Mensiasati Otonomi Daerah Demi Pembaharuan Agraria (Bagian 3 dari 6)

 Mensiasati Otonomi Daerah Demi Pembaharuan Agraria

Penulis: R. Yando Zakaria, Danie Munggoro, Muslich Ismail, Noer Fauzi Rachman, Abdon Nababan, Hendro Sangkoyo, Dadang Juliantara.

Penerbit: Jakarta: Konsorsium Pembaruan Agraria, 2001; Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2001. viii + 187 pg; 17 cm ISBN 979-95482-3-3 



III. Otonomi asli, Pemberian atau Bawaan?  

 

 

Kalau Negara tidak mengakui kami,

Kami pun tidak akan mengakui Negara

(Semboyan AMAN – Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, 1999)

 

Pelaksanaan otonomi daerah berangkat dari suatu asumsi bahwa pemegang kewenangan –bahkan pemegang hak– untuk mengatur rumah tangga sendiri adalah pemerintahan. Yang dimaksud dengan desentralisasi adalah penyerahan hak mengurus wilayah dan penyerahan kewenangan dari pemerintahan pusat kepada pemerintahan daerah. Pembuat UU No. 22 Tahun 1999 mendudukletakkan pemerintahan daerah Kabupaten sebagai locus otonomi.

Dalam teori politik politik-hukum, dikenal adanya dua macam konsep hak berdasarkan asal usulnya, yakni hak bawaan dan hak berian. Dengan menggunakan dua pembedaan ini, maka digolongkan bahwa otonomi daerah yang dibicarakan banyak orang adalah otonomi yang bersifat berian ini. Karena itu, wacananya bergeser dari hak menjadi wewenang (authority). Kewenangan selalu merupakan pemberian, yang selalu harus dipertanggungjawabkan. Selain itu, konsep urusan rumah tangga daerah hilang diganti dengan dengan konsep kepentingan masyarakat. Dengan demikian, otonomi daerah merupakan kewenangan pemerintahan daerah untuk mengatur kepentingan masyarakat di daerah.

Berbeda dengan hak yang bersifat berian adalah hak yang bersifat bawaan, yang telah tumbuh-berkembang dan terpelihara suatu kelembagaan (institution) yang urusan rumah tangga sendiri. Dalam  UUD 1945, konsep hak yang bersifat bawaan inilah yang melekat pada “daerah yang bersifat istimewa” yang memiliki “hak-hak asal-usul”.

Pada Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Berita Republik Indonesia, II, 7, hal. 45 – 48; Penjelasan hal. 51 – 56), khususnya Bab VI, yang berjudul Pemerintahan Daerah, terdapat Pasal 18 yang berbunyi:2 

Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.

Pada Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya dalam bagian Penjelasan Sepasal Demi Sepasal, untuk Bab VI, Pasal 18 ini diberikan catatan sebagai berikut:

I.      Oleh karena Negara Indonesia itu suatu “eenheistaat”, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat “Staat” juga.

       Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi, dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil.

       Daerah-daerah yang bersifat outonoom (streek dan locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang.

       Di daerah-daerah yang bersifat outonoom akan diadakan badan perwakilan daerah, oleh karena di daerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.

II.     Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 “Zelfbesturende landschappen” dan “Volksgemeenschappen”, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. 

       Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.

Pasal 18 UUD 1945 yang berkaitan dengan apa yang disebut sebagai ‘hak-hak asal-usul’ itu ini telah diamandemen pada tahun 2000 oleh Sidang Umum MPR dan diubah menjadi Pasal 18 B BAB VI – Pemerintahan Daerah, yang berbunyi:

(1)   Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur oleh Undang-undang

(2)   Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang.

