Peluncuran Situs https://www.noerfauzirachman.id/

  


Jakarta, 7 Juni 2023

 

Hari ini usia saya 58 tahun. Saya patut bersyukur tumbuh dalam keluarga yang terbiasa menyampaikan berita, pengalaman, ingatan, dan pikiran dalam bentuk tulisan. Saya sadari sekarang betapa istimewanya bisa hidup dalam lingkungan berbudaya tulis, dan mempunyai kecakapan menulis. Ini kesempatan baik untuk mengingat lingkungan yang memberi dasar pembentukan dari kecakapan menulis itu. 

Ibu saya, Siti M. Munawarah adalah seorang guru Agama, Bahasa Indonesia, dan Biologi untuk Madrasah Tsanawiyah. Saya menyaksikan bagaimana ia selalu menyiapkan bahan yang mau  diajarkan hari ini di hari sebelumnya. Ia memiliki buku khusus, menggunakan pulpen Parker, dan kami anak-anaknya selalu kagum dengan kecakapannya berbahasa, termasuk “menulis halus”. Tulisan tangannya indah dan konsisten bagusnya, dari awal hingga akhir. Saya tidak bisa seperti beliau: Tulisan saya di paragraf awal masih bisa bagus, di paragraph akhir nampak jelas beda mutunya. 

Ayah saya, Abdurrahman Shaleh, adalah seorang dosen yang mengajarkan didaktik metodik (metodologi pengajaran) di IAIN (Institute Agama Islam Negeri) Syarif Hidayatullah - Ciputat, penulis buku, yang kemudian pindah ke Departemen Agama, menjadi pejabat yang urus pendidikan agama Islam mulai pesantren, sekolah dasar hingga sekolah menengah. Di rumah pun kami memiliki lemari perpustakaan buku-buku bapak yang membuat saya penasaran apa saja isinya meski kebanyakan adalah bacaan untuk orang dewasa. Rumah orang tua kami menjadi tempat tinggal banyak anggota keluarga dari Bojonegoro dan Sumenep. Sebagian anggota keluarga ayah saya dari Bojonegoro yang tinggal di rumah kami, bersekolah jadi mahasiswa, dan ada yang nyambi kerja menjadi guru, wartawan dan lainnya.

Lebih-lebih dengan belajar di  madrasah diniyah, dan tsanawiyah di Madrasah Al-Ittihad Jl. H. Awaludin, Kebon Melati, Tanah Abang, Jakarta. Di Madrasah ini saya terpapar dengan aksara arab serta berbagai aturan tajwid, nahu shorof, hingga ragam macam mata pelajaran terkait Bahasa Arab, termasuk imla/dikte, hafalan, hingga irama dalam membaca alquran, dan sebagainya. 

Walhasil, sejak dini dari lingkungan rumah, saya terpapar dengan ejaan, aturan tata bahasa, diksi, gaya bahasa hingga ekposisi, deskripsi dan argumentasi dalam bahasa. 

Selain dari rumah, hubungan dekat saya dengan kecakapan berbahasa juga terbentuk lewat pengalaman menjadi petugas perpustakaan sekolah dasar yang selalu mendapat kesempatan pertama membaca jatah buku-buku bacaan anak koleksi terbaru dari pemerintah sebelum murid lain membacanya. Kecakapan berikutnya, khususnya kemampuan saya menulis dan bicara di muka umum saya dapatkan di Sekolah Menengah Pertama sebagai pengurus majalah dinding, dan pengurus OSIS SMP, dan selanjutnya di masa Sekolah Menengah Atas, termasuk sepanjang menjadi ketua Majelis Perwakilan Kelas (MPK) SMAN IV di jalan Batu Jakarta. 

Semua pengalaman itu membekali saya dengan kemampuan menulis yang terus diasah dari waktu ke waktu. Dalam berbagai babak tingkat pendidikan saya menempa kecakapan berbahasa, termasuk membaca, menyimak, menulis dan bicara di muka publik.

