Pengantar
Orang-orang yang bergerak sebagai aktivis organisasi-organisasi non-pemerintah, pertama-tama, mempunyai suatu kekayaan pengamatan dan empati mengenai semakin sulitnya posisi, kondisi dan pengalaman hidup dari kelompok-kelompok komunitas yang lemah, miskin, marjinal, rentan, atau tertindas. Ada banyak contoh dikemukakan dalam buku ini, termasuk dalam golongan merosotnya layanan alam akibat kerusakan ekologis, ancaman-ancaman keselamatan dan kesejahteraan rakyat, hingga menurunnya produktivitas rakyat dan sebagainya. Peristiwa demi peristiwa yang asalnya berada dalam ruang dan waktu tertentu kemudian terlepas dari asal-usul keberadaannya yang konkrit dan spesifik. Para aktivis memiliki cara-cara mengumpulkan, mendokumentasikan dan bercakap-cakap mengenai sebab musab sebab-sebab musababnya, hingga apa-apa yang membuat kondisi ini bertahan. Para aktivis belajar dan mengembangkan metodologi yang manjur, baik untuk memeriksa apa yang sesungguhnya terjadi, hingga merumuskan cara-cara bekerja bersama komunitas. Lebih dari sekedar kerja memahami dan menafsirkan apa yang sedang terjadi, para aktivis ini mengembangkan cara bekerja bersama pemimpin dan kelompok-kelompok komunitas itu, maupun bersama para pihak yang punya andil untuk mengubah kebijakan publik yang relevan. Berada dan berinteraksi antara komunitas, dan elite pembuat kebijakan publik merupakan suatu posisi istimewa dan sekaligus tantangan dari para aktivis.
Suatu
upaya menunjukkan bahwa suatu organisasi berhasil mencapai perubahan yang
diinginkannya adalah membuat buku mengenai keberhasilan-keberhasilannya.
Dengan semangat untuk merayakan keberhasilan itulah, para penulis buku ini
mendokumentasikan secara positif sebagian dari dari kerja-kerja
organisasi-organisasi non pemerintah yang bekerjasama dengan Siemenphu,
dipandang dari posisi istimewa para aktivis organisasi
non-pemerintah.
Epilog
ini bermaksud untuk mengajak pembaca merefleksikan cara-cara menarasikan
kerja-kerja lapangan dari aktivis-aktivis organisasi non-pemerintah,
berdasar pada pendokumentasian yang dilakukan oleh para penulis di buku
ini. Bagian akhir, dan yang utama mau dianjurkan adalah suatu
pendekatan mengutamakan sejarah geografi bahwa apa-apa yang berkembang sesungguhnya “bergantung pada dimana hal-hal
itu berkembang, di atas apa yang secara historis telah mengendap disana,
pada struktur-struktur sosial dan spasial yang telah menetap di tempat
itu” (Watts dalam Pred and Watts 1992:11).
Hubungan Utara-Selatan:
Pendanaan yang Tidak Langgeng
Apa
yang perlu ditampakkan secara eksplisit, dan tidak selalu jelas di dalam
naskah-naskah yang dibahas disini, walau ada penandanya, adalah hubungan
Utara-Selatan yang dijalin oleh The Siemenpuu Foundation sebagai organisasi nir-laba di Finlandia,
di Bumi Belahan Utara. Jadi, apa yang dkerjakan oleh mitra-mitra Siemenpuu yang sebagian disajikan
dalam buku ini dapat dimengerti sebagai suatu jenis hubungan antar bumi
belahan Utara dengan Bumi Belahan Selatan, dalam sektor hubungan antar
organisasi non-pemerintah (relations between non-governmental organizations). Salah satu hubungannya adalah hubungan aliran keuangan, yang pertama
kali dibentuk oleh keputusan alokasi sumber dana, politik hubungan
internasional dan pembangunan internasional (bilateral, multilateral atau
lainnya), dan last but not least pengetahuan berupa
rencana strategis.
Siemenpuu ini selain menjadi salah satu organisasi nirlaba
yang berfokus pada tema pembangunan Internasional di Finlandia,
mendukung komunitas lokal, pembela lingkungan dan lingkungan
yang terancam di negara-negara di Bumi Belahan Selatan, Global South, termasuk melalui dukungan penyediaan
dana terhadap organisasi-organisasi
non-pemerintah. Moto utama Siemempuu adalah Supporting the Environment and Environmental Defender in the South.