     Arena yang menunjukkan adanya ketegangan antara hak berian yang dipegang oleh pemerintahan daerah dengan hak bawaan ini terletak pada apa yang oleh UU No. 22 Tahun 1999 disebut sebagai  “Desa atau yang diberi nama lain”. Pembuat Undang-undang No. 22 Tahun 1999 sangat menyadari bahwa Undang-undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa telah menimbulkan banyak masalah yang pada pokoknya menguatkan ketegangan antara negara dengan komunitas. Konsep Desa (dan kelurahan) yang tercantum dalam UU Pemerintahan Desa No. 5 Tahun 1979 memaksa pemerintahan daerah di luar Jawa mengubah struktur pemerintahan yang telah ada guna menyesuai­kan dengan amanat UU itu. Karena yang tercantum dalam undang-undang ini adalah Desa maka pemerintah daerah menghilangkan kesatuan masyarakat hukum (Rechtsgemeenschap) yang dianggap tidak menggunakan kata Desa, seperti Nagari di Minangkabau, Dusun dan Marga di Palembang, Gampong di Aceh, Huta, Sosor dan Lumban di Mandailing, Kuta di Karo, Jorong di Sumatera Barat, Negeri di Sulawesi Utara dan Maluku, Kampung di Kalimantan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan, Temukung di Nusa Tenggara Barat, Yo di Sentani Irian Jaya, dan lain sebagainya. Seterusnya, kesatuan masyarakat hukum tidak hanya secara formal berganti nama menjadi desa, akan tetapi harus pula secara operasional segera memenuhi segala syarat yang ditentukan oleh UU  No. 5 Tahun 1979. Seperti telah disebut, upaya ini oleh Pemerintah Daerah di luar Jawa dan Madura dilakukan melalui program penataan kembali desa atau disebut pula dengan program regrouping desa untuk menuju apa yang kemudian disebut sebagai ‘Desa Orde Baru’.

Birokratisasi “Desa” ke dalam sistem Pemerintahan Nasional di Republik Indonesia telah menghasilkan kerusakan kebudayaan yang sulit dipulihkan.3  Dalam strategi birokratisasi itu, meski otonomi “Desa” juga disinggung-singgung, setidaknya Pasal 18 UUD 1945 juga menjadi konsideran UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, “Desa atau yang disebut dengan nama lain” tidak hanya diubah statusnya, yakni dari ‘masyarakat hukum’ menjadi ‘sekumpulan orang yang tinggal bersama’,  melainkan juga dicangkok dengan apa yang kemudian disebut sebagai Pemerintahan Desa sebagai ‘satuan administratif pemerintahan’. Sistem pengurusan (governance system) yang ada dalam “Desa” digantikan oleh suatu sistem pemerintahan (government system) yang baru, yang sama sekali asing bagi warga “Desa” itu. 

Padahal, sejatinya, ada perbedaan asal-usul kebudayaan yang amat besar antara “Desa” sebagai suatu ‘persekutuan sosial’ dengan desa sebagai suatu ‘satuan administrasi pemerintahan’. Kebudayaan yang hidup dalam desa bukan hanya tidak dapat dikembangkan oleh Pemerintahan Desa, melainkan lebih dari itu, perwujudan strategi transplantasi (pencangkokan) itu telah memandulkan motor pembaruan kebudayaan dari dalam “Desa” itu sendiri. Ketegangan antara proses-proses Negara dengan proses-proses rakyat yang berkepanjangan ini pada gilirannya memutus jalur integrasi psiko-politik komuniti-komuniti yang tergolong old societies ke dalam new state.

Karenanya, sesuai dengan semangat Pasal 18 UUD 1945, melalui pemberlakukan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, “Desa” dikembalikan ‘statusnya’ sebagai suatu ‘persekutuan sosial’ kembali. Dalam bagian Menimbang butir e dikatakan:

bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan di Desa (Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3153) yang menyeragamkan nama, bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintahan desa, tidak sesuai dengan jiwa Undang-undang Dasar 1945 dan perlunya mengakui serta menghormati hak asal-usul Daerah yang bersifat istimewa sehingga perlu diganti. 