Menulis merupakan sebuah tindakan berkomunikasi (communication act) khas manusia dengan menggunakan aksara. Saya menyadari bahwa tidak banyak bahasa di Indonesia memiliki aksara, dan mempergunakan tulisan sebagai sarana komunikasi sesama pengguna dalam bahasa itu. Bahasa-bahasa yang tidak memiliki aksara sendiri, atau karena intervensi pemerintah Kolonial Belanda dahulu maupun pemerintah Nasional, kemudian mempergunakan aksara Latin untuk komunikasi tertulis. 

Semenjak pendidikan di Sekolah Dasar. saya menjadi pewaris dari aksara Latin, yang kemudian menggunakan sebagai media komunikasi berbahasa Indonesia, dan kemudian di perguruan tinggi menggunakannya ketika berbahasa Inggris, baik untuk merekam yang saya alami, menuliskan apa-apa yang berlangsung dan saya amati, menyampaikan kembali pengamatan dan pemikiran orang lain, hingga mengartikulasikan pandangan dan pendapat saya sendiri. 

Saya membuat beberapa moto terkait naskah, yang sering saya bubuhkan pada buku yang saya hadiahkan pada orang, atau orang yang membeli buku saya dan meminta autograph, tanda-tangan saya sebagai penulisnya. Salah satunya: “Tiap-tiap   naskah memiliki nyawa dan kakinya sendiri, kita tidak akan bisa menduga ke mana dan siapa sajakah tulisan itu tiba.” 

Saya kerap terkesima ketika seseorang menyampaikan kepada saya bagaimana ia menikmati tulisan-tulisan yang  telah lama saya tulis. Atau saat seseorang menyampaikan bahwa tulisan lama saya tersebut berguna untuk memahami bagian dari persoalan yang dihadapinya saat ini. Saya pikir hal ini bisa terjadi, baik karena memang hal yang dihadapi, subject matter-nya, penting untuk diingat, berulang terjadinya atau durasi keberlangsungannya yang panjang, maupun karena tulisannya bagus dalam menyajikan unsur-unsur tertentu dalam kerangka penjelasnya.  

Saya sering membaca buku-buku klasik dari para penulis terdahulu, yang telah meninggal. Saya buat moto lagi: “Naskah yang baik, bisa hidup melebihi umur penulisnya.” Ya, demikianlah. 

Itulah seagaian latar belakang yang membuat saya tak berhenti menulis, dan pada gilirannya mengumpulkan kembali tulisan-tulisan saya sendiri.  Sejak akhir April 2023, saya telah mengumpulkan kembali naskah naskah yang saya tuliskan, terbitkan atau edarkan secara terbatas sebagai makalah dalam pertemuan atau bahan presentasi dalam forum-forum ilmiah, pun untuk kegiatan pendidikan dan pelatihan. Sayang belum semuanya terkumpul. Saya menghadapi beberapa hambatan dalam mengumpulkan kembali karya-karya tersebut. Sebagian naskah itu dulu terbit sebagai bahan cetak dalam bentuk bulletin yang beredar di kalangan terbatas. Pula, bagaimana mungkin mengumpulkan naskah yang dulu diketik dengan program software  seperti wordstar yang sudah tidak ada lagi yang pakai sekarang ini, apalagi yang ditulis dengan alat mesin ketik (type writer).  

Bertepatan dengan hari kelahiran saya, 7 Juni 2023, saya ingin memberikan hadiah buat diri sendiri dengan menyajikan tulisan-tulisan saya sejak lebih tiga dekade ini  agar bisa diakses publik secara luas. Hingga hari ini setidaknya sudah terkumpul lebih 150 naskah yang saya tulis. Yang sudah terkumpul pun, masih terus saya kerjakan, untuk pada gilirannya diunggah, dan. Saya masih terus mengumpulkan sisanya. Sekarang semua naskah itu tersaji di website/situs maya www.noerfauzirachman.id  

