Noer Fauzi Rachman dan Joko Adianto
Pengembangan lebih lanjut dari sejumlah bagian konseptual dalam Noer Fauzi Rachman dan Joko Adianto, Buku Putih Kebijakan Reforma Agraria Perkotaan Tahun 2019-2022. Depok: UI Publishing, 2022. Halaman 57-96.
Naskah buku sepenuhnya dapat dibaca pada http://epub.uipublishing.com/books/xpas/
1. Hak Menguasai dari Negara
Negara sebagai lembaga kekuasaan seluruh rakyat adalah pemegang kuasa atas bumi, air, dan kekayaan alam di di dalamnya. Pernyataan ini selaras dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) yang tertulis “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Sementara pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 2 ayat (2), hak menguasai negara memberi negara wewenang untuk:
b) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa, dan;
c) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
Selanjutnya Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 2 ayat (3) tertulis bahwa “Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur.” Oleh karenanya, kewenangan penguasaan dan pemanfaatan tersebut harus diselenggarakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, termasuk pemenuhan hak bermukim yang adil serta rumah layak dan terjangkau, termasuk bagi yang tergolongkan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) di perkotaan.
Sementara hak menguasai dari negara yang tertuang dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 sejatinya merupakan penugasan dari bangsa Indonesia untuk memberikan hak yang adil dan tepat bagi seluruh warga negara. Untuk itu, tugas ini dimandatkan kepada negara, melalui perangkat lembaganya, untuk mengatur penguasaan dan pengelolaan tanah bagi kepentingan kesejahteraan seluruh bangsa Indonesia, melalui kebijakan dan peraturan lainnya.
Menurut Santoso (2005), ketentuan-ketentuan penguasaan atas tanah sebagai berikut:
b) menetapkan isinya, yaitu mengatur apa saja yang boleh, wajib, dan dilarang untuk diperbuat oleh pemegang haknya serta jangka waktu penguasaannya;
c) mengatur hal-hal mengenai subjeknya, siapa yang boleh menjadi pemegang haknya, dan syarat-syarat bagi penguasaannya;
d) mengatur hal-hal mengenai tanahnya, dan;
e) hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum yang konkret.
Dengan demikian, hak ini perlu dipahami sebagai suatu relasi sosial antara individu atau kelompok dengan yang lainnya, dan individu atau kelompok dengan tanahnya, untuk pemegang hak bertahan hidup melalui pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan ruang. Oleh karenanya, ketidakberhasilan negara untuk menyediakan hak atas tanah yang adil bagi warga negara, justru mengingkari tujuan penguasaan tanah oleh negara untuk memakmurkan warga negara dengan hilang atau terbatasnya kemampuan untuk bertahan hidup melalui pemanfaatan dan pengelolaan yang muncul dari hak atas tanah.
2 Peluang Koperasi sebagai Subjek Reforma Agraria
Badan hukum, menurut Muhammad (2010) memiliki karakteristik sebagai berikut: (i) memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan pendirinya, (ii) anggaran dasar yang disahkan oleh pemerintah, dan (iii) perbuatan hukumnya dilakukan oleh pengurus. Koperasi, sebagai sebuah badan usaha berbadan hukum memiliki keunikan tersendiri dibanding dengan yang lainnya, seperti Perseroan Terbatas (PT), Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau daerah (BUMD). Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Koperasi Pasal 1 angka 1, badan usaha ini beranggotakan orang-perorangan sebagai gerakan ekonomi rakyat berasaskan kekeluargaan. Badan usaha ini, berdasarkan Pasal 9 pada undang-undang yang sama, memperoleh status badan hukum setelah memperoleh pengesahan akta pendirian dari pemerintah.
Selain asas, tujuan badan usaha ini pun berbeda dengan lainnya. Pasal 3 undang-undang yang sama menegaskan bahwa koperasi bertujuan untuk memajukan kesejahteraan anggotanya dan membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur. Oleh karenanya, kegiatan usaha yang diselenggarakan oleh koperasi, bukan memperoleh dan mengakumulasi keuntungan semata sebagaimana bentuk badan usaha lainnya, namun yang berkaitan langsung dengan dan untuk kepentingan anggotanya, sebagaimana tersampaikan dalam pada pasal 43 ayat 1 undang-undang tersebut. Untuk memenuhi tujuan tersebut, koperasi dapat menyelenggarakan satu atau lebih jenis usaha, sesuai dengan keterangan pada Pasal 43 ayat 2.