Dipandang dari kepentingan komuniti, pernyataan legal itu merupakan koreksi yang tepat dan aspiratif, meski rumusannya telah ‘dilunakkan’. Menurut hemat kami, kata yang lebih tepat menghubungkan antara UU Pemerintahan Desa Nomor 5 Tahun 1979 dengan jiwa UUD 1945 bukanlah kata ‘tidak sesuai’, melainkan ‘pelanggaran’.4 Frasa ‘tidak sesuai’ membangun citra adanya ketidaksengajaan. Padahal yang sesungguhnya terjadi adalah  hasil dari suatu ‘sesat pikir’.5  Sedangkan frasa ‘pelanggaran’ justru akan bercitra sebaliknya,6 yang mengundang suatu pertanggungjawaban secara hukum dan politik untuk memulihkan kondisi korban-korban di satu pihak, dan mendidik kembali pemegang kekuasaan Negara ini untuk tidak begitu mudah melakukan pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia melalui pembuatan dan pemberlakukan peraturan per-undangan-undangan.

Barangkali, baru kali inilah ada sebuah undang-undang di sebuah negara yang dinyatakan oleh undang-undangnya yang lain sebagai undang-undang yang tidak sesuai dengan konstitusi negara itu. Lepas dari masalah ini, pertanyaan pokok kita adalah apakah ketentuan-ketentuan yang menyangkut “Desa” dan Pemerintahan Desa sebagaimana yang terkandung pada UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang baru itu mampu memulihkan dampak yang telah diderita “Desa” selama ini?

Pada hakikatnya pembuat UU No. 22 Tahun 1999 ingin merehabilitasi kedudukan dan peranan apa yang disebut sebagai “Desa”. Idenya ingin mendudukkan kembali Desa atau yang disebut dengan nama lain di tempat lain terpisah dari jenjang pemerintahan. Diakui dalam sistem pemerintahan nasional sebagai kesatuan masyarakat yang dihormati mempunyai hak asal-usul dan istiadat setempat. Dalam Bab 1, Ketentuan Umum, Pasal 1, butir o dinyatakan bahwa:

Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di daerah kabupaten.

Jadi, secara langsung, pembuat UU No. 22 Tahun 1999 ingin memulihkan otonomi asli, di mana unsur-unsur pokok demokrasi ada di Desa, seperti Badan Perwakilan Desa, yang berfungsi sebagai parlemen. Namun, selanjutnya, UU No. 22 Tahun 1999 menyerahkan penyelesaian ketegangan itu kepada pemerintahan daerah, dimana pengaturannya akan ditetapkan melalui Peraturan Daerah masing-masing. Diatur pula bahwa masing-masing peraturan daerah berkewajiban mengakui dan menghormati hak asal-usul “Desa” tersebut.

Dalam pasal 93 UU No. 22 Tahun 1999 hanya disebutkan bahwa:

(1)   Desa dapat dibentuk, dihapus dan/atau digabung dengan memperhatikan asal-usulnya atas prakarsa masyarakat dengan persetujuan Pemerintah Daerah Kabupaten dan DPRD.

(2)   Pembentukan, penghapusan dan/atau pengga-bungan Desa sebagaimana dimaksud ayat (i), ditetapkan dalam Peraturan Daerah.

Dalam Penjelasan, Umum, angka 9 dinyatakan bahwa:

1.     Desa berdasarkan undang-undang ini adalah Desa atau yang disebut dengan nama lain sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa, sebagaimana dimaksud dalam penjelasan pasal 18 Undang-undang Dasar 1945. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat.

2.     Penyelenggaraan pemerintahan Desa merupakan subsistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan sehingga Desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Kepala Desa bertanggung jawab pada Badan Perwakilan Desa dan menyampaikan laporan pelaksanaan tugas itu kepada Bupati.

3.     Desa dapat melakukan perbuatan hukum, baik hukum publik maupun hukum perdata, memiliki kekayaan, harta benda, dan bangunan serta dapat dituntut dan menuntut di pengadilan. Untuk itu, Kepala Desa mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum dan mengadakan perjanjian yang saling menguntungkan.

4.     Sebagai perwujudan demokrasi, di Desa dibentuk Badan Perwakilan Desa atau sebutan lain yang sesuai dengan budaya yang berkembang di Desa yang bersangkutan, yang berfungsi sebagai lembaga legislasi dan pengawasan dalam hal pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, dan Keputusan Kepala Desa.

5.     Di Desa dibentuk lembaga kemasyarakatan Desa lainnya sesuai dengan kebutuhan Desa. Lembaga dimaksud merupakan mitra Pemerintahan Desa dalam rangka pemberdayaan masyarakat Desa.

