Mensiasati Otonomi Daerah Demi Pembaharuan Agraria (Bagian 4 dari 6)

 

 Mensiasati Otonomi Daerah Demi Pembaharuan Agraria

Penulis: R. Yando Zakaria, Danie Munggoro, Muslich Ismail, Noer Fauzi Rachman, Abdon Nababan, Hendro Sangkoyo, Dadang Juliantara.

Penerbit: Jakarta: Konsorsium Pembaruan Agraria, 2001; Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2001. viii + 187 pg; 17 cm ISBN 979-95482-3-3 




IV. Politik Agraria dan Pembangunan: Demo, Modal, Negara atau Rakyat

 

 

Jika negara tidak bertindak secara hati-hati dalam mendukung modal, yaitu dengan alasan pembangunan tetapi tidak memperhatikan kepentingan-kepentingan spesifik dari tanah dan pemiliknya, krisis legitimasi pasti terjadi. Sama halnya dengan krisis-krisis legitimasi di masa lampau, ketika negara dan modal melakukan eksploitasi atas tanah dan tenaga kerja.

(Kuntowidjojo, 1992)1

Inti soal politik agraria adalah (i) siapa yang berhak menguasai tanah dan sumber daya alam yang menyertainya; (ii) siapa yang berhak memanfaatkan tanah dan sumber daya alam yang menyertainya; dan (iii)siapa yang berhak mengambil keputusan atas penguasaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam yang menyertainya.2 Lebih jauh lagi, politik agraria adalah mengurus soal hubungan antara manusia dengan tanah dan sumber daya alam yang menyertainya, beserta  segala persoalan dan lembaga-lembaga masyarakat yang timbul karenanya, yang bersifat politik, ekonomis, sosial dan budaya.3

Jauh-jauh hari, telah ditekadkan oleh salah seorang penandatangan naskah Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Drs. Mohammad Hatta, bahwa4

Indonesia di masa datang mau menjadi negeri yang makmur, supaya rakyatnya dapat serta pada kebudayaan dunia dan ikut serta mempertinggi peradaban. Untuk mencapai kemakmuran rakyat di masa datang, politik perekonomian mestilah disusun di atas dasar yang ternyata sekarang, yaitu Indonesia sebagai negeri agraria. Oleh karena tanah adalah faktor produksi yang terutama, maka hendaklah peraturan milik tanah memperkuat kedudukan tanah sebagai sumber kemakmuran bagi rakyat umumnya.

Sayangnya, politik agraria semasa 32 tahun Orde Baru yang lampau memang tidak diarahkan sejalan dengan tekad itu.5 Semenjak awal mula, politik agraria Negara Orde Baru yang lampau dibimbing oleh kepentingan-kepentingan untuk stabilisasi, rehabilitas dan pembangunan ekonomi gaya kapitalis.6 Koalisi penyokong Orde baru menolak populisme, yang pada waktu itu diistilahkan dengan “Sosialime Indonesia”, yang akan mengubah struktur sosial-ekonomi secara mendasar.7 Politik agraria yang dipilih dan dijalankan bukannya untuk memberantas kemiskinan dan meningkatkan kemakmuran, melalui pemerataan penguasaan tanah dan pemanfaatan sumber daya alam, melainkan sebaliknya, yang dilakukan melayani usaha-usaha penumpukan atau konsentrasi penguasaan tanah dan pemanfaatan sumber daya alam untuk badan-badan usaha skala raksasa.

Dari dua hal ini kita bisa melihat bahwa watak rejim Orde Baru yang dibangun dari awal mula, yakni, (i) suatu watak “daruratisme”, yang berciri ad hoc dan penuh pengendalian yang berbasis kekuatan pemaksa (militer). Situasi darurat juga bisa menjadi pembenar dari segala tindakan yang sebelumnya dipandangs sebagai tidak wajar; dan (ii) suatu watak dari sistem yang tidak lain dari kapitalisme – tentu dengan ciri eksploitasi, ekspansi dan akumulasi. Hasilnya dari perkawinan dua watak itu adalah suatu bentuk kapitalisme yang unik – yang tentu saja tidak mengaburkan watak dasar dari kapitalisme.

