QUO VADIS PEMBARUAN HUKUM AGRARIA Perspektif Transitional Justice Untuk Menyelesaikan Konflik

 

Noer Fauzi Rachman

Pengantar Penerbit


Seperti yang dialami oleh banyak negara yang beralih dari rejim otoriter ke sistem yang lebih demokratis, Indonesia di masa kini pun menghadapi sisa-sisa dari masa lampau yang telah membawa penderitaan pada sejumlah anggota masyarakatnya. Sehingga masalah yang masih tersisa dari rejim sebelumnya diperlakukan secara kurang baik, hal tersebut bisa justru menimbulkan berbagai perpecahan baru di dalam masyarakat itu sendiri dan kurang dapat menyumbang pada penyatuan kembali perpecahan-perpecahan lama atau polarisasi-polarisasi yang sebelumnya telah ada”

(Tim Komnas HAM, 2001: 4).



Pembukaan:

Pertanyaan dan Temuan dari Berbagai Diskusi

Naskah ini merupakan suatu upaya menghadirkan dan melanjutkan pemikiran serta cara pandang transitional justice atas masalah agraria, yang pokok soalnya terwakili dalam pertanyaan: “Bagaimana cara menyediakan keadilan bagi mereka yang kehilangan hak atas tanah dan sumber daya lain yang menyertainya akibat praktek-praktek pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh rejim otoritarian Orde Baru yang lampau”.

Sepanjang dari kuartal kedua hingga ketiga Tahun 2002 (bulan April 2002 hingga Agustus 2002), pertanyaan tersebut telah menjadi penggerak diskusi yang diselenggarakan oleh HuMa bersama Pokja PA-PSDA (Kelompok Kerja Ornop Untuk Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam) di berbagai tempat yang berbeda dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) setempat di mana diskusi diadakan. Kegiatan diskusi tersebut dilaksanakan di Pontianak, Kalimantan Barat; Napu, Sulawesi Tengah; Semarang, Jawa; Jayapura, Papua, Mamuju, Sulawesi Tengah; Manado, Sulawesi Utara dan di Samarinda, Kalimantan Timur.[1]

Dalam diskusi-diskusi itu telah diungkap sebaran masalah “perampasan hak atas tanah dan sumber daya lain” yang terjadi di wilayah-wilayah dimana diskusi- diskusi itu diselenggarakan.[2] Implikasi dari beroperasinya perusahaan pemegang HPH (Hak Pengusahaan Hutan) dan/atau HPHTI (Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri) pada akses masyarakat adat atas tanah dan hutannya telah menjadi topik bahasan di Pontianak, Samarinda dan Papua. Sementara itu, implikasi dari beroperasinya perusahaan pemegang HGU (Hak Guna Usaha) pada akses masyarakat petani telah menjadi topik bahasan di Semarang, Napu, Mamuju dan Manado. Tak ketinggalan juga di Manado dan Papua dibicarakan pula implikasi dari ditetapkannya kawasan hutan, termasuk kawasan konservasi yang menghilangkan akses masyarakat adat atas wilayah hidupnya.

Land Reform: Agenda Pembaruan Struktur Agraria dalam Dinamika Panggung Politik


 Noer Fauzi (2002) “Land Reform: Agenda Pembaruan Struktur Agraria dalam Dinamika Panggung Politik” dalam Menuju Keadilan Agraria, 70 tahun Gunawan Wiradi, Endang Suhendar et al (Eds), Bandung: Yayasan Akatiga. Pp. 229-272. https://www.neliti.com/publications/471/menuju-keadilan-agraria-70-tahun-gunawan-wiradi 


“Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah! Tanah tidak untuk mereka yang  dengan duduk ongkang-ongkang menjadi gemuk gendut karena menghisap keringatnya orang-orang dis-erahi menggarap tanah itu”.

“Jangan mengira land reform yang kita hendak laksanakan adalah komunis! Hak milik atas tanah masih kita akui! Orang masih boleh punya tanah turun-temurun. Hanya luasnya milik itu diatur baik maksimumnya maupun minimumnya, dan hak milik atas tanah itu kita nyatakan berfungsi sosial, dan Negara dan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dari-pada hak milik perseorangan”

(Soekarno, “Laksana Malaikat yang Menyerbu Langit” Jalannya Revolusi Kita!, Amanat Presiden Republik Indonesia Soekarno pada Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1960)


            Secara sederhana, land reform adalah program untuk menghadapi  masalah-masalah struktur agraria yang timpang. Pada acara reguler perayaan ulang tahun proklamasi kemerdekaan, tahun 1960, Presiden Soekarno menyampaikan pidato dengan mengutip laporan PBB bahwa “defect in agrarian structure, and in particular systems of land tenure, prevent a rise in the standard of living of small farmers and agricultural labourer, and impede economic development”.

            Sebagai bangsa yang pernah berada di bawah penguasaan kolonialisme dan feodalisme, juga negeri yang memperoleh kemerdekaannya dari suatu rev-olusi maka kehendak untuk menghilangkan kolonialisme dan feodalisme juga terekspresikan dalam upaya memperbarui struktur agraria, yakni kon-figurasi siapa-siapa yang memiliki dan tidak memiliki tanah, siapa-siapa yang berhak memanfaatkan dan memperoleh keuntungan daripadanya, serta hubungan di antara kelompok-kelompok yang terpisah itu. 

            Dalam semangat revolusioner, Soekarno menggunakan apa yang disebut dengan “defect in agrarian structure” untuk menunjuk warisan dari feodalisme dan kolonialisme itu. Di masa awal sejarah RI, land reform memang dianut oleh elite penguasa politik negara sebagai strategi untuk menghilangkan sisa-sisa kolonialisme dan feodalisme yang dirumuskan sebagai sebab-sebab kehancuran  “kemakmuran  rakyat”. Pidato  pengantar  Menteri Agraria - Mr. Sadjarwo, di  dalam sidang mengantarkan Rancangan Peraturan Dasar tentang Pokok-pokok Agraria ke DPR-GR, tgl. 12 September 1960, menyebutkan bahwa  “...  perjuangan  perombakan hukum agraria nasional berjalan erat dengan sejarah perjuangan bangsa  Indonesia  untuk  melepaskan  diri  dari  (cengkraman, pengaruh dan  sisa-sisa  penjajahan; khususnya perjuangan rakyat  tani  untuk membebaskan diri  dari  kekangan-kekangan sistem  feodal   atas tanah dan pemerasan kaum  modal  asing”. 

Struktur Agraria

            Hubungan antara struktur agraria dan kondisi sosial yang melingkupinya sangatlah penting. Struktur sosial feodalistik, kapitalistik, atau sosialistik akan menghasilkan kondisi sangat berbeda dalam hal pemilikan tanah, sistem organisasi kerja unit produksi agraria, dan bentuk usaha pengelo-laannya. Dengan kata lain, struktur sosial ikut membentuk kerangka struk-tur agrarianya. Selain itu, banyak faktor lain yang ikut membentuknya, seperti faktor teknologi, kebijakan, penetrasi pasar, dan lain-lain.  Dalam konteks ini, bentuk kepemilikan tanah menentukan distribusi pendapatan dan kekayaan berdasar pemanfaatannya. Misal, pada masyarakat yang sistem hukumnya membolehkan kepemilikan tanah pribadi maka difer-ensiasi atau pemisahan kelas sosial sama sekali tidak bisa dihindari.

            Dalam perspektif sejarah, kepemilikan tanah senantiasa berubah sejalan dengan kondisi yang membentuknya. Susunan kepemilikan tanah inilah yang menjadi ciri pokok struktur agraria. Dengan melihat optik struktur agraria ini maka pada dasarnya land reform merupakan upaya untuk menata kembali struktur agraria yang timpang agar tercapai suatu keseim-bangan lebih baik antar-pelaku (produksi) agraria dalam masyarakat. 

            Dari pengenalan terhadap struktur agraria di berbagai wilayah belahan dunia, Fritjhof Kuhren  (1993) dalam karyanya Man and Land: An Introduction into the Problem of Agrarian Structure and Agrarian Reform mengungkap jenis-jenis struktur agraria berdasar pada subjek pemilik atas tanah sebagaimana diurai-ringkas berikut. 

Pertanian Suku

Penggembalaan Berpindah atau Pastoran Nomadism

            Pastoran nomadism adalah penggembalaan oleh kelompok sosial (suku, keluarga besar) dengan kawanan gembalanya melewati wilayah suku berupa padang rumput yang umumnya dimiliki berdasarkan tradisi kekua-saan suku-suku, bukan atas dasar hukum negara. Terbatasnya wilayah yang subur memaksa orang-orang berkelompok, bergabung secara erat melindungi hak atas padang rumput dan air. Oleh karena itu, kepemimpinan menuntut loyalitas tinggi dari anggota kelompok dan sebagai imbalan, pemimpin memberikan dukungan serta perlindungan. 

            Hak untuk menggunakan daerah padang rumput berada di tangan suku, sedangkan hewan dimiliki masing-masing keluarga. Perbedaan ini dapat mengakibatkan terjadinya penggembalaan berlebih di padang penggem-balaan ketika padang penggembalaan semakin langka. Di antara anggota kelompok ada kecenderungan untuk memiliki kawanan ternak sebanyak mungkin, tetapi tidak ada usaha untuk mendapatkan ternak bermutu tinggi. Ternak tidak saja merupakan dasar pemenuhan kebutuhan sendiri dan cadangan dalam menghadapi masa kritis, tetapi juga merupakan satu-satunya cara untuk menyediakan cadangan pangan dalam kehidu-pan mengembara (nomadik). Ternak juga menaikkan martabat, menjadi sumber pemberian yang diperlukan untuk memenuhi kewajiban sosial, membayar mas kawin guna mengikat hubungan sosial, sekaligus sebagai sarana mempertahankan kehidupan kelompok tersebut. 

            Berpindahnya penggembalaan sangat penting untuk mengatur pemulihan padang rumput. Namun demikian, produksinya rendah dan tanah sering kali rusak karena terjadinya penggembalaan berlebih. Sangat sulit untuk mempengaruhi kelompok suku agar mengubah pola produksi yang mereka gunakan, karena hal ini sekaligus berarti mengubah cara hidup mereka, termasuk perubahan ke arah kehidupan menetap.

Perladangan Berpindah

            Perladangan berpindah ialah suatu jenis pertanian dengan tanah yang ditanami berpindah secara berkala, sehingga tanah yang telah dipanen sebelumnya dibiarkan bera (istirahat) dan menjadi hutan kembali. Hal ini merupakan cara tradisional dalam pemanfaatan tanah dan masih dijumpai di wilayah hutan tropik basah. 

