Naskah buku sepenuhnya dapat dibaca pada http://epub.uipublishing.com/books/xpas/
1. Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR)
Istilah Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dicetuskan oleh Pemerintah Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Pada Pasal 5 ayat 1 tertulis bahwa “Rumah susun dibangun sesuai dengan tingkat keperluan dan kemampuan masyarakat terutama bagi yang berpenghasilan rendah.” Namun undang-undang ini tidak memberi definisi jelas tentang kelompok ini. Baru dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, MBR memperoleh definisi sebagai masyarakat yang mempunyai keterbatasan daya beli sehingga perlu mendapat dukungan pemerintah untuk memperoleh rumah. Namun sejak tahun 2007, Pemerintah melalui Kementerian Negara Perumahan Rakyat sudah menentukan kriteria MBR melalui Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 7 Tahun 2007 tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman dengan Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan melalui KPR Sarusun Bersubsidi. Pasal 2 ayat 1 peraturan ini menentukan 3 (tiga) kelompok MBR yakni, yang berpenghasilan Rp3,5-4,5 juta/bulan, Rp2,5-3,5 juta/bulan dan Rp1,2-2,5 juta/bulan. Batasan ini terus berubah seiring berjalannya waktu di tiap pemutakhiran peraturan terkait penyediaan perumahan. Dalam peraturan terkini, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 10 Tahun 2019 tentang Kriteria MBR dan Persyaratan Kemudahan Perolehan Rumah Bagi MBR, kriteria penghasilan MBR menyesuaikan harga unit rumah yang dapat disediakan oleh pengembang atau pelaku pembangunan perumahan lainnya.
Dalam simulasi penetapan kriteria MBR dalam lampiran peraturan ini, batas pendapatan MBR mencapai sekitar Rp12 juta/bulan. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan pemahaman MBR menurut Chambers (2006) yang merujuk pada kelompok masyarakat dengan pendapatan di bawah USD $1-2/hari. Bahkan juga berbeda dengan Kementerian Sosial, sebagaimana termaktub dalam Peraturan Menteri Sosial Nomor 15 tahun 2018 tentang Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu untuk Penanganan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu. Dalam peraturan ini, terdapat 2 (dua) kelompok yang mendekati definisi MBR yakni fakir miskin dan orang tidak mampu. Kelompok pertama merujuk pada orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya. Sementara kelompok kedua adalah orang yang mempunyai sumber mata pencaharian, gaji atau upah, yang hanya mampu memenuhi kebutuhan dasar yang layak namun tidak mampu membayar iuran bagi dirinya dan keluarganya. Dengan demikian, kriteria MBR dalam penyediaan perumahan rakyat tidak sama dengan pemahaman masyarakat miskin dalam peraturan atau definisi lainnya. Selain itu, peningkatan signifikan kriteria pendapatan MBR sangat tergantung dari proses produksi perumahan formal yang kian mahal seiring peningkatan inflasi dari komponen rumah dan perumahan. Hal ini menyebabkan harga rumah kian tidak terjangkau, terutama bagi kelompok fakir miskin dan orang tidak mampu, sesuai dengan definisi Kementerian Sosial.
2. Permukiman Kumuh (Slums) dan Informality
Bagi negara, kehadiran masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di tanah-tanah tersebut tidak lebih dari noda pada indah dan megahnya pembangunan kota-kota besar kebanggaan bangsa. Negara pun sadar akan hal ini. Berbagai usaha yang mewujud dalam beragam program telah dijalankan sejak era kemerdekaan. Sayangnya penyediaan rumah, sebagai ruang hidup, bagi mereka tidak terjangkau, baik dari jarak ke lokasi berkerja, sarana penunjang kehidupannya, ataupun harganya.
Alhasil, mereka membangun sendiri rumah sebagai wadah ruang hidupnya. Mereka menjadi pemenuh hak asasi secara swadaya. Lebih lanjut, merekalah yang menyediakan naungan bagi sebagian besar anggota pembangun kota. Mereka pula yang menyediakan hidangan bagi penggerak ekonomi kota. Dengan konstruksi sederhana, mereka mampu mencipta ruang hidup yang berperan penting dalam pembangunan kota. Namun, alih-alih dianggap sebagai solusi, rumah mereka dianggap sebagai masalah perkotaan. Padahal, rumah mereka adalah jawaban sebuah kegagalan fatal penunaian kewajiban negara, sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Kemampuan masyarakat dari aspek teknis membangun dan finansial yang terbatas menyebabkan gubahan hunian dan pemukimannya tidak sesuai dengan standar-standar baku terkait bangunan rumah, perumahan dan kawasan permukiman yang telah ditetapkan oleh negara. Sayangnya, estetika yang berbeda serta ketidaksesuaian kepemilikan dan fungsi tanah yang dikuasai dengan peraturan negara, membuat mereka terancam hilang dari wajah kota yang mereka bantu bangun selama ini.
Kehadiran perumahan dan permukiman kumuh, atau slums, serta estetikanya, telah dibahas dalam banyak pustaka studi perkotaan (Abrams, 1964; Turner, 1968, 1976; Roy, 2005). Harris dan Todaro (1970) sangat optimis mengutarakan bahwa pembangunan kota modern berbasis industri akan menghasilkan perubahan struktur masyarakat agraris menjadi industri bernapas kapitalisme sehingga terjadi pemerataan kesejahteraan. Pembangunan kota modern, yang masif hingga ke wilayah pedesaan, dapat menghubungkan mata rantai ekonomi kota dan desa agar perubahan dan pemerataan kesejahteraan tersebut dapat terjadi. Pada kenyataannya, Pembangunan kota modern untuk melayani dunia industri, dan konsumsi dari barang industri kapitalisme tidak seirama dengan keberadaan kampung-kampung yang dihuni orang-orang miskin. Jadi, kesenjangan struktur sosial berbasiskan pendapatan kerap ditengarai sebagai penyebab utama dari keberadaan perumahan dan permukiman kumuh itu.
3. Para Penglaju dan kaum Migran di Kampung Kota
Rakyat miskin harus melakukan perpindahan dari kampung halamannya di desa-desa menuju kota-kota besar karena berkurangnya ketersediaan pekerjaan guna memperoleh pendapatan untuk menghidupi keluarganya. Salah seorang tokoh perumahan, John F. C. Turner (1968), menjelaskan 3 (tiga) tahap perkembangan cara merumahkan seorang penglaju (komuter) di kota besar. Tahap pertama dikenal dengan sebutan bridgeheader, sebagai ilustrasi kemampuan para penglaju untuk tinggal di tengah kota dalam sebuah rumah dan permukiman yang tidak memenuhi standar layak, guna mendekati lokasi pekerjaan. Setelah mengalami peningkatan kemampuan finansial, penglaju tersebut masuk ke dalam tahap kedua dengan membeli hunian yang layak ke tepi kota, yang disebut consolidator. Jika pendapatan bertambah yang kian meningkatkan kemampuan finansial tersebut, maka penglaju tersebut membeli hunian di luar kota dengan kualitas fasilitas sosial dan umum yang lebih baik. Saat itulah penglaju masuk ke tahap terakhir yang disebut status-seeker.