Merujuk pada pemahaman koperasi tersebut, maka jelas keselarasan antara tujuan mulia pendirian koperasi dengan program Reforma Agraria (RA), yang salah satunya adalah rumah layak dan terjangkau dengan hak bermukim yang tepat bagi MBR di perkotaan. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Koperasi, bahwa koperasi adalah badan usaha bersama yang berbadan hukum setelah mendapat pengesahan dari pemerintah. Dari sisi tujuan, koperasi memiliki kesamaan tujuan dengan tujuan pengaturan agraria dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 dan juga tujuan reforma agraria yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018. Semuanya mencita-citakan kesejahteraan bersama atau rakyat. Koperasi juga ditempatkan sebagai alat Penataan Akses dalam reforma agraria, sebagai tindak lanjut dari Penataan Aset, sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Pasal 12 yang memberi peran koperasi dalam kepentingan nasional yakni: “Segala usaha bersama dalam lapangan agraria didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional, dalam bentuk koperasi, atau bentuk-bentuk gotong-royong lainnya.”
Tersedianya rumah layak dan terjangkau dengan hak bermukim yang tepat merupakan salah satu modal tercapainya kesejahteraan anggota koperasi, dalam hal ini MBR. Sebagai badan usaha berbadan hukum tentunya koperasi dapat mengelola salah satu bentuk pemanfaatan objek RA hasil redistribusi aset untuk memajukan kesejahteraan anggotanya dan membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur.
Dengan terbatasnya luasan tanah yang tersedia dan tepat untuk rumah layak dan terjangkau, khususnya untuk MBR, di kota metropolitan, tipe bangunan rumah susun merupakan salah satu opsi yang masuk akal untuk memenuhi kebutuhan papan dalam jumlah banyak. Oleh karenanya, kajian selanjutnya terfokus pada pengelolaan rumah susun oleh badan usaha, khususnya koperasi.
3. Tantangan Koperasi sebagai Subjek Reforma Agraria Perkotaan
Fragmentasi peraturan yang berlaku
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun Pasal 75 ayat (2), (3), dan (4) jo. Undang-Undang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Rumah Susun, pengelolaan dilakukan oleh Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS). Lembaga ini berbadan hukum yang beranggotakan para pemilik atau penghuni sarusun, sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun Pasal 1 angka 21. Lembaga ini wajib terbentuk paling lama 1 (satu) tahun sejak penyerahan pertama kali kepada pemilik, sesuai dengan Pasal 59 ayat (3) dalam undang-undang yang sama. Lembaga ini memperoleh mandat wajib untuk mengurus kepentingan seluruh pemilik dan penghuni melalui pengelolaan kepemilikan benda bersama, bagian bersama, tanah bersama, dan penghunian. Dalam penyelenggaraannya, lembaga ini dapat melakukannya secara swadaya atau bekerja sama dengan badan usaha lainnya, sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun Pasal 75 ayat (2), (3), dan (4), yang memiliki persyaratan yang ditetapkan Pasal 56 pada undang-undang yang sama.
Pengelolaan rumah susun oleh badan usaha sangat bergantung pada ketentuan pemberian hak atas tanah bangunan, dan unit rumah susun. Secara ideal, tanah yang telah dikuasai dan dimanfaatkan oleh MBR di perkotaan diredistribusi guna memperoleh Sertifikat Hak Milik (SHM) kepada setiap individu atau kepala keluarga. Namun, kondisi ideal ini tidaklah selalu terjadi sehingga tidak otomatis dapat dilakukan, yang disebabkan oleh setidaknya 2 (dua) hal:
Pertama adalah sengketa hak atas tanah antara MBR yang telah menguasai dan memanfaatkan tanah dengan pihak lain yang menyatakan hak atas tanah yang sama, seperti pemerintah pusat, provinsi, badan usaha, atau individu lain. Jika hasil putusan sengketa tersebut membuktikan klaim masyarakat yang sudah menguasai dan memanfaatkan tanah tersebut, maka kondisi ideal dapat dilaksanakan. Namun jika yang terjadi adalah sebaliknya, maka kondisi ideal tidak dapat terlaksana sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.
