Tinjauan Buku: Gerakan Buruh Paska Pemberantasan Pemberontakan Gagal


Termuat dalam Warta Kota 18 Mei 2015, dan dapat dilihat pada situs https://wartakota.tribunnews.com/2015/05/18/gerakan-buruh-paska-pemberontakan-yang-gagal 

Noer Fauzi Rachman

 

Judul               : Buruh, Serikat dan Politik, Indonesia pada 1920an – 1930an 

Penulis           : John Ingleson

Penerbit         : Marjin Kiri 

Cetakan          : 1, 2015

Tebal              : 521 +xx  halaman

ISBN                : 978-979-1260-44-2 


Kekaguman kita pada sejarawan banyak dihubungkan dengan kemampuannya menghadirkan cerita tentang suatu kejadian, pelaku, situasi, semangat, gagasan atau kondisi material di suatu masa lampau. Pahit getir ketekunan para peneliti sejarah mengumpulkan sumber-sumber sejarah hingga merekonstruksinya menjadi cerita itu, yang biasanya jarang terlihat, terbayar impas ketika ia mengetahui pembaca dapat menikmati cerita yang dihadirkannya itu, termasuk untuk memberinya inspirasi, cara pandang, dan kemampuan memberi makna atas situasi saat ini.  

Para aktivis perburuhan, para mahasiswa yang sedang studi gerakan sosial, dan publik umum pencinta sejarah, tidak akan menyesal membeli buku penting karya baru dari John Ingleson ini. Membaca buku ini bakal menciptakan rasa puas, syukur dan kagum. Pembaca akan merasa diistimewakan oleh layanan sejarawan Indonesianist kelas wahid yang meneliti politik dan gerakan perburuhan Indonesia, dan penerjemah terampil, Andi Achdian, yang juga adalah sejarawan, serta kerja prima dari penerbit Marjin Kiri

Membaca naskah ini membuat kita masuk dalam alur cerita dan melihat peristiwa-peristiwa mengalir, dari satu adegan ke adegan berikutnya dalam panggung sejarah bangsa paska pemberontakan gagal Partai Komunis Indonesia (PKI) 1926 hingga sebelum pemerintah pendudukan militer Jepang pada Maret 1942. Buku ini terjemahan dari Workers, Unions and Politics: Indonesia in the 1920s and 1930s (terbit tahun 2014), dan merupakan lanjutan dari buku In Search of Justice: Workers and Unions in Colonial Java, 1900-1926 (terbit tahun 1986). Fragmen dari karya utuh itu sudah dipublikasi di berbagai artikel dalam dua buku lainnyaTangan dan Kaki Terikat: Dinamika Buruh, Sarekat Buruh dan Perkotaan Masa Kolonial (2004), dan Perkotaan, Masalah Sosial, dan Perburuhan di Jawa Masa Kolonial (2013) – yang keduanya diterbitkan oleh Komunitas Bambu.

Pemberontakan gagal PKI 1926 berakibat merosotnya militansi dari para pemimpin serikat buruh. Tindakan represif pemerintah kolonial Hindia Belanda terhadap PKI dan serikat-serikat buruh di hingga awal tahun 1927 menimbulkan gelombang ketakutan.  Kehidupan gerakan buruh di serikat-serikat berikutnya praktis tanpa pemogokan dan gejolak. Namun, alih-alih kemudian menjadi mati di saat Depresi besar melanda semua penduduk di Hindia Belanda 1930an, malahan setelah di zaman sulit itu berlalu justru lahir tokoh-tokoh baru. Ceritanya dimulai dengan andil orang-orang seperti Raden Panji Suroso, memulai aktivismenya di gerakan perburuhan menjadi ketua Serikat Buruh Pegawai Pribumi Departemen Pekerjaan Umum cabang Probolinggo di tahun  1914 hingga menjadi pimpinan Persatuan Vakbond Pegawei Neneri (PVPN); si Raja Mogok, Suryopranoto yang menjadi pimpinan Serikat Buruh Pabrik Gula (PFB)  1930, hingga pimpinan serikat-serikat buruh yang beranggota luas termasuk Hindromartono dari Batavia, Djoko Said dari Bandung dan Ruslan Wongso dari Surabaya. 