Namun, banyak bukti menunjukan bahwa optimisme ini tidak terjadi di berbagai kota besar di beragam negara berkembang, seperti Indonesia. Banyak para penglaju kandas dalam memperoleh pekerjaan yang layak karena tidak memiliki kemampuan individual yang dibutuhkan oleh kegiatan ekonomi di perkotaan. Alhasil, mereka bergabung dalam kegiatan ekonomi sektor informal yang mengandalkan modal finansial terbatas dan rasa kebersamaan untuk mempertahankan hidup di tengah kota (Jellinek, 1991). Mereka menyambung hidup dan membangun mimpi kehidupan yang lebih baik untuk dirinya dan keluarga dalam sebuah permukiman yang terjangkau dengan kemampuan finansialnya. Melalui sebuah kelindan jejaring sosial, ekonomi, budaya dan politik yang rumit, mereka mampu bertahan hidup di tengah kota dan berpartisipasi dalam pembangunan kota yang hampir mustahil dinikmati oleh mereka. Bahkan kajian Adianto, et al. (2018) membuktikan bahwa para penglaju berpindah rumah dalam kelurahan yang sama walaupun telah mengalami peningkatan kemampuan finansial. Hal ini karena partisipasi aktif mereka dalam sektor ekonomi berbasis kekerabatan yang mampu memberikan rasa aman untuk bertahan di kota.
Istilah informal telah diperkenalkan oleh Hart (1973) dan terus dikembangkan oleh banyak pakar, seperti Roy (2005). Dalam tulisannya yang berjudul “Urban Informality”, Roy menyatakan bahwa kegiatan ekonomi informal tidak terpisah dari kegiatan ekonomi formal. Kegiatan ini ditengarai sebagai sebuah state of exclusion yang terjadi oleh kehadiran peraturan-peraturan yang ditetapkan negara.
Alih-alih menghargai usaha swadaya untuk membantu negara menjalankan kewajiban terhadap warganya, buah karya masyarakat tersebut memperoleh stigma sebagai noda wajah kota modern. Stigma ini adalah konsekuensi keserupaan karakter kasat mata yang tidak sesuai dengan standar perumahan dan permukiman yang layak menurut negara.
Permukiman kumuh dan padat di Indonesia sering dilabeli “kampung” yang dikonotasikan dengan istilah “kumuh”. Padahal, keduanya memiliki akar kata dan makna yang berbeda. Kampung, menurut Guinness (1986) berasal dari bahasa Melayu, kampong yang berarti “kumpulan rumah”. Sementara kata “kumuh” merujuk pemahaman kata “slum”, berasal dari kata yang sama dengan arti “gang belakang yang kotor”. Kriteria kasat mata ini diterbitkan dalam buku UN-Habitat (2003), yang memiliki keserupaan dengan karakter kasat mata permukiman ini. Seiring dengan mendunianya program Kota Tanpa Kumuh dalam dua dasawarsa belakangan ini, karakter kasat mata yang buruk kerap menjadi identitas tipe permukiman ini dan menafikan karakter tidak kasat matanya, seperti semangat kekeluargaan untuk saling membantu menghadapi kesulitan hidup. Identifikasi tidak seimbang ini yang mendominasi program penyediaan atau peningkatan kualitas rumah MBR di perkotaan.
Sebenarnya, Pemerintah Indonesia telah berupaya untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi warga negaranya. Setelah mengalami banyak kecaman terhadap program penggusuran, Pemerintah Indonesia menjalankan program MHT pada periode 1969-1974 yang lalu didanai oleh Bank Dunia pada masa 1974-1993. Walau menuai banyak pujian dan penghargaan Aga Khan di akhir dasawarsa 1970-an, program ini baru mengatasi masalah perbaikan infrastruktur namun meninggalkan isu status hak atas tanah dan peningkatan kualitas hidup penerima program dalam jangka panjang (World Bank, 1995).
Tidak tertahankannya laju urbanisasi di kota-kota besar berandil besar kepada munculnya program pembangunan rumah susun untuk menyediakan hunian masal di atas luas tanah yang terbatas di kota-kota besar. Pada tahun 2007, Pemerintah Indonesia mencanangkan program “Seribu Menara” di seluruh Indonesia, yang menandakan kebangkitan pembangunan hunian vertikal di era milenium setelah dimulai di era 1980-an. Melalui kerja sama penyediaannya dengan badan usaha swasta, pembangunan rumah susun sederhana milik (Rusunami) perlahan mewarnai lanskap kota-kota besar di Indonesia. Walaupun Pemerintah Indonesia menetapkan harga jual unit satuan rumah susun (sarusun) secara nasional guna menjaga keterjangkauannya terhadap MBR, hal sebaliknya terjadi pada kenyataannya. Mayoritas para pembeli bukanlah kelompok sasaran dan menjadikannya komoditas investasi. Ketidaksesuaian kelompok sasaran ini dipicu oleh tidak terkendalinya harga tanah yang menyebabkan harga jual unit sarusun tidak lagi tertahankan di kota-kota besar di Indonesia. Bahkan kini program ini memunculkan masalah-masalah kepenghunian seperti konflik Perhimpunan Penghuni dan Pemilik Rumah Susun (P3SRS) dengan pengembang dan terhambatnya penyerahan fasilitas umum dan sosial kepada pemerintah daerah.
Selanjutnya, muncul program penyediaan dan perbaikan fasilitas umum dan sosial melalui PNPM Mandiri. Program ini berhasil menambah jumlah dan meningkatkan kualitas fasilitas umum dan sosial seperti fasilitas mandi-cuci-kakus (MCK) komunal dengan lokasi sporadis dan tidak terhubung dengan infrastruktur kota, sehingga kerap menjadi salah satu sumber masalah lingkungan, seperti banjir dan pencemaran. Hal yang menarik adalah munculnya program Kampung Deret di Provinsi DKI Jakarta, yang bertujuan memperlebar jalan-jalan sempit di permukiman kumuh dan padat, guna mempermudah pergerakan orang dan barang, usaha evakuasi dan mitigasi bencana, memungkinkan penetrasi sinar matahari dan udara segar ke dalam rumah dan permukiman, serta memperbaiki tampilan rumah. Sayangnya, niat baik ini terkendala oleh legalitas tanah penerima bantuan di permukiman kumuh dan padat (Ainy, 2015; Edarsasi, 2016).