            Perladangan berpindah dalam pengertian yang lebih sempit berarti per-pindahan tanah yang ditanami maupun pemukiman. Namun akhir-akhir ini terdapat kecenderungan untuk memindahkan tanah yang ditanami saja sedangkan pemukimannya tetap karena makin padatnya penduduk dan pengaruh kebijaksanaan pemerintah. 

            Pada pola perladangan berpindah, tanah dimiliki bersama dan dikuasai oleh kelompok-kelompok sosial, biasanya suku.  Kepala suku atau pendeta menentukan tanah yang boleh dimanfaatkan setiap keluarga. Tanah dibuka dengan jalan menebang pohon-pohon yang ada kemudian membakarnya. Tanah ini ditanami selama beberapa tahun, lalu dibiarkan istirahat sambil sebidang tanah lainnya dibuka. Masa regenerasi akan mempertahankan kesuburan tanah bila masa istirahat tanah berlangsung cukup lama, dengan kata lain jika jumlah penduduknya sedikit. Dalam hal ini, masukan yang terbatas, pemanfaatan yang luas mampu menunjang swasembada dalam arti yang sangat sempit.  

            Pekerjaan dilakukan oleh keluarga dan diatur berdasarkan pembagian kerja menurut adat istiadat. Biasanya kaum pria membuka tanah sedangkan kaum wanita bertanggung jawab untuk menanami, mengolah, dan yang lebih maju lagi menangani pemasaran. Sistem sosial yang pada dasarnya gotong-royong ini terbatas pada kelompok kecil terutama keluarga dan suku, semua kebutuhan dapat dipenuhi sendiri dengan solidaritas tinggi. Kelompok yang melakukan perladangan berpindah kurang berhubungan dengan pemerintah nasional baru. Selama hanya sedikit tanah yang di-huni, sistem ini dapat berlangsung agak lama dan aman. Pada pola ini, tidak ada golongan yang tidak memiliki tanah, tidak terdapat spekulasi dan pemanfaatan tanah untuk kepentingan sediri serta kesuburan tanah dapat terpelihara. 

            Peningkatan penduduk di beberapa wilayah mendorong kebutuhan un-tuk makin sering membuka tanah dan mengurangi masa bera sehingga membahayakan kesuburan tanah. Perpindahan pemukiman dan ladang yang terus-menerus menghalangi pembangunan prasarana. Konsep yang banyak dibahas sekarang ini adalah individualisasi hak atas tanah. Namun konsep ini adalah model Barat yang asing bagi kebudayaan asli sehingga penerapannya sungguh membahayakan. 

Pertanian Feodalistik

        Di sini feodalisme tidak dilihat sebagai aspek sejarah perkembangan masyarakat tetapi lebih sebagai bentuk stratifikasi sosial yang ditandai dengan perbedaan kekayaan, pendapatan, kekuasaan, dan martabat. Antara minoritas yang terdiri dari pemilik tanah besar dan mayoritas yang terdiri dari para tunakisma atau memiliki tanah sempit, terdapat hak dan kewajiban yang saling mengikat, namun sangat tidak seimbang.

Feodalisme Berdasarkan Sewa

            Penggunaan tanah, pajak atau kekuasaan ekonomi merupakan dasar bagi para tuan tanah untuk menguasai petani dan kelompok yang tidak memiliki tanah. Petani dan kelompok yang tidak bertanah tidak mempunyai pilihan lain dalam mempertahankan kehidupannya, sehingga terpaksa membayar sewa yang tinggi, bekerja secara paksa, dan dalam beberapa hal tergantung secara pribadi untuk dapat hidup sebagai penyewa atau buruh. 

            Pada struktur agraria ini konsentrasi pemilikan tanah dan air berada di tangan beberapa tuan tanah yang minatnya terhadap produksi tanah sebe-narnya sangat kurang. Mereka membagi tanah menjadi bagian-bagian kecil untuk ditanami petani pengarap. Jangka waktu kontrak sering hanya berlangsung selama satu musim tanam.  Kontrak umumnya diperpanjang melalui kesepakatan secara diam-diam, tetapi karena tidak ada jaminan, penggarap menjadi tidak bebas. Pada kasus bagi hasil tersebut hasil total panen dibagi antara tuan tanah dan penyewa. Penyewa harus tunduk kepada kemauan tuan tanah tentang ihwal pertanian. Dikarenakan sempitnya tanah yang mereka sewa maka keadaan ekonomi mereka umumnya sangat kritis dan mereka kerap kehilangan kebebasannya akibat terlibat utang kepada tuan tanah. Sementara itu, tuan tanah berusaha memperoleh pendapatan yang tinggi dengan cara menaikkan sewa sambil mengeluarkan upaya sedikit dan tidak mendorong penyewa untuk menanam lebih intensif. Bagi mereka tanah adalah kekayaan untuk disewakan sekaligus memberikan martabat dan kekuasaan karena ketergantungan penyewa juga mencakup kehidupan pribadinya dan memaksa penyewa patuh dalam segala keadaan. Sistem ini sama saja dengan mengambil dari kaum miskin untuk diberikan kepada kaum berada. Keuntungan diperoleh melalui penghisapan sebanyak mungkin, bukan dengan cara meningkatkan produksi.   

            Para tuan tanah besar tidak mengawasi sendiri para penyewa, tetapi me-nyerahkan pekerjaan itu kepada pengawas (dahulu yang disebut penyewa tangan kedua). Cara ini menambah besarnya eksploitasi terhadap penyewa. Walaupun telah diadakan beberapa pembatasan tentang luas tanah yang boleh dimiliki melalui land reform, tetapi hal itu seringkali hanya meru-pakan pengalihan dari tuan tanah besar kepada tuan tanah kecil. 

Latifundia (hacienda)

            Latifundia ialah pemilikan tanah yang luar biasa luasnya. Sekarang hanya terdapat di Amerika Latin. Bentuk yang paling banyak dilaksanakan ialah hacienda (facenda) yang berasal dari undang-undang kolonial yang mem-perbolehkan berlangsungnya kerja paksa atau pemberian hadiah tanah bagi jasa kemiliteran. Hacienda adalah kesatuan sosial dan ekonomi yang sama dengan suatu negara kecil, hidup secara swasembada dan  memenuhi kebutuhan ekonomi sendiri (autarki) berada di bawah “pelindung” (pa-tron). Hacienda bukanlah suatu pertanian, melainkan lebih menyerupai pengelolaan sebidang tanah dengan beberapa bentuk organisasi pekerja dan pemanfaatan tanah secara simultan, misalnya perkebunan dan pertanian bagi hasil. Intensitas penanaman berbeda-beda menurut bagian-bagian hacienda, walaupun kecil. Hacienda juga mencakup hutan dan tanah terlantar. 

            Berbagai unit ekonomi pada hacienda terikat menjadi satu oleh hubungan kerja. Pembayaran tunai sedikit sekali dilakukan. Penguasa mendapat pelayanan dari pekerja, penyewa, pemukim, penggembala, pengelola dan lain-lain. Sebagai imbalannya, penguasa menyediakan sekolah dengan standar yang sangat rendah, tunjangan kesehatan, nafkah hidup, tunjangan hari tua, dan perbekalan. Sedangkan upah, kredit, dan pembelian diperhitungkan sesuai dengan harga toko. 

            Bagi haciendero, tanah merupakan sumber kehormatan, kekuasaan, dan spekulasi perekonomian. Arti tanah bagi produksi pertanian hanya nomor dua. Pemilik tanah luas ialah aristokrat yang memiliki kekuasaan finansial di daerah itu dan mempunyai pengaruh kuat terhadap pemerintah. Suatu perubahan dalam pemerintahan seringkali hanya berarti pengambilalihan oleh keluarga lainnya. Walaupun mereka mempunyai minat politik, haci-endero berusaha keras mempertahankan sifat kedaerahan. Hal ini menyu-litkan bagi pembangunan prasarana di daerah itu. Pada pola ini terdapat suatu struktur kelas yang nyata dengan pemilikan tanah dan suku sebagai ciri paling penting bagi penentuan strata. Struktur patriarkat menentukan kehidupan rakyat sejak lahir sampai meninggal. Hampir tidak mungkin untuk merombak sistem ini karena tidak ada tempat lain untuk mendap-atkan pekerjaan. Hidup berdampingan antara latifundia dan minifundia (pertanian skala kecil), kelimpahan dan kemiskinan merupakan ciri yang jarang dijumpai pada struktur agraria lainnya. 

Pertanian Keluarga

            Dalam pertanian keluarga hak milik dan hak pakai berada di tangan masing-masing keluarga. Pengelolaan dan pekerjaan dilakukan oleh keluarga yang memiliki tanah pertanian, dan dengan demikian tidak terikat kepada  kelompok sosial yang lebih besar. Tipe ini terdapat di Eropa, di pemukiman orang Eropa, maupun di banyak bagian dunia lainnya.

            Tanah adalah faktor pemersatu dalam sistem sosial pedesaan sekaligus sebagai landasan kehidupan, faktor produksi, Kemakmuran, dan tempat tinggal. Sesuai dengan tradisi, tanah tidak dijual tetapi dimanfaatkan kemudian diwariskan kepada generasi berikutnya. Tujuan ekonominya ialah memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi semua orang yang tinggal di kawasan pertanian tersebut. Sebagai tujuan jangka panjang yang ber-langsung dari generasi ke generasi, pertanian harus dilakukan sedemikian rupa sehingga kesuburan tanah dan lingkungan tidak rusak. 

            Ada korelasi antara besarnya pertanian dan kemampuan tenaga kerja. Keadaan ideal adalah bila pertanian cukup besar bagi sebuah keluarga untuk melakukan semua pekerjaan sendiri dan dapat memenuhi segala kebutuhan. Bilamana luas pertanian cukup dan dapat memenuhi kebutuhan keluarga tani maka pertanian keluarga adalah sistem yang stabil dengan perbedaan sosial yang kecil sehingga sangat cocok bagi kegiatan koperasi. Dalam hal ini aspek ekonomi sangat menonjol. Berkurangnya luas per-tanian karena dibagikan kepada ahli waris atau untuk pembayaran utang dapat membahayakan sistem itu dan kadang-kadang menyebabkan beral-ihnya tanah ke struktur agraria feodal. Dengan mendidik dan memberikan persiapan kepada ahli waris yang meninggalkan bidang pertanian, sistem ini memberikan manfaat cukup berarti  bagi sektor ekonomi lainnya. 