Siemenpuu
ini berorientasi mengenali akar penyebab masalah lingkungan dan
sosial dan mencari alternatif pembangunan masyarakat. Penetapan Indonesia
menjadi wilayah tujuan pembiayaan memang pada mulanya dimulai di aplikasi
proposal Siemenpuu, tapi selanjutnya menjadi pengambilan keputusan dari
kementerian pembangunan internasional. Sebagai organisasi di Global North, Siemempuu mengikuti
arahan strategis dari Kementerian Kerjasama Pembangunan bahwa
proyek-proyek yang didukung adalah yang akan mengurangi emisi yang
mengakibatkan perubahan iklim dan menipisnya keanekaragaman hayati. Dana
Siemenpuu terutama berasal dari dana Kementerian Kerjasama Pembangunan
Finlandia, dan telah dipakai untuk ratusan proyek di lebih dari 50
negara. Pendanaan Siemenpuu bukan merupakan pendanaan dalam jumlah
besar, namun Siemenpuu bersedia mendukung inisiatif kerja-kerja mitra yang
kerap menjadi pioneer dalam isu penyelamatan lingkungan di Indonesia,
seperti isu gambut dalam penyelamantan Semenanjung Kampar, saat belum
banyak yang membicarakan soal persoalan gambut. Begitupula dengan isu
restorasi mangrove, dengan dukungan Siemenpuu pada 2016, mitra Siemenpuu
telah menginisiasi Gerakan pemulihan mangrove melalui Jangkar Mangrove.
Sedangkan pemerintah pada 2020 baru memasukkan isu restorasi mangrove
dalam BRGM. Termasuk riset soal potensi kerusakan dan peluang ekonomi pada
ekosistem padang lamun.
Proyek-proyek yang didukung pendanaannya oleh Siemenpuu adalah dilaksanakan oleh suatu organisasi tertentu berdasar kontrak tertentu yang diatur kordinasinya oleh satu mitra utamanya. Pada tingkat akar rumput, peran dan kapasitas komunitas lokal dikembangkan sebagai penjaga lingkungan mereka sendiri. Mitra utama proyek akan bekerja dalam jaringan mitra-mitra yang menjamin pengembangan kapasitas dari penyelenggara, dalam hal ini untuk di Indonesia adalah Jikalahari (Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau).
Finlandia adalah suatu negara di Eropa yang berhasil keluar dari posisi dan pengalaman sebagai negara yang dijajah, kemudian berhasil menjadi negara kesejahteraan (wefare state) dalam sekitar 50 tahun,[1] dan inilah yang membedakan dengan banyak negara Eropa yang memiliki pengalaman menjajah negara-negara lain, terutama di wilayah tropis, atau sub tropis. Di Finlandia sendiri, Siemenpuu bekerja untuk menambah pengetahuan dan pemahaman orang-orang dan lembaga-lembaga di Finlandia tentang lingkungan hidup dan tantangan pembangunan berkelanjutan di Global South. Dalam bermitra, Siemenpuu menjalin kerjasama jangka panjang dengan mitra utamanya di satu negara tertentu di Global South, dengan kerangka umumnya adalah dukungan finansialnya untuk aksi-aksi lingkungan hidup, dan dukungan untuk para pejuang ingkungan.
