Cara-cara Berpikir Global, Beraksi Lokal: Refleksi Kritis atas Narasi-narasi dan Undangan untuk Pendekatan Sejarah Geografi

Noer Fauzi Rachman (2022) " Cara-cara Berpikir Global, Beraksi Lokal: Refleksi Kritis atas Narasi-narasi  dan Undangan untuk Pendekatan Sejarah Geografi", dalam Hasyim, Z., M. Ali, O.Y. Setiyo, dan N. Fitria (Eds) (2022) Persahabatan Utara dan Selatan, Cerita dari Mereka yang Berjuang Menyelamatkan Lingkungan Indonesia Bersama Siemenpuu 2002 - 2021.  Pakanbaru: Jikalahari dan Siemenphu Foundation.  Halaman 158-167.


Pengantar

            Orang-orang yang bergerak sebagai aktivis organisasi-organisasi non-pemerintah, pertama-tama, mempunyai suatu kekayaan pengamatan dan empati mengenai semakin sulitnya  posisi,  kondisi dan pengalaman hidup dari kelompok-kelompok komunitas yang lemah, miskin, marjinal, rentan, atau tertindas. Ada banyak contoh dikemukakan dalam buku ini, termasuk dalam golongan merosotnya layanan alam akibat kerusakan ekologis, ancaman-ancaman keselamatan dan kesejahteraan rakyat, hingga menurunnya produktivitas rakyat dan sebagainya. Peristiwa demi peristiwa yang asalnya berada dalam ruang dan waktu tertentu kemudian terlepas dari asal-usul keberadaannya yang konkrit dan spesifik. Para aktivis memiliki cara-cara mengumpulkan, mendokumentasikan dan bercakap-cakap mengenai sebab musab sebab-sebab musababnya, hingga apa-apa yang membuat kondisi ini bertahan. Para aktivis belajar dan mengembangkan metodologi yang manjur, baik untuk memeriksa apa yang sesungguhnya terjadi, hingga merumuskan cara-cara bekerja bersama komunitas.   Lebih dari sekedar kerja memahami dan menafsirkan apa yang sedang terjadi, para aktivis ini mengembangkan cara bekerja bersama pemimpin dan kelompok-kelompok komunitas itu, maupun bersama para pihak yang punya andil untuk mengubah kebijakan publik yang relevan. Berada dan berinteraksi antara  komunitas,  dan elite pembuat kebijakan publik merupakan suatu posisi istimewa dan sekaligus tantangan dari para aktivis.  

            Suatu upaya menunjukkan bahwa suatu organisasi berhasil mencapai perubahan yang diinginkannya adalah membuat buku mengenai keberhasilan-keberhasilannya. Dengan semangat untuk merayakan keberhasilan itulah, para penulis buku ini mendokumentasikan secara positif sebagian dari dari kerja-kerja organisasi-organisasi non pemerintah yang bekerjasama dengan Siemenphu, dipandang dari posisi istimewa para aktivis organisasi non-pemerintah.  

            Epilog ini bermaksud untuk mengajak pembaca merefleksikan cara-cara menarasikan kerja-kerja lapangan dari aktivis-aktivis organisasi non-pemerintah, berdasar pada pendokumentasian yang dilakukan oleh para penulis di buku ini.  Bagian akhir, dan yang utama mau dianjurkan adalah suatu pendekatan mengutamakan sejarah geografi bahwa apa-apa yang berkembang sesungguhnya “bergantung pada dimana hal-hal itu berkembang, di atas apa yang secara historis telah mengendap disana, pada struktur-struktur sosial dan spasial yang telah menetap di tempat itu” (Watts dalam Pred and Watts 1992:11).

 

Hubungan Utara-Selatan:

Pendanaan yang Tidak Langgeng


            Apa yang perlu ditampakkan secara eksplisit, dan tidak selalu jelas di dalam naskah-naskah yang dibahas disini, walau ada penandanya, adalah hubungan Utara-Selatan yang dijalin oleh The Siemenpuu Foundation sebagai organisasi nir-laba di Finlandia, di Bumi Belahan Utara. Jadi, apa yang dkerjakan oleh mitra-mitra Siemenpuu yang sebagian disajikan dalam buku ini dapat dimengerti sebagai suatu jenis hubungan antar bumi belahan Utara dengan Bumi Belahan Selatan, dalam sektor hubungan antar organisasi non-pemerintah (relations between non-governmental organizations). Salah satu hubungannya adalah hubungan aliran keuangan, yang pertama kali dibentuk oleh keputusan alokasi sumber dana, politik hubungan internasional dan pembangunan internasional (bilateral, multilateral atau lainnya), dan last but not least pengetahuan berupa rencana strategis.

