Pemerintah sebelum ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya perizinan dan perjanjian kerja sama. 

Ketigapenguatan basis organisasi rakyat. Diagendakannya otonomi asli menjadi pembuka kesempatan dalam penguatan kelembagaan lokal (termasuk masyarakat adat). Hal ini akan mengubah susunan pemerintahan lokal (desa atau yang diberi nama lain), yang sesuai dengan konteks sejarah, kebudayaan dan kapasitas yang dimiliki. Desa atau nama lain, pada dasarnya dapat menjadi lembaga yang memotori gerak pembaruan yang mendasar. 

Khusus untuk yang disebut sebagai Lembaga Adat harus disadari bahwa ia tidak selalu atau tidak otomatis bermakna sebagai lembaga yang demokratis dan emansipatoris (membebaskan). Pada kelembagaan adat yang merupakan bagian dari mesin feodalisme, bagaimana pun harus disadari pengaruhnya dalam penciptaan masalah rakyat. Oleh sebab itu, yang segera menjadi masalah adalah bagaimana menggunakan pintu pemberian otoritas lokal ini menjadi titik masuk bagi demokratisasi dan emansipasi rakyat. 

Biar bagaimana pun lokal, selain memiliki lokalitas, kelembagaan desa atau yang disebut dengan nama lain juga bertemu dengan kelembagaan “negara”. Oleh sebab itu, diperlukan suatu sintesa agar kepentingan lokal bisa dipertemukan dengan kepentingan luar. Ujung dari penguatan lembaga lokal, adalah bagaimana agar rakyat bisa mengubah kehidupan mereka, agar mencapai sebuah taraf kehidupan baru yang lebih baik dan lebih bermartabat.

Pembaruan agraria dengan memakai pintu otonomi daerah, tentu saja tidak perlu terfokus dan terlena pada masalah lokalitas, melainkan perlu suatu pemikiran yang lebih menyeluruh, agar bisa diperoleh kejelasan, bahwa pada gilirannya dibutuhkan langkah-langkah yang bersifat nasional. Letak masalah bukan saja berkait dengan kapasitas lokal yang berbeda-beda, melainkan pada kebutuhan untuk membangun tatanan baru dalam kerangka nasional. Atau dengan kata lain, dibutuhkan pergerakan dari lokal ke nasional.

Hampir semua Pembaruan Agraria yang di-lakukan atas dasar kedermawanan pemerintahan di berbagai negara menemui masalah keberlanjutan, sehingga begitu minat dan kepentingan pemerintah berubah (demi kepentingannya), maka habislah hasil-hasil positif yang mungkin pernah dicapai oleh Pembaruan Agraria.2 Memang diakui, ada suatu pemerintahan yang dengan tulus dan jujur melakukan Pembaruan Agraria demi rakyat banyak. Namun, begitu pemerintahan tersebut berganti, elit penguasa yang baru dapat berganti haluan, dan membalikkan keadaan. Oleh sebab itulah pikiran Pembaruan Agraria dengan melalui jalan bawah (jalan berbasis rakyat) menjadi pilihan.

Hal ini pertama-tama bukan berangkat dari watak curiga atau ketidakpercayaan pada pemerintah, melainkan berbasis pengalaman (historis), dimana pemerintah sangat cepat mengalami perubahan sikap, sejalan dengan transisi yang bergulir. Pembaruan agraria berbasis prakarsa rakyat, adalah gagasan yang di dalamnya memuat prinsip mengenai pemberdayaan. Dengan demikian, konsepsi ini sesungguhnya mensyaratkan terjadinya demokratisasi, yang membuka jalan bagi emansipasi rakyat, sehingga mereka bisa mengaktualisasikan kepentingannya.

Suatu pembaruan berbasis prakarsa rakyat merupakan strategi yang dimunculkan, sebagai jawaban atas kecenderungan ketidakpastian dan kemungkinan pengkhianatan dari strategi yang tidak melibatkan massa rakyat. Masalah akan segera timbul: bagaimana mengupayakan agar massa rakyat bisa menjadi kekuatan riil, sehingga bisa membuka jalan, menjalankan proses, dan mengawal proses sampai pada tujuan akhirnya. Pengalaman massa rakyat di bahwa Orde Baru menunjuk dengan sangat jelas bagaimana rakyat dijauhkan dari politik – sehingga massa hanya sekumpulan manusia yang tidak memiliki kekuatan politik. Rakyat malahan hanya jadi alat permainan politik, menjadi senjata dari segolongan elit. Menunggu massa mengalami proses transformasi secara penuh, tentu saja membutuhkan “biaya” yang tidak sedikit. Oleh sebab itu, perlu dipikirkan suatu upaya yang tidak meninggalkan rakyat, tetapi juga bisa menggunakan momentum yang ada, untuk bisa mempercepat dan bisa merangsang proses, sehingga gerak Pembaruan Agraria bisa diwujudkan. Dalam konteks inilah, strategi tiga kaki yang telah diuraigambarkan di atas, dipilih untuk dijadikan pedoman.

