Penjelasan Penyunting dalam buku Sesat Pikir Politik Hukum Agraria: Membongkar Alas Penguasaan Negara Atas Hak-Hak Adat

Pengantar berisi penjelasan Noer Fauzi Rachman sebagai penyunting buku Maria Rita Ruwiastuti (2000) Sesat Pikir Politik Hukum Agraria: Membongkar Alas Penguasaan Negara Atas Hak-Hak Adat. Penyunting: Noer Fauzi. Penerbit: INSISTPress, KPA, dan Pustaka Pelajar. ISBN: 979-9289-55-6. Kolasi: 14 x 20cm; xxvi + 196 halaman. Keterangan adventorial buku, lihat: https://insistpress.com/katalog/sesat-pikir-politik-hukum-agraria/ 

Buku ini merupakan hasil penyuntingan karya tulis Maria Rita Ruwiastuti (MRR) yang merentang dari tahun 1991 hingga 1999. Sepanjang awal kedatangannya ke propinsi Irian Jaya di tahun 1985 hingga sekarang, ia tetap konsisten dan tekun terlibat pada soal sengketa agraria struktural yang melibatkan nasib masyarakat-masyarakat Adat. Bahkan, ia tak segan-segan memberikan karya-karya tulisnya demi penyebaran gagasan yang semangat dan isinya bertujuan memperjuangkan hak-hak masyarakat Adat.

Sejak Penyunting menerima berbagai karya tulis MRR untuk pertama kalinya di tahun 1996, telah timbul niat untuk menyuntingnya dan menjadikan suatu buku yang bisa dibaca oleh publik. Namun, pekerjaan penyunting sebagai Ketua Badan Pelaksana Konsorsium Pembaruan Agraria (BP-KPA) periode 1995 s/d 1998 dan berbagai aktivitas lainnya tidak memungkinkan mewujudkan niat tersebut. Niat untuk membukukan karya-karya MRR semakin menjadi, disebabkan ia terus memberikan karya-karya tulis barunya kepada penyunting pada kesempatan beraktifitas bersama di Konsorsium Pembaruan Agraria. Buku kecil ini akhirnya selesai disunting penulis bulan November 1999.

Penyunting mengatur sedemikian rupa sajian buku ini agar tulisan-tulisan yang terpisah-pisah dapat dinikmati pembaca sebagai suatu buku yang layak dibaca. Di bagian Pendahuluan, mula-mula disajikan suatu dasar-dasar pijak teoritis, yang biasanya diistilahkan sebagai Analisa Hukum Kritis. Dalam uraian awalnya, MRR mengedepankan (kembali) tema yang selalu hidup dalam sepanjang zaman modern, yakni hukum versus keadilan. Namun, ia mendudukkan kembali tema itu dalam konteks sengketa agraria struktural di mana hukum Negara yang memfasiliatasi Pemodal Besar berhadap-hadapan dengan hukum-hukum Adat yang berangkat dari perwujudan rasa keadilan dan kebutuhan budaya masyarakat-masyarakat Adat. Bagian Pendahuluanini diakhiri dengan suatu agenda mempertemukan antara perjuangan keadilan sosial dengan agenda perubahan hukum Negara.

Selanjutnya di bagian I (bab 1 s/d 6) penyunting menyajikan tulisan MRR tentang berbagai kesaksiannya mengenai nasib penduduk-penduduk asli/suku-suku asli/masyarakat-masyarakat Adat di berbagai tempat sehubungan dengan sengketa agraria yang mereka alami, yakni orang-orang Asmat di Agats, Sarwa Erma, Yaosakor, dan Ewer (Irian jaya), orang-orang Laoje Gunung dan orang-orang Bunggu di Moi dan Ngovi (Sulawesi Tengah), orang-orang Atoni Meto di Biboki dan di Mollo (Nusa Tenggara Timur), dan orang-orang Batak Toba di parbuluan (Sumatera Utara).