            Di Eropa dan beberapa negara sedang berkembang, pertanian telah men-gubah orientasinya pada pasar, modal, dan penerapan metode pertanian maju di bawah bimbingan tenaga penyuluhan. Hal ini diikuti dengan perluasan usaha pertanian sebagai akibat pemupukan modal yang makin besar. Tergantung pada keadaan yang terjadi, hal ini berkaitan dengan adanya beberapa petani yang mengubah kedudukan mereka dan mencari pekerjaan di luar bidang pertanian atau hanya karena kehilangan kekayaan dan status sosial. Mengingat bahwa yang disebutkan terakhir ini seringkali terjadi akibat kesalahan pengelolaan dan ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan perubahan keadaan, kadang-kadang diupayakan untuk memindahkan tanggung jawab pengelolaan pertanian inti dari tangan pengelola pertanian sebelumnya ke suatu sistem “produksi di bawah pengawasan” dan mencapai hasil yang lebih baik dengan adanya pengendalian dari pusat. Hal ini dapat diterapkan dengan integrasi vertikal atau tekanan dan sering dijumpai pada proyek-proyek pemukiman.  

            Segera setelah terbuka kesempatan yang lebih besar untuk bekerja di luar bidang pertanian di suatu wilayah, berbagai kegiatan sampingan dan per-tanian sampingan semakin meningkat. Dengan perkataan lain, satu atau beberapa anggota keluarga mencari pekerjaan di luar bidang pertanian. Pertanian komersial yang maju berasal dari pertanian keluarga berciri komersial. Walaupun demikian, dalam hal pertanian keluarga yang padat modal di Eropa dan negara sedang berkembang yang berorientasi pasar, perbedaan antara pertanian komersial dan pertanian keluarga di pedesaan menjadi makin kecil. 

Pertanian Kapitalistik

            Berbagai bentuk pertanian dengan ciri kapitalistik terdapat di seluruh dun-ia. Contoh, perusahaan pertanian di Amerika Utara, peternakan di Amerika Latin, dan industri pertanian di Eropa Timur. Tipe pertanian kapitalistik yang paling penting di negara sedang berkembang ialah perkebunan. Sebuah perkebunan adalah pertanian berskala besar yang mengutamakan penanaman tanaman tahunan misalnya pohon, semak, atau perdu sering kali dengan sistem penanaman satu jenis (monokultur). Hasilnya biasanya diolah secara industri di pabrik pengolahan perkebunan itu sendiri dan diarahkan untuk ekspor (tebu, pisang, teh, kopi, coklat, kelapa sawit, dan sebagainya). Perkebunan seringkali dimiliki oleh orang asing. 

Pengolahan industri menuntut jaminan mutu, kelancaran pengiriman dalam jumlah yang cukup untuk memanfaatkan kapasitas pabrik sepenuhnya. Oleh karena itu, pengelolaannya ditandai dengan pengendalian dan hi-erarki ketat. Dengan mempekerjakan tenaga terbaik dalam pengelolaan, produktivitasnya sangat tinggi. Namun demikian, perkebunan mendahu-lukan dan melayani kepentingan asing, juga merupakan gugus tertutup yang biasanya tidak banyak memberikan manfaat bagi ekonomi dalam negeri. Memang benar negara memperoleh sejumlah besar pajak ekspor, namun pengaruh ekonomi dan politik biasanya cukup besar. Lebih dari itu kondisi sosial di wilayah perkebunan pada umumnya sangat buruk. Para pekerja biasanya memperoleh penghasilan sangat rendah, kesempatan yang kecil untuk memperoleh jabatan lebih baik, dan tingkat hidup yang menyedihkan. Walaupun pihak perkebunan menyediakan perumahan, namun pada umumnya keadaannya sangat sederhana. Kondisi gizi dan kesehatan sangat kurang, antara lain disebabkan oleh produksi keluarga yang tidak mencukupi. Pekerja sering diambil dari wilayah negara atau kelompok penduduk lain yang akan menambah besarnya masalah. Perke-bunan yang dimiliki oleh elit dalam negeri mempunyai ciri-ciri yang sama, hanya berbeda dalam tingkat produktivitas yang umumnya rendah. 

Pertanian Kolektif

Struktur agraria kolektif beraneka ragam dan dapat dibedakan atas dua tipe dasar, yaitu pertanian sosialistik dan pertanian komunistik. Di dalam pertanian sosialistik sarana produksi diserahkan kepada rakyat dan produksi direncanakan oleh negara. Sementara pertanian komunistik bukan hanya merupakan sistem ekonomi melainkan lebih merupakan pandangan hidup secara keseluruhan, berdasarkan politik, etika atau agama. 

Pertanian Sosialistik

            Berdasarkan ideologi sosialistik pemikiran pribadi atas tanah mengarah pada pemerataan. Oleh karena itu, sosialisasi alat produksi merupakan unsur utama dalam struktur agraria ini yang sangat dipengaruhi ideologi politik. Yang termasuk di sini ialah konsepsi bahwa pertanian kecil telah ketinggalan oleh kemajuan teknik sehingga harus digabungkan dengan unit-unit ekonomi besar. Komponen ketiga ialah perencanaan yang  ketat oleh pemerintah mengenai produksi pertanian. Tujuan jangka panjang sebenarnya adalah menghapuskan perbedaan antara pola kehidupan indus-tri dan pertanian, tetapi masih belum tercapai sekarang ini. Kenyataannya, banyak terdapat perbedaan di antara masing-masing negara sosialis Eropa dan Kuba menyangkut jangkauan mencapai sosialisasi. Dengan demikian jangkauan sosialitas dalam pertanian bervariasi dari 96% di Uni Soviet dan hanya 31% dan 15% di Polandia dan Yugoslavia. Sisanya terbagi-bagi di antara pertanian swasta kecil dan kelompok rumah tangga yang diperbolehkan menjadi anggota kolektif di negara-negara itu. 

            Mengenai organisasi pertanian dalam bentuk-bentuk pertanian sosialis, harus dibedakan antara pertanian negara (sovkhoz) dan pertanian kolektif (kolkhoz). Pertanian kolektif biasanya lebih banyak diminati karena walaupun berada di bawah pengendalian negara sepenuhnya, negara tidak diharuskan menanggung risiko ekonomi. Risiko itu dilimpahkan kepada para anggota. Pemerintah dapat mempengaruhi dan mengarahkan tingkat upah maupun pembentukan dan pengalihan modal dengan menentukan kuota pengiriman dan harga. Dengan kata lain, pemerintah dapat menggu-nakan sektor pertanian untuk mencapai tujuan kebijakan ekonomi. Dalam sistem ini, setiap produksi rumah tangga mempunyai peranan penting. Di sini dilakukan produksi padat karya untuk meningkatkan suplai para ang-gota pertanian sekaligus menghasilkan tanaman yang sulit dikembangkan dalam unit pertanian besar. Peternakan juga mempunyai peranan tertentu dalam pertanian rumah tangga. Keuntungannya dapat membawa perbaikan pada sebagian kelompok rumah tangga berpenghasilan rendah. 

            Sistem ini mengandung beberapa unsur yang harus dipandang sebagai kelemahan ditinjau dari sudut pencapaian produksi. Perusahaan tani kolek-tif harus menerima setiap orang yang mencari pekerjaan, karena mereka mempunyai hak atas pekerjaan, walaupun tidak diperlukan. Persentase pengawasan dan waktu yang terluang karena birokrasi pada pertanian pemerintah sangat tinggi ditambah dengan masalah pengadaan sarana produksi, serta tingkat produktivitas yang relatif rendah, walaupun dalam jangka waktu yang lebih lama tidak dapat dibandingkan dengan produktivi-tas negara-negara industri Barat. Namun demikian, perlu dikemukakan di sini bahwa ini hanyalah merupakan salah satu pertimbangan yang mungkin diberikan. Gambarannya akan berbeda bila orang melihat sumbangan dari modal, alih tenaga kerja ke dalam sektor lain, dan sumbangan terhadap pencapaian tujuan politik. 

Pertanian Komunistik

            Pertanian komunistik dapat didasarkan pada suatu sindrom politik atau etika keagamaan. Berbeda dengan kolkhoz, komune pada rakyat Cina mempunyai bentuk kolektif yang meliputi semua sektor kehidupan dan ekonomi, tidak terbatas pada pertanian saja. Seluruh penduduk di sebuah wilayah menjadi bagian dalam sistem ini. Jadi, bukan penduduk pertanian saja. Kesatuan ini dapat mencapai luas sebuah desa, mencakup produksi pertanian dan industri, jasa, pendidikan, pelayanan kesehatan, program kebudayaan, administrasi dan masalah-masalah politik maupun beberapa aspek konsumsi dan kehidupan pribadi. 

            Tata kerja diatur secara ketat menyerupai militer dengan penuh disiplin. Di dalamnya ada 3 tingkat kelompok kerja, yaitu kelompok produksi, kesatuan-kesatuan produksi, dan komune. Hubungan antara komune negara dan kesatuan komune diatur dengan kontrak. Kegiatan ekonomi berlangsung dalam rangka perencanaan negara yang tetap memberikan kesempatan bagi keputusan lokal. 

            Kebutuhan dasar diatur atas dasar persamaan hak dan dipenuhi oleh upah dasar dalam bentuk uang kontan dan natura berupa makanan pokok mau-pun pembebanan biaya pendidikan, pelayanan kesehatan, dan sebagainya. Di samping itu, diberikan bonus untuk meningkatkan produktivitas dan tersedia kesempatan bagi pertanian swasta berskala kecil. Pada dasarnya masyarakat tidak terdiri dari kelas-kelas, tetapi bonus dan pertanian ke-luarga maupun adanya berbagai jabatan mendorong terbentuknya strata sosial. Walaupun demikian, perbedaan pendapatan terjadi bukan karena perbedaan antara perorangan dan/atau keluarga, melainkan lebih ban-yak terjadi pada antarkomune karena perbedaan produksi dan kondisi pemasaran. Perbedaan yang cukup berarti ini, dalam banyak hal, tidak dapat langsung diketahui. 

            Sistem ini masih dalam proses perubahan dan telah menimbulkan perubahan dalam masyarakat, misalnya sistem kekeluargaan lama tidak lagi dijumpai dan wanita diberi penghargaan sama. Ini merupakan keberhasilan dalam pengorganisasian penduduk untuk membangun ekonomi dan menciptakan modal yang membuat sistem ini lebih menarik untuk negara-negara lain. Namun demikian, perlu dikemukakan di sini bahwa kemungkinan dan kondisi untuk memperkenalkan sistem ini dan berhasil berjalan dengan baik di negara-negara lain belum dianalisis secara memadai. 