Kedua adalah sumber pembiayaan pembangunan rumah susun. Berdasarkan Peraturan Gubernur Provinsi Gubernur DKI Jakarta Nomor 112 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pemenuhan Kewajiban Pembiayaan dan Pembangunan Rumah Susun Murah/Sederhana melalui Konversi oleh Para Pemegang Izin Pemanfaatan Ruang Pasal 5 ayat (1). Pasal 17, pembangunan rumah susun tersebut dilakukan di lahan milik pemerintah daerah dan/atau lahan milik Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Pelaku pembangunan melakukan serah terima kepemilikan dari hasil pembangunannya kepada pemerintah daerah dan dicatat sebagai aset atau Barang Milik Daerah (BMD) Provinsi DKI Jakarta. Namun demikian, peraturan ini secara tidak langsung atau eksplisit mengatur bahwa seluruhnya adalah BMD tanpa terkecuali. Peraturan ini pun mengarahkan bahwa penghunian rumah susun bersifat sewa bukanlah milik, tidak terkecuali bagi warga yang pernah tergusur dan sekarang harus membayar sewa. Kondisi tidak sejalan dengan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria yang secara tegas menyatakan Sertifikat Hak Milik (SHM), atau dalam hal ini Sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (SHMSRS) merupakan luaran program ini.
Potensi biaya yang tidak terjangkau
Berkaitan dengan skema penguasaan atas kampung susun, tentu saja terdapat potensi munculnya biaya yang akan ditanggung, khususnya bagi penerima peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Potensi biaya tersebut elemennya meliputi:
1. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) bagi penerima hibah ke Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta. BPHTB adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Dasar pengenaannya adalah nilai perolehan objek pajak, yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Pasal 46-49. Sementara perbuatan hukum hibah memunculkan nilai perolehan objek pajak terkait hibah yaitu nilai pasar dengan tarif tertinggi adalah 5%. Kewajiban memenuhi BPHTB dimulai saat dibuat dan ditandatanganinya akta atas naskah hibah atau tanggal diterbitkannya surat keputusan untuk pemberian hak baru sebagai kelanjutan dari pelepasan hak atau di luar pelepasan hak;
2. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pada instansi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN). Potensi komponen PNBP yang kemungkinan muncul setidaknya adalah:
a) Pelayanan survei nilai bidang tanah pemukiman atau pertanian;b) Pelayanan pemetaan tematik bidang skala 1:2500;c) Pemetaan tematik bidang tanah untuk pemecahan sertifikat skala 1:1000;d) Pelayanan pendaftaran HMSRS bersubsidi;e) Pelayanan pendaftaran keputusan pemberian hak atas tanah untuk badan hukum; danf) Pelayanan pendaftaran keputusan pembaruan hak atas tanah untuk hak guna bangunan dan hak pakai di atas HPL;
3. Biaya lainnya yang berkenaan dengan hibah, bila ada, misalnya biaya akta hibah, biaya cek sertifikat, biaya validasi pajak, biaya balik nama, dan sebagainya.
Biaya-biaya tersebut tentunya sangat membebani kondisi finansial koperasi yang berpotensi membatalkan kemampuannya sebagai salah satu subjek RA di perkotaan, sebagaimana termaktub dalam Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.
4. Hak atas Tanah dan Pengelolaan Rumah Susun oleh Koperasi sebagai Subjek Reforma Agraria Perkotaan
Tantangan pertama redistribusi aset untuk memberikan hak atas tanah adalah fragmentasi peraturan-peraturan terkait yang berlaku. Negara dapat memberikan hak milik atas tanah kepada perorangan, bersama-sama, atau badan hukum. Pengaturan secara umum pemberian hak milik kepada badan hukum diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 dan Peraturan Menteri Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2021 menetapkan hanya beberapa jenis badan hukum saja yang bisa mendapatkan hak milik, seperti koperasi pertanian. Sementara koperasi nonpertanian memperoleh Hak Guna Bangunan (HGB) atau hak pakai.