Arah perubahan dari proses pemberdayaan ini adalah terwujudnya masyarakat  baru dengan prinsip demokrasi, dimana rakyat mempunyai kekuatan untuk memperjuangkan kepentingannya; lelaki dan perempuan berbagi peran dan kekuasaan secara adil dan setara. Jika proses bisa dijalankan dengan mulus dan seksama, maka dapat diharapkan bahwa yang akan terjadi adalah suatu tatanan dimana partisipasi rakyat menjadi bagian inti dari proses kenegaraan. Namun hal yang tidak terelakkan bahwa disamping adanya kebutuhan real untuk memungkinkan transformasi kesadaran massa rakyat, juga dibutuhkan suatu usaha “kongkrit” untuk memungkinkan adanya perbaikan-perbaikan nyata dalam kehidupan rakyat, khususnya mereka yang menjadi korban dari perampasan tanah dan sumber daya alam, seperti rakyat korban penggusuran, atau masyarakat adat yang tanah dan sumber daya alamnya telah dinegarakan dan kemudian pemerintah pusat memberinya pada badan usaha skala raksasa sehingga mereka telah kehilangan syarat keberlanjutan hidup mereka sendiri. 

Dalam konteks itulah, Pembaruan Agraria Jalan Tengah diusulkan. Pembaruan Agraria Jalan Tengah tentu bukan pengganti Pembaruan Agraria Jalan Bawah. Bukan pula bentuk kompromi atau oportunisme, yang mengingkari arti Pembaruan Agraria Jalan Bawah. Pembaruan Agraria Jalan Tengah adalah periode antara yang hendak dilalui sebagai pendahulu dari Pembaruan Agraria Jalan Bawah. 

Mengapa dibutuhkan pendahuluan? Sebab, Pembaruan Agraria yang berhasil membutuhkan proses yang partisipatif. Yakni sebuah proses pembaruan yang didukung oleh dua pihak sekaligus, yakni dukungan dari pemerintahan (pemerintah dan parlemen) dan dukungan rakyat, khususnya rakyat yang paling berkepentingan. Dukungan dari pemerintahan berupa kebijakan-kebijakan penyokong proses Pembaruan Agraria akan bermakna bila adanya konsistensi menjalankan kebijakan-kebijakan itu sendiri. Dukungan rakyat dibutuhkan untuk memastikan bahwa peme-rintah berjalan sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh rakyat.

Suatu hubungan dialektik antara pemerintahan yang berpihak pada rakyat dengan rakyat yang memiliki kesadaran akan pentingnya partisipasi menjadi syarat mutlak bagi sebuah Pembaruan Agraria yang konsisten dan maju. Jadi, Pembaruan Agraria Jalan Tengah dengan demikian merupakan sebuah proses yang berdimensi ganda: (i) perubahan pemerintahan, dari fungsi lama yang merupakan alat dari penguasa yang anti rakyat, kembali ke fungsi asal, sebagai badan kekuasaan milik rakyat, yang karenanya wajib mengabdikan diri pada rakyat; dan (ii) membuka jalan bagi proses-proses pendidikan politik yang menemukan pengetahuan-pengetahuan baru melalui pengalaman nyata berpartisipasi dalam perubahan sebagai akibat dari keterbukaan yang dimungkinkan oleh pemerintahan bervisi baru.

Momentum desentralisasi menjadi pintu bagi keperluan pembaruan pemerintahan, dan pada sisi yang lain mempersiapkan rakyat untuk bisa ambil bagian secara produktif. Dengan demikian dalam proses ini terjadi saling dorong, pada satu sisi momentum memberi desakan pembaruan pemerintahan, dan di sisi lain pembaruan pemerintahan membuka ruang partisipasi. Partisipasi yang meningkat akan mendorong pembaruan yang lebih luas pada pemerintahan, sehingga pada gilirannya Pembaruan Agraria ditopang oleh badan penyelenggara yang bisa dipertanggungjawabkan. Artinya, bahwa Pembaruan Agraria Jalan Tengah, mengedepankan pentingnya pembaruan pemerintahan, sebagai salah satu sendi untuk mempercepat dan menjadikan Pembaruan Agraria lebih berkelanjutan. Suatu Pembaruan Agraria berkelanjutan merupakan proses yang tidak berhenti pada fase land reform (redistribusi penguasaan tanah) belaka, melainkan perlu upaya yang lebih menyeluruh, yakni pengaturan pemanfaatan, terutama penyediaan dan perlindungan atas infrastruktur untuk kebutuhan produksi dan konservasi. Hal ini dibutuhkan agar redistribusi tanah, tidak kembali terjebak dalam komoditisasi tanah, melainkan menjadi jalan untuk penataan produksi dan konservasi, dan pada gilirannya bisa mendorong pemulihan layanan alam dan peningkatan produktivitas rakyat. 