Hubungan Utara-Selatan demikian ini tidak langgeng abadi. Pendanaan
Siemempuu di Indonesia berhenti di tahun 2021. Untuk program 2022,
Siemenpuu mengalokasikan dananya untuk 2022-2025 untuk lima negara target
program, yakni Kenya, Liberia, Mali, Mozambik, dan Myanmar. Ada catatan,
bila Siemenpuu tidak dapat melanjutkan kegiatan pembiayaan di salah satu
negara target itu, proyek akan didanai bisa berada di Nepal. Jaringan
Siemenpuu di Amazon Brazil, Indonesia dan India akan tetap penting untuk
kegiatan jaringan dan komunikasi. Demikian dinyatakan dalam Siemenpuu’s Development Cooperation Programme 2022-2025. https://www.siemenpuu.org/en/funding/programme-2022-2025 (akses terakhir pada 21 Juli 2022). Apa yang dialami oleh
mitra-mitra Siemenpuu saat ini, yakni terhentinya aliran pendanaan ke
mitra-mitranya di Indonesia, adalah suatu penanda penting mengenai tidak
langgengnya hubungan Utara-Selatan dalam pendanaan prorek-proyek
lingkungan. Pertanyaannya: bagaimana organisasi-organisasi non-pemerintah
disini melanjutkan pekerjaannya, sementara tidak ada lagi dana yang
berasal dari organisasi-organisasi nir-laba di negara-negara belahan
Utara, seperti The Siemenpuu Foundation? Apakah kita telah mengantisipasi
bahwa hal ini akan terjadi?
Organisasi-organisasi
non-pemerintah disini perlu memikirkan cara baru dalam membiayai kegiatannya
sendiri. Apakah cara mengandalkan aliran dan alokasi pendanaan dari
organisasi nir-laba di negara belahan Utara masih akan diteruskan
untuk kegiatan-kegiatan lokal yang masing-masing lakukan? Apakah
ada yang sudah menempuh cara-cara lain dalam memobilisasi sumberdaya untuk
keperluan keberlanjutan gerakan-gerakan sosial?
Berpikir Global, Bertindak Lokal
Think
Globally, Act Locally adalah terjemahannya adalah Berpikir Global, Bertindak
Lokal. Istilah ini populer sekali di kalangan aktivis
lingkungan di negara-negara belahan dunia Utara, dan kemudian pemikiran
ini sampai pula pada aktivis di negara-negara belahan dunia
Selatan. Kebangkitan perhatian mengenai sebab-sebab global mulanya berkembang di
tahun 1990an dengan kegemaran orang pada istilah globalisasi. Dalam
melakukan studi-studi kasus, banyak sekali dipergunakan pendekatan impact model.[2] Kasus-kasus dipilih untuk distudi, dianalisis, diurus, dan
dihadirkan sebagai local cost, impact atau dampak dari
bekerjanya global cause, driving force, atau
kekuatan-kekuatan yang beredar dalam orbit
nasional/transnasional/internasional.
Narasi
yang dibuat atas dasar peristiwa-peristiwa yang dialami alam dan komunitas
lokal tertentu dikemas sebagai kritik atas kekuatan-kekuatan national hingga
global yang bekerja, dan mengkampanyekan kritik atas kekuatan-kekuatan
global. Biasanya kekuatan-kekuatan itu diidentifikasi sebagai kekuatan
korporasi raksasa, blok kekuatan dari negara-negara maju, paham ideologi
neoliberal, mobilitas jaringan para ahli, teknologi komunikasi,
standar-standar dan pedoman internasional yang diberlakukan, hukum
internasional, perjanjian-perjanjian antar negara hingga sistem
perdagarangan antar negara. Asumsinya, ada dualisme biner antara yang lokal
dengan yang global, dan hubungan kausal searah dari yang global ke yang
lokal itu. Menarik untuk dicemati atribut yang diberikan pada dualisme biner
itu: yang global dan yang lokal itu. Kekuatan global diberi suatu atribut
dengan karakterisasi maskulin yang aktif dan dinamis melakukan penetrasi
pada yang lokal dengan atribusi feminin yang pasif dan statik, namun sangat
sering pula dimaknai sebagai memiliki daya pikat pada yang global untuk
bekerja.
