Noer Fauzi Rachman
Pengantar Penerbit
Seperti yang dialami oleh banyak negara yang beralih
dari rejim otoriter ke sistem yang lebih demokratis, Indonesia di masa kini pun menghadapi
sisa-sisa dari masa lampau yang telah membawa penderitaan pada sejumlah anggota
masyarakatnya. Sehingga masalah yang masih tersisa dari rejim sebelumnya diperlakukan secara
kurang baik, hal tersebut bisa justru menimbulkan
berbagai perpecahan baru di dalam masyarakat itu sendiri dan kurang dapat menyumbang pada penyatuan kembali
perpecahan-perpecahan lama atau polarisasi-polarisasi yang sebelumnya telah ada”
(Tim Komnas HAM, 2001: 4).
Pembukaan:
Pertanyaan dan Temuan dari Berbagai Diskusi
Naskah ini
merupakan suatu upaya menghadirkan dan melanjutkan pemikiran serta cara pandang
transitional justice atas masalah agraria, yang pokok soalnya terwakili dalam
pertanyaan: “Bagaimana cara menyediakan keadilan bagi mereka yang kehilangan
hak atas tanah dan sumber daya lain yang menyertainya akibat praktek-praktek
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh rejim otoritarian Orde Baru
yang lampau”.
Sepanjang dari
kuartal kedua hingga ketiga Tahun 2002 (bulan April 2002 hingga Agustus 2002),
pertanyaan tersebut telah menjadi penggerak diskusi yang diselenggarakan oleh
HuMa bersama Pokja PA-PSDA (Kelompok Kerja Ornop Untuk Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam) di berbagai tempat yang berbeda dan Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) setempat di mana diskusi diadakan. Kegiatan diskusi
tersebut dilaksanakan di Pontianak, Kalimantan Barat; Napu, Sulawesi Tengah;
Semarang, Jawa; Jayapura, Papua, Mamuju, Sulawesi Tengah; Manado, Sulawesi
Utara dan di Samarinda, Kalimantan Timur.[1]
Dalam diskusi-diskusi itu telah diungkap sebaran masalah “perampasan hak atas tanah dan sumber daya lain” yang terjadi di wilayah-wilayah dimana diskusi- diskusi itu diselenggarakan.[2] Implikasi dari beroperasinya perusahaan pemegang HPH (Hak Pengusahaan Hutan) dan/atau HPHTI (Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri) pada akses masyarakat adat atas tanah dan hutannya telah menjadi topik bahasan di Pontianak, Samarinda dan Papua. Sementara itu, implikasi dari beroperasinya perusahaan pemegang HGU (Hak Guna Usaha) pada akses masyarakat petani telah menjadi topik bahasan di Semarang, Napu, Mamuju dan Manado. Tak ketinggalan juga di Manado dan Papua dibicarakan pula implikasi dari ditetapkannya kawasan hutan, termasuk kawasan konservasi yang menghilangkan akses masyarakat adat atas wilayah hidupnya.
Dari semua
kasus yang dibicarakan yang berdasarkan pengalaman komunitas lokal yang
dirujuk, maka dapatlah digeneralisasikan kesamaannya yakni proses hilangnya
akses atas sumber utama keberlanjutan kehidupan mereka, baik berupa tanah
pertanian maupun hutan. Pada umumnya peserta diskusi memiliki kesamaan dalam
menganalisis sebab-sebab dari gejala tersebut, yakni di satu pihak telah
didefinisikannya oleh badan-badan pemerintah pusat tanah atau/hutan, bahwa
hutan kepunyaaan penduduk setempat sebagai tanah dan/atau hutan negara. Untuk
selanjutnya, atas dasar definisi itu, pemerintah pusat menggunakan (use) dan
menyalahgunakan (abuse) kewenangan yang dimilikinya dalam memberikan hak- hak
pemanfaatan (use rights) di atas tanah dan/atau hutan kepunyaan penduduk yang
telah di”negara”kan itu. Walhasil, terjadilah bentrokan antara penduduk yang
terlebih dahulu memiliki hak secara de facto, dengan badan usaha pemegang hak
formal yang berasal dan didukung oleh badan-badan birokrasi pemerintah pusat
(dan juga daerah) serta pelaksanaannya dikawal oleh aparatur secara represif.