            Sejak itu zaman itu menjadi Zaman Bergerak, yang ditandai bangkitnya kembali kehidupan partai-partai nasional,  elite-elite nasional yang hadir dan berperan di Volksraad, suatu pseudo dewan perwakilan rakyat di Hindia Belanda, ragam barang cetakan seperti koran, majalah, dan pamphlet,  hingga pertemuan-pertemuan umum dimana pidato-pidato yang berisi kritik dan anjuran yang membakar gelora massa. Pembaca disajikan di lembar demi lembar buku itu: situs demi situs, pelaku satu ke pelaku lainnya, wilayah satu ke wilayah lainnya, hingga cara bagaimana isu satu ke isu lainnya dikedepankan, termasuk hak-hak buruh untuk memperoleh jam kerja yang layak, kesehatan, upah minimum, penggajian dan perpajakan yang adil, lamanya waktu lembur, jatah dana pensiun, jaminan tempat tinggal yang nyaman, dan akses untuk pendidikan anak. 

Selain diajak diajak memahami pentingannya gerakan buruh,  di “Zaman Bergerak” 1926-1942 ini, kita diajak melihat “kawah candra dimuka” dari para elite pemimpin politik yang kemudian berkiprah di masa paska proklamasi Kemerdekaan 1945: dari Wakil Presiden Muhammad Hatta, Sjahrir, Sukiman, S.K. Trimurti, Suroso, Hindromartono, Muhammas Jusuf, Suprapto, dan lainnya.  Mereka menjadi trampil berpolitik setelah ditempa dalam lebih 25 tahun gerakan buruh. Meski “bersatu karena menghadapi musuh bersama”, dan “bertengkar setelah musuh bersama menghilang” sudah jadi pepatah yang umum diketahui, tetapi maknanya menjadi terasa sungguh mendalam setelah membaca lebih 500 halaman bagaimana andil gerakan buruh sebelum masa kemerdekaan bagi kelahiran elite pemimpin politik paska-kemerdekaan. Perbedaan garis politik, cita-cita kemasyarakatan, dan orientasi ideologis semakin kentara setelah posisi-posisi di pemerintahan Negara yang baru merdeka menjadi arena perebutan.  

Gerakan buruh adalah sumber utama dari elite kepemimpinan nasional, sesuatu yang mungkin tidak ada lagi di zaman sekarang ini. Mestinya, setelah membaca cerita-cerita luar biasa dari “Zaman Bergerak  1926-1942” ini, kita bisa bertanya apa yang membuat kita tidak lagi menemukan adanya jalur dari gerakan buruh ke elite kepemimpinan nasional seperti dulu lagi. Saat ini, boleh dikata sangat sedikit elite nasional yang memiliki perspektif politik perjuangan yang didasari pengalaman gerakan kaum buruh (dan juga dari perjuangan agraria kaum petani). 

Hubungan antara serikat-serikat buruh dengan partai-partai politik sepertinya bersitegang terus-menerus. Mereka yang berjarak dengan partai politik dan meyakini bahwa perjuangan serikat buruh  adalah untuk peningkatan kesejahteraan (istilahnya serikat buruh berorientasi ekonomisme), berhadapan dengan mereka yang ingin membesarkan partai-partai dengan membangun kekuatan massa melalui serikat buruh. Yang terkahir ini biasanya disebut serikat buruh yang berorientasi politik (political trade union).  Tentulah  partai politik bekerja untuk memenuhi kepentingan bisa menang pemilu dan berkuasa dengan menempatkan orang dalam parlemen hingga pucuk pemerintahan pusat dan daerah. Para pemimpin serikat buruh yang bergabung dalam barisan partai politik meyakini bahwa  ketika ada pemimpin politik yang berasal dari serikat-serikat buruh, maka ia bisa mempromosikan dan menjaga agar kebijakan-kebijakan pemerintah  agar menguntungkan kepentingan kesejahteraan buruh. Sementara itu, kritik dari kubu serikat buruh yang berorientasi kesejahteraan adalah bahwa serikat buruh sering kali cuma sekedar dijadikan konstituen ketika pemilihan umum, atau dimobilisasi untuk tujuan menyokong atau mendestabilisasi pemerintahan yang berkuasa.  