            Kolektivisasi tidak terbatas pada sistem sosialistik maupun komunistik. Di masa awal dahulu, masyarakat berusaha membentuk cara hidup tanpa per-bedaan sosial, kekayaan dan saling memeras. Dengan kata lain masyarakat yang mempunyai ciri persaudaraan, persamaan, dan keadilan. Biasanya mereka itu adalah kelompok-kelompok kecil. Ditinjau dari segi kelang-sungan dan keunggulan, kibbutz di Israel  paling unggul dibandingkan dengan kelompok lainnya. Sistem ini merupakan masyarakat sukarela yang terdiri dari rakyat, tanah, dan modal untuk mencapai produksi, distribusi, konsumsi, dan kehidupan kolektif. Dalam semua bentuk komunistik, penggunaan paksaan memegang peranan penting untuk menjamin peran serta masyarakat. Paksaan dilakukan baik dalam bentuk tekanan politik maupun keadaan darurat yang akan lebih mudah dijalankan dalam suatu gugus kolektif. 

Tujuan-tujuan Land Reform

Setelah memeriksa perkembangan sejarah yang panjang, Elias H. Tuma dalam Encyclopaedia Britanica (Tuma, 2001),  pada entry “Land Reform”  menyimpulkan bahwa land reform dalam pengertian luas akhirnya disa-makan dengan agrarian reform (pembaruan agraria), yakni suatu upaya untuk memperbaiki struktur agraria, yang terdiri atas sistem penguasaan tanah, metode penggarapan tanah  dan organisasi pengusahaannya, skala operasi usahanya, sewa menyewa, kelembagaan kredit desa, pemasaran,  juga pendidikan dan pelatihan untuk menyesuaikan diri dengan tujuan-tujuan keadilan sosial dan produktifitas.  

Secara umum, biasanya signifikansi program land reform yang dijalankan suatu pemerintahan dapat dikenali dari rumusan-rumusan tujuannya, baik tujuan-tujuan yang bersifat politis, sosial, maupun tujuan ekonomi. Setelah memeriksa perjalanan land reform se-dunia, akhirnya Elias H. Tuma (Tuma, 2001) mengumpulkan dan mengemas ulang daftar tujuan land reform, sebagaimana diuraikan berikut ini:

Tujuan-Tujuan Politis dan Sosial 

            Reformasi pada umumnya diintrodusir oleh inisiatif pemerintah sebagai respons terhadap tekanan internal dan eksternal, untuk mengatasi krisis ekonomi, sosial, dan politik. Oleh karenanya, reformasi diandaikan sebagai upaya mencari mekanisme penyelesaian suatu masalah. Dari sini kemudian mulai disosialisasikan oleh kaum reformis tentang pentingnya reformasi. Reformasi yang disosialisasikan akan memiliki makna jika tujuan-tujuan yang ditargetkan mendapatkan dukungan luas dari berbagai kelompok.  Kelompok reformis menetapkan tujuan itu untuk memenuhi tuntutan petani, menghancurkan kelompok oposisi, mendapatkan dukun-gan internasional, dan untuk mengamankan posisi mereka.  Tujuan-tujuan land reform yang mereka tetapkan akan dianalisis dalam artikel ini. 

            Tujuan land reform pada umumnya adalah untuk mengapus feodalisme yang berarti penyingkiran kelas tuan tanah dan mengalihkan kekuasaan-nya kepada elite reformis atau wakil masyarakat. Jika di antara para tuan tanah itu adalah orang asing maka tujuannya adalah untuk mengalahkan imperialisme dan mengakhiri eksploitasi yang dilakukannya. Selain itu, penerapan land reform juga bertujuan untuk membebaskan para petani dari eksploitasi dan membebaskan mereka dari ketergantungan kepada kaum yang mengeksploitasi dan membuat mereka menjadi warga negara aktif dalam menuntut hak-haknya.

            Tujuan yang ketiga adalah untuk menciptakan demokrasi  —negara yang dicita-citakan, baik oleh kelompok reformis-kapitalis ataupun reformis-komunis. Kebanyakan reformasi ala kapitalis didasarkan pada ketentuan bahwa kepemilikan pribadi dalam keluarga petani independen, sangat penting untuk mendukung institusi-institusi demokrasi.

            Kelompok reformis-komunis, kebalikannya, selalu berusaha untuk meng-hapuskan feodalisme dan kapitalisme dengan suatu kesadaran bahwa sistem produksi, kepemilikan pribadi atas tanah, bisa melanggengkan  eksploitasi. Artinya, terjadi proses pengalihan tanah ke petani dan meng-hapuskan kelas dalam masyarakat demokratis. Untuk mencapai tujuan-nya, kelompok komunis reformis mengumpulkan petani sebagai upaya mencari dukungan dalam rangka menciptakan tatanan baru dan melawan rezim sebelumnya. 

            Akhrinya, reformasi diintrodusir  secara sederhana sebagai cara menga-tasi krisis dan mengindari terjadinya revolusi. Dalam hal ini, kelompok reformis akan mengintrodusir dan merealisasikan tuntutan petani serta menyelesaikan konflik.  Ini terjadi khususnya ketika kelompok reformis masih memiliki simpati kepada kelas tuan tanah dan secara sadar lebih memilih jalan moderat daripada jalan radikal. Tujuan-tujuan politik ini adalah untuk melakukan perubahan selama proses realisasi reformasi. Dalam proses itu dimungkinkan adanya fleksibilitas dan modifikasi, sesuai perubahan situasi. 

            Semua land reform memberikan penekanan pada perlunya memperbaiki status dan kondisi sosial petani, pentingnya mengurangi kemiskinan, serta redistribusi pendapatan dan kekayaan di antara mereka. Selain itu juga diupayakan penciptaan peluang-peluang kerja, pendidikan, pelayanan kesehatan dan redistribusi keuntungan dalam komunitas besar, terutama generasi muda sebagai target utamanya. 

Tujuan-Tujuan Ekonomis

Pembangunan ekonomi telah menjadi tujuan utama pemerintah dan partai politik dewasa ini. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mendor-ong perkembangan pertanian, misalnya melalui reformasi agraria untuk memperbaiki kondisi petani yang tidak memiliki tanah atau memperbaiki hasil panennya yang tidak maksimal sehingga insentif investasi di sektor ini kecil atau ada usaha memperbaiki tanah dan pertumbuhan produksi. Mekanisme yang lain adalah mendorong  buruh agar memperoleh insen-tif dalam proses penggarapan tanah, dengan asumsi bahwa kepemilikan tradisional atau kepemilikan feodal seringkali menggunakan tanah secara berpindah dan boros. 

Tujuan ekonomi yang lain adalah untuk mempromosikan skala pengelolaan pertanian yang maksimal. Banyaknya latifundia dengan banyak mini-fundia pada wilayah yang sama, mendorong terjadinya inefisiensi. Oleh karenanya, land reform bertujuan menciptakan unit usaha yang optimum, sehingga tercapai peningkatan kualitas penggunaan, pemeliharaan tanah, dan penggunaan teknologi sehingga panennya memuaskan. 

Akhirnya land reform bertujuan untuk mensinergikan pertanian dengan keuntungan ekonomi industri. Dalam konteks pembangunan ekonomi industrialisasi,  kaum reformis berusaha mengubah sektor pedesaan agar lebih responsif terhadap kebutuhan sektor industri, misalnya kebutuhan tenaga kerja, bahan pokok, bahan baku industri, modal dan mata uang asing. Fungsi-fungsi ini diharapkan bisa dilakukan secara simultan. 

.... (dan seterusnya, silakan naskah keseluruhannya unduh dari https://www.neliti.com/publications/471/menuju-keadilan-agraria-70-tahun-gunawan-wiradi) 


Aikonisasi Zapatista: Menyaksikan Pesona Muchas Trampas Politicas



Noer Fauzi Rachman dkk


Dimuat sebagai "Aikonisasi Zapatista: Menyaksikan Pesona Muchas Trampas Politicas" Jurnal WACANA No.11/2002 | Menuju Gerakan Sosial Baru h. 83-106. Kemudian dimuat pula sebagai Pengantar untuk Buku Bayang Tak Berwajah. Dokumen Perlwanan Tentara Pembebasan Nasional Zapatista. Penerjemah Ronny Agustinus. Yogyakarta: Insist Press 2003.


(Muchas Trampas Politicas adalah istilah dalam bahasa Spanyol yang kurang lebih bermakna praktik yang cerdas melakukan manuver-manuver dan siasat-siasat untuk membuka, menerobos, membuat dan memanfaatkan peluang politik. Tapi, dalam penggunaan lain bisa juga berarti terperangkap setelah melakukan pembukaan, penerbososan dan pemanfaatan peluang politik)


Ketahuilah! Bahwa tanah, hutan, dan air yang telah dirampas oleh para penguasa hacienda, cientifico, atau cacique melalui tirani kekuasaan dan tipuan hukum, akan dikembalikan dengan segera pada rakyat atau warga yang berhak atas kekayaan itu, sebab, se­sungguhnya mereka itu dianiaya oleh kejahatan para penindas. Mereka mesti mempertahankan miliknya itu dengan sepenuh hati melalui kekuatan bersenjata. (Zapata, November 1911)


Setelah ditunda beberapa kali dengan berbagai alasan yang melatarbelakanginya, Tentara Pembebasan Nasional Zapatista memasuki San Cristobal beberapa menit sesudah tengah malam pada 1 Januari, 1994 ("Seperti biasa kami ter­lambat," jelas Komandante Marcos), mengumumkan 'Deklarasi Hutan Lacondon' dari balkon istana pemerintah, memporak­porandakan balai kota, menempelkan proklamasi perang mereka di dinding‑dinding kota kerajaan lama, menyerang instalasi mili­ter di dekatnya, lalu berjalan ke gunung‑gunung, kembali ke basis mereka di hutan.

Dua puluh lima bulan setelah pernberontakan Zapatista mem­bahana ke seluruh pelosok negeri dari pasar kampung sampai kamar kantor presiden, pada 16 Februari 1996, Tentara Pem­bebasan Nasional Zapatista dan pemerintah Meksiko menanda­tangani kesepakatan substantif pertama menuju perdamaian, yang terkenal dengan nama'Perjanjian‑perjanjian San Andres'. Dalam dokumen perjanjian itu, pemerintah federal menanggapi sebagian tuntutan Zapatista, utamanya hal yang berkaitan dengan hak‑hak dan budaya masyarakat adat, berupa pengakuan masya­rakat Indian sebagai subjek sosial dan historis sebagai prinsip kewarganegaraan. Sesungguhnya, dokumen perjanjian itu baru berisikan 1 dari 6 topik yang dirundingkan. Satu topik itu berasal dari meja runding'hak‑hak budaya'. Selain meja runding 'hak‑hak budaya' (a), meja‑meja runding yang tidak berbasil mengeluarkan perjanjian adalah: (b) demokrasi dan keadilan; (c) pembangunan dan kesejahteraan; (d) masalah perempuan; (e) konflik regional; dan (f) demiliterisasi.