Artinya, Pembaruan Agraria jalan tengah tidak akan berhenti pada tindakan-tindakan pemerintah, melalui kebijakan yang memihak rakyat, melainkan sampai pada pengawalan kebijakan itu oleh rakyat sendiri, sehingga realisasi Pembaruan Agraria bisa berjalan konsisten dan maju. Langkah-langkah pembaruan kebijakan (policy reform), ditempatkan sebagai anak tangga untuk memperkuat rakyat. Oleh sebab itu, pengorganisasian masyarakat, dalam makna membangun serikat-serikat rakyat petani di desa-desa, revitalisasi lembaga adat yang demokratis, dan lainnya menjadi mutlak seiring perubahan kebijakan yang bergulir. Organisasi rakyat inilah yang pada gilirannya akan menjadi penopang dan pendorong gerak maju Pembaruan Agraria.  

Pembaruan Agraria Jalan Tengah, dengan demikian merupakan suatu gerak dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Pembaruan agraria jalan tengah pada dasarnya menuntut adanya jalan kooperasi. Jalan kooperasi yang dimaksud adalah jalan yang menyadari penuh bahwa persoalan Pembaruan Agraria bukan merupakan jalan yang mudah dan bukan sesuatu yang bersifat eksklusif, sebaliknya Pembaruan Agraria merupakan sesuatu yang inklusif.

Jalan kooperasi bermakna bahwa proses Pembaruan Agraria tidak mungkin hanya mengandalkan satu pihak, melainkan mesti melibatkan pihak lain. Pada sisi yang lain, diakui bahwa kekuatan pendukung Pembaruan Agraria tidak cukup besar, sehingga kooperasi memberi makna untuk bisa melakukan hal yang paling mungkin dari segala keterbatasan yang ada. Justru karena itu, perubahan yang ada hendak dijadikan pintu masuk untuk membangun dukungan yang lebih luas bagi proses Pembaruan Agraria, termasuk dukungan dari pihak pemerintahan, khususnya melalui parlemen daerah. Titik masuk ini menginsyaratkan perlunya pergeseran strategi. Jika pada periode awal penuh dengan agenda delegitimasi atas kekuasaan rejim sentralistik-otoritarian yang anti Pembaruan Agraria, maka pada masa transisi, yang dibutuhkan lebih dari sekedar melakukan delegitimasi, melainkan secara sistematik menjalankan dua fungsi. Pada satu sisi membongkar kebijakan-kebijakan yang tidak sejalan dengan kebutuhan Pembaruan Agraria dan di sisi lain memungkinkan lahirnya kebijakan-kebijakan yang lebih bersesuaian dengan keperluan Pembaruan Agraria. 

Dalam konteks Indonesia masa kini, harus diakui bahwa warisan masa lalu merupakan hal yang aktual. Dengan demikian, proses untuk “pembongkaran” atas berbagai kebijakan warisan lama sangat dibutuhkan. Pembongkaran yang dibutuhkan meliputi dua dimensi utama: (1) pembongkaran realitas struktur agraria yang timpang; dan (2) pembongkaran atas kebijakan-kebijakan agraria yang justru menjadi titik pijak dari keberlangsungan ketimpangan struktur agraria. Arah kekuatan pendukung Pembaruan Agraria, lebih dipusatkan untuk mendorong perubahan kebijakan, dan bukan sebagai sebuah sikap serba negatif. Menunjuk segi-segi negatif tidak diabdikan pada konflik kepentingan, melainkan untuk segera melakukan penataan. 

Dengan demikian, yang ingin dilakukan merupakan dua langkah sekaligus. Pada awalnya melakukan pembongkaran atas bangunan lama yang mendasari penyokong ketimpangan, dan langkah lanjutannya memasang fondasi bagi bangunan baru di atasnya. Masing-masing membutuhkan ilmu yang berbeda, yang di sini disebut sebagai Ilmu Bongkar dan Ilmu Pasang.

Ilmu bongkar yang dimaksudkan di sini adalah berbagai kemampuan yang dimiliki oleh kekuatan-kekuatan pembaharu dalam memperlihatkan dan menunjukkan segi-segi negatif (yang menjadi landasan ketidakadilan) dari pergerakan mesin pembangunan nasional di bawah kekuasaan Orde Baru. Rangkaian pekerjaan ini tidak lain dari praktek pembelaan atas masyarakat yang disingkirkan dan upaya penidakabsahan (delegitimasi) praktek kekuasaan yang menye-lewengkan aspirasi rakyat.