Orde Baru mengklaim diri sebagai Orde Pembangunan. Apa yang dimaksudkan dengan pembangunan secara sederhana, bisa dilihat sebagai kerja dari sebuah mesin dalam menjawab problem dasar kemiskinan dan keterbelakangan di tengah negeri ini sangat subur dan kaya akan bahan-bahan mentah. Para penggerak ide pembangunan memberikan jawab sebagai berikut: kemiskinan rakyat disebabkan oleh “mereka sendiri” – kesalahan mereka sendiri, diantaranya (i) rakyat adalah pihak yang kekurangan modal; (ii) rakyat adalah pihak yang kurang terhadap akses pendidikan, sehingga kecakapan mereka rendah (sekarang ini diistilahkan dengan “SDM rendah”), atau tidak memiliki kemampuan untuk memanfaatkan potensi yang dipunyai untuk meningkatkan kesejahteraan; dan (iii) rakyat adalah pihak yang kurang memiliki inisiatif, hasrat untuk maju, dan segala motivasi lain (dituduhkan bahwa rakyat ter-belenggu dalam sebuah kultur anti kemajuan, dan lebih senang dalam situasi terbelakang). Bahkan secara umum dipandang tidak memiliki rencana hidup untuk masa depan.

Pada mulanya pemikiran ini adalah milik dari segolongan pakar yang memang bekerja untuk proyek-proyek pembangunan. Melalui berbagai cara dan media, gagasan pembangunan diteruskan, disebarluaskan, dan ditanamkan kepada rakyat. Hampir seluruh komponen yang ada di masyarakat terlibat dalam usaha raksasa ini. Media massa, lembaga pendidikan, lembaga agama, birokrasi, sampai pada lembaga-lembaga resmi lainnya, ambil andil dalam “mengepung” dan mengindoktrinasi rakyat. Pada akhirnya, gagasan pembangunan masuk dan diyakini sebagai jalan satu-satunya untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan bermakna. Akhirnya di kalangan rakyat sendiri menyakini cara berpikir yang diindoktrinasikan itu. Mereka percaya bahwa rakyat adalah sumber masalah dan rakyat lah yang menjadikan hidup mereka tidak berubah.

Padahal, persoalan kemiskinan dan keterbelakangan di Indonesia yang sangat kaya alamnya ini berpangkal pada adanya konsentrasi atau penumpukan penguasaan tanah dan pemanfaatan tanah beserta sumber daya alamnya yang sengaja dibiarkan berkembang bahkan semakin dipertajam praktek-praktek pembangunan semasa Orde Baru yang lampau, yang diarahkan oleh politik sentralisme dan sektoralisme hukum keagrariaan berserta kelembagaannya selama ini. Sudah pasti, hal ini mengorbankan keselamatan hidup rakyat, kemerosotan layanan alam, dan menurunnya kemakmuran kehidupan rakyat perdesaan terutama buruh tani, petani kecil, masyarakat adat, dan rakyat perkotaan yang miskin, serta mendudukkan pertanian rakyat (termasuk perladangan, peternakan, pemanfaatan hutan) sebagai sektor yang dikebelakangkan.

