Perjuangan Pengakuan Hak Ulayat

 


Noer Fauzi Rachman*)


Dimuat dalam rubrik Opini Kompas 17 Oktober 2022 https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/17/perjuangan-pengakuan-hak-ulayat


            Domein verklaring adalah satu doktrin politik hukum agraria kolonial yang berbasiskan pada klaim/deklarasi/pernyataan negara memiliki seluruh tanah yang tidak dilekati hak milik secara perorangan. Ward Berenschot, guru besar  Antropologi Politik Komparatif   dari Universty of Amsterdam, menulis  “150 Tahun Belenggu atas Hak Tanah” (Kompas 20 Juli 2020)  menunjukkan  dampak negatif ”domein verklaring” terhadap kesejahteraan dan kualitas hidup jutaan masyarakat Indonesia sejak 1870.  Artikel ini menunjukkan bagaimana “Hak Ulayat” merupakan konsep tanding  atas domein verklaring, dan perjuangan pengakuannya berada dalam proses perjuangan yang panjang, terjal dan mendaki.


Asal-usul intelektual Hak Ulayat

            Saya membaca disertasi Upik Djalins di Cornell University, berjudul Subjects, Law Making And Land Rights: Agrarian Regime and State Formation In Late-Colonial Netherlands East Indies, mengenai pembentukan rezim agraria kolonial Hindia Belanda antara tahun 1870 – 1939. Ia menggunakan lensa perampasan tanah yang difasilitasi oleh aturan hukum kolonial, dan berfokus pada cara bagaimana elite dari kaum terjajah berpartisipasi secara aktif dalam dalam pembentukan rejim agraria kolonial. 

            Pembentukan rejim agraria ini bersifat interaktif antara organ kekuasaan negara kolonial dengan subjek-subjek dari pihak yang terjajah yang memiliki cara-cara artikulasi, dan strategi sehari-hari mereka sendiri. Sebagian dari subjek-subjek itu adalah ahli-ahli hukum pribumi murid Cornelis van Vollenhoven (1874–1933), guru besar Hukum Adat di Leiden University, Belanda. Ia dikenal sebagai pilar utama dari adatrechtsschool di Belanda, dan memiliki tujuh puluh delapan mahasiswa PhD, termasuk enam warga Indonesia. Meski mereka menyandang identitas kolonial, kaum pribumi ahli-ahli hukum ini juga mengusung konsep diri nasional. Setelah mumpuni mempelajari secara kritis cara-cara kerja negara kolonial, khususnya dalam penguasaan tanah dan tenaga kerja, mereka bisa mengartikulasikan gagasan politik hukum baru paska-kolonial, mulai dari merumuskan filosofi, azaz-azas hingga skema-skema tenurial yang diberlakukan dalam negara yang baru dimerdekakan itu.

            Salah satunya adalah konsep beschikkingsrecht, sebagai tandingan atas domein verklaring. Pada masanya, Van Vollenhoven dengan lantang berjuang agar pemerintah dan masyarakat Belanda dapat melihat cara rakyat pribumi hidup dalam hukumnya sendiri. Ia membantah keras anggapan bahwa hukum Barat yang diterapapkan terhadap rakyat pribumi akan berarti memperkaya peradaban rakyat pribumi yang “hidup tanpa hukum”. Ia menolak anggapan bahwa rakyat pribumi “hidup tanpa hukum”, dan menentang segala usaha administrasi kolonial untuk mengabaikan eksistensi hukum-hukum adat. Lebih dari itu, ia mempromosikan pengakuan eksistensi masyarakat hukum adat, hukum adat itu sendiri, dan hak-hak penguasaan atas wilayah adat yang dinamakannya beschikkingsrecht.