Perjanjian itu adalah hasil yang dimenangkan dengan susah‑payah dari lima ronde pembicaraan pertama antara kedua pihak untuk menyelesaikan akar penyebab pertikaian itu. Butir‑butir perjanjian dari meja 'hak‑hak budaya' itu antara lain:

  • Pengakuan terhadap masyarakat Indian di dalam konstitusi, termasuk hak‑hak mereka untuk menentukan nasib sendiri di dalam kerangka otonomi yang konstitusional;
  • Perwakilan dan partisipasi politik yang lebih luas;
  • Pengakuan hak‑hak ekonomi, politik, sosial, dan budaya mereka sebagai hak‑hak kolektif‑,
  • Jaminan akses penuh pada sistern hukum dan pengakuan sistern normatif masyarakat adat;
  • Penghormatan atas perbedaan budaya, peningkatan revitalisasi budaya masyarakat Indian;
  • Peningkatan dalam pendidikan dan pelatihan dengan menghormati dan mengembangkan pengetahuan tradisi; dan
  • Meningkatkan kesempatan produksi dan pekerjaan, termasuk perlindungan kaum migran masyarakat adat.


Setelah penandatanganan Perjanjian‑perjanjian San An­dres, perwakilan masyarakat adat dan organisasinya ber­kumpul dalam Kongres Masyarakat Adat Nasional mulai tanggal 8 hingga 12 Oktober 1996 di Mexico City dengan khidmat memproklamasikan deklarasi itu, yang pada inti­nya ingin mengatakan bahwa "tidak ada lagi Meksiko tanpa kami". Dengan demikian ada upaya untuk menempatkan identitas etnik sebagai bagian dari identitas nasional Meksiko di masa depan

Pesona Zapatista

Gerakan perjuangan memperoleh otonomi masyarakat adat pada tingkat lokal maupun regional, seperti telah disinggung diatas, memang telah berlangsung lama. Bahkan, pada tahun 1974, Kongres Masyarakat Adat pertama diselenggarakan di San Cris­tobal de las Casas. Dihadiri 1230 delegasi, yang terdiri dan 587 kelompok etnik Tzeltales, 330 Tzotiles, 152 Tojolabales, dan 151 Choles yang mewakili 327 komunitas. Tuntutan otonomi ini ber­pokokkan partisipasi masyarakat adat pada berbagai tingkatan dan bidang kehidupan: ekonomi, politik, budaya, dan proses‑pro­ses pengambilan keputusan formal negara. Zapatista, merupakan revitalisasi semangat Emilio Zapata (pahlawan petani Meksiko yang memperjuangkan reforma agraria di Meksiko di sepanjang masa revolusi 1910‑1917).

Ia adalah suatu gerakan bersenjata yang berperang melawan tentara dan pemerintahan federal dengan tujuan membuka ruang politik bagi masyarakat sipil agar mempunyai suatu momentum yang berjuang (1) mewujudkan harga diri masyarakat adat (ber­mula dari daerah‑daerah berbahasa Mayan Jzotzi‑, Tzettal‑, Tojo­labal‑, dan Chol‑ yang tinggal di negara bagian Chiapas) dalam tatanan negara‑bangsa Meksiko yang dinilai rasis; (2) menghenti­kan proyek neoliberal yang dimotori oleh perjanjian kerjasama perdagangan bebas antara pernerintahan Meksiko 'Amerika Seri­kat, dan Kanada melalui perjanjian NAFTA (North American Free Trade Area) yang mengakibatkan penyingkiran petani dan degra­dasi pedesaan; dan (3) membangkitkan inspirasi masyarakat sipil di Meksiko untuk membentuk suatu koalisi nasional menentang otoritarianisme partai yang berkuasa lama sekali, Institutiona­lized Revolutionary Party (PRI) dan mengembangkan demokrasi akar rumput.

Perlawanan masyarakat adat di Chiapas, menurut Luis Her­nandez Navaro, hanya merupakan 'puncak dari sebuah gunung es'. Dalam realitas sosial‑politik Meksiko yang lebih luas perlawa­nan masyarakat adat itu jauh lebih banyak lagi daripada yang telah diketahui publik secara internasional. Bahkan, sebagaimana diinformasikan Dr. Salomon Nahmad, ada gerakan yang sudah tidak mau lagi masuk dan/atau menggunakan saluran perunding­an untuk menyelesaikan masalah‑masalah yang menjadi tuntutan perjuangannya, yakni gerakan Maois di Oaxaca.

Menurut Lynn Stephen, perjuangan hak‑hak masyarakat adat dan penentuan nasib sendiri di Meksiko melibatkan empat arena kunci: (i) pengalaman lapangan pangan dalam hal otonorni baik secara historis maupun yang sekarang ini; (2) penandatanganan Per­janjian San Andres mengenai Hak‑hak dan Budaya Masyarakat Adat dan Implementasinya; (3) penciptaan dan penguatan gerak­an nasional untuk otonorni masyarakat adat di Meksiko dan be­ragarn interpretasi otonomi dan penentuan nasib sendiri; dan (4) pendefinisian kembali hubungan antara masyarakat adat dan ne­gara Meksiko jauh dari fokus sejarah indigenismo, dengan asindigenismo dengan asimi­lasi sebagai fokusnya.

"Masalah masyarakat adat telah menjadi pusat agenda politik negeri ini," demikian tutur Luis Hernandez Navarro. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa gerakan masyarakat adat pada dasarnya merupakan respon masyarakat adat atas kebijakan pernbangunan pernerintahan Meksiko yang anti desa dan anti pertanian. Asumsi kebijakan itu adalah pertanian rakyat di Meksiko tidak dapat di­andalkan, maka harus diupayakan mengurangi jumlah petani. Karenanya negara Iebih baik melakukan investasi di kota ketimbang di desa. Anggaran negara untuk daerah pedesaan dipotong, dan kelembagaan pemerintahan untuk mendukung desa dimerosot­kan andilnya. Kalaupun ada upaya pengembangan sektor pertani­an, seiring derap liberalisasi ekonomi, maka dukungan diberikan pada usaha‑usaha pertanian skala besar. Biasanya untuk meng­hasilkan komoditi ekspor, seperti bunga, buah‑buahan, dan ter­nak. Padahal inti ekonomi pedesaan adalah jagung. Liberalisasi ekonomi telah menyingkirkan petani jagung, juga petani kacang dan gandum. Petani dan peternak menengah juga bangkrut.

Semula, lanjut Navarro, "Gerakan masyarakat adat lebih se­bagai gerakan etis, sebagai respon atas hilangnya identitas diri masyarakat adat dan dampak liberalisasi ekonorni." Belakangan baru berkernbang menjadi political ethnical movement. Pada ta­hap ini identitas budaya (etnik) menjadi basis perjuangan rakyat yang tertindas itu. Gerakan politik‑etnik masyarakat adat ini mernbuat gerakan petani (yang mulai mernudar daya ubahnya, padahal punya akar sejarah yang panjang) menemukan kembali susunan saraf dan rohnya pada gerakan identitas etnik ini. Demikianlah, andil perlawanan Zapatista, sehingga kelompok‑kelom­pok petani‑petani masyarakat adat di seluruh negeri terus meng­ikuti kepimpinan ide Zapatista. Mereka mengemukakan tuntutan ideologis bahwa Meksiko adalah negeri mestizo dan Indian yang hidup dalam gelimang fakta‑fakta eksploitasi pedesaan dan marginalisasi.

Sebenarnya, gerakan Zapatista, dengan ragam caranya me­nandai kebangkitan (kembali) gerakan rakyat Meksiko bingga gerakan sosial baru di Dunia Ketiga. Gerakan Zapatista adalah pertama‑tama bukan gerakan berbasis partai, tapi gerakan popu­lis untuk menjalankan agenda masyarakat sipil secara eksplisit. Meskipun berangkat dari realitas derita masyarakat adat, namun gerakan Zapatista menyuarakan tuntutan masyarakat sipil umum­nya atas kendali negara. Ia bukan hanya membangkitkan kelom­pok‑kelompok perjuangan hak‑hak masyarakat adat, tapijuga ke­lompok‑kelompok prodemokrasi, pembaruan hukum, kesetaraan gender, pembaruan/reforma agraria, dan hak‑hak asasi manusia. Lebih lanjut, sebagai bentuk organisasi, gerakan Zapatista mem­bawa masuk sejumlah besar pendukung dalam proses‑proses dan/ atau upaya‑upaya perubahan itu: kelas menengah pada umum­nya; partai politik (oposisi); lembaga‑lembaga penelitian dan pen­didikan (termasuk guru‑guru); ilmuwan'independen'; aktivis‑ak­tivis 'individual' (non‑lembaga); LSM (baik nasional, propinsi, maupun lokal/distrik); organisasi massa (termasuk serikat buruh, serikat petani, serikat perempuan, d1l.); lembaga‑lembaga Masya­rakat Adat; komunitas; dan kelompok‑kelompok kepentingan lainnya.

Dengan demikian, suara perlawanan Zapatista melintasi fakta­fakta penderitaan lokal dengan membongkar akar‑akar penyebab­nya: kontradiksi di dalam sistem kapitalisme dunia yang muara­nya di Meksiko ini tidak dapat dibendung dan bahkan diperderas oleh Pemerintah Federal Meksiko. Inilah yang dihadapi langsung oleh dengan gerakan Zapatista. Gerakan Zapatista bukan saja me­nyatakan melakukan kebajikan revolusi ('tanah dan kemerdeka­an') dari nenek moyang republik itu, tetapi juga mereka meng­gunakan retorika pemerintah sendiri mengenai demokrasi, identi­tas budaya, partisipasi, dan hak asasi manusia sebagai senjata melawannya. Lebih lanjut, gerakan Zapatista telah membum­bung‑membahana, seperti banyak gerakan sosial baru (the new social movements) lainnya, melalui penggunakan simbol, media elektronik, bentuk‑bentuk baru dari aksi‑aksi kolektif dan organi­sasi gerakan sosial, dan koalisi masyarakat sipil lokal‑nasional­global yang melampaui kemampuan kendali negara atas gerakan­gerakan setempat. Dalam kalimatnya Gerrit Huizer, globalisasi dari atas ditandingi dengan globalisasi dari bawah dan keduanya adalah suatu proses yang dialektik.  

Arena Politik, Ekonomi, dan Budaya

Secara nasional, keIompok‑kelompok masyarakat sipil di se­luruh Meksiko biasa mengidentifikasi tiga arena perjuangan yang musti mereka terjuni secara simultan. Pertama adalah tidak ada­nya partisipasi dan demokrasi politik. Partai politik Meksiko yang dominan, Institutionalized Revolutionary Party, sudah berkuasa terus‑menerus selama hampir 70 tahun. Kedua adalah bahwa re­formasi ekonomi yang kompleks menyusul krisis ekonomi di ne­geri itu dan program penjaminan menimbulkan perubahan‑per­ubahan mendasar dan merugikan dalam tatanan sosial negeri itu. Terakhir adalah masalah pengembangan budaya politik demo­krasi di sebuah negeri yang tidak memiliki tradisi dan struktur dasar politik demokratis.