Sesungguhnya, kunci utama untuk memahami soal agraria ini adalah kesadaran kita sendiri, yaitu sejauhmana kita menyadari bahwa penguasaan tanah dan pemanfaatan sumber daya alam melandasi hampir semua aspek kehidupan perdesaan. Bukan saja sekedar sebagai aset, tetapi penguasaan tanah dan sumber daya alam juga merupakan basis bagi diperolehnya kuasa-kuasa ekonomi, sosial dan politik. Ketimpangan dalam penguasaan tanah dan pemanfaatan sumber daya alam akan sangat menentukan bangunan ekonomi politik dan menentukan dinamika hubungan antar lapisan sosial. 8

Apa yang umum terjadi sepanjang Indonesia di bawah rejim Orde Baru adalah negaraisasi tanah dan sumber daya alam milik rakyat dan di atas tanah yang diberi nama “Tanah Negara”, pemerintah (pusat) mempergunakan Hak Menguasai dari Negara (HMN)9 yang dimilikinya untuk memberikan hak-hak pemanfaatan (use rights) seperti Hak Pengusahaan Hutan, Hak Guna Usaha, Kuasa Pertambangan/Kontrak Karya Pertambangan, Taman Nasional, Kawasan Konservasi, dan lain-lainnya,  kepada badan-badan usaha berskala raksasa.

Proses peralihan penguasaan tanah dari rakyat kepada pihak lain, dipenuhi oleh berbagai cara yang digunakan oleh pemerintahan yang sentralistik-otoritarian, seperti penggunaan kekuasaan birokrasi dan peraturan pemerintah (government regulation), maupun manipulasi dan kekerasan secara langsung. Semasa rezim Orde Baru lalu, kita menyaksikan banyak sekali kasus sengketa, bahkan konflik agraria. Hal itu telah menjadi sisi lain dari pengadaan tanah dan pemanfaatan sumber daya alam skala besar untuk kepentingan proyek pembangunan pemerintah maupun proyek-proyek dari perusahaan bermodal raksasa.

Di masa lampau, menghadapi kasus-kasus sengketa agraria, pemerintahan Pusat dan maupun Daerah mencerminkan ciri yang kurang lebih sama, yaitu seolah-olah ingin menghindar dari masalah yang rumit itu. Mulai dari yang “mengabaikan acuh tidak acuh”, atau menunda-nunda penyelesaian, sampai kepada yang mengambil jalan kekuasaan menindas hak-hak rakyat, baik karena ingin mengedepankan kepentingannya sendiri atau karena terpaksa oleh tekanan-tekanan tertentu.

Sudah umum disadari banyak pihak bahwa rakyat yang terlebih dulu memiliki hubungan yang kuat dengan tanah dan kekayaan alam itu pada umumnya adalah pihak yang dikalahkan. Berbagai organisasi ekonomi baru yang dibangun di atas tanah tersebut pada umumya menyingkirkan rakyat untuk ikut menikmatinya, apalagi ikut berpartisipasi dalam pengambilan keputusan atas tata kepenguasaan dan pengelolaan serta pemanfaatan tanah dan sumber daya alam tersebut.

Era “Reformasi” yang dimulai tahun 1998 ini sebenarnya merupakan momentum yang tepat untuk melakukan koreksi yang menyeluruh dalam menyusun kerangka pembangunan nasional dan meletakkan kembali fondasi yang mantap. Saat ini adalah situasi yang tidak dapat ditarik mundur kembali. Setidaknya, ada dua faktor yang membuat tidak mungkin kembali, bahkan membuka peluang perubahan, yakni: 

1.     Menguatnya ungkapan ketidakadilan dan tuntutan perwujudan keadilan sebagai protes terhadap perlakuan tidak adil selama ini. Sejalan dengan menurunnya kekuasaan dan kemampuan negara, menguat berbagai tuntutan lama – kasus lama muncul meminta pemeriksaan kembali. Rakyat yang dulu tanah dan sumber daya alamnya dirampas, kini bangkit untuk membicarakan kembali, bahkan sebagian telah mengambil inisiatif mengambil kembali tanah-tanah dan sumber daya alam mereka. Penguatan tuntutan ini telah memojokkan aparat negara, sehingga aparat negara berada dalam posisi sulit sehingga mereka lebih terdorong untuk memenuhi tuntutan keadilan, ketimbang berusaha menutup-nutupinya kembali. 