Pertentangan antara perjuangan ekonomisme dari serikat buruh, dan masalah pragmatisme dalam serikat buruh yang politis, akan terus mengisi dinamika gerakan buruh. Demikian pula pertarungan antara serikat-serikat buruh yang  itu sendiri yang berbeda partai politiknya. Siapakah yang meneliti masalah ini sekarang?  


*) Noer Fauzi RachmanPhD., adalah peneliti utama di Sajogyo Institute untuk Dokumentasi dan Studi-studi Agraria Indonesia, dan pengajar mata kuliah Politik dan Gerakan Agraria, di program Studi Sosiologi Pedesaan, Institute Pertanian Bogor (IPB).

 

Dari Mollo untuk Indonesia


Dimuat sebagai Pengantar dalam untuk buku Siti Maimunah (2015) Mollo, Pembangunan dan Perubahan Iklim. Upaya Rakyat Memulihkan Alam yang Rusak. Jakarta: Gramedia.

 

Noer Fauzi Rachman[1]

Ingatan saya pada Mollo adalah bentang alam dimana kuda-kuda "dipelihara secara liar". Istilah “dipelihara secara liar” menunjuk pada suatu cara beternak yang khusus sehubungan dengan ekosistem savana: kuda-kuda ditandai khusus, suatu tanda kepemilikan pada bagian tertentu di tubuhnya, lalu mereka dilepas di alam liar, dan ditangkap saat dibutuhkan. Cara mereka menangkap pun unik. Salah satunya saya pernah dipertunjukkan oleh Petrus Almet, seorang tetua adat disana, ia melakukan penangkapan itu dengan cara memanggil mereka. Ia naik ke bukit kapur dan berdiri di atas tempat yang tinggi melihat bentang savana itu, dan saatnya tiba, lantunan suara melengking keluar dari mulutnya untuk memanggil kuda-kudanya. Antara dirinya dan kuda-kuda itu bagaikan telah ada suatu tali ikatan seperti seseorang dipanggil namanya, lalu menengok dan menghampiri si pemanggil. Inilah penanda keintiman manusia dengan alam yang sekaligus penanda tautan sebuah kepemilikan. 

Ingatan saya pada Mollo juga pada suatu babak perlawanan penduduk, tengah tahun 1997 hingga tumbangnya rejim Suharto di bulan Mei 1998, terhadap perusahaan nasional kehutanan, Perhutani[2], yang memagari tanah pengembalaan, savana, mereka untuk dijadikan bagian kawasan hutan tanaman industri (HTI), yang sesungguhnya adalah perkebunan kayu eukaliptus. Pemagaran ini dilakukan secara paksa dan tanpa ijin mereka sebagai empunya savana itu. Dalam administrasi kehutanan, savana itu merupakan bagian dari kawasan hutan negara, dan atas dasar kategorisasi ini Menteri Kehutanan mengunakan kewenangan legalnya untuk mengeluarkan lisensi (disebut: ijin) pemanfaatan hutan Negara itu untuk perusahaan-perusahaan yang akan melakukan akumulasi kekayaan. Setelah savana itu dipagari oleh Perhutani, sapi-sapi itu tak lagi bisa menikmati rerumputan di wilayah yang telah dipagari, dan lambat laun menjadi kelaparan. Selain itu, sejumlah penduduk tak lagi dapat membuat ladang untuk pertanian jagung dan sayur mayur pada tempat-tempat tertentu yang agak subur di savana itu. Kematian sejumlah sapi dan kesulitan akses atas tanah untuk pertanian membuat penduduk marah dan melawan sedemikian rupa hingga bisa merobohkan pagar itu secara keseluruhan. Keberhasilan mereka mengusir Perhutani dari wilayah mereka tidak lepas dari momentum jatuhnya rejim otoritarian Suharto, dan kerja jaringan gerakan rakyat yang didukung oleh aktivis-aktivis agraria. 