Namun dalam Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Peraturan ini memberikan kesempatan kepada koperasi, baik pertanian maupun nonpertanian, untuk memperoleh Sertifikat Hak Milik (SHM). Pemberian hak, dalam peraturan ini, bersifat khusus hanya untuk tanah hasil redistribusi dan khusus bagi koperasi yang ditetapkan sebagai subjek badan hukum RA.
Berdasarkan dua pengaturan yang berbeda di atas, dapat kita baca menggunakan asas hukum lex specialis derogat legi generali yang artinya bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis). Manan (2005), mantan Ketua Mahkamah Agung, memberikan beberapa pertimbangan yang bisa digunakan dalam menerapkan asas tersebut, yaitu: “Pertama, ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut. Kedua, ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan lex generalis. Ketiga, ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis.”
Ketentuan pertanahan yang bersifat umum adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963, Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021, dan Peraturan Menteri Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2021. Sementara Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 mengatur reforma agraria secara khusus. Jika menyelisik peraturan yang mengatur secara umum dan khusus maka tidaklah sederajat dalam hirarki perundangan. Menurut Ridho (2018), hal tersebut masih dimungkinkan karena jenis dan kondisi yang berbeda jadi ruang operasionalnya berbeda. Pengaturan perolehan hak milik dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 dan Peraturan Menteri Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2021 melalui mekanisme umum di Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Sementara hak milik, dalam Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018, diperoleh melalui redistribusi tanah dan jenis operasi khusus yang melibatkan tim khusus, yaitu Gugus Tugas Reforma Agraria.
Sementara pertimbangan ketiga, terkait rezim hukum yang sama, yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963, Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021, Peraturan Menteri Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2021, dan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2018. Oleh karenanya, pemahaman lex generalis dan lex specialis dapat terlaksana.
Alih hak secara bertahap dan berjenjang
Gagasan utama pilihan alternatif ini adalah bahwa skema penguasaan tanah diberikan kepada koperasi melalui sertifikasi HGB atau hak pakai atas nama koperasi. Tanah dari rumah susun tersebut tetap dilekatkan Hak Pengelolaan (HPL) atas nama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Namun, di atas tanah HPL terdapat HGB atau hak pakai atas nama koperasi yang bersangkutan dengan mempertimbangkan status lahan dan bangunan saat ini. Untuk ketentuan bangunan menggunakan skema hibah kepada koperasi, dan unit menggunakan skema hibah kepada individu/kepala keluarga penghuni rumah susun dan anggota koperasi. Dalam hal ini, terdapat pemindahtanganan BMD bangunan dan unit rumah susun dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kepada masing-masing koperasi dan warga. Setiap warga yang masuk dalam kategori Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) memperoleh Sertifikat Hak Milik Satuan Rumah Susun (SHMSRS).
Ketentuan pertama adalah hak pengelolaan yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat atau daerah digunakan secara bekerja sama dengan pihak lain, dalam hal ini koperasi, dengan hak atas tanah seperti Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), atau hak pakai. Ketentuan ini berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah Pasal 8 ayat (1).
Ketentuan kedua adalah legalisasi tanah untuk pola penanganan perumahan kumuh dan permukiman kumuh pascapemukiman-kembali, sesuai dengan Pasal 113 dan Pasal 114 Peraturan Pemerintah Nomor 14 tentang 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman Pasal 52 dan Pasal 53 serta Peraturan Menteri (Permen) Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Terhadap Perumahan dan Permukiman Kumuh-Lampiran 3.
Sementara untuk ketentuan bangunan, tahap pertama adalah penerbitan Surat Bukti Kepemilikan Bangunan Gedung (SBKBG) dan Sertifikat Laik Fungsi bangunan gedung (SLF) atas nama pemilik, dalam hal ini adalah Pemerintah Pusat atau daerah. Tahap ini merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung Pasal 274-279.