Bagian II, berbeda dengan bagian sebelumnya yang kebanyakan merupakan suatu kesaksian , di Bab 7 hingga 9, penyunting memilihkan karya-karya MRR yang berisi analisis mengenai marginalisasi posisi hukum-hukum Adat, sengketa agraria, dan berbagai “sesat pikir” dari (sebagian) kalangan ahli hukum.

Selanjutnya, di bagian III (bagian terakhir), penyunting memilihkan karya-karya MRR yang lebih bersifat advokasi. Pada bagian ini, Bab 10 dan 12, selain MRR meletakkan dasar-dasar argumen mengapa hak-hak Adat atas sumber-sumber agraria perlu dipulihkan, MRR juga mengusulkan suatu agenda yang perubahan politik agraria nasional yang seharusnya menggunakan asas kemajemukan suatu ancangan untuk mereka yang mau ikut serta bersama membangun gerakan penghormatan dan pengakuan hak-hak Adat atas sumber-sumber agraria.

Penyunting mempregunakan berbagai tulisan MRR, mengatur peletakannya dan kemudian memberinya judul. Untuk menghindari pengulangan (walaupun tidak mungkin sama sekali bebas dari pengulangan), sejumlah uraian dari tulisan asli dibuang atau ditempatkan kembali pada bagian-bagian yang penyunting kira akan memudahkan pembaca. Beberapa peristilahan berusaha disamakan agar tidak menggangu pembaca. Pilihan judul-judul tiap bagian berasal dari penyunting. Namun demikian, pada umumnya setiap bagian berasal dari satu/dua tulisan khusus (lihat “sumber-sumber Tulisan” di bagian akhir buku ini).

Buku ini hadir pada saat yang tepat, di mana tersedia kesempatan mengemukakan aspirasi keadilan dari golongan-golongan masyarakat yang selama rejim Orde Baru tidak bisa mendapat tempat, bahkan direpresi. Lebih dari lima belas tahun belakangan ini, sengketa agraria struktural telah menjadi sisi lain dari pengadaan tanah skala besar untuk kepentingan proyek pembangunan pemerintah maupun proyek-proyek dari perusahaan bermodal raksasa dalam rangka mengejar pertumbuhan ekonomi. Apa yang dimaksudkan dengan sengketa agraria struktural yang melibatkan kelompok-kelompok  masyarakat Adat diurai dengan gambling dalam buku ini.

Sudah lama kalangan organisasi non-pemerintah, di antaranya adalah mereka yang tergabung dalam Konsorsium Pembaruan Agraria, peduli dengan gejala sengketa termaksud, termasuk sengketa yang melibatkan tanah-tanah kepunyaan masyarakat Adat.[1] Kepedulian ini didasari oleh pengalaman terlibat dalam kasus-kasus, baik berupa pengaduan-pengaduan, pengorganisasian masyarakat korban, kegiatan advokasi melalui jalur hukum maupun jalur ekstra-hukum, kegiatan pendidikan dan pelatihan, lokarya dan seminar maupun studi-studi.

Dalam beragam aktivitas tersebut, pertanyaan-pertanyaan yang sangat seing muncul adalah di mana kedudukan Hukum Agraria Nasional, seperti Undang-undang Pokok Agraria 1960 (UUPA), dalam sengketa tersebut? Apakah Undang-undang ini bisa menjadi sarana perlindungan bagi mereka yang bersengketa, khususnya bagi masyarakat-masyarakat korban sengketa?

Ada beberapa versi jawaban terhadap pertanyaan tersebut.[2] Pertama, adalah semua UU dibuat dengan niat baik dan karenanya hasilnya pun sudah baik untuk menjamin hak dan kewajiban masyarakat , sehingga tentunya UUPA dan berbagai UU keagrariaan lainnya, termasuk peraturan-peraturan pelaksanaannya , yang tergabung dalam Hukum Agraria Nasional sangat dapat diandalkan sebagai sarana perlindungan hak-hak masyarakat yang dirugikan dalam sengketa. Sengketa agraria struktural terjadi karena penyimpangan dari pejabat berprilaku menyimpang dalam mempergunakan kewenangannya.