Sebagai salah satu pemimpin dari para aktivis agraria dalam organisasi jaringan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), saya terus belajar dengan terlibat langsung dalam konflik-konflik agraria di seantero pelosok Nusantara, termasuk di Mollo. Kasus-kasus konflik agraria membimbing saya mengerti lebih baik masalah perebutan tanah dan sumber daya alam yang menjadi pokok kehidupan rakyat. Rakyat Mollo bergerak melawan Perhutani itu dengan alasan yang sangat fundamental bahwa savana itu adalah kepunyaan mereka, dan perusahaan kehutanan itu mengabaikan mereka sebagai pemilik, dan menghentikan akses mereka atas tanah yang berakibat menurunkan kesejahteraan mereka secara drastis.

Semua pelajar sejarah politik agraria di negeri-negeri terjajah menyadari sepenuhnya bagaimana kontrol atas tanah, tenaga kerja dan spesies merupakan salah satu soko guru dari kolonialisme. Suatu sistem produksi kapitalistik kolonial hanya bisa dibangun di atas dasar hubungan kepemilikan yang baru. Yang terlebih dahulu harus dilakukan penguasa kolonial adalah operasi pemisahan hubungan kepemilikan rakyat dengan tanah airnya. Sistem produksi kapitalistik ini sesungguhnya membutuhkan kekuasaan negara yang berwatak kolonial untuk menciptakan hubungan kepemilikan yang baru itu, dengan terlebih dahulu merusak hubungan kepemilikan yang telah melekat pada tanah dan sumber daya alam itu. Negara lah yang melakukan “operasi bedah”, termasuk dengan  menggunakan peraturan-peraturan perundang-undangan yang melepaskan “ikatan nyawa” antara rakyat dengan tanah airnya, dan menjadikan tanah air itu sekedar sebagai sumber daya untuk produksi komoditas yang menghasilkan kekayaan bagi perusahaan-perusahaan itu.

Tiga mekanisme dasar politik agraria yang memungkinkan perampasan tanah dan sumber daya alam kepunyaan rakyat itu, yakni: negarai-sasi, penyangkalan dan kriminalisasi. Tanah air rakyat dikategorikan sebagai tanah/hutan milik negara. Kemudian, dengan memberikan lisensi-lisensi untuk perusahaan-perusahaan, pemerintah sekaligus menyangkal status rakyat sebagai pemilik tanah airnya itu. Pada gilirannya, sejumlah pemimpin dan warga dikriminalkan dan aksesnya atas tanah air itu dianggap ilegal.Tiga mekanisme di atas, yakni negarai-sasi, penyangkalan dan kriminalisasi, merupakan warisan kebiasaan praktek kelembagaan politik agraria kolonial semenjak Undang-undang Kehutanan 1865 dan Undang-undang Agraria 1870, yang ironisnya terus berlanjut hingga sekarang.  