            Dalam naskah tahun 1919, Indonesiër en Zijn Grond (diterjemahkan menjadi Orang Indonesia dan Tanahnya, Insist Press 2020) van Volenhoven menguraikan pelanggaran hak dan ketidakadilan (onrecht) yang dialami pada masyarakat pribumi melalui pelaksanaan hukum agraria yang secara sistematis mengekang hak-hak penguasaan rakyat atas wilayah adatnya. Hal ini menciptakan ketidakpastian hukum yang sangat serius dan membangkitkan banyak kebencian rakyat. Menurut van Vollenhoven, perampasan tanah yang terjadi dimana-mana dan secara besar-besaran itu mendapatkan pembenaran melalui penyalahtafsiran secara sistematis atas hak penguasaan atas wilayah adat.  

            Koran-koran nasionalis di akhir tahun 1920-an banyak mengangkat kritik atas politik agraria kolonial dengan mengangkat kesengsaraan rakyat pribumi yang diakibatkannya. Kesadaran dan kefasihan kaum intelektual nasionalis, termasuk para penulis di koran-koran nasionalis di atas, menyoal topik ini sesungguhnya sangat mengesankan. Cukup masuk akal untuk menyimpulkan bahwa kefasihan para cendekiawan pribumi atas masalah politik agraria dan akibatnya pada rakyat pribumi itu dipengaruhi pula oleh berbagai naskah yang dibaca dan didiskusikan secara mendalam, termasuk mengacu pada karya Indonesiër en Zijn Grond.  Supomo (1903–1958) menerjemahkan konsep beschikkingsrecht ini dengan menyebutnya “hak pertuanan”, sementara itu M.M.Djojodiguno (1896-1979) menyebutnya “hak purba”. Undang-undang Pokok Agraria No. 5/1960 menyebutnya sebagai “hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat.”   


Memikirkan Kembali Strategi Pengakuan

            Seruan Berenschot dalam Kompas 20 Juli 2020 bahwa sudah saatnya Indonesia berupaya lebih serius dalam menghapuskan warisan kolonial Domein verklaring ini  beresonansi dengan suara banyak sarjana Indonesia dan luar negeri yang saat ini telah dan sedang terus meneliti mengenai kritik atas tetap berlangsungnya penindasan atas eksistensi “hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat.”   Sebagai tandingan, konsep “hak ulayat” sesungguhnya  masih terus relevan bagi negara dan masyarakat Indonesia di masa terdahulu, sekarang ini dan juga untuk masa yang akan datang. Tentu, secara empiris sistem penguasaan tanah masyarakat adat tidak lah seragam, dan tidak dapat diseragamkan (R. Yando Zakaria, 2021 “Kompleksitas Tanah Ulayat atau Tanah Adat dan Masalah Penatausahaannya”).

            Saya mempelajari disertasi Yance Arizona berjudul Rethinking Adat Strategies: The Politics of State Recognition of Customary Land Rights in Indonesia” (Leiden University, 2022). Disertasinya ini berangkat dari asumsi bahwa bagaimana kerangka hukum negara secara sengaja menindas hak ulayat dari waktu ke waktu,  semenjak  masa kolonial hingga saat ini, termasuk berbasiskan pada studi kasus konflik tanah di tiga lokasi yakni Pandumaan-Sipituhuta (Sumut), Kasepuhan Karang (Banten), dan Komunitas Cek Bocek (pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat). Kesimpulannya: proses pengakuan hukum hak atas tanah ulayat  terlalu rumit dalam menyelesaikan pengaturan sengketa dan konflik pertanahan. Selain itu, faktornya adalah persaingan kepentingan di antara anggota masyarakat dan perubahan strategi mereka dalam menghadapi konflik dan sengketa klaim tanah yang dihadapi.  Mengejar pengakuan hukum tentu membuat masyarakat adat harus mengikuti tahapan dan prosedur yang berada di bawah kendali sistem hukum negara. Ini berakibat: alih-alih memperoleh otonomi, masyarakat adat berisiko masuk dalam kerumitan proses pengakuan hukum yang jauh dari jangkauan.