             Siemenpuu ini selain  menjadi salah satu organisasi nirlaba yang berfokus pada tema pembangunan Internasional di Finlandia, mendukung  komunitas lokal, pembela lingkungan dan lingkungan yang terancam di negara-negara di Bumi Belahan Selatan, Global South, termasuk melalui dukungan penyediaan dana terhadap organisasi-organisasi non-pemerintah.  Moto utama Siemempuu adalah Supporting the Environment and Environmental Defender in the South.

            Siemenpuu ini berorientasi  mengenali akar penyebab masalah lingkungan dan sosial dan mencari alternatif pembangunan masyarakat. Penetapan Indonesia menjadi wilayah tujuan pembiayaan memang pada mulanya dimulai di aplikasi proposal Siemenpuu, tapi selanjutnya menjadi pengambilan keputusan dari kementerian pembangunan internasional. Sebagai organisasi di Global North, Siemempuu mengikuti arahan strategis dari Kementerian Kerjasama Pembangunan bahwa proyek-proyek yang didukung adalah yang akan mengurangi emisi yang mengakibatkan perubahan iklim dan menipisnya keanekaragaman hayati. Dana Siemenpuu terutama berasal dari dana Kementerian Kerjasama Pembangunan Finlandia, dan telah dipakai untuk ratusan proyek di lebih dari 50 negara. Pendanaan Siemenpuu bukan merupakan pendanaan dalam jumlah besar, namun Siemenpuu bersedia mendukung inisiatif kerja-kerja mitra yang kerap menjadi pioneer dalam isu penyelamatan lingkungan di Indonesia, seperti isu gambut dalam penyelamantan Semenanjung Kampar, saat belum banyak yang membicarakan soal persoalan gambut. Begitupula dengan isu restorasi mangrove, dengan dukungan Siemenpuu pada 2016, mitra Siemenpuu telah menginisiasi Gerakan pemulihan mangrove melalui Jangkar Mangrove. Sedangkan pemerintah pada 2020 baru memasukkan isu restorasi mangrove dalam BRGM. Termasuk riset soal potensi kerusakan dan peluang ekonomi pada ekosistem padang lamun.

            Proyek-proyek yang didukung pendanaannya oleh Siemenpuu adalah dilaksanakan oleh suatu organisasi tertentu berdasar kontrak tertentu yang diatur kordinasinya oleh satu mitra utamanya.  Pada tingkat akar rumput, peran dan kapasitas komunitas lokal dikembangkan sebagai penjaga lingkungan mereka sendiri. Mitra utama proyek akan bekerja dalam jaringan mitra-mitra yang menjamin pengembangan kapasitas dari penyelenggara, dalam hal ini untuk di Indonesia adalah Jikalahari (Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau).  

            Finlandia adalah suatu negara di Eropa yang berhasil keluar dari posisi dan pengalaman sebagai negara yang dijajah, kemudian berhasil menjadi negara kesejahteraan (wefare state) dalam sekitar 50 tahun,[1]  dan inilah yang membedakan dengan banyak negara Eropa yang memiliki pengalaman menjajah negara-negara lain, terutama di wilayah tropis, atau sub tropis.    Di Finlandia sendiri, Siemenpuu bekerja untuk menambah pengetahuan dan pemahaman orang-orang dan lembaga-lembaga di Finlandia tentang lingkungan hidup dan tantangan pembangunan berkelanjutan di Global South. Dalam bermitra, Siemenpuu menjalin kerjasama jangka panjang dengan mitra utamanya di satu negara tertentu di Global South, dengan  kerangka umumnya adalah dukungan finansialnya untuk aksi-aksi lingkungan hidup, dan dukungan untuk para pejuang ingkungan. 