Setelah memperoleh keduanya, pemindahan SBKBG dapat dihibahkan kepada koperasi dalam rangka kepentingan umum dan kerangka reforma agraria tanpa melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Ketentuan ini merujuk pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah Pasal 331 ayat (2) huruf d, Pasal 396 ayat (1), dan Pasal 404, serta Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2020 Penjelasan Pasal 55 ayat (3) huruf d.
Sementara untuk ketentuan unit, SHMSRS pertama kali atas nama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yang kemudian dihibahkan kepada warga dan diberikan SHMSRS atas nama individual atau kepala keluarga anggota koperasi. Hal ini sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Pasal 9, Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 Pasal 67, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016 Pasal 331 ayat (2) huruf d dan Pasal 396 ayat (1), dan Pasal 404; Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah Penjelasan Pasal 55 ayat (3) huruf d sebagaimana diubah dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2020, serta Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria Pasal 7, 10, dan 12.
Setelahnya, kedua pihak melakukan perikatan tidak mengalihkan atau menyewakan selama 20 (dua) puluh tahun dengan pengecualian tertentu, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ketentuan ini selaras Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun Pasal 54 jo. Undang-Undang Nomor Tahun 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016 Pasal 404.
Keringanan Biaya yang Membebani Koperasi sebagai Subjek Reforma Agraria Perkotaan
Guna mengatasi beban biaya yang muncul akibat aturan BPHTB, kepala daerah dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi pajak dan retribusi, sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemeraintah Pusat dan Pemerintah Daerah Pasal 96 ayat (1). Lebih lanjut pada ayat (2), pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran dilakukan dengan memperhatikan kondisi wajib pajak atau wajib retribusi dan/atau objek pajak atau objek retribusi.
Pelaksanaan hal ini sudah pernah dilakukan di Provinsi DKI Jakarta dalam bentuk pemberlakuan tarif 0% BPHTB bagi setiap orang yang pertama kali memperoleh tanah dan/atau bangunan sampai dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) sebesar Rp2.000.000.000,- (dua miliar rupiah). Pengenaan ini diberikan jika wajib pajak mengajukan permohonan pengenaan 0%, sebagaimana tertulis dalam Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 126 Tahun 2017 tentang Pengenaan 0% (nol persen) atas BPHTB terhadap Perolehan Hak Pertama Kali dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) sampai dengan Rp2.000.000.000,- (dua miliar rupiah) Pasal 2 dan Pasal 3.
Selanjutnya adalah keringanan/pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Terbitnya Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 42 Tahun 2019 memberikan pembebasan PBB bagi sejumlah profesi dan pihak tertentu. Dalam konteks program reforma agraria, peraturan ini dapat berperan sebagai payung hukum pembebasan PBB bagi MBR yang memperoleh hak atas tanah/bangunan kelak.
Terakhir adalah keringanan biaya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak Pasal 62 ayat (1) dan (2), pihak wajib bayar dapat mengajukan keringanan kepada instansi pengelola PNBP dalam bentuk: a) Di luar kemampuan wajib bayar atau kondisi kahar; b) Kesulitan likuiditas; dan/atau c) Kebijakan pemerintah. Adapun pejabat kuasa pengelola PNBP dapat menerbitkan surat persetujuan atau penolakan atas permohonan keringanan PNBP, yang mencakup: a) Penundaan; b) Pengangsuran; c) Pengurangan; dan/atau d) Pembebasan.
6. Pembinaan Koperasi Mengelola Rumah Susun sebagai Wujud Redistribusi Akses
Pengelolaan rumah susun harus dilakukan untuk mempertahankan dan menjaga kualitas perumahan dan permukiman secara berkelanjutan. Kegiatan ini dapat dilakukan secara optimal melalui pembentukan kelompok swadaya masyarakat, sebagaimana termaktub dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 Pasal 117 ayat (3). Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pencegahan dan Peningkatan Kualitas terhadap Perumahan dan Permukiman Kumuh, dan koperasi dapat menjadi bentuk kelompok tersebut.