Variasi cara berpikir ini di kalangan aktivis ornop berwujud memperlakukan yang lokal sebagai situs tempat segala yang baik berada, dan menjadi bermasalah karena bekerjanya kekuatan global bekerja yang berasal dari tingkat nasional dan internasional. Dengan mengacu pada moto “think globally, act locally”, mereka bekerja di lokalitas tertentu dan mampu menjadikannya bagian dari studi kasus yang menghadirkan narasi bahwa komunitas sedang berada dalam kemelut sebagai akibat penetrasi kekuatan-kekuatan global yang datang berasal dari orbit nasional, hingga transnasional/internasional. Para pembuat narator terlibat langsung dalam upaya aksi-aksi perubahan pada tingkal lokal. Namun, karena sebagian mereka yang terlibat itu memahaminya sebagai akibat dari sebab-sebab global, maka hasil mereka pun terbatas mencegah menjadi korban, hingga membentuk barikade perlindungan. Sebagian dari mereka adalah organisasi non-pemerintah yang bekerja terus dengan berbagai jaringan advokasi transnasional, dan memanfaatkan berbagai forum nasional dan internasional untuk mengartikulasikan kritik berbasiskan apa-apa yang dinarasikan itu.[3]
Pendekatan
semacam ini hadir di banyak tulisan, baik secara eksplisit atau
implisit. Yang tampak eksplisit dan menonjol adalah upaya menunjukkan alasan
terpenting, justifikasi utama, atau dasar keberadaan, reason for being, mengapa suatu organisasi atau usaha tertentu perlu hadir. Ini lah yang
biasa disebut dalam Bahasa Perancis diistilahkan sebagai raison d’etre. Hampir kesemuanya tulisan menunjukkan adanya
praktek-praktek korporasi yang menyebabkan besarnya ancaman
kerusakan lingkungan hidup, dan risiko penderitaan segolongan masyarakat,
dan karenanya dijadikan sebagai sebab dari kehadiran aktivisme
ornop.
Cara
berikir demikian nampak sangat terang misalnya, dalam tulisan Nurain Lapolo dan Renal Husa bahwa sejumlah aktivis mencurigai keberadaan
pengusaha-pengusaha pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di wilayah
hutan negara di propinsi Gorontalo tidak melakukan pengelolaan hutan
secara lestari, dan perambahan kawasan hutan dan illegal logging, menyebabkan bahaya bencana alam akibat berubahnyafungsi hutan. Para aktivis itu pada gilirannya membuat organisasi bernama
Jaring Advokasi Pengelolaan Sumberdaya Alam (JAPESDA). Demikian pula,
dikemukakan oleh tulisan Renal Husa, bahwa Sahabat Masyarakat Pantai (SAMPAN) Kalimantan hadir untuk menghadapi ekspansi pertambangan dan perkebunan
industri sawit di Kalimantan Barat. Ekspansi ini dinilai SAMPAN menjadi
penyebab dari menyempitnya ruang hidup masyarakat kecil, dan rusaknya
layanan alam yang berada di dalam dan sekitar wilayah konsesi perusahaan; atau dalam
tulisan Okto Yugo Setiyo, bahwa Jikalahari hadir untuk
memenyelamatkan hutan dan lingkungan hidup di Riau yang rusak akibat
praktek-praktek deforestasi, illegal logging, hingga kejahatan
kehutanan oleh korporasi.
Aksi-aksi
lokal dari cara berpikir global, nampak jelas dalam satu laporan Siemenpuu “Indonesia: protection and Sustainable Use of Forest”.
“Sangat penting untuk melindungi hutan hujan baik untuk mengamankan mata
pencaharian dan budaya masyarakat dan untuk melawan perubahan iklim. Yayasan
Siemenpuu dan organisasi mitranya menyatakan bahwa kawasan hutan harus
dilindungi oleh penduduk setempat dengan cara mereka sendiri. Hutan tanaman
bukanlah solusi berkelanjutan untuk perubahan iklim atau perusakan
lingkungan. Siemenpuu menganjurkan perlindungan hutan yang komprehensif dan
partisipasi yang tulus dari kelompok-kelompok lokal.