Program Sejuta Rumah (PSR) yang dicanangkan Presiden Joko Widodo dalam periode 2015-2019 merupakan wujud nyata usaha tersebut, melalui pengucuran Fasilitas Likuidasi Pembiayaan Perumahan (FLPP) untuk rumah bersubsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Sayangnya, walau secara umum target jumlah tercapai, namun peran pemerintah dalam membangun rumah bagi MBR masih sangatlah rendah, dibanding badan usaha swasta dan masyarakat. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal ini, yakni:
Ketersediaan tanah yang langka dan harganya yang tak terkendali menjadi biang masalah penyediaan rumah tersebut. Saat tanah menjelma sebagai komoditas, pemilik alat tukar terbanyak lah yang dapat memperolehnya sejumlah alat tukar yang dimilikinya. Sayangnya, kondisi ini disahkan oleh negara, yang seyogyanya berkewajiban memenuhi hak atas tanah sebagai komponen vital pembentuk ruang hidup warga yang tidak memiliki alat tukar. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman Pasal 16 dan 17 menegaskan bahwa salah satu kewajiban Pemerintah dari seluruh tingkat (pusat hingga kabupaten/kota adalah mengoordinasi pencadangan atau penyediaan tanah untuk pembangunan perumahan dan permukiman bagi MBR.
4. Keamanan Bermukim
Dalam tulisan yang berjudul “Holding On: Security of Tenure-Types, Policies, Practices and Challenges”, Payne dan Durand-Lasserve (2013) menyatakan bahwa akses keamanan bermukim meliputi tanah dan rumah sebagai prasyarat penting perbaikan kehidupan manusia. Sayangnya, akses ini kian langka karena terbatasnya kemampuan mayoritas penduduk untuk memenuhi hal ini.
Mereka menjelaskan bahwa keamanan bermukim perlu dipahami sebagai sebuah relasi sosial yang mengatur kepemilikan dan pemanfaatan tanah. Hak kepemilikan dapat bervariasi, tidak harus milik, namun individu dapat menggunakannya untuk memenuhi kebutuhannya. Hak ini pun mengatur peluang untuk menjual atau memindahkuasakan pemanfaatan tanah kepada individu lain, untuk mencegah akibat yang tidak diinginkan, seperti spekulasi tanah, atau pemanfaatan yang merugikan anggota masyarakat lainnya. Namun, tata atur ini kerap menegasikan jenis kepemilikan dan pemanfaatan tanah, sehingga dianggap ilegal, walau praktik tersebut sudah berlangsung sebelum tata atur tersebut ditetapkan. Hal ini menyebabkan para individu yang menjalankan praktik tersebut mengalami degradasi keamanan bermukim.
Untuk itu, Payne dan Durand-Lasserve (2013) menegaskan pentingnya pengakuan bentuk kepemilikan dan pemanfaatan tanah yang beragam dan gradual, dari yang paling rendah hingga tinggi guna menjamin keamanan bermukimnya. Dalam tulisan mereka, yang kini digunakan oleh UN-Habitat, setidaknya terdapat 8 (delapan) tingkat hak kepemilikan dan pemanfaatan yang perlu dijamin keamanan bermukimnya, sebagaimana tampak pada diagram.
Diagram tersebut memperlihatkan bahwa hak kepemilikan dan pemanfaatan terendah adalah yang digolongkannya sebagai pavement dweller atau penghuni trotoar yang merujuk pada penduduk kota yang tidak memiliki rumah (homeless). Walau tidak memiliki hak atas trotoar yang ditinggali atau dihuni, Payne dan Durand-Lasserve (2013) secara tegas menandaskan bahwa negara harus mengakomodasi hak keamanan bermukim mereka. Kehadiran mereka di atas trotoar menandakan kegagalan negara dalam menyediakan hunian yang layak dan terjangkau untuk mereka, namun tidak menghilangkan kewajiban negara atas hak dasar warga negara atau penduduk kota tersebut. Jika negara tidak mampu untuk menyediakan hak tersebut, sebagaimana tertera dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 H bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan, maka negara wajib memampukan mereka untuk dapat meningkatkan kemampuannya memperoleh hunian yang layak dan terjangkau. Hal ini merujuk pada peran distribusi akses dalam reforma agraria, yakni memampukan individu/subjek reforma agraria untuk dapat memanfaatkan objek yang diterima guna meningkatkan kualitas hidup dan penghidupannya.
Diagram di atas menjelaskan bahwa hak milik adalah hak tertinggi, jika seorang individu mampu memenuhi kewajibannya, seperti pajak, biaya pemeliharaan, dan lain sebagainya. Jika belum mampu, maka seorang individu tersebut dapat memegang hak bermukim dengan tingkat kekuatan lebih rendah, seperti sewa dan lain-lain. Oleh karenanya, penjaminan hak bermukim dalam program reforma agraria, dapat memiliki alternatif selain hak milik, yakni sewa atau lainnya, selama keamanan bermukim dan kemampuan untuk memanfaatkan ruang hidupnya terjamin.
5. Akses atas Sumber Daya
Derasnya arus urbanisasi di kota-kota negara berkembang memperbanyak permukiman kumuh dan padat (Chatterjee, 2011) dengan adanya ketimpangan kesempatan dan akses pada sumber daya yang layak karena ketidakmampuan membeli (Tiwari et al., 2015). Ketimpangan ini, oleh UN-Habitat (2003), dinyatakan sebagai situasi yang menjadi sumber dari pelanggaran terhadap martabat dan hak asasi manusia. Oleh karenanya, kegiatan perencanaan dan pembangunan kota tanpa melibatkan secara aktif dan intensif masyarakat kota, termasuk penghuni kampung kota, harus ditinggalkan guna menyelesaikan masalah pemenuhan hak dasar (Buckley & Kalarickal, 2005).