2.     Terjadinya perubahan susunan kekuasaan. Konflik elit politik di Pusat maupun Daerah yang kini terjadi, menjadi indikasi lain dari perubahan yang dimaksud. Dalam situasi yang demikian, dapat dipastikan bahwa kalangan elit tengah berusaha untuk “mencari kaki” bagi penguatan posisinya. Artinya, dalam batas tertentu, kondisi tersebut bisa digunakan sebagai prakondisi untuk memperkuat proses perubahan yang lebih signifikan. Kondisi ini dapat pula dilihat sebagai momentum bagi kekuatan arus bawah untuk melakukan proses konsolidasi, guna memperkuat partisipasi rakyat dalam pembentukan kebijakan politik dan ekonomi.

 

Dua hal ini sesungguhnya hendak memperlihatkan adanya transisi kekuasaan. Dalam transisi yang lama hendak ditinggalkan dan yang baru belum mapan (belum terlembaga). Sebagaimana dijelaskan di depan, bahwa perubahan struktur kekuasaan, yang sedang bergulir merupakan sebuah peristiwa yang sangat kompleks, yang di dalamnya memuat berbagai kekuatan yang ambil peran. Hal yang paling penting bahwa dalam proses tersebut, bukan saja terjadi pergesekan, tetapi juga tendensi perubahan susunan kekuatan politik yang ada. Perubahan susunan politik bisa berupa: (i) hancurnya persekutuan kekuatan (koalisi) lama, dan digantikan oleh koalisi baru, yang tidak berhubungan langsung dengan koalisi lama; (ii) perpecahan dalam koalisi lama, dan sebagian dari unsur koalisi lama, menjadi unsur dalam koalisi baru, sehingga dapat dikatakan bahwa antara koalisi baru dan koalisi lama, masih terdapat hubungan-hubungan politik; dan (iii)terjadi penyusunan kembali koalisi lama, dimana unsur-unsur yang ada tidak mengalami perubahan, melainkan hanya berubah dalam gaya (penampilan).

Apapun susunan kekuatan yang terbentuk, namun hal yang tidak bisa diingkari bahwa dalam proses perubahan ini terdapat beberapa kecenderungan sebagai berikut:

Pertama, pemerintahan baru yang terbentuk, darimana pun asalnya, selalu mencirikan pihak yang masih lemah, belum terkonsolidasi, dan belum mampu secara optimal menjalankan mesin kekuasaan. Artinya, para pemegang pemerintahan baru, pasti sedang belajar, dan karena itu penuh kehati-hatian, serta masih membutuhkan dukungan yang kuat dari publik. Mudah diduga bahwa rejim baru akan melakukan tindakan-tindakan yang dikehendaki oleh publik, sebagaimana yang diistilahkan dengan seperti liberalisasi politik. Karena itu, kita tidak perlu dikecoh oleh jargon politik dan pagi-pagi memberi penilaian. Siapapun pemegang kekuasaan pemerintahannya, kecuali rejim militer yang menang melalui kudeta langsung, tentu akan melakukan liberalisasi politik.

Kedua, dalam sejarah politik nasional, kondisi yang demikian, senantiasa akan membawa pelonggaran-pelonggaran politik, atau terbukanya ruang politik, sejalan menurunnya kemampuan penguasa dalam melakukan kontrol terhadap dinamika masyarakat. Sejalan dengan proses tersebut, mulai nampak adanya kesempatan-kesempatan baru yang lebih terbuka. Sebagai salah satu contoh adalah terbukanya akses rakyat untuk bisa ambil peran aktif dalam proses pengambilan keputusan publik. Hal ini sesungguhnya tidak lepas dari peran badan-badan pembangunan internasional yang senantiasa menekankan persyaratan pelibatan masyarakat dalam aktivitas publik. Perubahan “format partisipasi” ini, sudah tentu membawa akibat yang sangat luas, terutama akan mempengaruhi model kerja, pendekatan dan bentuk-bentuk keahlian yang harus dimiliki oleh kalangan rakyat. 