            Hubungan Utara-Selatan demikian ini tidak langgeng abadi. Pendanaan Siemempuu di Indonesia berhenti di tahun 2021. Untuk program 2022, Siemenpuu mengalokasikan dananya untuk 2022-2025 untuk lima negara target program, yakni Kenya, Liberia, Mali, Mozambik, dan Myanmar. Ada catatan, bila Siemenpuu tidak dapat melanjutkan kegiatan pembiayaan di salah satu negara target itu, proyek akan didanai bisa berada di Nepal. Jaringan Siemenpuu di Amazon Brazil, Indonesia dan India akan tetap penting untuk kegiatan jaringan dan komunikasi. Demikian dinyatakan dalam Siemenpuu’s Development Cooperation Programme 2022-2025https://www.siemenpuu.org/en/funding/programme-2022-2025 (akses terakhir pada 21 Juli 2022). Apa yang dialami oleh mitra-mitra Siemenpuu saat ini, yakni terhentinya aliran pendanaan ke mitra-mitranya di Indonesia, adalah suatu penanda penting mengenai tidak langgengnya hubungan Utara-Selatan dalam pendanaan prorek-proyek lingkungan. Pertanyaannya: bagaimana organisasi-organisasi non-pemerintah disini melanjutkan pekerjaannya, sementara tidak ada lagi dana yang berasal dari organisasi-organisasi nir-laba di negara-negara belahan Utara, seperti The Siemenpuu Foundation? Apakah kita telah mengantisipasi bahwa hal ini akan terjadi? 

            Organisasi-organisasi non-pemerintah disini perlu memikirkan cara baru dalam membiayai kegiatannya sendiri. Apakah cara mengandalkan aliran dan alokasi pendanaan dari organisasi nir-laba di negara belahan Utara masih akan diteruskan untuk  kegiatan-kegiatan lokal yang masing-masing lakukan? Apakah ada yang sudah menempuh cara-cara lain dalam memobilisasi sumberdaya untuk keperluan keberlanjutan gerakan-gerakan sosial?

 

Berpikir Global, Bertindak Lokal

 

            Think Globally, Act Locally adalah terjemahannya adalah Berpikir Global, Bertindak Lokal.  Istilah ini populer sekali di kalangan aktivis lingkungan di negara-negara belahan dunia Utara, dan kemudian pemikiran ini sampai pula pada aktivis di negara-negara belahan dunia Selatan.  Kebangkitan perhatian mengenai sebab-sebab global mulanya berkembang di tahun 1990an dengan kegemaran orang pada istilah globalisasi. Dalam melakukan studi-studi kasus, banyak sekali dipergunakan pendekatan impact model.[2] Kasus-kasus dipilih untuk distudi, dianalisis, diurus, dan dihadirkan sebagai local cost, impact atau dampak dari bekerjanya global causedriving force, atau kekuatan-kekuatan yang beredar dalam orbit nasional/transnasional/internasional. 

            Narasi yang dibuat atas dasar peristiwa-peristiwa yang dialami alam dan komunitas lokal tertentu dikemas sebagai kritik atas kekuatan-kekuatan national hingga global yang bekerja, dan mengkampanyekan kritik atas kekuatan-kekuatan global. Biasanya kekuatan-kekuatan itu diidentifikasi sebagai kekuatan korporasi raksasa, blok kekuatan dari negara-negara maju, paham ideologi neoliberal, mobilitas jaringan para ahli, teknologi komunikasi, standar-standar dan pedoman internasional yang diberlakukan, hukum internasional, perjanjian-perjanjian antar negara hingga sistem perdagarangan antar negara. Asumsinya, ada dualisme biner antara yang lokal dengan yang global, dan hubungan kausal searah dari yang global ke yang lokal itu. Menarik untuk dicemati atribut yang diberikan pada dualisme biner itu: yang global dan yang lokal itu. Kekuatan global diberi suatu atribut dengan karakterisasi maskulin yang aktif dan dinamis melakukan penetrasi pada yang lokal dengan atribusi feminin yang pasif dan statik, namun sangat sering pula dimaknai sebagai memiliki daya pikat pada yang global untuk bekerja. 