Di pihak lain,
badan-badan pemerintah pusat dan juga kompradornya, pemerintahan daerah, telah
mengabaikan kebutuhan penduduk lokal untuk memperoleh jaminan atau kepastian
penguasaan atas tanah/hutan tersebut (tenurial security). Lebih dari itu, usaha
penduduk untuk mengartikulasikan kebutuhannya akan tenurial security itu,
dihadapi dengan berbagai manipulasi birokrasi dan kekerasan dari aparatus
represif.
Dengan asumsi,
bahwa permasalahan “perampasan hak atas tanah dan sumber daya lain yang
menyertainya” itu sungguh-sungguh merupakan masalah utama rakyat pedesaan, maka
para peserta diskusi mulai mengembangkan analisis dalam rangka ikut serta menemukan
jawaban dari masalah itu. Momentum untuk mengembangkan cara untuk menyelesaikan
masalah itu dimulai dari tumbangnya rejim otoritarian dan lahirnya pemerintahan
pasca rejim otoritarian yang mulai membuka kesempatan bagi komponen masyarakat
untuk mengartikulasikan permasalahan dan pemecahan terhadap pelanggaran HAM di
masa lampau. Lebih dari itu, para peserta juga mendiskusikan pelaksanaan
otonomi daerah dan lebih-lebih lagi pelaksanaan otonomi khusus di Papua, dalam
hubungannya dengan ruang penciptaan badan- badan baru beserta mekanisme
operasionalnya untuk menyelesaikan masalah “perampasan hak atas tanah dan
sumber daya lain yang menyertainya” itu.
Di tengah
pusaran berbagai harapan adanya inisiatif daerah, para peserta diskusi
menyadari batasan yang telah ditetapkan oleh penjabaran Otonomi Daerah, dengan
Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 Pasal 8, bahwa:
Perizinan dan perjanjian kerja sama Pemerintah dengan pihak ketiga
berdasarkan kewenangan Pemerintah sebelum ditetapkannya Peraturan Pemerintah
ini, dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya perizinan dan perjanjian kerja
sama.
Walhasil,
dalam konfigurasi kewenangan yang dimiliki pemerintahan kabupaten dan propinsi,
tidak terdapat kewenangan untuk meralat hak-hak yang formal (formal existing
rights) yang telah diberikan oleh badan-badan pemerintah pusat dan masih
berlaku.Hal ini berbeda dengan peluang yang dimunculkan oleh UU No. 21 Tahun
2001, tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Pada Bab XII tentang Hak
Asasi Manusia dan Bab XIX tentang Pembangunan Berkelanjutan dan Lingkungan
Hidup khususnya tentang penyelesaian sengketa lingkungan. Meskipun demikian,
para peserta diskusi di Papua menilai implementasi UU ini masih belum terjamin
yang disebabkan masih nampaknya pertikaian atau setidaknya belum adanya
konsensus elite nasional maupun provinsi untuk mengimplementasikannya. Diskusi
yang diselenggrakan di semua tempattersebut, juga mengungkap secara padat
kedudukan kewajiban negara dalam cara pandang Hak Asasi Manusia dan prinsip
transitional justice sebagai upaya menyelesaikan pelanggaran HAM di masa
lampau.
Pada kegiatan
diskusi itu juga disajikan contoh, bahwa Afrika Selatan memberi pelajaran yang
berguna. Negara itu telah menggunakan cara pandang transitional justice, di
mana pemerintahan yang baru mengerahkan sumber daya, mengefektifkan
lembaga-lembaga negara yang tersedia dan/atau menyediakan lembaga baru beserta
mekanisme operasionalnya demi terciptanya keadilan bagi korban-korban penghilangan
hak atas tanah yang diakibatkan praktek pelanggaran HAM yang dilakukan rejim
sebelumnya. Setelah bercermin dengan alat bantu pengalaman Afrika Selatan,
peserta diajak kembali memeriksa “wajah kita sendiri”yakni kemacetan agenda
pembaruan hukum yang menjadi sandaran bagi penyediaan keadilan bagi para korban
‘perampasan hak atas tanah dan sumber daya lain yang menyertainya itu’.