Ribot dan Peluso (2003) menjelaskan bahwa akses adalah kemampuan para pelaku kegiatan yang bekerja dalam struktur kekuasaan untuk memperoleh manfaat dari “sesuatu”. Penjelasan ini berangkat dari ide kepemilikan (property) yang dikemukakan oleh MacPherson (1978), yakni klaim penggunaan dan keuntungan yang dimiliki oleh individu atau lembaga tertentu dan dilindungi oleh kewenangan hukum dan politik. Melalui kajian ekologi politik, Ribot dan Peluso (2003) mendefinisikan akses sebagai capability to take benefit from (kemampuan untuk mendapatkan manfaat, bukan sekadar hak, baik diemban oleh perorangan/individu maupun kelompok, atau lembaga tertentu. Kemampuan untuk memperoleh manfaat dari “sesuatu” itu guna memenuhi kebutuhan atau kepentingan individu atau bersama, atau kepentingan lembaga dari organisasi lokal hingga badan usaha. Ribot dan Peluso (2003) mengubah pandangan mengenai akses masyarakat memperoleh sumber daya, dari pendekatan hak kepada cara para pihak yang berkepentingan memperoleh, mengendalikan, dan melestarikan akses pada sumber daya tersebut. Mereka membedakan konsep property rights, dan menggunakan konsep akses yang lebih luas berupa kemampuan individu/kelompok untuk memperoleh, mengendalikan, dan melestarikan akses pada sumber daya tersebut.
Saat melakukan analisis mengenai akses, yang dalam kajian ini merupakan distribusi akses, Ribot dan Peluso (2003) menawarkan beberapa langkah sebagai berikut:
Berkenaan dengan analisis hubungan kuasa, Hall, et al. (2011) menjelaskan bahwa setidaknya terdapat 4 (empat) tipe hubungan kuasa yang mengendalikan mekanisme akses, yakni peraturan, paksaan, proses pasar; dan legitimasi. Yang pertama mengandalkan izin, kedua berkenaan dengan ancaman dan kekuatan, ketiga mengenai daya beli dan keterjangkauan harga, dan terakhir merujuk pada nilai, sejarah dan hubungan sosial.
Kajian Calderon Contreras (2011) mengenai reforma agraria di Meksiko menjelaskan bahwa banyak cara mekanisme akses yang dapat memenuhi kebutuhan, atau kepentingan individu maupun kelompok dari sebuah tanah atau rumah. Oleh karenanya, ia menegaskan bahwa mekanisme yang harus dihadirkan tidak hanya tunggal sesuai dengan arahan pemerintah, tetapi juga harus dipadu dan dipadankan dengan beragam mekanisme yang dipraktikkan oleh masyarakat guna menciptakan distribusi akses yang adil dan merata. Hal ini menjelaskan bahwa pentingnya partisipasi masyarakat dalam merencanakan dan menjalankan distribusi akses atan tanah-tanah hasil dari reforma agraria.
6. Partisipasi Komunitas
Sejak era 1970-an, partisipasi komunitas sudah mewarnai wacana teori dan metode perencanaan kota (Osei-Hwedie & Osei-Hwedie, 2010) guna mengetahui, memahami, merencanakan, dan mewujudkan perencanaan pembangunan kota yang tepat dan adil sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan komunitas (Beard, 2002). Hal ini menggugat otoritas hegemoni kepakaran ahli perencanaan kota dalam menetapkan perencanaan untuk berbagi dengan komunitas, yang memiliki pengetahuan lokal, sehingga dapat secara efektif memanfaatkan dan memelihara sumber daya bersama dengan modal yang dimiliki (Innes & Booher, 2010).
Friedmann (1987 dalam Craig, 2007) menjelaskan perpindahan otoritas dan kewenangan dari pakar perencanaan kota kepada komunitas mengubah peran perencanaan dari panduan sosial bagi masyarakat untuk berkegiatan di kota menjadi transformasi sosial bagi komunitas untuk menentukan kehidupannya di kota.
Partisipasi secara sederhana didefinisikan oleh Arnstein (1969) sebagai keterlibatan yang diatur dalam proses pengaturan. Keterlibatan ini, memiliki beragam tingkat intensitas, dari diperkenankan, ditumbuhkembangkan, hingga diberdayakan dalam proses pengambilan keputusan yang mengatur penyebaran sumber daya untuk seluruh anggota komunitas guna memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kemakmuran.
Partisipasi masyarakat sejati tidak hanya menyuarakan aspirasi, tetapi juga kemampuan untuk turut serta merencanakan, menetapkan, dan mewujudkan keputusan (Arnstein, 1969). Menurut Benz (1975), kemampuan ini justru mampu meningkatkan kualitas perencanaan dan implementasi keputusan tersebut. Bahkan Steelman dan Asher (1997) membuktikan kemampuan ini dapat meningkatkan kualitas kebijakan publik untuk pembangunan. Sementara Buchy dan Race (2001) menambahkan bahwa kemampuan ini memperbaiki hubungan antar pelaku pembangunan karena terjalin komunikasi yang jelas untuk membina hubungan timbal balik yang menguntungkan sehingga hasil keputusan tersebut dapat memenuhi kebutuhan dan kepentingan bersama.
Hal yang perlu dipahami adalah partisipasi masyarakat bukanlah sebuah peristiwa sementara yang ada dan tiada, namun sebuah proses peningkatan kapasitas masyarakat secara terus-menerus (Botes & Van Rensburg, 2000; Creighton, 2005). Walau partisipasi masyarakat sudah menjadi wacana dominan dalam teori pembangunan (Parker & Murray, 2012), pada kenyataannya masih jarang diterapkan (Davies, 2001). Swapan (2014) mengidentifikasi 2 (dua) faktor penentu keberhasilan pelaksanaan partisipasi komunitas, yaitu:
Selain proses yang terus-menerus, pembangunan melalui partisipasi komunitas melibatkan instansi pemerintahan multisektor (Gaventa, 2004). Selain itu, peran pakar perencana kota pun bergeser dari penyedia jasa perencanaan menjadi pemberdaya komunitas untuk terlibat aktif dalam penetapan perencanaan kota (Evans, 2010). Keterlibatan aktif komunitas terbukti efektif dalam menyusun perencanaan pembangunan kota atau perbaikan permukiman karena komunitas lah yang mengetahui masalah yang terjadi di lingkungannya (Amado et al., 2010). Sebagaimana dibuktikan Trivedi dan Tiwari (2013), bahwa solusi terbaik muncul dari keterlibatan pihak yang mengetahui atau mengalami masalah tersebut, yakni komunitas.
Namun Reid et al (2010) mengingatkan bahwa partisipasi bukan sekadar kemampuan mempengaruhi keputusan, tetapi terlibat aktif dalam penetapan dan pelaksanaan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Dengan demikian, menurut Roy (2009), partisipasi komunitas bukanlah sekadar kehadiran masyarakat dalam setiap pertemuan untuk menyuarakan aspirasinya, tetapi hubungan antara negara, pakar perencanaan kota, dan komunitas sebagai mitra. Pengakuan sebagai mitra memungkinkan masyarakat, dalam hal ini warga kampung kota, untuk berdiskusi dan bernegosiasi dalam menemukan solusi beragam masalah spasial yang tertuang dalam perencanaan kota (Sandercock, 2000). Oleh karenanya, pelaksanaan partisipasi masyarakat membutuhkan kemampuan komunitas untuk mengetahui, memahami, dan menganalisis informasi dalam menetapkan dan menjalankan keputusan.