            Variasi cara berpikir ini di kalangan aktivis ornop berwujud memperlakukan yang lokal sebagai situs tempat segala yang baik berada, dan menjadi bermasalah karena bekerjanya kekuatan global bekerja yang berasal dari tingkat nasional dan internasional. Dengan mengacu pada moto “think globally, act locally”, mereka bekerja di lokalitas tertentu dan mampu menjadikannya bagian dari studi kasus yang menghadirkan narasi bahwa komunitas sedang berada dalam kemelut sebagai akibat penetrasi kekuatan-kekuatan global yang datang berasal dari orbit nasional, hingga transnasional/internasional. Para pembuat narator terlibat langsung dalam upaya aksi-aksi perubahan pada tingkal lokal. Namun, karena sebagian mereka yang terlibat itu memahaminya sebagai akibat dari sebab-sebab global, maka hasil mereka pun terbatas mencegah menjadi korban, hingga membentuk barikade perlindungan. Sebagian dari mereka adalah organisasi non-pemerintah yang bekerja terus dengan berbagai jaringan advokasi transnasional, dan memanfaatkan berbagai forum nasional dan internasional untuk mengartikulasikan kritik berbasiskan apa-apa yang dinarasikan itu.[3]

            Pendekatan semacam ini hadir di banyak tulisan, baik secara eksplisit atau implisit. Yang tampak eksplisit dan menonjol adalah upaya menunjukkan alasan terpenting, justifikasi utama, atau dasar keberadaan, reason for being, mengapa suatu organisasi atau usaha tertentu perlu hadir. Ini lah yang biasa disebut dalam Bahasa Perancis diistilahkan sebagai raison d’etre Hampir kesemuanya tulisan menunjukkan adanya praktek-praktek  korporasi yang menyebabkan besarnya ancaman kerusakan lingkungan hidup, dan risiko penderitaan segolongan masyarakat, dan karenanya dijadikan sebagai sebab dari kehadiran aktivisme ornop. 

            Cara berikir demikian nampak sangat terang misalnya, dalam tulisan Nurain Lapolo dan Renal Husa bahwa sejumlah aktivis mencurigai keberadaan pengusaha-pengusaha pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di wilayah hutan negara di propinsi Gorontalo tidak melakukan pengelolaan hutan secara lestari, dan perambahan kawasan hutan dan illegal logging, menyebabkan bahaya bencana alam akibat berubahnyafungsi hutan. Para aktivis itu pada gilirannya membuat organisasi bernama Jaring Advokasi Pengelolaan Sumberdaya Alam (JAPESDA). Demikian pula, dikemukakan oleh tulisan Renal Husa, bahwa Sahabat Masyarakat Pantai (SAMPAN) Kalimantan hadir untuk menghadapi ekspansi pertambangan dan perkebunan industri sawit di Kalimantan Barat. Ekspansi ini dinilai SAMPAN menjadi penyebab dari menyempitnya ruang hidup masyarakat kecil, dan rusaknya layanan alam yang berada di dalam dan sekitar wilayah konsesi perusahaan; atau dalam tulisan Okto Yugo Setiyo, bahwa Jikalahari hadir untuk memenyelamatkan hutan dan lingkungan hidup di Riau yang rusak akibat praktek-praktek deforestasi, illegal logging, hingga kejahatan kehutanan oleh korporasi.

            Aksi-aksi lokal dari cara berpikir global, nampak jelas dalam satu laporan Siemenpuu “Indonesia: protection and Sustainable Use of Forest”.  

“Sangat penting untuk melindungi hutan hujan baik untuk mengamankan mata pencaharian dan budaya masyarakat dan untuk melawan perubahan iklim. Yayasan Siemenpuu dan organisasi mitranya menyatakan bahwa kawasan hutan harus dilindungi oleh penduduk setempat dengan cara mereka sendiri. Hutan tanaman bukanlah solusi berkelanjutan untuk perubahan iklim atau perusakan lingkungan. Siemenpuu menganjurkan perlindungan hutan yang komprehensif dan partisipasi yang tulus dari kelompok-kelompok lokal.