Ketiga, dalam perubahan susunan kekuatan tersebut, bergulir pula suatu proses yang layak disebut sebagai kebangkitan kekuatan-kekuatan politik lama, terutama yang ditandai oleh bangkitnya partai-partai politik, khususnya partai politik dengan basis aliran. Kebangkitan partai, bukan saja patut dilihat sebagai masuknya pemain-pemain baru dan dalam panggung politik bersama pemain lama, melainkan juga terjadinya perubahan (pergeseran) kekuatan politik di kalangan rakyat. Hal ini dapat pula dibaca sebagai masuknya politik praktis (perebutan kekuasaan) di tingkat rakyat. Maka tidak perlu heran bila kelak terjadi konflik horisontal, sebagai akibat dari proses ini. Kesemuanya dapat menjadi bencana yang akhirnya menggagalkan demokrasi.



Peluang itu, selayaknya dimanfaatkan untuk mengubah kesalahan Pembangunan yang mendasar, yakni tidak ditempatkannya penataan kembali penguasaan dan pemanfaatan tanah beserta sumber daya alam yang menyertainya, sebagai pra-kondisi dari pembangunan sosial.10 Bila hal ini tidak dilakukan, atau lebih buruk lagi sekadar mengulang kembali strategi pembangunan Orde Baru maka pemerintahan daerah akan memetik buahnya, yakni krisis keadilan, krisis alam, dan krisis produktivitas.11
 



Krisis keadilan adalah menyangkut ketidakadilan penguasaan berbagai kelompok sosial rakyat (berdasar kelas, gender, etnis, dll) terhadap tanah beserta tumbuhan dan apa yang terkandung di bawahnya, berbagai usaha dan organisasi serta kehidupan di atas tanah.  Krisis keadilan ini ditandai oleh –di satu pihak– semakin banyaknya rakyat yang menjadi “pengungsi-pengungsi pembangunan” (development refugees) akibat hilangnya penguasaan mereka atas tanah dan sumber daya alam yang menyertainya; dan di pihak lain tanah dan sumber daya alam mereka diusahakan secara eksklusif oleh badan-badan raksasa atas nama pembangunan. Krisis keadilan ini pulalah yang membawa pada krisis kesejahteraan rakyat berupa merosotnya penghasilan dan konsumsi rakyat dari tanah dan sumber daya alamnya di satu pihak dan berkelimpahannya perolehan kekayaan dan konsumsi mewah-mewahan dari orang-orang dan badan usaha luar yang ikutserta memanfaatkan tanah dan sumber daya alam itu. 

Krisis alam menyangkut hancurnya lingkungan ekosistem segala makhluk akibat intervensi proyek-proyek pembangunan yang beresiko pada keberlanjutan ekosistem kehidupan segala makhluk (bukan hanya manusia). Krisis ini ditandai oleh pengambilan manfaat atas sumber daya alam oleh pihak luar rakyat di satu pihak; dan diterimanya bencana kerusakan alam dan sampah-sampah yang tak mampu direhabilitir oleh alam itu sendiri. 

Sedangkan krisis produktivitas rakyat menyangkut mandeknya productive forces (kemampuan usaha) rakyat mengubah tanah dan sumber daya alam menjadi barang yang berguna baginya dan barang yang dapat dipertukarkan di satu pihak; dan melesatnya badan usaha raksasa untuk mengubah tanah dan sumber daya alam menjadi modal dalam sistem produksi yang sama sekali asing bagi rakyat setempat. 

Sekarang ini berkembang kenyataan bahwa rakyat yang hidup dalam krisis keadilan, krisis alam, dan krisis produktivitas itu telah mengekspresikan diri dalam berbagai tindakan protes. Hal ini bukan hanya berupa ekspresi dari ketidakpuasan, melainkan eskalasinya sudah sampai pada bentuk yang meluluhlantakkan dasar-dasar legitimasi pembangunan itu sendiri, di antaranya berupa pengambilan kembali tanah, penghancuran wujud fisik proyek-proyek, pengusiran pegawai-pegawai proyek, dll.