Organisasi-organisasi yang didukung oleh Yayasan Siemenpuu mempromosikan cara penggunaan lahan yang adil secara sosial dan ekologis dan membantu masyarakat lokal untuk melindungi lingkungan mereka. Area tematik utama adalah konservasi berbasis masyarakat dan pemanfaatan berkelanjutan lahan gambut dan hutan bakau, jejaring dan pengembangan kapasitas. Siemenpuu mengarahkan dukungannya terutama kepada LSM kecil Indonesia yang terkait erat dengan masyarakat lokal yang bergantung pada hutan. Organisasi-organisasi ini beroperasi di pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Sulawesi. Fokus utama adalah di Riau di mana Siemenpuu telah mendanai jaringan Jikalahari dalam mempromosikan administrasi hutan berbasis masyarakat dan penegakan hukum. Perlindungan mangrove didukung di Sumatera Selatan (Hutan Kita Institute), Sulawesi Utara (Japesda), Kalimantan Barat (Sampan) dan melalui jaringan nasional yang dikoordinasikan oleh Forest Watch Indonesia”.[4]
Kapasitas
untuk membangun jaringan, dan memperoleh dukungan akses pada
kebijakan-kebijakan baru telah menjadikan para aktivis ini dapat
memanfaatkan skema-skema program pemerintah seperti perhutanan sosial
untuk pembentukan aksi-aksi lokal. Keberhasilan lokal telah ditunjukkan oleh SAMPAN yang bekerja di
Kabupaten Kubu Raya dengan skema Hutan Desa, di 12 desa di
Bentang Alam Muara Kubu, seperti dituliskan oleh Defri Sofyan. Perkumpulan Elang, seperti yang ditunjukkan oleh Rina Syahputri, juga berhasil membantu
warga memperoleh legalitas Hutan Desa, dan mampu bekerja bersama penduduk
untuk mengganti cara berladang tanpa teknik membakar. Atau,
tulisan Herbet dan Nurul Fitria mengenai apa-apa yang dilakukan
oleh aktivis Yayasan Mitra Insani (YMI) dalam memfasilitasi perolehan SK HPHD Teluk Lanus pada Desember dengan luasan 3.580 hektar. Kapasitas yang unik juga dalam menempatkan diri menjadi penyuara
perubahan. Contohnya melalui teknik membuat siaran langsung dari
ruang-ruang sidang kasus korupsi ijin dan kejahatan lingkungan merupakan
cara yang ditempuh Senarai (d/h Riau Corruption Trial) untuk menunjukkan
kapasitas melakukan kontrol sosial serta kepentingan umum mengetahui
penegakan hukum, seperti yang dituliskan oleh Nurul Fitria.
Secara
praktis, para aktivis pun harus bisa menunjukkan contoh-contoh yang
berhasil. Seperti ditunjukkan dalam tulisan Okto Yugo Setiyo mengenai bagaimana restorasi ekosistem Mangrove
dilakukan dilakukan oleh masyarakat dengan fasilitasi dari jaringan
Jangkar Mangrove di berbagai lokasi di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Juga
contoh kerja Hutan Kita Institut (HaKI) dalam membangun usaha tambak udang
dan bandeng dalam skema Hutan Kemasyarakatan di Simpang Tiga Abadi,
Sumatera Selatan, seperti dituliskan oleh Suryadi. Lalu, juga contoh yang
dikerjakan Jaring Advokasi Pengelolaan Sumberdaya Alam (JAPESDA) membantu kelompok
perempuan Torosiaje dengan mengusahakan penjualan hasil pengolahan ikan
asin, dan bahan olahan makanan dari mangrove, seperti ditulis Defri
Sofyan dan Nurain Lapolo.
Sebagai
penyelenggara kegiatan, biasanya ornop dapat menunjukkan keberhasilan-nya.
Namun, tidak senantiasa berhasil ketika masuk ke suatu skala yang luas
seperti suatu kawasan cagar alam, walau sudah dilakukan secara berjaringan.
Kompleksitas masalah dan durasi waktu serta luasan areal dari Kawasan yang
diurus, merupakan tantangan yang bisa jadi berada di luar jangkauannya.
Demikian yang terjadi di Cagar Alam Tanjung Panjang (CATP) Pohuwato,
Gorontalo. Nasib bukaan lahan menjadi tambak rakyat belum berhasil
dipulihkan fungsi konservasinya. Nasib petambak yang menguasai kawasan
konservasi itu juga belum ada kepastian, seperti jelas dalam tulisan Renal
Husa dan Nurain Lapolo.
Penutup:
Undangan untuk Pendekatan Geografi Sejarah
Saya
menganjurkan menyadari keterbatasan dan konsekuensi cara pikir dualisme
biner antara yang lokal dengan yang global itu. Saya menganjurkan suatu cara
pandang yang lebih terbuka dan progressif untuk memahami bahwa tiap-tiap
masalah agraria bersarang pada geografi sejarah dari suatu wilayah tertentu.