Organisasi-organisasi yang didukung oleh Yayasan Siemenpuu mempromosikan cara penggunaan lahan yang adil secara sosial dan ekologis dan membantu masyarakat lokal untuk melindungi lingkungan mereka. Area tematik utama adalah konservasi berbasis masyarakat dan pemanfaatan berkelanjutan lahan gambut dan hutan bakau, jejaring dan pengembangan kapasitas. Siemenpuu mengarahkan dukungannya terutama kepada LSM kecil Indonesia yang terkait erat dengan masyarakat lokal yang bergantung pada hutan. Organisasi-organisasi ini beroperasi di pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Sulawesi. Fokus utama adalah di Riau di mana Siemenpuu telah mendanai jaringan Jikalahari dalam mempromosikan administrasi hutan berbasis masyarakat dan penegakan hukum. Perlindungan mangrove didukung di Sumatera Selatan (Hutan Kita Institute), Sulawesi Utara (Japesda), Kalimantan Barat (Sampan) dan melalui jaringan nasional yang dikoordinasikan oleh Forest Watch Indonesia”.[4]

            Kapasitas untuk membangun jaringan, dan memperoleh dukungan akses pada kebijakan-kebijakan baru telah menjadikan para aktivis ini dapat memanfaatkan skema-skema program pemerintah seperti perhutanan sosial untuk pembentukan aksi-aksi lokal. Keberhasilan lokal telah ditunjukkan oleh SAMPAN yang bekerja di Kabupaten Kubu Raya  dengan skema Hutan Desa, di 12 desa di Bentang Alam Muara Kubu, seperti dituliskan oleh Defri Sofyan. Perkumpulan Elang, seperti yang ditunjukkan oleh Rina Syahputri, juga berhasil membantu warga memperoleh legalitas Hutan Desa, dan mampu bekerja bersama penduduk untuk mengganti cara berladang tanpa teknik membakar. Atau, tulisan  Herbet dan Nurul Fitria mengenai apa-apa yang dilakukan oleh aktivis Yayasan Mitra Insani (YMI) dalam memfasilitasi perolehan SK HPHD Teluk Lanus pada Desember dengan luasan 3.580 hektar.  Kapasitas yang unik juga dalam menempatkan diri menjadi penyuara perubahan. Contohnya melalui teknik membuat siaran langsung dari ruang-ruang sidang kasus korupsi ijin dan kejahatan lingkungan merupakan cara yang ditempuh Senarai (d/h Riau Corruption Trial) untuk menunjukkan kapasitas melakukan kontrol sosial serta kepentingan umum mengetahui penegakan hukum, seperti yang dituliskan oleh Nurul Fitria.

            Secara praktis, para aktivis pun harus bisa menunjukkan contoh-contoh yang berhasil. Seperti ditunjukkan dalam tulisan Okto Yugo Setiyo mengenai bagaimana restorasi ekosistem Mangrove dilakukan dilakukan oleh masyarakat dengan fasilitasi dari jaringan Jangkar Mangrove di berbagai lokasi di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Juga contoh kerja Hutan Kita Institut (HaKI) dalam membangun usaha tambak udang dan bandeng dalam skema Hutan Kemasyarakatan di Simpang Tiga Abadi, Sumatera Selatan, seperti dituliskan oleh Suryadi. Lalu, juga contoh yang dikerjakan Jaring Advokasi Pengelolaan Sumberdaya Alam (JAPESDA) membantu kelompok perempuan Torosiaje dengan mengusahakan penjualan hasil pengolahan ikan asin, dan bahan olahan makanan dari mangrove, seperti ditulis Defri Sofyan dan Nurain Lapolo. 

            Sebagai penyelenggara kegiatan, biasanya ornop dapat menunjukkan keberhasilan-nya. Namun, tidak senantiasa berhasil ketika masuk ke suatu skala yang luas seperti suatu kawasan cagar alam, walau sudah dilakukan secara berjaringan. Kompleksitas masalah dan durasi waktu serta luasan areal dari Kawasan yang diurus, merupakan tantangan yang bisa jadi berada di luar jangkauannya. Demikian yang terjadi di Cagar Alam Tanjung Panjang (CATP) Pohuwato, Gorontalo. Nasib bukaan lahan menjadi tambak rakyat belum berhasil dipulihkan fungsi konservasinya. Nasib petambak yang menguasai kawasan konservasi itu juga belum ada kepastian, seperti jelas dalam tulisan Renal Husa dan Nurain Lapolo.