Dalam publikasinya, UN-Habitat (2003) menegaskan pentingnya keterlibatan komunitas secara aktif untuk memperbaiki kualitas permukiman kumuh dalam penyediaan hunian bersubsidi, keamanan bermukim, penyediaan air bersih dan sanitasi, serta kesempatan untuk meningkatkan penghidupan penghuninya. Bahkan dalam beberapa dasawarsa terakhir, partisipasi dalam pengambilan keputusan adalah hak anggota komunitas (Roberts, 2004). Sayangnya, program-program mulia ini diabaikan oleh pendekatan pembangunan bersistem kapitalis yang bertumpu pada ketersediaan lahan dan jumlah penghasilan penghuninya (Mansuri & Rao, 2004).
Pendekatan tersebut meremehkan kemampuan komunitas kampung kota untuk memanfaatkan aset dan modal yang mereka miliki dalam merencanakan dan mewujudkan rencana perbaikan permukimannya (Ahmad et al., 2015). Namun Healey (2007) menegaskan bahwa kedua pendekatan tersebut sebenarnya saling melengkapi. Pergeseran otoritas dan kewenangan dari negara yang diwakili oleh pakar perencanaan kota kepada komunitas adalah wujud menyeimbangkan kekuasaan negara dan masyarakat dalam membuat, menetapkan, dan mewujudkan perencanaan kota (Brand & Gaffin, 2007). Hal ini penting karena perencanaan kota akan menentukan kualitas kehidupan masyarakat kota secara keseluruhan (Beard, 2002).
Salah satu faktor vital dalam partisipasi masyarakat adalah pertukaran informasi antarpihak yang berkepentingan secara transparan sehingga mampu memberikan pendapat dan usulan yang tepat sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan masing-masing dan bersama (Rowe & Frewer, 2005). Selain itu, para pihak yang berkepentingan dapat saling memahami perspektif yang berbeda sehingga dapat mengurangi konflik dalam menetapkan keputusan bersama (Brønn & Brønn, 2003). Hal inilah yang mampu meningkatkan rasa percaya (Dal Bo et al., 2008) sehingga menumbuhkembangkan sinergi antarpihak yang terlibat (Tantalo & Priem, 2016). Hal ini berimbas pada meningkatnya kualitas perencanaan yang optimal memenuhi kebutuhan dan kepentingan bersama (Burby, 2003).
7. Pengembangan Kapasitas
Pengembangan kapasitas bagi komunitas-komunitas guna berpartisipasi dalam pembuatan, penetapan dan pelaksanaan rencana pembangunan sebenarnya sudah dicanangkan dalam program global oleh United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) di Rio de Janeiro (Brazil) pada tahun 1992. Hal ini menyebabkan partisipasi komunitas kampung-kpamung kota sangat relevan, menurut Marshall (2003), untuk menghadapi tantangan pembangunan kota dengan arus urbanisasi yang sangat deras, seperti berlangsung di kota-kota besar di Indonesia.
Peningkatan kapasitas masyarakat sebagai hasil dari program pemberdayaan komunitas hanya dapat tercapai, menurut Tiwari dan Pandya (2014), jika pemerintah memahaminya sebagai sebuah kegiatan yang berkelanjutan, bukan sekadar hasil dari program yang terpenjara oleh tahun anggaran. Hal ini karena pemberdayaan masyarakat mencakup kemampuan membuat dan melaksanakan keputusan bersama berdasarkan pengetahuan dan sumber daya individu atau kolektif.
Dalam skala yang lebih besar, Pengembangan kapasitas komunitas adalah mereposisi kegiatan pemberdayaan individual, Pengembangan komunitas, dan kerja kolaboratif antarpihak yang berkepentingan menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan (Laverack, 2003). Jones (2007) menawarkan proses pemberdayaan kapasitas komunitas berkisar dari skala individu hingga kelompok yang secara bertahap membentuk organisasi lokal yang sadar dan mampu untuk bersama menyelesaikan masalah pembangunan dari skala lingkungan ketetanggaan hingga unit kota.
Hal ini sangat berbeda dengan beragam program pembangunan sebelumnya, yang memisahkan kegiatan-kegiatan tersebut, dan tidak memberi pengaruh dan dampak satu sama lainnya. Oleh karenanya, pemberdayaan individu dan kelompok merupakan modal Pengembangan komunitas yang hasilnya ditandai oleh partisipasi aktif dalam kolaborasi antarpihak yang berkepentingan dalam penentuan dan pengambilan keputusan pembangunan kota (Raeburn, 1993). Dengan demikian, penguatan kapasitas masyarakat/komunitas adalah sebuah proses yang tidak pernah berakhir(Healey, 2010).
Dalam proses kolaborasi untuk menghasilkan konsensus yang memenuhi kebutuhan atau kepentingan bersama, kesetaraan antarpihak menjadi syarat utama (Innes, 1996 dalam Mahjabeen et al., 2009). Tanpa adanya kesetaraan, proses kolaborasi akan diwarnai oleh rasa tidak percaya (Hillier, 2003 dalam Mahjabeen et al. 2009) karena hasilnya ditengarai asimetris menguntungkan pihak-pihak tertentu saja. Oleh karenanya, penguatan masyarakat atau komunitas yang terpinggirkan adalah keniscayaan untuk mencapai kolaborasi yang diharapkan (Healey, 1998).
Dalam beberapa dekade belakangan, partisipasi komunitas miskin kota sudah mulai dilakukan dalam proses perencanaan pembangunan untuk mewujudkan pembangunan yang adil dan merata (Taylor, 2007). Namun demikian, kolaborasi tersebut membutuhkan kemampuan dan pengakuan yang setara antarpihak yang berkepentingan guna mampu mewujudkannya (Kumar & Paddison, 2001; Khan & Swapan, 2013). Sayangnya, kondisi ini tidak terjadi terutama bagi masyarakat miskin kota yang kerap terpinggirkan, baik karena kemampuannya ataupun pengakuan dari pihak-pihak lainnya. Kondisi ini terlestarikan, menurut Armitage (2005), karena pemerintah enggan menguatkan kapasitas komuntas miskin kota untuk dapat terlibat aktif dan terakui secara setara sebagai pihak yang berkepentingan dalam pembangunan kota.