Golongan kedua adalah mereka yang percaya bahwa UUPA sebagai induk dari UU keagrariaan adalah produk hukum yang memuat jaminan-jaminan hak-hak masyarakat, namun ia dilingkupi oleh berbagai UU dan peraturan pelaksanaannnya yang menyimpangkan UUPA tersebut. UUPA adalah hukum yang berkarakter responsive yang diproduksi di masa orde lama, namun ia dilingkupi oleh berbagai UU dan peraturan pelaksanaan yang diproduksi Orde Baru yang pada umumnya berkarakter represif. Dalam rumusan lain, dinyatakan bahwa UUPA bersifat populis namun dikelilingi oleh UU Keagrariaan dan peraturan pelaksanaan lainnya yang kapitalistik. Golongan ini mempersepsi sengketa agraria struktural disebabkan oleh orientasi pembangunan rejim Orde Baru yang mendahulukan pertumbuhan modal industri dan proyek-proyek pemerintah dari pada kepentingan penguasaan agraria rakyat banyak. Hukum agraria yang diproduksi adalah subsistem dari pertumbuhan ekonomi, sehingga orientasinya adalah memberi dukungan legalitas pada pemodal besar maupun proyek pemerintah.

Adalah golongan ketiga yang mendudukkan  Hukum Agraria Nasional, termasuk UUPA, sebagai produk hukum yang perlu dikritisi.[3] Diargumentasikan bahwa tidak dipungkiri adanya gejala penyimpangan penggunaan wewenang dari pejabat sehubungan dengan maraknya sengketa agraria – sebagaimana disinyalir oleh golongan pertama. Juga tidak dipungkiri pula adanya sejumlah peraturan yang menyimpang dari UUPA. Namun, UUPA dipersepsi pula sebagai pemberi andil yang berarti bagi terciptanya sengketa agraria yang marak lebih dalam lima belas tahun belakangan. 

Pada intinya, golongan ketiga ini, di mana MPR merupakan slaah satu eksponen utamanya, menyadari bahwa UUPA 1960 adalah suatu produk perundang-undagan yang dimaksudkan untuk membawa rakyat ke arah keadilan dan kemakmuan, namun demikian mendudukkan kepentingan rakyat di bawah kepentingan Negara yang mengatasnamakan kepentingan Nasional. Dalam penataan ulang penguasaan, peruntukan, pemeliharaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria, posisi Negara menurut Hukum Agraria nasional, termasuk menurut UUPA, apakah sangat dominan, sehingga dalam praktek telah terbukti menghancurkan partisipasi masyarakat dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria itu, serta pula kemudian turut menikmati hasilnya.

Golongan ini menganggap sudah waktunya Hukum Agraria nasional dirombak, termasuk UUPA 1960. Sekalipun ide dasarnya harus tetap dianut, bahwa penguasaan, peruntukan, pemeliharaan, dan pemanfaatan sumber-sumber agraria harus untuk keadilan dan kemakmuran rakyat, namun dalam berbagai undang-undang keagrariaan yang baru haruslah menganut falsafah baru, yakni falsafah kedaulatan rakyat atau kerakyatan (populis) yang berhadap-hadapan dengan falsafah kedaulatan Negara.[4] Dengan mengacu pada falsafah ini, perombakan Hukum Agraria Nasional harus mengedepankan fungsi tanah dan sumber-sumber agraria lainnya sebagai sumber-sumber yang meningkatkan keberdayaan rakyat untuk melepaskan diri dari ketergantungan atau eksploitasi kekuatan-kekuatan ekonomi bersar. Sedangkan hukum agraria harus ditegaskan fungsinya sebagai pembebas rakyat dari kedudukannya yang marjinal, sekaligus memberikan dua hal pokok, yakni (i) dasar legalitas dan legitimitas pada rakyat untuk menguasai sumber-sumber agraria, dan sekaligus berpartisipasi dalam penatagunaan, pemeliharaan dan peruntukannya; dan (ii) juga memberikan dasar legalitas dan legitimitas bagi masyarakat-masyarakat hukum Adat untuk menentukan sendiri pengelolaan lingkungan hidupnya, termasuk sumber-sumber agraria yang terdapat dalam lingkungan itu.