 

Penutup:

Undangan untuk Pendekatan Geografi Sejarah  

 

            Saya menganjurkan menyadari keterbatasan dan konsekuensi cara pikir dualisme biner antara yang lokal dengan yang global itu. Saya menganjurkan suatu cara pandang yang lebih terbuka dan progressif untuk memahami bahwa tiap-tiap masalah agraria bersarang pada geografi sejarah dari suatu wilayah tertentu. Geografi itu mengurus ruang (space), dan sejarah itu mengurus waktu (time). Alih-alih menganggap lokal sebagai tempat berlangsungnya akibat dari sebab-sebab global, pemahaman geografi sejarah ini sangat menentukan dalam memberi pemahamanan spasialitas dan temporalitas dari berbagai masalah agraria di suatu wilayah tertentu. Bila mau berhasil, tiap-tiap studi atas masalah-masalah lokal, mensyaratkan pemahaman geografi sejarah wilayah itu. 

            Stuart Hall (2017:280) memberi saran mengenai perlunya meneliti konjungtur yang sedang dihadapi melalui usaha mengidentifikasi para aktor yang berpengaruh, menelusuri cara bagaimana aktor-aktor itu tampil berperan, pada panggung apa, lintasan yang mereka lalui, dan kondisi yang membuat kehadiran dan peran mereka berlanjut atau berhenti. Pertunjukan, panggung, lintasan, dan kondisi para aktor tersebut tidak dapat ditelusuri secara linier. Interaksi para aktor yang berlangsung sekarang ini sesungguhnya berada dalam arus utama suatu babak/periode tertentu. Karena itu, perlu dirumuskan ciri babak tertentu yang berbeda dengan babak-babak sebelumnya. 

            Pengalaman saya, memakai pendekatan geografi sejarah menemukan pembabakan, dengan mengkombinasinya dengan etnografi dan dramaturgi peristiwa-peristiwa, merupakan kerja intelektual tersendiri yang mengasyikkan (Rachman, 2011, 2018, dan 2019).[5] Demikianlah, pemahaman geografi sejarah demikian itu akan membantu keluar dari keterbatasan dalam memaknai hubungan-hubungan yang berlangsung. Kita sama sekali tidak mengabaikan kehadiran kekuatan-kekuatan global yang bekerja pada tingkat lokal. Tiap-tiap tempat tertentu memiliki karakternya masing-masing, sejarah dan posisi geografisnya sendiri-sendiri. Kekuatan-kekuatan yang bekerja di satu tempat itu hanya dapat dimengerti dengan menghubungkannya dengan kekuatan-kekuatan lain dan tempat-tempat lainnya, tanpa perlu merasa terancam oleh kesemua itu.[6]

            Kita dapat menggunakan cara berpikir yang diusulkan oleh Doreen Massey (1994) sebagai “power-geometry and a progressive sense of place”, yang memberi kemungkinan memahami tempat itu melalui bukan hanya sebagai penerima pasif sebagai akibat, melainkan sebagai pelaku aktif yang memiliki peran ikut pula membentuk perubahan. Kejadian-kejadian di tempat itu berada dalam dan membentuk satuan waktu yang biasa disebut periode/babak, yang di dalamnya terdapat simpul-simpul dari berbagai kekuatan yang bertemu dengan cara-cara yang tidak terduga. Jadi kebutuhan kita, “is a global sense of the local, a global sense of place” (Massey 1994:156). 

 

Daftar Pustaka

 

Farid, Hilmar. 2017. “Prolog: Menuju Sejarah/Geografi Agraria” dalam Hilmar Farid dan Ahmad Nashih Luthfi (Peny). 2017. Sejarah/Geografi Indonesia. Yogyakarta, STPN Press. Halaman 1-20.

Farid, Hilmar dan Ahmad Nashih Luthfi (Peny). 2017. Sejarah/Geografi Indonesia. Yogyakarta, STPN Press.

Hall, Stuart. 2007.  “Epilogue: Through the Prism of an Intelectual Life”, dalam Culture, Politics, Race and Diaspora, The Though of Stuart Hall. B. Meeks (Ed) (Kingston, jamaika: Randle, 2007)

Hart, Gillian. 2002. Disabling Globalization: Places of Power in Post-Apartheid South Africa. Berkeley, CA: University of California Press. 

_____. 2004. “Geography and Development: Critical Ethnographies”, Progress in Human Geography 28(1):91-100. 

_____. 2016. “Relational Comparison Revisited: Marxist Postcolonial Geographies in Practice” Progress in Human Geography 1–24.