Untuk pengelolaan, kelompok swadaya masyarakat dapat menyelenggarakannya dengan pembinaan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pihak lainnya. Pendampingan ini selaras dengan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 Pasal 115, 116, 117, 118, 119, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2018 tentang Kerja Sama Daerah Pasal 15, serta Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 14 Tahun 2018 Pasal 12, Pasal 57, Pasal 59, dan Lampiran III. Terlebih lagi, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Koperasi Pasal 60 menyebutkan bahwa pemerintah memberikan pembinaan berupa bimbingan, kemudahan, dan perlindungan kepada koperasi. Dengan demikian, pembinaan koperasi untuk mengelola rumah susun sudah menjadi bentuk tanggung jawab negara kepada warga kota.
Jenis pembinaan koperasi oleh negara, berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pencegahan dan Peningkatan Kualitas terhadap Perumahan dan Permukiman Kumuh Pasal 12-15, berbentuk pendampingan dan pelayanan informasi. Pendampingan bertujuan meningkatkan kapasitas masyarakat melalui fasilitasi pembentukan dan peningkatan kapasitas koperasi, yang berwujud penyuluhan, pembimbingan, dan bantuan teknis. Sementara pelayanan informasi bertujuan memberi informasi terkait upaya pencegahan perumahan kumuh dan permukiman kumuh. Keduanya dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah melalui kerja sama dengan badan usaha lainnya, dan/atau lembaga nonpemerintah lainnya.
Pendampingan bagi kelompok swadaya masyarakat ini dilaksanakan dengan tata cara sebagai berikut:
b) dilaksanakan secara berkala untuk mencegah tumbuh dan berkembangnya perumahan kumuh dan permukiman kumuh baru;
c) dilaksanakan dengan melibatkan ahli, akademisi, dan/atau tokoh masyarakat yang memiliki pengetahuan dan pengalaman memadai dalam bidang perumahan dan kawasan permukiman;
d) dilaksanakan dengan menentukan lokasi perumahan dan permukiman yang membutuhkan pendampingan;
e) dilaksanakan dengan terlebih dahulu mempelajari pelaporan hasil pemantauan dan evaluasi yang telah dibuat baik secara berkala maupun sesuai kebutuhan atau insidental; dan
f) dilaksanakan berdasarkan rencana pelaksanaan dan alokasi anggaran yang telah ditentukan sebelumnya.
Penyuluhan merupakan kegiatan pembelajaran untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran, dan keterampilan masyarakat terkait pencegahan terhadap tumbuh dan berkembangnya perumahan kumuh dan permukiman kumuh. Pembimbingan merupakan kegiatan untuk memberikan petunjuk atau penjelasan mengenai cara mengerjakan kegiatan atau larangan aktivitas tertentu terkait pencegahan terhadap tumbuh dan berkembangnya perumahan kumuh dan permukiman kumuh. Pembimbingan dapat dilakukan berupa:
b) pembimbingan kepada masyarakat perorangan; dan
Sementara itu, bantuan teknis dapat meliputi:
b) penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria;
c) penguatan kapasitas kelembagaan;
d) pengembangan alternatif pembiayaan; dan/atau persiapan pelaksanaan kerja sama pemerintah daerah dengan swasta.
Kerja sama antara kelompok swadaya masyarakat, dalam hal ini koperasi, dan pemerintah daerah dapat dilakukan sekurang-kurangnya dalam penyusunan perencanaan; penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria; dan penguatan kapasitas kelembagaan.
Terkait pendanaan pengelolaan, kelompok swadaya masyarakat, dalam hal ini koperasi, dapat membuat pengaturan terkait dengan dana pemeliharaan. Selain itu, badan usaha ini perlu mengatur tata kelola sinking fund yang merupakan tabungan untuk pendanaan modal dan pembayaran atau pelunasan utang di masa depan. Adapun sumber sinking fund dapat berasal dari:
b) optimalisasi aset bersama dalam lingkungan bangunan gedung;
c) hibah/sumbangan yang tidak mengikat;
d) bantuan pemerintah; dan
e) pendapatan lainnya yang sah dan tidak mengikat.
Dana sinking fund dapat digunakan setelah tahun tertentu, misalnya setelah tahun kelima atau masa transisi dan pascahibah, untuk kegiatan pemeliharaan gedung dengan pembinaan dari pemerintah daerah.
No comments:
Post a Comment