Gagasan golongan ketiga ini didasari oleh suatu keharusan pengakuan dan pengkormatan Negara atas hak-hak Adat yang timbul dari hubungannya yang tak dapat dipisahkan (non-alienable) dengan tanah dan sumber-sumber agraria lainnya. Pengakuan dan penghormatan ini hanya bisa terwujud apabila terdapat kesediaan para Pemegang Kekuasaan Negara, termasuk Pembuat Undang-undang, untuk mengakui eksistensi (keberadaan) masyarakat Adat yang otonom, termasuk eksistensi hukum-hukum Adat yang telah bertumbuh-kembang jauh sebelum Negara-Bangsa berdiri dan bahkan tetap hidup ketika hukum Nasional diberlakukan. Hal yang disebut terakhir inilah yang dikenal dengan istilah pluralism hukum (legal pluralism), yakni situasi di mana dua tau lebih (sistem) hukum saling berinteraksi. Issue pluralisme Hukum ini pada umumnya berkembang sebagai counter terhadap sentralisme hukum, (legal centralism), hal mana terjadi di negeri-negeri colonial dan pasca-kolonial. Paham sentralisme hukum sebagaimana terkandung dalam Hukum Negara (state law) sesungguhnya berhadapan dengan hukum-hukum Adat (customary laws) yang telah tumbuh berurat berakar sejalan dengan pertumbuhan komunitas-komunitas pra-negara. Keberadaan atau kemajemukan hukum-hukum Adat yang secara defacto hidup dalam masyarakat telah dimarjinalisasikan dan didominasi oleh hukum Negara. Sesungguhnya, problem ini telah menjadi ciri hukum Indonesia pasca kolonial, tentunya termasuk Hukum Agraria Nasional, di mana selalu diwarnai oleh kompetisi ide yang tidak terselesaikan antara hukum-hukum Adat dengan hukum Barat.

    Dalam konteks sebagaimana diuraikan di atas, kehadiran buku ini tentunya semakin disadari relevansinya, terutama bagi mereka yang telah dan akan bergabung dalam aktivitas pemulihan, pengakuan, pemberdayaan dan penghormatan hak-hak Adat. MRR secara orisinil berhasil menunjukkan “Sesat Pikir” Politik Hukum Agraria dan membongkar asumsi-asumsi penguasaan Negara terhadap hak-hak Adat, dengan cara mengemukakan kesaksian-kesaksian, membongkar asumsi-asumsi penguasaan Negara atas hak-hak Adat, mengemukakan agenda pemulihan hak-hak Adat dan pluralism hukum, dan lebih jauh dari itu, mengundang adanya suatu gerakan sosial menuju terwujudnya budaya hukum yang kritis dan Politik Hukum Agraria yang lebih berkeadilan.

 