Dominasi PRI (Institutionalized Revolutionary Par­ty).

Cikal‑bakal partai yang kemudian menjadi PRI bermula pada tahun 1929. Sebagai partai politik, sesungguhnya partai ini di awal pendiriannya berjalan bersama dengan pemerintah. Tiga ciri PRI menjadi kuncinya. Pertama adalah bahwa sementara para presi­den hampir memiliki kekuasaan penuh selama periode 6 tahun memerintah, mereka tidak bisa lagi ikut dalam pemilihan presi­den untuk periode kedua dan segera setelah periode mereka ber­akhir, mereka diasingkan secara politik (misalnya Presiden Eche­verria yang sangat berkuasa langsung dijadikan duta besar untuk Guam setelah pemerintahannya berakhir). Jadi, pihak yang me­ngendalikan mesin politik negeri itu adalah partai, bukan orang tertentu.

Ciri kedua, adalah bahwa bagaimanapun semua organisasi Meksiko harus menjadi bagian dan PRI yang merupakanpartai­nya pernerintah. Petani harus menjadi bagian dan persatuan pe­tani yang diatur oleh pemerintah. Para pekerja menjadi bagian dan serikat pekerja yang sangat berkuasa yang dikendalikan pe­merintah. Oposisi terhadap PRI diperbolehkan, sebagian besar dalam bentuk partai sayap kanan yang tidak besar dan mewakili kepentingan orang‑orang kaya pengekspor barang dari Meksiko. Oposisi kecil itu tetap dipertahankan karena membuat PRI tam­pak moderat dan demokratis, yang juga dengan sendirinya mem­berikan alasan resmi untuk meningkatkan kendali negara.

Kendali PRI terhadap politik nasional Meksiko adalah menye­luruh, walaupun begitu. PRI selalu peduli dengan dukungan dari sektor‑sektor sosial yang strategis. Sebagian besar gerakan refor­ma/pembaruan agraria dan nasionalisasi perminyakan tahun 1930‑an telah membuat PRI memiliki basis massa dalam upaya menghadapi elit borjuis yang masih ada serta gereja Katolik. PRI menyelenggarakan upacara besar‑besaran dengan mengadakan pemilihan umum secara berkala yang sebenarnya sangat kotor. Namun, PRI tidak pernah menguasai total pedesaan.

Dalam bidang ekonomi, PRI mempertahankan kendalinya me­lalui politik stick and carrot (ancaman dan hadiah). Sepanjang 193o‑an dan 1940‑an, jutaan hektar tanah diambil alih dari pemi­lik tanah yang kaya dan diberikan kepada masyarakat petani da­lam bentuk'ejido'. Ejido adalah kepemilikan tanah bersama yang tidak bisa dijual. Politik di balik ejido adalah membentuk basis dukungan masyarakat pedesaan untuk pemerintah. Pada saat yang sama, ejido menjadi celaan para pengusaha dan birokrasi pro‑pemilikan pribadi karena dinilainya ejido menghalangi prakarsa individual untuk kemajuan produksi pertanian. Program besar lainnya meneakup program kesehatan dan jaminan sosial, subsidi bagi konsumen, serta pembentukan buruh pada industri­industri badan usaha milik pemerintah. Selain itu, terlihat jelas bahwa sebagian besar oposisi 'kiri' kelas menengah menerima beragam subsidi dari negara untuk memastikan bahwa protes sayap kiri tetap berada di kampus dan di majalah yang tidak ba­nyak dibaca orang.

Ancaman yang nyata juga ditunjukkan (walaupun jelas tampak bahwa PRI selalu memastikan tentaranya tidak besar dan jauh dari politik): para pemrotes pedesaan sering ditembak atau dipenjarakan, organisasi masyarakat disusupi dan dirusak, dan orang‑orang yang tidak setuju di kota dalam gerakan buruh dikendalikan melalui organisasi pekerja pernerintah yang sangat kuat dan kejam. Titik balik dalam sejarah Mek­siko seperti itu adalah kerusuhan mahasiswa dan pembu­nuhan massal tahun 1968, ketika untuk pertama kalinya tentara PRI secara terbuka menembak lebih dan 1000 ma­hasiswa. Meski kerusuhan di Tlatelolco itu tidaklah terlalu besar (lebih kecil dari pernbunuhan pemberontak pedesaan di konflik‑konflik lainnya), tetapi kenyataannya adalah bah­wa negara menyadarkan sebagian besar kelas menengah intelektual perkotaan dengan adanya kekerasan yang demi­kian terbuka itu. Akibatnya, para penggerak mahasiswa pa­da gilirannya sampai pada suatu tahap yang secara tiba­tiba menghentikan 'nyanyian dan tarian resmi' mereka: "love it but join it" (dengan PRI) dan memulai usaha rahasia di seluruh Mexico City dan juga di tempat‑tempat lain.

Muaranya adalah keretakan‑keretakan kendali PRI ter­hadap rakyat Meksiko yang muncul sepuluh tahun kemudi­an, yakni di awal 1980‑an, tidak lama setelah devaluasi be­sar pada akhir 1970‑an. Ketika itu, sebagian gubernur nega­ra bagian Utara jatuh kepada pihak oposisi dan sebagian lagi tetap dikuasai PRI (karena pemilihan yang kotor). Na­mun, tantangan kebanyakan datang dari sayap kanan, dan bukan sayap kiri. Baru ketika AS‑IMF (International Mone­tary Fund) menjadi penyedia paket uang yang memulai penghancuran subsidi negara pada pertanian pedesaan. Pada saat itulah gerakan‑gerakan orang miskin mulai me­lawan PRI. Pada tahun 1988, PRI hampir kalah dalam pe­milihan nasional, sekali lagi menang karena pemilu yang kotor sekali dalam proses pemilihan presiden baru (si kan­didat adalah anak presiden tahun 193o‑an yang telah mem­bagi‑bagikan tanah ejido dan menasionalisasi industri per­minyakan). Namun, kali ini PRI sangat lemah, dan protes besar‑besaran terhadap kebohongan pemilu pecah di se­luruh negeri. Perpaduan antara krisis ekonomi dan protes rakyat menyebabkan terjadinya keterbukaan politik secara terbatas. Di pemilu berikutnya, PRI sebenarnya kehilangan kendali terhadap Mexico City, sejumlah pemerintah negara bagian di utara, dan beberapa kotamadya, dan kota‑kota di seluruh negeri itu. Walaupun sejak saat itu PRI mulai pulih (karena pertengkaran di antara kaum oposisi) mitos PRI yang tak terkalahkan sudah hancur, seiring tumbuhnya organisasi masya­rakat sipil di Meksiko melawan kendali PRI.

Reformasi Ekonomi. Ekonomi Meksiko juga telah meng­alami sejumlah transformasi radikal. Sebelum krisis, sekitar 50% dari seluruh produksi nasional berada di tangan negara atau per­usahaan yang dikendalikan negara. Pasar‑pasar domestik sangat dilindungi di bawah kebijakan 'substitusi impor', dan baik efisien­si produksi maupun angka pertumbuhan ekonomi luar biasa ren­dah. Gagasan ekonomi Meksiko dengan hutang internasional yang luar biasa besar dimulai pada akhir tahun 1970‑an. Harga minyak yang tinggi dan ditemukannya cadangan minyak yang baru dalam jumlah besar ditemukan di bagian tenggara negeri itu, membuat banyak politisi yakin bahwa mereka leluasa dan aman memboros­kan kekayaan publik, memakai hari ini dan membayar kembali besok. Konsumsi meningkat gila‑gilaan, korupsi yang sudah ende­mik meledak, dan transaksi ekonomi tipa‑tipu banyak sekali ter­jadi sementara banjir uang spekulasi tumpah ke dalam negara itu. Ketika harga minyak terjerembab, demikian juga dengan pe­merintahan Meksiko. Kejatuhan Meksiko segera disusul oleh ke­jatuhan serupa di Brasil dan Argentina, yang memicu program restrukturisasi yang dikenal di seluruh Amerika Selatan sebagal 'dekade yang hilang' (sebenarnya seluruh sektor kesehatan, pen­didikan, dan indikator kesejahteraan lainnya jatuh). Baru pada tahun 1998 upah pekerja yang sebenarnya pulih sampai pada ting­kat seperti pada tahun 1974.

Reformasi ekonomi Meksiko diikuti dengan jalur yang sangat dikenal, yang masih ada kelanjutannya. Sebagian besar industri negara dijual atau ditutup; hanya industri perminyakan yang be­lum diprivatisasi yang tetap berdiri (dan sangat tidak efisien). Bursa efek dibuka. Ejidos dihapuskan pada awal 1900‑an. Be­ragam perjanjian, di antaranya NAFTA (North American Free Trade Agreement), dibuat untuk membuat Meksiko menjadi ne­gara dengan ekonomi yang berorientasi pada ekspor.

Presidennya sekarang ini sedang mendorong reformasi‑refor­masi ekonomi ini semaksimal mungkin, dan hal ini diperkuat oleh prestasi bahwa angka pertumbuhan ekonomi Meksiko yang baru itu memang tinggi. Agenda neoliberal untuk Meksiko (paling ti­dak seperti yang dikemukakan) bergantung pada integrasi pasar global, penghapusan subsidi dan proteksi pasar, dan mendorong mobilitas modal baik di dalam negeri maupun antara Meksiko dengan negara‑negara yang maju terutama Amerika dan Kanada. Sebagian besar subsidi pertanian dihapuskan, dan jaminan­jaminan sosial dan kesejahteraan dikurangi.

Hasil‑hasil dari perubahan‑perubahan ini menciptakan pihak yang menang dan pihak yang kalah. Para pemenang adalah indus­trialis bagian Utara dan kelas menengah kota yang jumlahnya te­rus meningkat. Pihak yang kalah adalah para produsen kecil, pe­kerja perusahaan milik negara, dan penduduk pertanian yang sebelumnya bergantung pada harga‑harga yang ditetapkan peme­rintah. Saat ini, Meksiko memiliki hampir 7 juta pekerja di Ameri­ka Serikat, banyak yang berasal dan masyarakat yang sangat mis­kin, yang pengiriman uang dari pekerja di luar itu mampu mem­buat seluruh penduduk desa bertahan.