Ketika
diskusi-diskusi yang dilakukan di beberapa daerah tersebut tengah berlangsung,
pada bulan Maret 2002 pemerintah telah mengeluarkan sebuah Peraturan Pemerintah
Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi terhadap Korban
Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat. PP No. 3 Tahun 2002 bersama dengan PP
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi
dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, merupakan aturan lebih lanjut
yang melaksanakan ketentuan pasal 34 dan 35 Undang-undang No. 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Patut disadari, bahwa kasus-kasus yang
dapat diurus oleh Pengadian HAM ini hanyalah kasus pelanggaran HAM yang berat,
yakni Kejahatan atas Kemanusiaan dan/atau Kejahatan Genosida. Dengan kata lain,
apa yang disebut sebagai “Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi” hanyalah
berlaku untuk Korban-korban dari — apa yang DPR tetapkan setelah mendapat
masukan dari Komnas HAM sebagai — “Kejahatan atas Kemanusiaan” dan/atau
“Kejahatan Genosida”.
Sementara itu,
nasib dari korban-korban pelanggaran HAM selain dari kedua jenis itu, belum
menentu. Pada konteks demikianlah, naskah ini berusaha menghadirkan kembali
sebagian dari pokok-pokok diskusi yang digeneralisasikan dan diargumentasikan
kembali oleh penulis agar persoalan-persoalannya tersaji secara lebih
sistematik dan dapat dijadikan rujukan untuk penjelajahan lebih lanjut. Harapan
penulis, usaha-usaha lanjutannya akan dimuarakan pada penyediaan keadilan bagi
rakyat yang menjadi korban dari perampasan hak atas tanah dan sumber daya lain
yang menyertainya. Kalaupun hal ini tidak terjadi, setidaknya dapat menyumbang
perjuangan keadilan oleh para korban.
Dari
Kemelut Pembaruan Perundang-undangan
Hingga
Munculnya Pandangan Transitional Justice
Apa yang
terjadi di Indonesia setelah berakhirnya rejim otoritarian dan terbitnya
reformasi di awal Tahun 1998, bukanlah perwujudan dari apa yang didengung-
dengungkan sebagai Reformasi Total. Di bawah kepemimpinan Presiden Habibie,
berbagai menteri dan pejabat negara dalam Kabinet Reformasi Pembangunan saling
balapan membuat agenda reformasi dengan mengajukan revisi perundang-undangan
sektoral. Setidaknya, dapat dicatat usaha Departemen Kehutanan membuat Undang-
undang Kehutanan, Departemen Pertambangan membuat RUU Pertambangan Umum,
Departemen Kelautan dan Perikanan mengusulkan RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir
Terpadu, Departemen Pekerjaan Umum yang mengusulkan RUU Pengelolaan Sumber Daya
Air, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup yang mengusulkan RUU Pengelolaan
Sumber Daya Alam hingga Badan Pertanahan Nasional yang mengusulkan RUU
Pertanahan Nasional.
Pada kesemua
usaha pembaruan hukum itu nampak, bahwa persoalan kejelasan hubungan pemerintah
dengan rakyat, yang berimplikasi pada pembagian peran masing-masing pihak,
tampaknya belum dibahas tuntas pada inisiatif-inisiatif pembaharuan hukum
perundang-undangan yang disebutkan di atas. Inisiatif-inisiatif tersebut belum
memberikan interpretasi yang lebih jelas tentang konsep atau doktrin HMN (Hak
Menguasai dari Negara – pen.) sehingga akibatnya alpa melakukan pembaharuan
dalam merumuskan hubungan pemerintah dengan rakyat dalam penguasaan dan
pengelolaan sumberdaya alam. Padahal,
dalam kenyataannya konflik hukum negara dan hukum rakyat senantiasa bersumber
dari perbedaan penafsiran tentang doktrin hak menguasai negara ini.
Dengan kata
lain, berbagai inisiatif yang adabelum menghasilkan perubahan paradigmatik
dalam politik hukum pengelolaan sumberdaya alam (Safitri, 2002)[3]
Sebaliknya,
sebagian inisiatif, lebih sibuk merumuskan keinginan untuk mengantisipasi
globalisasi. Akibatnya optimalisasi dan efisiensi ekonomi dalam pengelolaan
sumberdaya alam menjadi tujuan penting. Demi untuk menargetkan tujuan tersebut,
untuk sebagian inisiatif, proses diskusi yang mendalam, apalagi melibatkan publik,
menjadi terlupakan. Sebaliknya, pada sebagian inisiatif yang lain, pembaharuan
hukum tidak sekedar diukur dari kesempurnaan substansi, tetapi juga pada soal
proses. Pengalaman penyusunan undang-undang di Indonesia tidak pernah membuka
ruang bagi partisipasi dan kesempatan belajar pada publik. Belajar pada fakta
tersebut, sebagian inisiatif membuka diri sebagai arena atau proses belajar
bersama untuk semua pihak.