[1] Dalam konferensi INFID ke-10 Canberra – Australia tahun 1996, dengan tema “Land and Development: masalah sengketa pertanahan, termasuk yang menyangkut sengketa tanah Adat, memperoleh tempat dalam makalah-makalah maupun pernyataan resmi Konferensi tersebut. Selanjutnya lihat Noer Fauzi (Ed.), Tanah dan Pembangunan, Jakarta: Sinar harapan, 1997. Dalam kurun waktu setelah konferensi INFID tersebut, setidaknya terbit tiga buku yang memuat laporan mengenai pengambilan tanah masyarakat Adat, yang dibuat oleh yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), yakni buku A. Made Tony Supriatna (Ed.), 1996: Tahun Kekerasan Potret Pelanggaran HAM di Indonesia, Jakarta: YLBHI, 1997, Dianto Bachriadi, et. Al (Eds), Reformasi Agraria: Sengketa, Politik dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia, Jakarta: KPA bekerja sama dengan Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LP-FEUI), 1997, dan maria Rita Ruwiastuti, et.al., Penghancuran Hak Masyarakat Adat atas Tanah: Sistem Penguasaan Tanah masyarakat Adat dan hukum Agraria, Bandung: KPA bekerjasama dengan INPI-PACT, 1997.

[2] Gagasan mengenai ketiga golongan ini pernah penulis sampaikan pada “Pluralisme Hukum: Agenda Hukum Agraria Nasional di Abad 21”, makalah pada Seminar Hasil Studi hak –hak Tradisional atas Tanah di Indonesia, Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat Unika Atmajaya – Jakarta, bekerjasama dengan Puslitbang Badan Pertanahan Nasional, Selasa 1 Desember 1998; dan “Sendi-sendi Pembaruan Hukum Agraria”, Makalah pada Forum Dialog Tinjauan Kritis terhadap UUPA, yang diselenggarakan oleh Tim Pelaksana KEPPRES No. 48/1999, di Hotel Indonesia, Jakarta 31 Agustus – 1 September 1999

[3] Kritik awal terhadap UUPA dimuat dalam Beni K. Harmanet al., Pluralisme Hukum Pertanahan dan Kumpulan Kasus Tanah, Jakarta: YLBHI, 1995, khususnya bagian Kata Pengantar yang ditulis oleh Benny K. Harman dan Noer Fauzi.

[4] Lihat Usulan revisi Undang-undang Pokok Agraria Menuju Penegakan Hak-hak Rakyat atas Sumber-sumber Agraria, Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional dan Konsorsium Pembaruan Agraria, 1998.

Gunawan Wiradi (2000) Reforma Agraria, Perjalanan yang Belum Berakhir. Pengantar Penyunting


Noer Fauzi

Perjalanan Sebuah Gagasan

Pengantar Penyunting untuk Edisi Pertama

 

Edisi kedua buku Gunawan Wiradi (2000) Reforma Agraria, Perjalanan yang Belum Berakhir.  Bandung: Sajogyo Institute Akatiga Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Noer Fauzi dań Mohammad Shohibuddin (penyunting), bisa diperoleh sepenuhnya dengan bebas dari situs:https://sajogyo-institute.org/wp-content/uploads/2016/05/GWR.-2009.-Reforma-Agraria-Perjalanan-belum-Berakhir.pdf 


Buku ini merupakan hasil olahan dari 23 (dua puluh tiga) tulisan Gunawan Wiradi (GWR) yang disampaikan dalam berbagai Seminar, Lokakarta atau Diskusi yang merentang dari tahun 1984 hingga awal tahun 2000.[1] Penyunting menyusun ulang bagian-bagian dari tulisan tersebut, menyatukannya, menyambungkan ide-idenya sedemikian rupa sehingga bergabung dalam bab-bab, termasuk memberi judul bab-bab itu, sebagaimana tersaji dalam buku ini. 