6.     Desa memiliki sumber pembiayaan berupa pendapatan Desa, bantuan Pemerintah dan Pemerintah Daerah, pendapatan lain-lain yang sah, sumbangan pihak ketiga dan pinjaman Desa.

7.     Berdasarkan hak asal-usul Desa yang bersangkutan, Kepala Desa mempunyai wewenang untuk mendamaikan perkara/sengketa dari para warganya.

8.     Dalam upaya meningkatkan dan mempercepat pelayanan kepada masyarakat yang bercirikan perkotaan dibentuk Kelurahan sebagai unit Pemerintahan Kelurahan yang berada di dalam Daerah Kabupaten dan/atau Daerah Kota.

Dengan demikian, prospek pembebasan “Desa” dari birokratisasi, atau prospek perwujudan “Otonomi ‘Desa’”, masih bergantung dinamika pembentukan kebijakan di pemerintahan daerah Kabupaten masing-masing. Lebih-lebih lagi, Pasal 99 merumuskan kewenangan desa mencakup

a.     kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul Desa; 

b.     kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh Daerah dan Pemerintah; dan 

c.     Tugas Pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan/atau Pemerintah Kabupaten. 

Sekali lagi, menjadi jelas sekali bahwa ada ketentuan hukum negara yang melanjutkan ketegangan antara hak bawaan yang “tumbuh dari bawah” dengan kewenangan yang “berasal dari atas”. Sesungguhnya, ketegangan inilah yang secara tidak disadari hendak dipelihara. Pada prakteknya nanti, kita akan menyaksikan ketegangan yang tidak henti-hentinya, walaupun telah diatur bahwa (bagian Penjelasan, Umum, Pemerintahan Desa, butir 2):

Penyelenggaraan Pemerintahan Desa merupakan subsistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan sehingga desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Kepala Desa bertanggung jawab pada Badan Perwakilan Desa dan menyampaikan laporan pelaksanaan tugas tersebut kepada Bupati. 

Belum relanya pemerintah pusat membebaskan apa yang disebut “Desa atau disebut dengan nama lain” dari sistem birokrasi pemerintahan daerah juga terlihat jelas dalam Pasal 98 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Kepala desa dilantik oleh Bupati atau pejabat lain yang ditunjuk”, dan pasal 99 yang mengatur hal ihwal “kewenangan desa” yang mencakup pula (butir c) “Tugas Pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan/atau Pemerintah Kabupaten”, serta pasal 103 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Pemberhentian Kepala Desa, baik karena:

a.     meninggal dunia;

b.     mengajukan berhenti atas permintaan sendiri;

c.     tidak lagi memenuhi syarat dan/atau melanggar sumpah/ janji;

d.     berakhir masa jabatan dan telah dilantik Kepala Desa yang baru; dan

e.     melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat desa. 

dilakukan oleh Bupati atas usul Badan Perwakilan Desa”. 

Birokratisasi “Desa atau yang disebut dengan nama lain” di daerah lain ini semakin jelas wujudnya dengan dikeluarkannya Kepmendagri No. 64/1999 tentang Pedoman Umum Pengaturan mengenai Desa, yang dikeluarkan tidak lama setelah UU No. 22 Tahun 1999 dikeluarkan. Kepmendagri yang dikeluarkan oleh Mendagri semasa dijabat oleh Jenderal Syarwan Hamid dengan jelas mendudukkan Desa sebagai arena penaklukan “hak bawaan” yang dipegang kelembagaan rakyat oleh “hak berian” atau kewenangan yang dipegang pemerintahan.

Karena ketidaktegasan mengenai soal ini, UU No. 22/1999 harus direvisi secara mendasar, seperti yang dimandatkan oleh TAP MPR No. IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, yang berbunyi:

Revisi dimaksud dilakukan sebagai upaya penyesuaian terhadap pasal 18 Undang-undang Dasar 1945, termasuk pemberian otonomi bertingkat terhadap propinsi, kabupaten/kota, desa/nagari/marga, dan sebagainya. 