Objek dari Ilmu Bongkar berupa pengalaman dan kesaksian atas atas penderitaan rakyat, khususnya para korban perampasan hak atas tanah dan sumber daya alam, baik akibat penggunaan maupun penyalahgunaan kewenangan pemerintahan. Biasanya hal ini disertai dengan suatu upaya yang lazimnya disebut dengan pengorganisasian, dengan muatan dasar pendidikan kritis, yakni membuka wawasan kritis dari korban, agar bisa menyadari apa yang sedang berlangsung, terutama untuk tidak membiarkan ketidakadilan berlangsung lama. Pada sebagian kasus, hasil pendidikan berupa kesadaran untuk menuntut hak, sebagai bagian dari sikap menolak ketidakadilan. Namun, patut disadari bahwa tidak semua pendidikan kritis berakibat  pada kesadaran tuntutan, dan tidak semua praktek penolakan atas ketidakadilan merupakan hasil sebuah pendidikan kritis. Penumpukan dan pengendapan masalah-masalah yang dihadapi dan akibat-akibat perampasan hak atas tanah dan sumberdaya alam telah memberikan pilihan pada upaya perubahan fondasi bangunan. Cara-cara sentralistik-otoriter yang dijadikan tumpuan penyelenggaraan pembangunan untuk keperluan per-tumbuhan ekonomi, telah menutup pintu bagi perbaikan hidup rakyat.

Sedangkan Ilmu Pasang terbit setelah tumbangnya rejim sentralistik-otoriter Orde Baru, yang salah satu buahnya adalah kebijakan dan pelaksanaan otonomi daerah, pada dasarnya merupakan titik pijak yang sangat penting. Sebuah momentum perubahan telah disediakan oleh sejarah. Kaum Pembaharu pada dasarnya perlu mengubah segala praktek yang dijalankan, terutama untuk tidak lagi berpikir dengan kaca mata yang sempit, melainkan mencoba strategi yang lebih terbuka. Apa yang disebut dengan strategi lebih terbuka tidak lain dari suatu upaya mendesakkan perubahan melalui kerangka kerja hukum. Titik sasaran adalah perubahan kebijakan (policy reform). Apa yang dilukiskan sebagai perubahan kebijakan adalah upaya untuk mengadakan dari belum ada, memperbaiki, memperkuat yang ada – agar lebih fungsional dalam melindungi rakyat dan mengubah yang ada, dan menggantikannya dengan sesuatu yang sama sekali baru. Strategi perubahan kebijakan menjadi mungkin untuk dilakukan, terutama oleh kenyataan adanya gerak perubahan parlemen (daerah).

Perubahan ini menempatkan para pembaharu pada posisi yang lebih strategis atau bahkan lebih berat. Ilmu Bongkar yang dimilikinya tidak bisa lagi terus-menerus dijadikan andalah. Upaya delegitimasi, tidak mungkin hanya berjalan searah. Kekuasaan yang sudah mengalami kemerosotan basis dukungan, baik moral maupun politik, telah memaksa struktur kekuasaan untuk berubah. Artinya, para pembaharu perlu memikirkan situasi paska perubahan. Pada titik inilah muncul kebutuhan untuk mengembangkan suatu ilmu tambahan, yakni ilmu pasang. Rakyat mulai didesak oleh keadaan untuk ikut pula memikirkan bagaimana kelanjutan dari perubahan yang bergulir. Dengan demikian para pembaharu perlu melakukan dua hal sekaligus: (1) mengupayakan lahirnya kebijakan-kebijakan yang disusun dengan format demokrasi; dan (2) mengupayakan syarat-syarat obyektif bagi realisasi kebijakan tersebut.

Dengan Ilmu Pasang, kita tidak menempatkan otonomi apapun, baik otonomi daerah maupun otonomi asli, tidak dimaksudkan untuk mengabdi pada otonomi itu sendiri. Otonomi tentu diorientasikan untuk memberi jalan bagi perbaikan syarat-syarat kehidupan rakyat. 

       

Catatan Akhir:

1 E. Eckholm, “Orang-orang yang Tergusur dan Pembangunan yang Mantap”, dalam Hak dan Kebutuhan Desa, Jakarta: Lembaga Studi Pembangunan, hal 55.

2 Gunawan Wiradi (1997), Op Cit. yang mendasarkan diri pada karya Powelson, John P., and Richard Stock (1987) The Peasant Betrayed: Agriculture and Land Reform in the Third World. Washington, D.C.: Cato Institute.

No comments:

Post a Comment