Apa yang
terjadi di lapangan lain lagi dan tidak ada hubungannya dengan reformasi hukum
di tingkat elit politik nasional. Tumbangnya rejim otoritarian, yang dimulai
mundurnya Presiden Soeharto di awal Tahun 1998, merangsang banyak kelompok
korban mengambil jalan baru untuk dapat menguasai secara de facto dan mengolah
kembali bidang tanah, yang sebelumnya terpaksa mereka serahkan pada pihak lain.
Serangan terhadap aparatur represif, krisis ekonomi, dan dapat diterimanya
alasan pengambilan kembali hak yang dirampas, telah membuka peluang bagi
terwujudnya tindakan-tindakan reokupasi tanah, dan tentunya beserta berbagai
tampilan ekses-eksesnya.
Untuk
mendukung aksi-aksi lapangan, organisasi-organisasi non-pemerintah, bersama
dengan serikat-serikat petani dan kelompok-kelompok masyarakat adat yang
didukungnya, semakin sering dan kuat menyuarakan kembali tuntutan mereka agar
pemerintah menjalankan Pembaruan agraria, yang telah dikonsepsikan pada
masa-masa sebelumnya (Bachriadi, et al, Ed., 1997; Fauzi, Ed., 1997).Atas dasar
penilaian buruk atas segala usaha reformasi hukum yang tidak memadai itu, para
promotor pembaruan agraria, yang kemudian bergabung bersama dengan promotor
pengelolaaan sumber daya alam berbasis masyarakat (PSDA-BM), berusaha membuat
kegiatan advokasi yang mantap dan senyatanya telah berhasil memasukkan
usulan-usulan yang kemudian oleh MPR diwujudkan menjadi TAP MPR RI No. IX/
MPR/2001.
Hadirnya
Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam, membuka kemungkinan baru bagi adanya perubahan
perundang-undangan yang menggunakan cara pandang transitional justice.
Kepedulian pokok dari apa yang diistilahkan dengan transitional justice atau
dalam bahasa Indonesia dapat digunakan istilah ‘keadilan di masa transisi’
adalah perjuangan menyediakan keadilan bagi korban-korban pelanggaran HAM
semasa rejim otoritarian berkuasa di masa lampau.
Tema
transitional justice pertama kali diangkat oleh Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (Komnas HAM) pada Lokakarya Nasional IV Hak Asasi Manusia yang
diselenggarakan pada tanggal 21 – 24 November 2000 bekerjasama dengan Pusat
Studi HAM Universitas Surabaya.[4]
Pengangkatan
tema pokok ‘transitional justice’ didasarkan pada suatu kenyataan, bahwa hingga
sekarang ini kita sebagai bangsa belum dapat menyediakan cara-cara yang dapat
memberikan rasa keadilan pada mereka yang dalam masa lampau telah mengalami
berbagai pelanggaran hak dasar manusia. Hal ini berarti, bahwa para korban
pelanggaran hak asasi manusia, meskipun kini telah dapat hidup dalam lingkungan
sosial politik yang, boleh dikata, tidak represif dan tidak otoriter, namun
mereka masih tetap harus bisa hidup dengan berbagai beban fisik, material dan
psikologis yang ditinggalkan oleh rejim lama (Tim Komnas HAM, 2001: 4).
Seperti yang
dialami oleh banyak negara yang beralih dari rejim otoriter ke sistem yang
lebih demokratis, Indonesia di masa kini pun menghadapi sisa-sisa dari masa
lampau yang telah membawa penderitaan pada sejumlah anggota masyarakatnya.
Sehingga masalah yang masih tersisa dari rejim sebelumnya diperlakukan secara
kurang baik, hal tersebut bisa justru menimbulkan berbagai perpecahan baru di
dalam masyarakat itu sendiri dan kurang dapat menyumbang pada penyatuan kembali
perpecahan-perpecahan lama atau polarisasi-polarisasi yang sebelumnya telah
ada” (Tim Komnas HAM, 2001: 4).