Dalam UU No. 22 Tahun 1999, Desa atau yang diberi nama lain, belum dinyatakan secara ekplisit memiliki otonomi penuh. Pengakuan otonomi desa baru setengah hati, kalau tidak mau mengatakannya sekedar basa-basi. UU No. 22 Tahun 1999 baru mengatur masalah Pemerintahan (Nasional) oleh Pemerintahan Desa, khususnya oleh Kepala Desa dan Badan Perwakilan Desa. Jadi bukan penyelenggaraan Pemerintahan Nasional oleh “Desa” itu sendiri Karenanya, Pemerintahan Desa di “Desa” merupakan subsistem dalam sistem Pemerintahan Nasional. Dengan demikian, tetap dilanjutkan dualisme intitusi di desa, masing-masing adalah Pemerintahan Desa dan “Desa” itu sendiri, sebagaimana yang terjadi pada masa-masa sebelum ini.

Jadi, pengaturan tentang Pemerintahan Desa sebagaimana yang ada dalam UU No. 22/1999, dengan sendirinya belum menyelesaikan ketegangan antara negara – rakyat (komuniti) yang selama ini ada. Untuk menghindarkan masalah buruk yang pernah timbul selama ini, sistem administrasi Negara harus berhenti sebelum masuk dalam Desa, sebab alas keberadaan desa tidak bisa cocok dengan logika-logika administrasi formal Negara. Setelah itu, biarkanlah mekanisme-mekanisme Desa berjalan sebagaimana dikembangkan secara demokratis oleh rakyat desa bersama para pemimpinnya. 

Sebab itu, yang dibutuhkan adalah pengembalian otonomi asli seutuhnya (termasuk haknya sebagai subjek hukum dari hak atas teritori yang dikenal dengan nama hak ulayat dan lain-lain). Pengakuan desa atau yang bernama lain itu sebagai badan yang menerima kewenangan penyelenggaraan Pemerintahan Nasional hanyalah salah satu saja dari sekian kebutuhan yang harus dipenuhi dalam otonomi penuh tersebut. Hanya dengan cara demikianlah ketegangan antara negara – desa dapat diselesaikan. Dengan cara demikian pula dualisme yang terjadi di desa selama ini, dan yang telah merugikan rakyat desa, dapat diselesaikan/dihilangkan. Dengan pemberian otonomi asli yang penuh itulah akan tercipta rakyat yang dinamis, yang dibutuhkan bagi kelangsungan keberadaan Negara ini di masa kini dan masa yang akan datang.

 

Catatan Akhir:

1 ….

2 Kutipan-kutipan tentang Undang-Undang Dasar 1945 bersumber dari dokumen/buku yang berjudul Tiga Undang-Undang Dasar: UUD RI 1945, Konstitusi RIS, UUD Sementara RI, yang dihimpun dan diterbitkan oleh Penerbit Ghalia Indonesia, Cetakan keenam, 1995.

3 Rangkuman pandangan berbagai pihak dalam R. Yando Zakaria (2000), Abih Tandeh, Masyarakat Desa di Bawah Orde Baru. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).

4 Misalnya, sekedar contoh, lihat R. Yando Zakaria (1999), “Kembalikan Kedaulatan Masyarakat Adat”, Jurnal Wacana No. 2/1999, Yogyakarta: Institute for Social Tranformation/INSIST, yang dipublikasikan sebelum UU No. 22/1999 muncul.

5 Pada mulanya, kata ‘sesat pikir’ dipakai oleh Noer Fauzi untuk menerangkan sebab terjadinya bencana bagi masyarakat-masyarakat adat yang tanah-tanah dan sumber daya alamnya di-negara-kan, lalu di atas konsep ‘tanah negara’ itu, pemerintah pusat memberikan hak-hak pemanfaatan untuk badan-badan usaha skala raksasa. Lihat, Maria Rita Ruwiastuti (2000), Sesat Pikir Politik Hukum Agraria, Membongkar Alas Penguasaan Negara terhadap Masyarakat Adat, Noer Fauzi (Peny.), Yogyakarta: KPA bekerjasama dengan Insist Press dan Pustaka Pelajar.

6 Tentang hal ini periksalah Zakaria, op.cit., 2000, khususnya Bab III.

No comments:

Post a Comment