Partisipasi tersebut juga dibutuhkan karena tidak ada rencana pembangunan yang sesuai dan mampu menyelesaikan masalah pada komunitas dan lokasi berbeda (Pissourios 2014; Puppim de Oliveira, 2011). Partisipasi, sebagai hasil dan proses peningkatan kapasitas komunitas miskin kota, pada akhirnya memampukan mereka untuk menyediakan infrastruktur sendiri (Mansuri & Rao, 2013; Waheduzzaman & Mphande, 2014).
8. Kepemilikan Bersama Sumber Daya Bersama (The Commons)
Sebagaimana telah kami sampaikan, sistem ekonomi kapitalis menyulap hunian menjadi komoditas privat dalam jejaring pertukaran (De Angelis, 2007) dan melalui commoning, anggota komunitas seyogyanya mampu mengubah hal ini melalui semangat kebersamaan, kerja sama, dan gotong-royong (Linebaugh, 2014).
Harvey (2012) membedakan kepemilikan bersama (common property) dengan kepemilikan publik, dan kepemilikan pribadi. Menurutnya, kepemilikan publik merujuk pada benda yang diciptakan atau dibangun, sehingga dimiliki dan dikendalikan oleh pemerintah melalui berbagai peraturan. Sementara kepemilikan pribadi didefinisikan sebagai benda yang dimiliki oleh individu/perorangan atau sekelompok individu/orang yang mengatur penggunaannya sesuai dengan aturan yang dibuat sendiri. Dengan commoning, anggota komunitas mencari, menemukan, dan melakukan praktik alternatif untuk melakukan penyesuaian pemanfaatan sumber daya kolektif untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan bersama (Hodkinson, 2012). Kepemilikan bersama merupakan manifestasi commoning yang dilakukan para commoners untuk memanfaatkan dan memelihara ruang-ruang terbuka (open space) untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan bersama demi mencapai kemakmuran bersama.
Namun demikian, Geisler dan Daneker (2000) mengingatkan bahwa kepemilikan bersama menawarkan implikasi hukum yang rumit. Rose (1998) menjelaskan bahwa kepemilikan bersama adalah kepemilikan sesuatu oleh seluruh anggota suatu kelompok/komunitas tanpa masing-masing kehilangan otonomi individual yang tergantung dari dukungan anggota lainnya. Hal ini menyiratkan pentingnya tanggung jawab sosial tiap anggota komunitas tersebut untuk menjaga dan melestarikan sumber daya yang dimiliki bersama, untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan bersama, di masa kini maupun akan datang (Davis, 2010).
Berbeda dengan hak kepemilikan bersama yang sangat bertumpu pada negosiasi antar anggota kelompok/komunitas untuk mencapai kesepakatan bersama, sehingga tentunya akan menyulitkan pemerintah untuk mengatur hak tersebut, kejelasan hubungan hak individu terhadap sesuatu yang dimilikinya memudahkan pemerintah untuk mengizinkan pemilik melakukan pertukaran, bahkan spekulasi dengan konsekuensi pembayaran pajak yang berguna bagi pemerintah untuk melakukan pembangunan. Sementara hal ini sangat sulit terjadi pada hak kepemilikan bersama, karena sangat dinamis perubahannya tergantung kesepakatan para anggota kelompok/komunitas (Blomley, 2004b). Kepemilikan pribadi mengembangkan nilai tukar daripada guna, dan ketahuilah hal itu pada gilirannya akan menihilkan makna kehidupan (Lefebvre, 2002).
Selain karena mengikuti begitu saja konsep pewarisan tanah dalam kehidupan keluarga rakyat miskin, menghubungkan pemberian hak atas tanah negara kepada s individu dengan sesuatu hak milik pribadi, juga arena alasan kemudahan pemerintah untuk mengatur pemberian hak tersebut. Alhasil, pemerintah tidak mendukung tumbuh kembang hak kepemilikan bersama melalui kebijakan dan peraturan pelaksana kebijakan itu. Padahal eengganan pemerintah mendukung ide tersebut, menimbulkan implikasi yang rumit (Singers, 2000).
Dengan tidak mengikuti usulan hak kepemilikan dan tata kelola kepemilikan pribadi dan publik (de Janvry, 1993), kami penulis nasjah ini mengusulkan kepemilikan bersama, dan selanjutnya para subjek Reforma Agraria perlu mempelajari konsep the common dan commoning.
9. The Commons dan Commoning
Kata the commons erat kaitannya dengan komunitas. Kata komunitas, menurut Laverack (2003), memiliki konotasi rasa keterhubungan antar individu, dan rasa inilah yang menyebabkan individu-individu tersebut tergabung dalam sebuah kelompok. Rasa ini juga menyiratkan adanya kepentingan bersama antarindividu untuk memenuhi kebutuhan bersama (Casswell, 2001). Rasa tersebut berlangsung dalam sebuah wilayah geografis dengan batas yang jelas, sehingga kata komunitas erat kaitannya dengan lingkungan ketetanggaan (neighborhood) (Craig, 2007).
Menurut King et al (2017), dewasa ini lebih dari satu miliar penduduk di dunia tidak memiliki akses memperoleh hunian terjangkau. Kondisi ini menggambarkan bahwa masalah penyediaan perumahan layak dan terjangkau bukanlah milik Indonesia semata, khususnya Jakarta, namun juga dunia. Kondisi ini terjadi karena sistem penyediaan huniannya menjadi hasil komodifikasi dalam sistem ekonomi kapitalistik (Larsen & Hansen, 2015; Nieboer & Gruis, 2016). Kini, guna memenuhi kebutuhan hunian dan biaya transportasi yang terjangkau serta mengatasi isolasi sosial dengan menumbuhkembangkan solidaritas melalui komitmen berbagi (Sargisson, 2012), masyarakat di benua Eropa secara kolektif mengembangkan dan hidup di hunian bersama (Tummers, 2015). Komitmen bersama ini terejawantah dalam jejaring saling membantu pada kegiatan keseharian, yang merupakan wujud dari pengaturan partisipatif dan hubungan ketergantungan antarpenghuni (Pickerill, 2016) dan antara penghuni dengan alam (Nelson, 2018). Dengan kegagalan sektor publik dan swasta untuk menyediakan hunian tersebut, masyarakat secara bersama dengan semangat kolektif berusaha memenuhi kebutuhan papan melalui pengembangan konsep the commons dan commoning.
Konsep the commons didefinisikan beragam oleh banyak pakar. Konsep the commons, menurut Ostrom (1990), bukanlah hal yang baru karena telah dipraktikkan oleh masyarakat tradisional dalam mengelola sumber daya bersama. Konsep ini hilang diterjang derasnya gelombang sistem ekonomi kapitalis global, yang mengubah semangat kolektif menjadi individualis. Namun kini, konsep ini kembali muncul di perkotaan pada masyarakat modern dalam mencari formula distribusi sumber daya yang adil untuk memenuhi hak dasar warga kota.