Masing-masing naskah ini sebagian ditulis untuk merespon kejadian-kejadian tertentu di masanya. Saat penulisannya juga dipengaruhi cara pandang dan pergaulan saya kala itu dengan para guru, buku-buku yang saya baca, dan jangkauan  percakapan ilmiah yang bisa saya ikuti, dan tentunya konteks dari pokok bahasan. Ketika saya membaca ulang naskah naskah tersebut, saya mendapatkan sebagian naskah masih relevan dan memiliki hubungan hingga kongruensi dengan pandangan-pandangan kekinian. Ternyata sebagai gagasan-gagasan itu melintasi ruang dan waktu dari saat naskah itu dituliskan, dipublikasi dan disajikan. Hal ini jugalah yang mendorong saya untuk menyusun ulang dan mengkomunikasikannya.

Jika pembaca memiliki karya tulis saya yang belum dimuat oleh website ini, mohon berkenan untuk mengirimkannya dalam bentuk file apapun melalui: noerfauziberkeley@gmail.com

Secara khusus, saya ingin membagikan naskah-naskah ini dengan generasi muda/i. Saya ingin mereka bisa menikmati naskah-naskah yang dihasilkan sebelum jamannya, sehingga membantu mereka memahami situasi yang dihadapi masa kini. Baik karena kemiripan kejadin dengan masa lampau, maupun karena subtansi tulisan yang mampu mengantisipasi situasi kekinian, atau kejadian-kejadian itu memang berlangsung dalam durasi yang panjang. Seperti, salah satu topik yang saya urus adalah problem perampasan tanah dan perjuangan petani yang berlangsung sejak masa kolonial, paska kolonial hingga saat ini. Tulisan-tulisan terdahulu itu bisa jadi adalah rujukan bagi pembaca untuk dibandingkan dengan bagaimana perjuangan petani pada saat ini. 

Dengan segala kerendahan hati, saya berterima kasih kepada para petani, teman aktivis, dosen, para peneliti yang menulis bersama,  guru-guru utama, kolega kerja di berbagai lembaga pemerintah, dan para pihak lainnya yang terlibat dan punya andil yang penting dan memungkinkan saya menuliskan naskah-naskah ini.  Saya mengundang para pembaca untuk menikmati dan gunakan naskah-naskah dan sajian lain di situs maya, baik sebagai bahan belajar, percakapan, rujukan tulisan hingga untuk praktek.  

Tanpa kesediaan berkorban dari Budi Prawitasari, Tirta Wening dan Lintang Pradipta, tidak mungkin kerja tulis-menulis saya ini memiliki ruang yang leluasa. Suka duka kami lalu, dan semoga Allah SWT membalas pengorbanan, kebaikan dan cinta mereka pada saya. Saya men(t)erima kasih tulus dari masing-masing sebagai istri dan anak-anak. Amien.

Saya berterima kasih atas bantuan Mohamad Yasin yang melakukan akses pendaftaran dan punya platform, ajarkan cara-cara unggah dan teknik-teknik editing di aplikasi, hingga last but not least, mengedit naskah sehingga nyaman dilihat tampilannya, dan dinikmati pembaca. Juga, terima kasih Siti Solihat yang bantu edit dan mengetikan ulang beberapa naskah.

 

Wassalam. 

Noer Fauzi Rachman (Oji)

 

1 comment:

Hasprabu said...

Alhamdulillah, senang bisa bertamu di rumah maya sampeyan. Semoga kita bisa saling berbagi pengalaman.

Sebagai anak Transmigran, pengalaman saya lebih terkait dengan suasana permukiman Transmigrasi. Sosok pekerja dalam senyap, yang ternyata berkontribusi besar terhadap pembangunan.

Kata Bung Karno (28/12/1964): Transmigrasi adalah soal Mati-Hidup Bangsa Indonesia. Betul. Karena transmigran bukan sekedar buruh pengolah tanah, tetapi bagian dari Gerakan Nasional Perekat Bangsa. Setidaknya, Transmigrasi turut membangkitkan semangat membangun daerah dan merekatkan hubungan antar anak bangsa.


Post a Comment