Kelompok yang kalah lainnya kebanyakan adalah kelas mene­ngah tradisional Meksiko. Menyusul kebangkrutan ekonomi se­telab program paket hutang IMF, kelas menengah profesional dan pengusaha kecil‑yang telah berhutang dan menggadaikan harta­nya dengan keyakinan bahwa program reformasi betul‑betul akan membawa kesejahteraan bagi mereka‑membentuk gerakan unik yang disebut 'El Barzon', suatu kelompok yang diperuntukkan bagi prinsip bahwa mereka seharusnya tidak membayar utang yang meningkat luar biasa tinggi. Gerakan itu menjadi begitu po­puler dan efektif sehingga mengancam banyak bank nasional. Na­mun, hal yang membuat gerakan ini berarti adalah tuntutannya yang luas pada kelas menengah yang secara politik berpengaruh (dan biasanya reaksioner). Sejalan dengan itu, banyak manajer tingkat menengah di industri milik negara yang segera. diprivati­sasi menggencarkan suara politik mereka dan menyamakan pijak­an dengan gerakan pekerja dan petani yang beroposisi.

Dewasa ini, negeri itu semakin terpolarisasi dalam hal program ekonomi. Dukungan kuat untuk reformasi neoliberal tetap men­jadi kebijakan negara (dengan dukungan luas dari dunia inter­nasional) dan para industrialis di bagian Utara. Tetapi dengan semakin banyaknya orang Meksiko yang menyadari bahwa hal itu tidak banyak memajukan mereka sehingga kerjasama antar sektor dan kelas sosial bangkit di dunia politik.

Singkat kata, Meksiko adalah penerap ideologi pembangunan seutuhnya (lihat juga uraian‑uraian dalam bagian lain) yang lam satu dasawarsa terkahir ini dibungkus jargon baru yang disebut globalisasi. Ini semua dilaksanakan melalui domi­nasi partai (dictatorship party) PRI (sebelumnya PRM, dan sebelumnya lagi PNR) selama lebih dari 70 tahun belakang­an ini. Sentralisasi kekuasaan ini tercipta‑tepatnya dicip­takan‑terutama melalui (strategi) pengendalian penye­lenggaraan pemilu (yang kotor). Dalam iklim sistem kekua­saan yang demikian itu praktik‑praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) tumbuh subur; baik sebaga alat (men­capai tujuan) maupun sebagai akibat proses‑proses politik itu sendiri. Ini semua, pada akhirnya melahirkan semacam ketidakpercayaan rakyat pada politik, partai, politikus, dan pemerintah sebagai pihak yang akan memperjuangkan ke­sejahteraan rakyat, yang dalam satu dasawarsa terakhir menjadi basis perlawanan kelompok‑kelompok masyarakat sipil lainnya. Baik yang terwujud ke dalam 'perlawanan si­pil' maupun 'perlawanan bersenjata' dan kaitan keduanya.

Budaya Demokratik

Mungkin aspek yang paling su­lit digambarkan tetapi tidak kurang pentingnya dari per­juangan rakyat Meksiko adalah peran budaya dalam politik. Meksiko adalah wilayah yang ditaklukkan pada abad XVI dengan korban yang terburuk yang pernah disaksikan da­lam sejarah dunia. Populasi keseluruhan diperkirakan un­tuk pra‑penaklukan kerajaan Meksiko pada abad XVI ber­kisar antara 10‑15 juta orang. Seratus tahun kemudian populasi keseluruhan Meksiko jatuh sampai di bawah satu juta! Angka kematian orang lebih dari 90%, yang di dalam­nya adalah para penulis, pastur, filsuf, sejarawan, serta dok­ter‑dokter orang Meksiko. Juga hilang adalah kebanggaan dan identitas bangsa itu. Kolonialisme Spanyol mengubah wilayah kerajaan, dari bentangan pertanian menjadi jajaran tanah dan kota‑kota pertambangan. Hukum Spanyol me­lahirkan perbudakan dan menciptakan orang Indian se­bagai orang dengan sedikit hak dan sangat didiskriminasi.

Kemerdekaan Meksiko tahun 1821 tidak banyak meng­ubah gambaran ini. Abad XIX lebih banyak dikenal sebagai abad menghapus sisa‑sisa Indian Meksiko ketika sedang membentuk negara merdeka. Orang Indian adalah isyarat kemunduran. Hak‑hak orang Indian yang tinggal sedikit itu, masih juga hendak dihapus‑punahkan oleh Ker'ajaan dan Gereja supaya kelas atas Meksiko bisa mendapatkan akses ke tanah dan pekerja mereka. Haciendas (banyak yang dimiliki oleh Gereja) dan pabrik‑pabrik terus‑menerus mendesak orang Indian, melarang baik ekspresi fisik maupun budaya mereka guna menciptakan angkatan kerja yang murah dan modern.

Namun elit meminta terlalu banyak. Revolusi Meksiko mem­bawa banyak kaum miskin Meksiko kembali ke arena politik nasional. Proyek pembangunan negara yang baru memerlukan lambang pemersatu supaya negara yang sedang genting dapat menangkis serangan dari gereja dan orang kaya yang berorientasi Eropa. Meksiko sebenarnya telah menciptakan sejarah pra‑Spa­nyol yang gemilang, sesuatu yang hampir tidak ada kaitannya de­ngan masyarakat Indian miskin yang ditemukan pada saat ini. Adalah suatu cara yang baik untuk mengkonsolidasi kembali iden­titas budaya nasional: patung raja‑raja Aztec yang mati ditempat­kan di sudut‑sudut jalan, museum antropologi Meksiko dibangun untuk menggali kekayaan masa lalu, dan Meksiko menjadi negara Amerika Selatan pertama yang mendirikan lembaga masyarakat adat nasional.

Politik lambang adalah obsesi PRI. Aikon‑aikon revolusi men­jadi bagian dari ideologi negara: nama PRI sendiri adalah lam­bang; jalan‑jalan utama di Meksiko mendapatkan nama seperti 'Revolusioner'dan'Reforma'; Emiliano Zapata dan Pancho Villa, yang berjuang untuk rakyat petani miskin melawan penjajahan negara secara resmi menjadi pahlawan nasional. Gerakan rakyat dewasa ini mengambil keuntungan dari kontradiksi antara lambang‑lambang'revolusioner'itu dan praktik‑praktik reaksioner­nya. Banyak dari gerakan masyarakat adat tahun 1980‑an dan 1990‑an terdiri dari organisasi untuk kepentingan masyarakat yang menuntut bahwa negara harus memperlakukan mereka de­ngan rasa hormat dan adil seperti yang dicerminkan oleh lam­bang‑lambang negara itu sendiri.

Lalu Gerakan Masyarakat Sipil

Pilihan paradigma pembangunan yang ditempuh Meksiko te­lah mengantarkan negara itu sebagai negara dengan hutang luar negeri terbesar kedua di dunia. Situasi ini mengakibatkan negara itu dililit krisis ekonomi pada 1986, dan terulang kembali dengan skala dampak yang lebih kecil pada 1990. Upaya‑upaya penanggu­langan dampak krisis ini telah mengundang campur tangan luar negeri yang lebih luas, yang kemudian berpengaruh pula secara langsung pada persoalan‑persoalan yang berkaitan dengan ke­daulatan negara. Privatisasi badan‑badan usaha milik negara se­bagai salah satu upaya untuk keluar dari krisis ekonomi menye­babkan banyak kepemilikan badan‑badan usaha negara itu ber­pindah tangan ke pemodal‑pemodal swasta dan luar negeri.

Situasi tersebut di atas menyulut rasa tidak puas yang makin besar terhadap rezim penguasa negeri ini. Demonstrasi atau ber­bagai bentuk perlawanan lainnya atas kebijakan negara tersebut terus berlangsung hingga hari ini. Salah satu perlawanan anti pri­vatisasi dan anti modal asing yang masih berlangsung hingga hari ini, itu adalah aksi menentang rencana restrukturisasi dan privati­sasi CEMEX, badan usaha milik negara yang mengelola usaha per­tambangan minyak bumi di negeri itu. Salah satu kelompok pe­nentang kebijakan privatisasi yang cukup punya arti bagi peng­hambatan rencana dimaksud justru datang dari serikat pekerja manajemen tingkat menengah perusahaan itu sendiri, yang ber­koalisi dengan serikat‑serikat buruh dan tingkatan manajemen yang lebih rendah.

Pemerintah penguasa yang berdiri atas sistem pemilu yang me­mang telah diragukan rakyat kebenarannya pun makin kehilangan legitimasi politiknya. Untuk memperbaiki citranya, pada tahun iggo, partai penguasa (PRI), dan didukung PAN (NationalAction Party) didirikan tahun 193o‑an dan merupakan partai kanan yang digerakkan oleh para pastur katolik yang konservatif, para banker, dan konglomerat industri di bagian Utara Meksiko. Pada dasarnya mereka hendak membangun suatu sistem politik dua‑partai­mengajukan rancangan undang‑undang pemilu yang baru. Salah satu pembaruan yang kemudian mendorong proses‑proses refor­masi politik di Mexico adalah termuatnya dalam undang‑undang tentang pemilu yang baru itu amanat pembentukan Mexican Electoral Institute. Yaitu lembaga penyelenggara pemilu yang baru, yang secara teoretis independen, namun secara praktik tetap di bawah kendali partai berkuasa (PRI). Ini terjadi karena, meski di dalam lembaga itu duduk pihak‑pihak yang relatif independen sebagai penyelenggara pemilu, namun aspek‑aspek teknis pe­nyelenggaraan pemilu, seperti kegiatan pendaftaran pemilih, pe­ngiriman hasil pemilu di wilayah‑wiiayah pemilihan ke panitia negara bagian dan federal, tetap tergantung, tepatnya dikuasai oleh, birokrasi (yang dikuasa partai pemerintah PRI).

Di samping amanat pembentukan Mexican Electoral Institute yang teoretis independen namun secara teknis masih dikontrol aparat pemerintah, diamanatkan pula pernbentukan apa yang di­sebut sebagai General Council. General Council pada dasarnya adalah lembaga yang dimasudkan untuk mengontrol pelaksanaan pernilu yang bersih. Lembaga ini diisi oleh warga negara yang bu­kan anggota partai dan bukan pula anggota birokrasi pemerintah­an. Dalam praktiknya kebanyakan anggota lernbaga ini berasal dari perguruan tinggi (dosen‑dosen) dan lembaga‑lembaga pe­nelitian (peneliti). Ini terjadi baik untuk tingkat federal maupun di tingkat negara‑negara bagian.

Para anggota General Council ini, yang disebut Citizen Coun­cilor itu, tentunyajuga diharapkan independen. Bebas dari penga­ruh partai politik dan birokrasi pernerintahan. Meski begitu, pe­milihan anggota General Council ini harus pula disetujui oleh par­tai‑partai yang ada. Perangkat hukum pernilu yang baru in juga memandatkan pembentukan General Council dan pengangkatan Citizen Councilor itu di 32 negara bagian dan 300 wilayah pe­milihan.