Pickerill dan Chatterton (2006) mengidentifikasi the commons sebagai proses suatu kelompok/komunitas melakukan penyesuaian dan rasa memiliki ruang hidupnya melalui hidup keseharian sehingga memiliki otonomi atas ruang hidupnya. Menurut Blomley (2008), the commons merujuk pada pemahaman mengenai aturan, norma, dan kepentingan sebuah kelompok/komunitas. Sementara Hardt dan Negri (2009) mendefinisikan the commons sebagai bentuk organisasi sosial untuk menciptakan kemakmuran bersama melalui kerja dan karya bersama. Demikian pula Stavrides (2007) mendefinisikan the commons sebagai sebuah proses menyesuaikan ruang hidup oleh anggota kelompok/komunitas berdasarkan aturan atau norma yang disepakati bersama. Dengan demikian, ruang hidup selalu mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan anggota kelompok/komunitas tersebut (Chatterton, 2010). Dengan demikian, the commons bukanlah sebuah kata benda sebagai hasil dari sebuah proses atau kerja yang merujuk pada prosesnya, tetapi keduanya. Namun demikian, kami memahami konsep the commons sebagai sebuah kelompok yang menyusun aturan sebagai hasil kesepakatan bersama yang tiada henti agar mampu beradaptasi dengan segenap perubahan yang terjadi guna memenuhi kebutuhan dan kepentingan individu dan bersama melalui pemanfaatan dan pemeliharaan sumber daya bersama. Kata bersama, menjadi kata kunci dari konsep ini.
Dalam prosesnya, beberapa pakar memperkenalkan konsep commoning sebagai faktor vital membentuk the commons. Menurut de Angelis (2010), konsep commoning merepresentasi usaha dan semangat tiada henti sebuah komunitas untuk memanfaatkan sumber daya secara bersama untuk kepentingan bersama. Sementara bagi Tummers (2016), konsep commoning merujuk pada proses tiada henti menciptakan lingkungan oleh sebuah komunitas untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan bersama, yang gagal disediakan oleh negara atau badan usaha. Semangat pemanfaatan ini, menurut Hardt dan Negri (2009) yang berbeda dengan sistem pasar yang dijalankan dan ditawarkan oleh badan usaha. Lalu Noterman (2015) memahami commoning sebagai usaha pembentukan hubungan sosio-spasial antaranggota kelompok yang tidak berkesudahan yang tidak terduga hasilnya melalui rangkaian panjang kesepakatan dan perselisihan. Namun dalam beragam pustaka terkini, para pakar menegaskan commoning bukan sekadar usaha mengelola dan memanfaatkan sumber daya bersama untuk kebutuhan atau kepentingan bersama, tetapi juga berbagi kepedulian terhadap sumber daya bersama untuk melestarikannya (Bresnihan, 2016; Kirwan et al., 2016). Oleh karenanya, kami mendefinisikan commoning sebagai sebuah usaha bersama anggota kelompok untuk menjadi dan menjalankan the commons.
Commoning merupakan salah satu faktor pencipta reproduksi sosial yang sangat berguna untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan komunitas yang gagal dipenuhi oleh pemerintah atau badan usaha swasta (Iveson, 2013; Tonkiss, 2013), terutama komunitas terpinggirkan seperti masyarakat miskin kota (Fuller et al., 2010). Interaksi sosial antar-anggota kelompok/komunitas yang dinamis untuk mencapai kesepahaman dan kesepakatan bersama (Dzokic & Neelen, 2015) dalam memanfaatkan dan memelihara sumber daya bersama (Susser & Tonnelat, 2013) agar tercapai kemakmuran bersama (Hardt & Negri, 2009) dan pemberdayaan bersama (Mattei, 2012). Walau kehadirannya kerap berubah-ubah dan bekerja di luar aturan yang berlaku (Blomley, 2004), namun perannya sangat besar dalam transformasi sistem perkotaan (Iveson, 2013).
Guna menumbuhkembangkan commoning, menciptakan dan meningkatkan kualitas commons untuk memanfaatkan dan memelihara sumber daya bersama, pengembangan pengetahuan lokal yang telah berlangsung dalam kelompok/komunitas sangatlah penting (MacKinnon & Derickson, 2013). Konsep commoning dipraktikkan melalui proses membangun, mengelola, dan melestarikan sumber daya bersama secara kolektif antar anggota komunitas (Linebaugh, 2008).
Terdapat perbedaan konteks masyarakat tradisional agraris di pedesaan dan masyarakat modern industri di perkotaan, sehingga Dzokic dan Neelen (2015) mengutarakan urgensi pengembangan kelembagaan bersemangat commoning yang kontekstual dengan kehidupan masyarakat di perkotaan dewasa ini. Sohn et al (2015), Bunce (2015), dan Stavrides (2016) menegaskan tantangannya adalah menumbuhkembangkan commoning dengan menyadarkan anggota kelompok mengenai pentingnya pembuatan dan pelaksanaan aturan bersama untuk mengelola sumber daya bersama. Hal ini, menurutnya, sulit dilakukan oleh pemerintah, arsitek, atau perencana kota dalam menyediakan hunian bagi komunitas terpinggirkan karena tidak sesuai dengan cara berpikir dan bekerja yang biasa mereka lakukan. Selain itu, tantangan lainnya adalah bagaimana menghasilkan tata kelola sumber daya yang setara bagi tiap anggota kelompok/komunitas agar commoning tetap lestari dalam the commons (De Angelis, 2007). Dalam konteks perumahan, commoning mendasarkan pada partisipasi secara aktif dan penuh dalam produksi, pemanfaatan, dan pemeliharaan rumah (Dzokic & Neelen, 2015).
Ostrom (1990) berpendapat bahwa bentuk pengelolaan sumber daya kolektif merupakan salah satu cara terbaik untuk menjamin keberlangsungan hidup sebuah kelompok/komunitas. Bentuk pengelolaan ini menawarkan ruang hidup alternatif yang berbeda dengan yang disediakan oleh pemerintah atau badan usaha swasta (Gibson-Graham, 2008) dengan semangat dari, oleh, dan untuk anggota kelompok/komunitas tersebut. Untuk itu, masyarakat membutuhkan transformasi dari warga kota individual menjadi the commons dengan semangat commoning yang terlembaga.