Tak perlu
diragukan lagi, bahwa kasus-kasus hilangnya hak rakyat atas tanah dan sumber
daya alam lain yang menyertainya merupakan salah satu masalah Hak Asasi Manusia
yang utama di Indonesia. Tak heran, manakala dalam Laporan Tahunan Komnas HAM
semenjak berdirinya hingga saat ini, pengaduan kasus–kasus ini senantiasa
menempati urutan teratas. Atas dasar itu pula, dalam lokakarya Komnas itu,
mulai dipelajari bagaimana cara menyediakan keadilan bagi mereka yang
kehilangan hak atas tanah dan sumber daya alam lain yang menyertainya akibat
praktek-praktek pelanggaran HAM oleh rejim otoritarian Orde Baru yang lampau
(Fauzi, 2001; Soliman, 2001; Sumardjono, 2001; Moniaga, 2001). Masalah ini
tentu dipedulikan juga oleh Kelompok Kerja Transitional Justice yang bertugas
menindaklanjuti lokakarya itu dengan mempromosikan cara pandang transitional
justice (Kelompok Kerja Transitional Justice, 2000).
Memang, tentunya “Kebutuhan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa
lalu tersebut tentu saja tidak bisa mendayagunakan sistem hukum yang ada saat
ini… Pasangan rejim sistem hukum lama tersebut adalah sistem pemerintahan yang
otoriter, bukan sistem pemerintahan yang demokratis atau yang sedang mengarah
ke demokratis (Pokja Ornop untuk Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya
Alam, 2002)”.
Ketetapan MPR
RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam,
telah menugaskan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia bersama Presiden
Republik Indonesia untuk segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan
agraria dan pengelolaan sumber daya alam serta mencabut, mengubah dan/atau
mengganti semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan
dengan ketetapan ini (Pasal 6). Salah satu agenda utama yang harus diatur lebih
lanjut adalah penyelesaian konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya
agraria/pemanfaatan sumber daya alam “yang timbul selama ini sekaligus dapat
mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya
penegakan hukum” (pasal 5).
Kewajiban
Negara dan Pelanggaran HAM
Dalam cara
pandang hak asasi manusia, pemerintahan sesungguhnya memiliki kewajiban untuk
(i) menghargai hak asasi manusia rakyatnya; (ii) melindungi hak asasi manusia
rakyatnya; dan (iii) memenuhi hak asasi manusia rakyatnya (Hansen, 2000 : 6 -
7). Kewajiban pertama, untuk menghargai, mengharuskan pemerintahan sendiri
tidak melanggar hak-hak asasi rakyatnya. Hal ini mencakup tindakan negara untuk
memberlakukan hukum-hukum baru yang berlaku surut yang diperkirakan dapat
mengakibatkan terjaminnya hak-hak korban pelanggaran HAM di masa lampau pada
masa kini, dan dengan demikian dapat menyelesaikan pelanggaran hak di masa
lampau itu. Kewajiban kedua, untuk melindungi, mengharuskan pemerintahan
mencegah dan menindak pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pihak bukan-
negara dengan menegakkan aturan-aturan hukum yang diberlakukan pada pelanggar
itu.Kewajiban ketiga, untuk memenuhi, mengharuskan pemerintahan mengkaji ulang
prioritas kerjanya, membuat perubahan-perubahan aturan, administrasi, anggaran,
peradilan, dan hal yang diperlukan lainnya untuk mewujudkan hak-hak tertentu
dari rakyatnya.
Dalam ajaran
HAM pemerintahan disebut melanggar HAM apabila, pertama tindakan-tindakannya
nyata-nyata bertentangan dengan hak-hak asasi rakyatnya. Contohnya, menteri
kehutanan yang menetapkan sebidang tanah masyarakat adat sebagai ‘hutan negara’
dan kemudian memberi hak pada perusahaan raksasa atas kayu-kayu yang tumbuh di
atas tanah masyarakat adat itu; dan kedua, tindakannya membiarkan pihak lain
merusak hak-hak asasi rakyat. Contohnya, polisi dan jaksa tidak mengusut
perbuatan pihak manajemen perusahaan penebangan kayu yang nyata-nyata mengambil
kayu dari tanah kepunyaan masyarakat tanpa persetujuan pemiliknya. Dalam kamus
HAM, pelanggaran golongan pertama disebut sebagai act of commission; sedangkan
yang kedua disebut act of ommission (Hansen, 2000:6). Jadi, dalam konteks ini,
pelanggaran HAM itu adalah pelanggaran hak atas tanah dan sumberdaya alam
kepunyaan rakyat beserta pelanggaran HAM lain yang menyertainya, yang
diakibatkan oleh (i) penggunaan dan penyalahgunaan kewenangan pemerintahan di
masa lampau; dan (ii) pembiaran pemerintahan terhadap pihak non-pemerintahan
melanggar hak tersebut.