Undang‑undang pemilu yang baru mendorong partisipasi masyarakat sipil untuk melakukan pengawasan penyelenggaraan pemilu agar menjadi lebih bersih dari masa‑masa sebelumnya. Inisiatif‑inisiatif berbagai kelompok masyarakat sipil untuk ter­libat dalarn memantau penyelenggaraan pemilu yang bersih pun bermunculan. Ini memicu Iahirnya apa yang disebut sebagai Civic Alliance, yaitu suatu organisasi koalisi dari berbagai organisasi masyarakat sipil dan individual yang sangat independen dan yang sangat aktif mensponsori kegiatan pemantau pemilu. Pada saat pemilu pertama di bawah undang‑undang pemilu yang baru ber­langsung pada tahun 1994 lalu, Civic Alliance marnpu mengkoor­dinasikan pemantau‑pemantau pemilu sebanyak 15000 orang. Pada hari pemilu CA berhasil melakukan pemantauan berdasar­kan teknik stratified sampling pada 2168 tempat pemilihan se­tempat (TPS) dan melalui sampel random pada 500 TPS13. Seperti juga lembaga‑lembaga penyelenggaraan dan pengawasan pernilu yang baru, Civic Alliance juga banyak dimotori oleh dosen‑dosen di perguruan tinggi dan peneliti‑peneliti dari berbagai lembaga penelitian.

Reformasi politik dan hukum, khususnya yang menyangkut penyelenggaraan pemilu yang lebih bersih, telah menghasilkan tatanan politik baru. Khususnya pada tingkat negara bagian dan municipio. Partai oposisi menang di beberapa negara bagian dan/ atau municipio. Ini dimungkinkan karena penyelenggaraan pemi­lu yang berorientasi pada keterbukaan politik dan desentralisasi dan terawasi secara lebih baik itu telah pula membuka ruang koa­lisi dan/atau aliansi‑aliansi antara partai‑partai politik oposisi dengan organisasi‑organisasi masyarakat sipil yang ada, baik yang berupa LSM, ormas, serikat‑serikat rakyat, maupun langsung de­ngan komunitas‑komunitas setempat.

Menguatnya perlawanan‑perlawanan rakyat yang telah ada le­bih dahulu. Dengan perubahan konfigurasi kekuasaan politik, ba­ik partai lama apalagi partai oposisi relatif berpihak pada agenda­agenda perjuangan masyarakat sipil ini, baik karena memang tu­juan partai maupun untuk mengambil hati pemilih bagi kepenti­ngan partai pada pemilu‑pemilu yang akan datang. Dua pelajaran dapat diperoleh dari dua negara bagian: Veracruz dan Oaxaca. Di Veracruz, khususnya di municipio Zaragoza, perubahan politik dan hukum sekitar penyelenggaraan pemilu melahirkan, me­mungkinkan, mendorong terjadinya aliansi taktis antara Comite de Defenza (semacam komite rakyat di tingkat municipio itu) de­ngan partai (oposisi). Ini adalah pilihan sadar organisasi pen­duduk itu untuk masuk (menguasai) organisasi pernerintahan for­mal. Pola ini kemudian menghasilkan sistern pernerintahan for­mal (melalui jalur partai politik) yang terkontrol dan bertang­gungjawab penuh pada Comite de Defenza. Akibat positifnya ada­lah, antara lain, dipahaminya alokasi dana pernbangunan di muni­cipio itu oleh warga. Ini terjadi karena kegiatan‑kegiatan pemba­ngunan memang ditentukan melalui rapat‑rapat yang melibat­kan warga yang diselenggarakan melalui Comite de Defenza.

Di Oaxaca, meski partai lama tetap menang dan berkuasa, na­mun untuk menjaga dukungan pemilih pada masa pernerintahan­nya maupun untuk meredam gejolak gerakan masyarakat adat yang meningkat sebagai hasil resonansi gerakan Zapatista di Chia­pas, pernerintah Oaxaca akhirnya harus merevisi konstitusi nega­ra bagian itu (1995). Momentum pokok yang mendasari per­ubahan politik di negara bagian Oaxaca adalah gerakan bersenjata dan pemberontakan petani masyarakat adat Maya di Chia­pas dengan pendudukan tiga buah kota, dua kota kecil yakni Margarita dan Ocosingo serta sebuah kota kolonial tua San Cristobal de las Casas. Tuntutan utama gerakan ini adalah pemulihan hak konstitusional rakyat untuk mengubah pe­merintahan. Negara bagian Oaxaca yang berbatasan lang­sung dengan Chiapaz segera meresponnya dengan suatu upaya perubahan konstitusi negara bagian yang salah satu­nya berimplikasi besar pada bentuk pemerintahan. Konsti­tusi baru tersebut pada hakikatnya menguntungkan posisi hak‑hak masyarakat di negara bagian bersangkutan. Salah satu keuntungan yang terpenting, berdasarkan konstitusi baru itu, adalah dilegalkannya sistem pemerintahan ber­dasarkan adat (Usos y costumbres) di tingkat municipio, yang memang telah berlangsung secara informal selama ini. Susunan pemerintahan negara bagian Oaxaca terbagi men­jadi dua unit, yaitu Pemerintahan Negara Bagian dan Peme­rintahan Municipio. Di Oaxaca terdapat 570 municipio yang merupakan 23% dari seluruh municipio yang ada di Meksiko.

Selain itu, dukungan pada kegiatan‑kegiatan revitalisasi adat di negara bagian itu juga jadi meningkat. Misalnya ke­giatan revitalisasi musik dan bahasa Mixe‑belakangan ber­kembang juga pada musik dan bahasa etnik lainnya‑yang diselenggarakan CECCAM. CECCAM (Centro de Estudios para Cambio en el Campo Mexicano) adalah suatu komite kerja yang diberi tugas melakukan studi kritis terhadap ke­cenderungan globalisasi. Selain itu dimungkinkan pula re­formasi sistem pendidikan‑baik organisasi maupun kuri­kulum‑yang peduli pada filsafat dan pengetahuan‑penge­tahuan adat di wilayah itu. Mulai dari sistem pendidikan tingkat dasar hingga pendidikan tinggi (belum terlaksana).

Munculnya bentuk‑bentuk dan isu perlawananan baru. Kecuali political‑ethnical movement sebagaimana telah di­jelaskandiatas,pelajarandapatjugadiambildari munculnya dan terlembaganya pembangkangan sipil, seperti yang terjadi dalam kasus 'himpunan pengemplang hutang' El Barzon. El Barzon yang pilihan namanya diambil dari lagu rakyat dari abad lalu yang menceritakan tentang pemilik hacienda yang memerangkap para peones (pekerja hacienda) dengan tanah seadanya dan makanan seadanya yang hanya cukup untuk hidup dan melanjutkan kerjanya di hacienda, semen­tara mereka berhutang pada pemilik hacienda. Seperti diterang­kan oleh pimpinan El Barzon pada tanggal 27 Maret 1998, koalisi ini dimulai dari masalah para kreditur bank yang terancam oleh naiknya persentase bunga hutang hingga 600% akibat reformasi perbankan, yang mendudukkan mereka sama seperti parapeones zaman dahulu. Mereka berhasil mengorganisir petani kreditur dalam suatu organisasi mandiri berskala nasional bernama El Barzon. Organisasi ini memperjuangkan pengemplangan hutang melalul jalur legal dan advokasi. Organisasi yang memiliki akses informasi dan koneksitas politik ke sejumlah lembaga legislatif dan yudikatif. Organisasi seperti El Barzon telah pula membuka kemungkinan bagi pengorganisasian kepentingan kaum profesio­nal dan pengusaha menengah ke bawah dan kecil serta promotor perjuangan hak‑hak sipil untuk kelas menengah kota dan desa. Dalam kegiatannya El Barzon mampu menghimpun anggota yang terikat pada 2 juta kasus perbankan. Dalarn kegiatannya, dengan pendekatan litigasi dan nonlitigasi, El Barzon yang berarti traktor itu mampu menyelesaikan (negosisasi penyelesaian hutang) 15.000 kasus.

Di samping dua pelajaran penting tersebut di atas, krisis eko­nomi yang diikuti dengan reformasi politik, ekonomi, dan hukum itu telah pula memunculkan strategi‑strategi perlawanan baru; alat‑alat kerja baru; serta mendorong terjadinya peningkatan dan reposisi para aktor yang peduli pada berbagai masalah yang telah disebutkan tadi, yang akan dijelaskan lebih lanjut dalam bagian­bagian berikut. Seperti tampak dalam uraian pada bagian bagian terdahulu, berbagai organisasi masyarakat sipil sudah sejak lama terlibat dalam upaya‑upaya dan gerakan‑gerakan perbaikan kon­disi kehidupan berbagai kelompok masyarakat di Meksiko. Bahkan, sebagaimana diinformasikan Luis Hernandez Navarro'14, sebelum perlawanan Zapatista memuncak, aktivis‑aktivis UNORCA (Union Nacional de Organiciones Regionales Campe­sinas Autonomas)‑yaitu federasi organisasi petani regional yang menjadi tulang punggung suatu koalisi internasional organisasi tani, buruh tani, dan masyarakat adat yang bernama La Via Campesina atau The Peasant Road‑turut serta secara. aktif dalam percepatan proses pengorganisasian rakyat di Chiapas, yang ke­mudian berkembang menjadi suatu gerakan perlawanan yang sa­ngat solid di lapangan. Perubahan‑perubahan politik yang dipicu oleh krisis ekonomi tahun 1986, betapapun, memang telah mendorong partisipasi kelompok‑kelompok masyarakat sipil yang lebih besar. Partisipasi ini boleh dikatakan makin membesar lagi semenjak terjadinya perubahan struktur kekuasaan, betapapun minimnya, sebagai akibat pernilihan umum yang lebih baik. Me­mang, perlu diakui, tidak diperoleh informasi kuantitatif untuk mendukung pernyataan ini. Namun, mengacu pada kasus per­lawanan Zapatista, menurut Luis Hernadez Navarro, San Andres penting bukan saja karena hasilnya, tetapi juga untuk cara yang belum pernah ditemukan sebelumnya tempat masyarakat sipil ikut serta di dalamnya di dalam proses. Negosiasi itu melibatkan sektor‑sektor yang luas dalam masyarakat, yang disebut perhatian nasional dan internasional kepada isu masyarakat adat dan mengenalkan cara‑cara baru dalam berpolitik.

... pada gilirannya, ia menjadi aikon gerakan sosial baru. ***