Semangat commoning yang terlembaga didefinisikan oleh Bunce (2015) sebagai wujud lembaga aksi kolektif yang dikembangkan dan dilestarikan oleh kelompok/komunitas berdasarkan aturan yang disepakati bersama antar-anggotanya. Walau bagi Ostrom (1990) anggota kelompok/komunitas dan wilayah geografis ruang hidup yang jelas dan tetap adalah syarat utama untuk membentuk the commons, de Angelis (2010) dan Stavrides (2015) berpendapat berbeda. Bagi mereka, pemecahan masalah yang mendesak dan mengorganisasi aksi kolektif anggota kelompok/komunitas merupakan syarat yang lebih penting. Hal ini menunjukan pentingnya menjaga distribusi kuasa dalam proses pengambilan keputusan di antara anggota kelompok yang terus berubah, baik jumlah maupun identitasnya, demi memenuhi kebutuhan atau kepentingan bersama melalui pemanfaatan dan pemeliharaan sumber daya bersama. Kolaborasi yang dinamis dan adil antar anggota komunitas menjadi kata kunci yang sangat penting, menurut Hardt dan Negri (2009). Oleh karenanya, mereka berpendapat jangan ada pemusatan kekuasaan untuk menentukan keputusan pada seorang atau sekelompok orang dalam komunitas tersebut, agar konsep commoning tetap terjaga.
Selain itu, beberapa pakar mengungkap masalah keterlembagaan komunitas dengan semangat commoning adalah terciptanya sebuah praktik sosial yang justru berulang, terpola, dan terprediksi (Roggero, 2010) oleh komunitas yang menutup diri dari perubahan-perubahan yang terjadi (de Angelis & Stavrides, 2010). Dalam bukunya, Ranciere (2010) menegaskan perlunya komunitas membuka dirinya terhadap kemungkinan perubahan anggota dan ide-ide baru dalam mengelola sumber daya agar dapat bertahan hidup dalam kondisi dunia yang terus berubah, selama menjaga semangat commoning tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Amado, M. P., Santos, C. V., Moura, E. B., & Silva, V. G. (2010). Public Participation in Sustainable Urban Planning. International Journal of Human and Social Sciences, 5(2), 102-108.
Beard, V. 2002. Covert Planning for Social Transformation in Indonesia. Journal of Planning Education and Research, 22, 15-25.
Benz, L. N. 1975. Citizen Participation Reconsidered. Social Work, 20, 115-119.
Blecic, I., Cecchini, A., & Talu, V. 2013. The Capability Approach in Urban Quality of Life and Urban Policies: Towards A Conceptual Framework. In S. Serreli (ed.), City Project and Public Spaces, (pp. 269-288). Springer Netherlands.
Roy, A. 2009. Why India Cannot Plan Its Cities: Informality, Insurgence and The Idiom of Urbanisation. Planning Theory, 8(1), 76-87.
Sandercock, L. 2000. When Strangers Become Neighbours: Making Cities of Difference. Planning Theory and Practice, 1(1), 13-30.
Edarsasi, P. R. 2016. Implementasi Kebijakan Perbaikan Rumah di Permukiman Kumuh melalui Penataan Kampung di DKI Jakarta pada tahun 2013 (Studi Kasus: Kampung Deret Petogogan), Skripsi Universitas Diponegoro.
Chatterjee, I. 2011. Governance as 'Performed', Governance as 'Inscribed': New Urban Politics in Ahmedabad. Urban Studies, 48(12), 2571-2590.
Ribot, J., & Peluso, N. L. 2003. A Theory of Access, Rural Sociology, 68(2), 153–181.
Calderon Contreras, R. 2011. Access to Land-based Resources under The Influence of Land Reform: A Case Study from An Agrarian Community in Mexico. (Doctoral dissertation), University of East Anglia.
Osei-Hwedie, K., & Osei-Hwedie, B. 2010. Participatory Development. In M. Pawar & D. Cox (eds.), Social Development: Critical Themes and Perspectives (pp. 57- 75). Routledge.
Laverack, G. 2003. Building Capable Communities: Experiences in A Rural Fijian Context. Health Promotion International, 18(2), 99-106.
Jones, R. 2007. Engineering Capacity Building in Developing Countries. American Society for Engineering Education, 926, 1-8.
Tiwari, P., Nair, R., Ankinapalli, P., Rao, J., Hingorani, P., & Gulati. M. 2015. India's Reluctant Urbanisation: Setting The Stage." In P. Tiwari, R. Nair, P. Ankinapalli, J. Rao, P. Hingorani & M. Gulati (Eds.), India's Reluctant Urbanisation: Thinking Beyond (pp. 1-26). Palgrave Macmillan.
Tiwari, R., and Y. Pandya. 2014. An Ethnographic and Collaborative Model of Inquiry: Activity Centre Project in India. In M2 Models and Methodologies for Community Engagement, edited by R. Tiwari, M. Lommerse and D. Smith. Singapore: Springer.
Tonkiss, F. 2013. Austerity Urbanism and The Makeshift City. City, 17(3), 312–324.
Trivedi, N., & Tiwari, R. 2013. Collaborative Dialogue and Action for Home-Based Work Issues in Indian Slum Settlements. Reflections, 2(1), 51-57.
Raeburn, J. 1993. How Effective is Strengthening Community Action as A Strategy for Health Promotion? University of Toronto Press.
Healey, P. 2010. Making Better Places: The Planning Project in The Twenty-First Century, Palgrave Macmillan. '
Mahjabeen, Z., Shrestha, K., & Dee, J. 2009. Rethinking Community Participation in Urban Planning: The Role of Disadvantaged Groups in Sydney Metropolitan Strategy. Australasian Journal of Regional Studies, 15(1), 45-63.
aylor, M. 2007. Community Participation in The Real World: Opportunities and Pitfalls in New Governance Spaces. Urban Studies, 44(2), 297-317.
Khan, S., & Swapan, M. 2013. From Blueprint Master Plans to Democratic Planning in South Asian Cities: Pursuing Good Governance Agenda Against Prevalent Patron-Client Networks. Habitat International, 38, 183-191.
Armitage, D. 2005. Adaptive Capacity and Community-based Natural Resource Management. Environmental Management, 35, 703-715.
Pissourios, I. 2014. Top-Down and Bottom-Up Urban and Regional Planning: Towards A Framework for The Use of Planning Standards. European Spatial Research and Policy, 21(1), 83-99.
Puppim de Oliveira, J. A. 2011. Why An Air Pollution Achiever Lags on Climate Policy? The Case of Local Policy Implementation in Mie, Japan. Environment and Planning A, 43(8), 1894-1909.
Mansuri, G., & Rao, V. 2004. Community-Based and -Driven Development: A Critical Review. World Bank Research Observer, 19(1), 1-39.
No comments:
Post a Comment