Keck, Margaret E. and Kathryn Sikkink. 1998. Activists Beyond Borders: Advocacy Networks in International Politics.Ithaca, N.Y.; London: Cornell University Press.

_____. 1999. “Transnational advocacy networks in international and regional politics” International Social Science Journal 51(159): 89-101

Massey, Doreen1993. “Power-Geometry and a Progressive Sense of Place”, dalam J. Bird, B. Curtis, T. Putnam, G. Robertson and L. Tickner (eds), Mapping the Futures. London, Routledge, pp. 59–69.

_____. 1994. Space, Place and Gender. Cambridge: Polity Press.

Pietela, Hielka (2002) "Masyarakat Kesejahteraan Nordik: Sebuah Strategi untuk Memberantas Kemiskinan dan Membangun Kesetaraan – Studi Kasus Finlandia” Jurnal WACANA 10:57-80.  

Pred, Alan and Watts, Micahel. 1992: Reworking Modernity: Capitalisms and Symbolic Discontent. New Brunswick, NJ: Rutgers University Press. 

Rachman Noer Fauzi. 2011Resurgence of Land Reform Policy and Agrarian Movements in Indonesia. PhD Thesis. California (US): University of California, Berkeley.

_____. 2018. Land Reform  dan Gerakan Agraria Indonesia. Yogyakarta: Insist Press.

_____. 2019. “Meneliti Proses Kebijakan Land Reform Indonesia”. Prisma 36:17-37.

Rachman, Noer Fauzi dan Dian Januardi (Peny.). 2014. MP3EI, Master Plan Krisis Sosial Ekologi Indonesia, Bogor: Sajogyo Institute bekerjasama dengan Penerbit Tanah Air Beta.

Rankin, Katharine N. 2003. “Anthropologies and Geographies of Globalization”, Progress in Human Geography 27(6):708–734.

 

 



[1] Untuk cara bagaimana Finlandia menjadi kesejahteraan (wefare state), baca Hielka Pietela (2002).  

[2] Untuk kritik atas cara berpikir impact model ini lihat Gillian Hart (2002, 2004, 2016).

[3] Pendekatan ini bermotokan “think locally, act globally”dengan menguatkan jaringan advokasi transnasional, yakni suatu siklus yang dimulai dengan mengangkat kasus lokal melintasi batas nasional ke international fora, dengan harapan ada berbagai tekanan khusus yang dapat diperankan oleh suatu badan internasional tertentu terhadap suatu kekuatan di negara nasional, khususnya pemerintah, untuk mengambil langkah-langkah mengubah situasi lokal yang diharapkanMekanisme boomerang (bomerang mechanism) ini diharapkan akan bisa memperbaiki situasi lokal, sebagai hasil dari berubahnya cara pemerintah mengurus kasus-kasus yang diadvokasi secara internasional/transnasional itu (Keck and Sikking 1998, 1999).

[4]  Siemenpuu (2017) “Indonesia: protection and Sustainable Use of Forest”. https://www.siemenpuu.org/en/funding/old-programme/indonesia  (diakses pada 1 Agustus 2022)

[5] Selanjutnya, silakan pembaca mencermati uraian pendahuluan Hilmar Farid (2017) di buku Sejarah/Geografi Agraria Indonesia (Farid dan Luthfi 2017). Dalam buku Sejarah/Geografi Agraria Indonesia itu dimuat karya-karya dari Razif (2017) “Ekspansi Kapital dan Pengerahan Tenaga Kerja di Sumatera 1865-1965”, M. Fauzi (2017) “Agraria dan Ekspansi Modal di Kalimantan”, Razif (2017) “Sejarah Geografi Kapitalisme di Sulawesi”, M. Fauzi (2017) “Agraria dan Ekspansi Modal di Nusa Tenggara”, dan Noer Fauzi Rachman (2017) “Politik Agraria Priangan dari Masa ke Masa”, yang kesemuanya menyajikan contoh studi geografi sejarah agraria itu. Contoh-contoh studi masalah-masalah agraria dengan pendekatan geografi sejarah bisa ditemukan dalam buku yang disunting oleh Noer Fauzi Rachman dan Dian Januardi (2014).

[6]

No comments:

Post a Comment