Penyunting berupaya agar hasil olahan tersebut mampu menjadi suatu sajian yang sistematis dan bukan sekedar kumpulan tulisan dan bukan pula hasil penulisan ulang (rewriting), walaupun tidak mungkin menghindar dari sejumlah pengulangan ide. Niat membukukan berbagai tulisan Gunawan Wiradi sebenamya terbersit semenjak penyunting dipilih untuk kedua kalinya menjadi Ketua Badan Pelaksana Konsorsium Pembaruan Agraria di tahun 1998 lalu. Namun, sehubungan dengan kesibukan penyunting, pekerjaan tersebut baru berhasil diwujudkan sekarang. Penyunting telah berusaha semaksimal mungkin agar pikiran-pikiran GWR yang terpisah-pisah bisa dinikmati pembaca secara lebih solid dan ‘benang merah’nya bisa segera bisa ditemukan. Untuk menghasilkan buku ini, banyak waktu dan energi yang dibutuhkan sehubungan dengan kegiatan memotong bagian dari satu karangan yang satu untuk disambungkan dengan karangan yang lain, dan sebaliknya. Selain itu, karena bahan dasarnya berasal dari makalah untuk suatu penyajian dalam forum seminar/lokakarya/diskusi/latihan tertentu, maka referensi rujukannya tidak seragam, dan meskipun penyunting mengkonfirmasikan kembali ke GWR, namun masih ada yang tidak bisa terlacak lagi, misalnya nomor halaman buku yang dirujuk. 

Buku ini hanyalah sebagian dari karya-karya tulis GWR. Karangan GWR tidak hanya menyangkut masalah agraria, tetapi juga meliputi soal-soal transmigrasi, demokrasi, metodologi penelitian, teori organisasi, revolusi hijau dan lain-lain. Yang disunting di sini hanyalah yang khusus menyangkut masalah Reforma Agraria, yang sebagian besar belum pernah diterbitkan. Alangkah baiknya seandainya saja ada kesempatan dan kemampuan penyunting untuk menerbitkan rangkuman tulisan GWR yang lebih luas. 

Secara berurutan, langkah-langkah yang ditempuh penyunting adalah mengemukakan rencana pengumpulan dan penyuntingan karya-karya tulis pada GWR yang langsung mendapat persetujuan; mengumpulkan, termasuk meminta copy dari karya-karya tulis GWR, yang disimpan olehnya; Penyunting mengetik ulang karangan-karangan GWR (terima kasih atas bantuan M. Syafe’i yang telah membantu pengetikan ulang); menyusun draft I hasil penyuntingan dan menyerahkan pada GWR untuk mendapatkan koreksi dan masukan; memperbaiki draft I dan menyerahkan draft II-nya pada GWR untuk dikoreksi akhir; meminta Prof. Dr. Sayogyo untuk memberikan Pengantar dan meminta Dr. Nasikun untuk memberikan komentar atas dasar draft II; menyusun Glossary (terimakasih pada Yudi Bachrioktora yang membuatkan draftnya) dan memperbaiki kembali draft II atas dasar koreksi akhir dari GWR, dan kemudian menyerahkan pada penerbit untuk dicetak. 

Buku ini disusun dan diterbitkan dengan maksud memberikan penghargaan pada Gunawan Wiradi yang telah berperan mempromosikan ide Reforma Agraria secara tekun, semenjak Indonesia di bawah rejim Orde Baru sampai sekarang. Tak berlebihan bila dikatakan bahwa tanpa Gunawan Wiradi  bersama-sama dengan S.M.P. Tjondronegoro[2] maka isu Reforma Agraria akan tetap tenggelam sebagai wacana intelektual. Inisiatif-inisiatif utama Gunawan Wiradi memerankan diri sebagai promotor Reforma Agraria dilakukan semenjak keterlibatannya dalam lembaga Studi Dinamika Pedesaan Survey Agro Ekonomi (SDP-SAE) di Bogor semenjak tahun 1972. Bahkan dengan Lembaga ini, GWR aktif menindaklanjuti World Conference on Agrarian Reform and Rural Development yang diadakan FAO 1979, dengan penelitian, pelatihan, study-tour hingga konferensi international. 