Ketika rasa senasib dan sependeritaan dari penduduk yang telah sampai pada suatu pengorganisasian dan pembelaan yang mengarah pada tuntutan pengakuan, perlindungan dan penghormatan bahkan pemulihan hak-hak rakyat atas tanah dan sumber daya alam, maka tidak ada jalan lain kecuali dilakukannya perubahan kebijakan pemerintah, termasuk pemerintah daerah. Pada konteks ini, pemerintahan daerah dituntut untuk berkreasi baru agar permasalahan pokok rakyat bisa diselesaikan, dengan mempergunakan jiwa dasar desentralisasi dimana rakyat semakin dekat jarak politik dan geografisnya untuk ikut campur membentuk kebijakan pemerintahan. Jelas sekali ada suatu tuntutan pada pemerintahan (terutama pemerintahan daerah) untuk mengelola kekuasaannya yang tidak berakibat pada hancurnya wilayah kelola rakyat.

 

Catatan Akhir:

1 Kuntowijoyo, Masalah Tanah dan Runtuhnya Mitos Negara Budiman, Yogyakarta: Lembaga Penyadaran Rakyat Pedesaan, 1992, hal. 8.

2 Lihat lebih jauh pada: Tom Dietz, Entitlements of Natural Resource, Countours of Political Environtmental Geography, Utrecht: International Books, 1996, yang telah dterjemahkan oleh Roem Topatimasang dan diterbitkan sebagai Ton Dietz, Pengakuan Hak atas Sumber daya Alam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Insist Press dan Remdec, 1998.

3 Iman Soetiknjo (1974), Politik Agraria dan Pembangunan Negara, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Politik Agraria pada Fakultas Sosial dan Politik UGM, 19 Juni 1974, Yogyakarta, Seri Penerbitan Pidato Pengukuhan.

4 Mohammad Hatta, (1943), Dasar Preadvies kepada Panitia Penyelidik Adat-istiadat dan Tata-usaha Lama, tt, tp, 1943.

5 Noer Fauzi (1999), Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia, Yogyakarta, INSIST Press, KPA bekerjasama dengan Pustaka Pelajar.

6 Mohtar Mas’oed (1989), Ekonomi dan Struktur Politik: Orde Baru 1966 – 1971, Jakarta: LP3ES. 

7 Noer Fauzi (1999), Op Cit.

8 Lihat karya Gunawan Wiradi (2000), Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir, Noer Fauzi (Penyunting), Yogyakarta: Insist Press, KPA bekerjasama dengan Pustaka Pelajar. Lihat juga, D. Christodoulou (1990), The Unpromised Land. Agrarian Reform and Conflict Worldwide, London and New Jersey, Zed Books.

9 Lihat: Noer Fauzi dan Dianto Bachriadi (1999), “Hak Menguasai Negara, Persoalan Yang Harus Diselesaikan”, yang dimuat dalam Konsorsium Pembaruan Agraria (1999), Usulan Revisi UUPA, Menuju Kedaulatan Rakyat atas Sumber-sumber Agraria, Jakarta, Konsorsium Pembaruan Agraria bekerjasama dengan Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN). 

10 Gunawan Wiradi (2000), Op Cit.

11 Tentang krisis keadilan dan krisis alam ini diurai dengan kasus Kalimantan Barat dalam karya Stepanus Djuweng (1995), Land Dispute Cases: The Strawberry of Development: Global Causes of Local Conflicts vs Local Cost of Global Problems. Makalah pada Konferensi INFID X. terjemahan makalah ini dimuat dalam Noer Fauzi, peny. (1997) Tanah dan Pembangunan, Jakarta: Sinar Harapan, 1997.

 

No comments:

Post a Comment