Geografi itu mengurus ruang (space), dan sejarah itu mengurus
waktu (time). Alih-alih menganggap lokal sebagai tempat
berlangsungnya akibat dari sebab-sebab global, pemahaman geografi sejarah
ini sangat menentukan dalam memberi pemahamanan spasialitas dan temporalitas
dari berbagai masalah agraria di suatu wilayah tertentu. Bila mau berhasil,
tiap-tiap studi atas masalah-masalah lokal, mensyaratkan
pemahaman geografi sejarah wilayah itu.
Stuart
Hall (2017:280) memberi saran mengenai perlunya meneliti konjungtur yang
sedang dihadapi melalui usaha mengidentifikasi para aktor yang
berpengaruh, menelusuri cara bagaimana aktor-aktor itu tampil berperan,
pada panggung apa, lintasan yang mereka lalui, dan kondisi yang membuat
kehadiran dan peran mereka berlanjut atau berhenti. Pertunjukan, panggung,
lintasan, dan kondisi para aktor tersebut tidak dapat ditelusuri secara
linier. Interaksi para aktor yang berlangsung sekarang ini sesungguhnya berada
dalam arus utama suatu babak/periode tertentu. Karena itu, perlu dirumuskan ciri babak tertentu yang berbeda dengan babak-babak sebelumnya.
Pengalaman
saya, memakai pendekatan geografi sejarah menemukan pembabakan, dengan
mengkombinasinya dengan etnografi dan dramaturgi peristiwa-peristiwa,
merupakan kerja intelektual tersendiri yang mengasyikkan (Rachman, 2011,
2018, dan 2019).[5] Demikianlah, pemahaman geografi sejarah demikian itu akan membantu
keluar dari keterbatasan dalam memaknai hubungan-hubungan yang
berlangsung. Kita sama sekali tidak mengabaikan kehadiran
kekuatan-kekuatan global yang bekerja pada tingkat lokal. Tiap-tiap tempat
tertentu memiliki karakternya masing-masing, sejarah dan posisi
geografisnya sendiri-sendiri. Kekuatan-kekuatan yang bekerja di satu
tempat itu hanya dapat dimengerti dengan menghubungkannya dengan
kekuatan-kekuatan lain dan tempat-tempat lainnya, tanpa perlu merasa
terancam oleh kesemua itu.[6]
Kita
dapat menggunakan cara berpikir yang diusulkan oleh Doreen
Massey (1994) sebagai “power-geometry and a progressive sense of place”, yang memberi kemungkinan memahami tempat itu melalui bukan hanya sebagai
penerima pasif sebagai akibat, melainkan sebagai pelaku aktif yang memiliki
peran ikut pula membentuk perubahan. Kejadian-kejadian di tempat itu berada
dalam dan membentuk satuan waktu yang biasa disebut periode/babak, yang di
dalamnya terdapat simpul-simpul dari berbagai kekuatan yang bertemu dengan
cara-cara yang tidak terduga. Jadi kebutuhan kita, “is a global sense of the local, a global sense of place” (Massey 1994:156).
Daftar Pustaka
Farid, Hilmar. 2017. “Prolog: Menuju Sejarah/Geografi Agraria” dalam Hilmar
Farid dan Ahmad Nashih Luthfi (Peny). 2017. Sejarah/Geografi Indonesia. Yogyakarta, STPN Press. Halaman 1-20.
Farid, Hilmar dan Ahmad Nashih Luthfi (Peny). 2017. Sejarah/Geografi Indonesia. Yogyakarta, STPN Press.
Hall, Stuart. 2007. “Epilogue: Through the Prism of an
Intelectual Life”, dalam Culture, Politics, Race and Diaspora, The Though of Stuart Hall. B. Meeks (Ed) (Kingston, jamaika: Randle, 2007)
Hart, Gillian. 2002. Disabling Globalization: Places of Power in Post-Apartheid South
Africa. Berkeley, CA: University of California Press.
_____. 2004. “Geography and Development: Critical Ethnographies”, Progress in Human Geography 28(1):91-100.
_____. 2016. “Relational Comparison Revisited: Marxist Postcolonial Geographies in
Practice” Progress in Human Geography 1–24.