Selanjutnya, semenjak itu GWR aktif melakukan penelitian lapangan, menulis artikel di media massa, menyunting buku, menulis artikel ilmiah dan menjadi narasumber pada berbagai forum yang diorganisir oleh LSM, Perguruan Tinggi maupun lembaga pemerintah, yang saat ini sudah tak terhitung lagi jumlahnya. Apa yang ia lakukan secara konsisten, dan diulanginya terus menerus adalah menganalisis masalah agraria dewasa ini, mempertanyakan kebijakan pembangunan yang memperburuk masalah agraria, mengkomunikasikan teori, analisis dan pengalaman dunia internasional mengenai masalah agraria hingga mempromosikan Reforma Agraria sebagai jawaban atas ketimpangan struktur agraria Indonesia. Buku ini berjudul “Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir”. Judul ini diinspirasikan oleh suatu buku kumpulan karya salah satu tokoh kunci Reforma Agraria 1960- an Wolf Ladejinsky, yang berjudul Agrarian Reform as Unfinished Business, hasil suntingan L.J. Walinsky (1970) yang diterbitkan oleh World Bank bersama Oxford University Press, pada tahun 1977.[3]

Selain itu, dasar pemilihan tema sebagaimana terkemuka dalam judul buku ini berkaitan dengan isi buku yang kurang lebih “berangkat dari kenyataan sekarang”, “melihat ke belakang” dan “untuk melangkah ke depan”. Dari penelusuran GWR, ditemukan bahwa masalah Reforma Agraria adalah perjalanan yang belum berakhir. Era “reformasi” dewasa ini, di mana kita menghadapi suatu kenyataan adanya perubahan sosial-politik yang mendasar, merupakan saat yang tepat untuk mempromosikan agenda Reforma Agraria. Dapatlah dikatakan, Indonesia saat ini memasuki jaman peralihan politik kekuasaan negara yang ditandai oleh bangkrutnya dominasi kekuasaan rejim Orde Baru yang otoriter, dan lahirnya rejim baru yang memberikan keluangan besar bagi masyarakat luas untuk mempengaruhi kebijakan pemerintahan. Bagi pelaku dan pengamat soal agraria, pertanyaan yang penting adalah apakah hasil pergulatan kekuatan-kekuatan politik itu pada akhimya akan menghasilkan suatu rejim yang pro pada penyelesaian soal agraria yang mendasar dan menyeluruh? Semasa Indonesia di bawah rejim Orde Baru, kita menyaksikan banyak sekali kasus di mana berbagai jenis hak yang diberikan tersebut berada di atas tanah yang telah dikuasai oleh penduduk secara turun temurun. Konsekuensi dari pemberian berbagai jenis hak ini adalah terjadinya pemusatan kepenguasaan atas tanah yang luas. Sisi lain dari pemusatan ini adalah terlepasnya akses dan kontrol banyak penduduk atas tanah yang dikuasai sebelumnya. 

Dalam proses peralihan akses dan kontrol atas tanah dari penduduk ke pihak lain, dipenuhi oleh berbagai metoda yang digunakan oleh institusi politik otoritarian, seperti penggunaan instrumen hukum negara, manipulasi dan kekerasan. Intervensi negara dalam pengadaan tanah (land acquisition through state intervention) bermula dari penetapan pemerintah atas sebidang tanah dan kekayaan alam yang ada di atas/ di bawahnya dengan jenis hak tertentu untuk suatu subjek atau badan hukum tertentu. Berbagai jenis hak yang kita kenal di antaranya Hak Guna Usaha, Hak Pengusahaan Hutan, Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri, Kuasa Pertambangan, Kontrak Karya Pertambangan, dll. Kekuasaan negara untuk memberikan berbagai jenis hak tersebut diperoleh dari berbagai Undang-undang (seperti Undang-undang Pokok Agraria, Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan) melalui konsep politik hukum Hak Menguasai dari Negara (HMN) yang diemban oleh pemerintah pusat. “Anak haram” dari praktik pembangunan yang dimotori oleh paham pembangunan yang bertumpu pada “pertumbuhan ekonomi yang tinggi” itu adalah sengketa agraria struktural. Sengketa ini terjadi ketika pemerintah pusat memberikan hak baru untuk perusahaan atau badan pemerintah tertentu di atas tanah yang telah dimuati hak-hak rakyat. 