Dengan
demikian, muara penggunaan ajaran HAM ini adalah pemahaman tentang batas-batas
kekuasaan/kewenangan pemerintahan, yang pada pokoknya pemerintahan tidak mudah
melakukan pembatasan terhadap hak-hak rakyat ataupun mengalihkan hak-hak
tersebut untuk kepentingan negara maupun pihak ketiga. Pemerintah hanya bisa
menerbitkan hak-hak baru di atas tanah yang tak dilekati hak rakyatnya, baik
untuk kepentingan penanaman modal maupun proyek-proyek pembangunan. Pemberian
hak-hak tersebut tidak bisa dilakukan sebelum memastikan bahwa tanah haknya
tidak dipegang oleh orang-orang atau sekelompok orang, atau telah dilepaskan
olehnya secara sadar dan sukarela dengan proses yang dapat
dipertanggungjawabkan (sebagai implementasi dari prinsip free and prior inform
concent dan due processes).
Negara dan kekuasaannya justru seharusnya diefektifkan untuk menjamin kepastian hak pemilikan warganya dan menjamin hak untuk memanfaatkan tanah beserta kekayaan yang menyertainya, serta menjamin keberlangsungan dan kemajuan cara-cara pemanfaatan itu, terutama sistem produksi dan konservasi yang menjadi sumber kelanjutan penghidupan rakyat. Dalam konteks jenis-jenis struktur agraria yang majemuk, pemerintahan harus secara tegas menjamin pengakuan hak-hak penduduk atas hutan, padang-padang penggembalaan ternak, belukar bekas ladang- ladang, tanah-tanah pertanian yang dikerjakan secara berputar (rotasi), penambangan tradisional dan pencarian ikan di sungai dan laut. Jaminan yang sama harus diberikan kepada kelompok-kelompok miskin dan kaum tuna wisma di perkotaan yang kebutuhannya akan tanah untuk pemukiman mereka nyaris lepas dari perhatian pemerintah, bahkan dihadapi sebagai musuh yang menghambat perkembangan kota besar. Jaminan yang sama juga harus diberikan kepada kelompok petani subsisten, petani tak bertanah dan para buruh tani di pedesaan. Jaminan ini merupakan realisasi dari prinsip tidak seorang pun dapat dipaksa mengubah pencarian hidupnya yang bertentangan dengan kehendak dan keyakinannya. Hal ini juga erat kaitannya dengan hak rakyat untuk menguasai dan memanfaatkan tanah guna memenuhi kebutuhan subsistensi mereka. Bagaimanapun, pemerintahan wajib bertanggung jawab menjamin kelompok-kelompok ini untuk ikut menentukan arah perubahan sosial dan menikmati hasil-hasil perubahan sosial itu.
Selengkapnya bisa baca dan download di:
https://drive.google.com/file/d/1r48TVT-A4pye1O0tM9vbP6RJX432x-w9/view?usp=sharing
[1] Dokumen
ini, meskipun meringkaskan sebagian dari isi diskusi-diskusi itu, namun sama
sekali bukanlah merupakan kesimpulan dari seluruh diskusi yang kaya akan
variasi informasi dan pandangan itu. Sehingga beban tanggung jawab isi dari
naskah ini tentu berada di pundak penulis. Issue-issu dan kesepakatan yang
berkembang dalam seri diskusi dapat dibaca dalam Lampiran berjudul “Rangkuman
Seri Diskusi Konsep dan Praksis Transitional Justice dalam Penyelesaian Konflik
Tanah dan SDA Lainnya” yang disusun oleh HuMa
[2] Dahulu, berbagai edisi buku Catatan Keadaan Hak Asasi Manusia yang dibuat oleh YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia),semenjak 1984 - 1985 hingga tahun 1996 , senantiasa memuat kasus-kasus perampasan tanah rakyat. Buku yang secara khusus mengumpulkan daftar kasus tanah adalah Noer Fauzi (Ed.), Pembangunan Berbuah Sengketa, Kumpulan Kasus-kasus Sengketa Pertanahan Sepanjang Orde Baru, Yayasan Sintesa dan Serikat Petani Sumatera Utara, Medan,1998. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengembangkan data base khusus untuk kasus-kasus sengketa tanah ini, lihat http:// www.kpa.or.id
No comments:
Post a Comment