Keck, Margaret E. and Kathryn Sikkink. 1998. Activists Beyond Borders: Advocacy Networks in International Politics.Ithaca, N.Y.; London: Cornell University Press.
_____. 1999. “Transnational advocacy networks in international and
regional politics” International Social Science Journal 51(159): 89-101
Massey, Doreen. 1993. “Power-Geometry and a Progressive Sense of Place”, dalam J. Bird, B. Curtis, T. Putnam, G. Robertson and L. Tickner (eds), Mapping the Futures. London, Routledge, pp. 59–69.
_____. 1994. Space, Place and Gender. Cambridge: Polity Press.
Pietela, Hielka (2002) "Masyarakat Kesejahteraan Nordik: Sebuah Strategi
untuk Memberantas Kemiskinan dan Membangun Kesetaraan – Studi Kasus
Finlandia” Jurnal WACANA 10:57-80.
Pred, Alan and Watts, Micahel. 1992: Reworking Modernity: Capitalisms and Symbolic Discontent. New Brunswick, NJ: Rutgers University Press.
Rachman Noer Fauzi. 2011. Resurgence of Land Reform Policy and Agrarian Movements in
Indonesia. PhD Thesis. California (US): University of California, Berkeley.
_____. 2018. Land Reform dan Gerakan Agraria Indonesia. Yogyakarta: Insist Press.
_____. 2019. “Meneliti Proses Kebijakan Land
Reform Indonesia”. Prisma 36:17-37.
Rachman, Noer Fauzi dan Dian Januardi (Peny.). 2014. MP3EI, Master Plan Krisis Sosial Ekologi Indonesia, Bogor: Sajogyo Institute bekerjasama dengan Penerbit Tanah Air Beta.
Rankin, Katharine N. 2003. “Anthropologies and Geographies of
Globalization”, Progress in Human Geography 27(6):708–734.
[1]
Untuk cara bagaimana Finlandia menjadi kesejahteraan (wefare state), baca Hielka Pietela (2002).
[2] Untuk kritik atas cara berpikir impact model ini lihat Gillian Hart (2002, 2004, 2016).
[3] Pendekatan ini bermotokan “think locally, act globally”dengan menguatkan jaringan advokasi transnasional, yakni suatu siklus yang dimulai dengan mengangkat kasus lokal melintasi batas nasional ke international fora, dengan harapan ada berbagai tekanan khusus yang dapat diperankan oleh suatu badan internasional tertentu terhadap suatu kekuatan di negara nasional, khususnya pemerintah, untuk mengambil langkah-langkah mengubah situasi lokal yang diharapkanMekanisme boomerang (bomerang mechanism) ini diharapkan akan bisa memperbaiki situasi lokal, sebagai hasil dari berubahnya cara pemerintah mengurus kasus-kasus yang diadvokasi secara internasional/transnasional itu (Keck and Sikking 1998, 1999).
[4] Siemenpuu (2017) “Indonesia: protection and Sustainable Use of Forest”. https://www.siemenpuu.org/en/funding/old-programme/indonesia (diakses pada 1 Agustus 2022)
[5] Selanjutnya, silakan pembaca mencermati uraian pendahuluan Hilmar Farid
(2017) di buku Sejarah/Geografi Agraria Indonesia (Farid dan Luthfi 2017). Dalam buku Sejarah/Geografi Agraria Indonesia itu dimuat karya-karya dari Razif (2017) “Ekspansi Kapital dan
Pengerahan Tenaga Kerja di Sumatera 1865-1965”, M. Fauzi (2017) “Agraria
dan Ekspansi Modal di Kalimantan”, Razif (2017) “Sejarah Geografi
Kapitalisme di Sulawesi”, M. Fauzi (2017) “Agraria dan Ekspansi Modal di
Nusa Tenggara”, dan Noer Fauzi Rachman (2017) “Politik Agraria Priangan
dari Masa ke Masa”, yang kesemuanya menyajikan contoh studi geografi
sejarah agraria itu. Contoh-contoh studi masalah-masalah agraria dengan
pendekatan geografi sejarah bisa ditemukan dalam buku yang disunting
oleh Noer Fauzi Rachman dan Dian Januardi (2014).
No comments:
Post a Comment