Sudah umum disadari banyak pihak bahwa komunitas petani yang terlebih dahulu memiliki hubungan yang kuat dengan tanah dan kekayaan alam itu pada umumnya adalah pihak yang dikalahkan. Bila sungguh-sungguh hendak mewujudkan keadilan sosial, dan lebih dari itu memantapkan dasar pembangunan, saat ini tak ada jalan lain dan sudah tak dapat ditunda-tunda lagi untuk menata ulang penguasaan, peruntukan dan penggunaan tanah melalui apa yang dikenal secara ilmiah dengan nama agrarian reform (bahasa Inggris) atau Reforma Agraria (bahasa Spanyol). Pada konteks ini, sering dipercayai bahwa Reforma Agraria harus dimulai dari arena perubahan kebijakan (policy change) dan perubahan hukum (law reform), dengan asumsi bahwa hukum merupakan ekspresi dari rasa keadilan rakyat. Namun, sesungguhnya hukum di mana dikandung kebijakan-kebijakan publik merupakan suatu arena petarungan berbagai kepentingan. Repotnya, kepentingan ini seringkali tampak kabur, seperti adanya tabir ideologis. Seperti dinyatakan oleh Walden Bello et all dalam bukunya Dark Victory, The United States, Structural Adjustment and Global Poverty, (Amsterdam: The Transnational Institute, 1994, hal. 8), bahwa 

“Apa yang biasanya terjadi adalah suatu proses sosial yang agak kompleks di-mana ideologi menjembatani antara kepentingan-kepentingan dengan kebijakan. Suatu ideologi adalah sistem-kepercayaan—seperangkat teori, kepercayaan, dan mitos dengan sejumlah pertalian di dalamnya—yang berupaya menguniversalkan kepentingan suatu sektor sosial tertentu kepada masyarakat seluruhnya. Dalam ideologi pasar, sebagai contoh, membebaskan kekuatan pasar dari hambatan-hambatan negara dikatakan suatu usaha bagi kepentingan umum bukan hanya kalangan bisnis, tetapi juga bagi keseluruhan masyarakat.” 

GWR mengemukakan, seperti dinyatakan dalam bagian akhir buku ini, bahwa dalam pengalaman berbagai negara Reforma Agraria selalu didasarkan pada kedermawanan atau kebaikan hati penguasa negara. Namun, pada gilirannya terjadi pengkhianatan terhadap petaniAtas dasar pengalaman itu,[4] GWR dalam Lokakarya Nasional Agraria menyambut Munas KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) pertama Desember 1995, menganjurkan strategi reform by leverage. Maksudnya adalah inisiatif suatu proses reform yang bertumpu pada organisasi rakyat (petani). Kondisi makro yang tidak kondusif bagi reformasi, dapat dihadapi dengan kekuatan pengorganisasian petani sebagai leverage (dongkrak).

 

Selamat membaca. 

Noer Fauzi

 



[1] Lihat Sumber Tulisan, di bagian akhir buku ini.

[2] Kumpulan karangan terpilih S.M.P. Tjondronegoro sejak tahun 1972 hingga 1999 telah diterbitkan dalam bentuk buku: S.M.P. Tjondronegoro, Sosiologi Agraria, M.T. Felix Sitorus dan Gunawan Wiradi (Eds), Labolatorium Sosiologi, Antropologi dan Kependudukan FAPERTA IPB bekeriasama dengan Yayasan Akatiga, 1999, Bandung

[3]  Wolf Ladejinsky melakukan suatu pengamatan, memberikan anjuran dan konsultansi untuk sejumlah pemerintahan yang sedang menjalankan agrarian reform di sejumlah negara berkembang, termasuk Indonesia sepanjang tahun 1960-an.

[4] Lihat buku J.P. Powelson dan R. Stock (1987), The Peasant Betrayed, Oelgeshlager, Gunn and Hain Publisher, Inc., 1987.