            Banyak ahli dari organisasi masyarakat sipil, universitas, dan lainnya, telah bekerja secara langsung membantu komunias-komunitas masyarakat adat, berbasiskan kasus konflik dan sengketa tanah yang nyata. Promosi pengakuan negara atas wilayah adat berujung pada perubahan kebijakan dan perundang-undangan, yang berpuncak pada Putusan MK atas perkara nomor 35/PUU-X/2012. Putusan MK ini mengoreksi beberapa pasal dalam UU 41/1999 mengenai Kehutanan yang menggolongkan hutan adat sebagai bagian dari hutan negara, dan putusan MK tersebut mengoreksinya dengan menjadikan hutan adat sebagai bagian dari wilayah adat, milik masyarakat hukum adat.  

            Kebijakan Kementerian LHK menindaklanjuti Putusan MK itu adalah dengan membuat skema Hutan Adat. Sejak Desember 2016 hingga Agustus 2022, penetapan Hutan Adat telah mencakup jumah 76.270, 44.997 kk, dalam 102 unit (90 unit telah memiliki Surat Keputusan Menteri, dan 12 unit lagi sedang di proses). Total jumlah luasan yang menanti untuk ditetapkan, dan sudah ada dalam Peta Hutan Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat fase ke- IV, mencapai 1.152.600 hektar (Bambang Supriyanto “Hutan Adat” 2022).

            Jumlah realisasi ini dinilai Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) masih kecil sekali, dibanding peta partisipatif wilayah adat yang sudah dihasilkan hingga Agustus 2022, yakni 1.119 unit dengan luas wilayah adat 20,7 juta hektar.  Peta wilayah adat tersebut tersebar di 29 Provinsi dan 142 kabupaten/kota. Dari data tersebut, terdapat 189 wilayah adat dengan luas mencapai 3,1 juta hektar telah memperoleh pengakuan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) dan Surat Keputusan kepala daerah propinsi atau kabupaten. Sedangkan yang belum memperoleh penetapan pengakuan wilayah adat masih sangat besar, yaitu sekitar 17,7 juta hektar. Dengan demikian baru 15% wilayah adat yang sudah diakui oleh pemerintah daerah (BRWA, 2022).  


Babak Akhir Pemenuhan Janji Nawacita

            Dalam dokumen Nawacita yang dilansir Presiden Joko Widodo delapan tahun lalu, terkandung agenda pengaturan pengakuan hak-hak masyarakat adat.  Kita memasuki babak terakhir pemenuhan janji Nawacita itu. Dalam pidato Presiden Joko Widodo di pembukaan acara Gugus Tugas Reforma Agraria, GTRA Summit di Wakatobi, 9 Juni 2022, telah memberi kritik dan otokritik yang keras, bahwa ego-sektoralisme adalah musuh bersama, yang ia telah ingatkan jauh hari sebelumnya. 

            Dengan menyadari adanya inisiatif-inisiatif sektoral, termasuk dari Kementereian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), penatausahaan yang menyeluruh atas tanah dan hak ulayat dari masyarakat hukum adat sungguh mendesak untuk dilakukan. Amanat UUPA 5/1960 (Pasal 19) memerintahkan pemerintah untuk mendaftar seluruh bidang tanah yang ada. Pendaftaran tanah itu bertujuan untuk menciptakan kepastian hukum atas bidang-bidang tanah yang bersangkutan, termasuk melalui proses kadastral terhadap bidang-bidang tanah hak ulayat yaitu pengukuran, pemetaan dan pencatatan dalam daftar tanah. Kendala-kendala berkenaan objek hak yang akan didaftar, subjek pemegang hak atas objek yang didaftar, dan skema-skema hak nya, sesungguhnya bukanlah tantangan yang tidak bisa diatasi dengan kompetensi sumber daya manusia, teknologi dan pengaturan kelembagaan pemerintah. 



No comments:

Post a Comment