Rakyat yang tadinya hidup lekat dengan alam itu (baik sebagai empunya, penjaga dan pemelihara, atau petani penggarap dan pengumpul hasil hutan, atau mereka yang hidup sebagai penghuni itu) dilepaskan hubungan kepemilikannya, dan pada gilirannya kemudian dihempaskan keluar dari kampung halamannya menjadi pengangguran yang hidup hanya mengandalkan tenaga saja. Bahkan, kemudian mereka sendiri pun sekedar diperlakukan sebagai barang dagangan, dan bersama barang dagangan lainnya, bersirkulasi bergantung pada bagaimana pasar itu bekerja, termasuk dengan membawanya menjadi bagian dari pasar dunia. Ini adalah bagian pembentuk proses yang disebut oleh Karl Marx dengan istilah primitive accumulation.[3]

Setelah mereka tidak dianggap layak sebagai penyandang hak atas tanah airnya itu, mereka pun dianggap tidak cukup memadai untuk dipekerjakan dalam industri-industri yang mereka bangun. Karenanya, setelah mereka dilepaskan hubungannya dengan tanah, mereka pun dihempaskan, dan dibiarkan sengsara dan mengurus dirinya sendiri hingga mati.  Ini lah suatu bentuk letting die policy (kebijakan pemerintah membiarkan rakyatnya mati), suatu bentuk baru rasisme, yang oleh dari yang Michel Foucault disebut sebagai state racism.[4]

Para pelajar sejarah politik agraria biasanya mahfum bila pemerintah kolonial yang melakukan hal demikian itu, sebab mereka tak lain dan tak bukan adalah penguasa dan sekaligus pengumpul keuntungan dengan cara melindungi dan menyuburkan perusahaan-perusahaan itu dan mereka tidak pernah memikirkan yang dijajah. Namun, sungguh ironis, bila pemerintah Indonesia memperlakukan alam dan manusia Indonesia sebagaimana pemerintahan kolonial memperlakukannya. Inikah yang disebut oleh Presiden Soekarno sebagai bentuk-bentuk baru kolonialisme? Negara paska-kolonial gagal mendekonstruksi referensinya tetapi malah melanjutkan cara pandang, doktrin-doktrin, dan praktek-praktek kolonial. 

Lebih lanjut, selain masih dilanjutkannya pola-pola lama komodifikasi alam dan manusia yang berwatak kolonial, bertumbuhan ragam praktek yang sangat kreatif sehubungan dengan motif-motif hingga teknologi neoliberalisasi yang mampu membuat komodifikasi alam dan manusia itu menjadi sesuatu yang dapat diterima, alamiah dan dianggap sudah seharusnya demikian. Sesungguhnya komodifikasi alam dan manusia itu bertentangan dengan kodrat manusia, dan karenanya kita menyaksikan hegemoni kekuatan pasar itu tidak bisa sempurna dan komplet, karena perlawanan terhadap gerakan pasar itu ada di sana-sini – ini disebut perlawanan Polanyian.[5]

Banyak rakyat Indonesia harus berjuang sendiri menghadapi praktek-praktek komodifikasi alam dan manusia yang dilakukan proyek-proyek dari perusahaan-perusahaan, lembaga-lembaga pemerintah paska-kolonial, maupun badan-badan internasional itu. Hanya sedikit saja dari perlawanan-perlawanan itu yang bisa didampingi oleh para aktivis gerakan, dan memberikan fasilitas dan dukungan jaringan dan sumber daya kepada para pemimpin rakyat yang sedang berjuang menghadapi komodifikasi itu dalam konteks iklim yang berubah. Dalam konteks ini, membaca buku karya Maimunah “Mollo, Pembangunan dan Perubahan Iklim” sungguh membuat saya terharu. Hanya sedikit saja kalangan aktivis yang benar-benar tekun, berdedikasi, dan cakap menghasilkan karya-karya etnografis seperti ini. 

Saya merasa terhormat dan diistimewakan bisa terlebih dahulu membaca naskah ini dan menuliskan sejumlah kata-kata penghargaan. Di tangan Maimuniah, etnografi bukan sekedar strategi penelitian yang melibatkan aneka ragam teknik mulai dari obervasi, partisipasi, wawancara, percakapan, mengumpulkan dan membaca arsip-arsip. Maimunah menunjukkan etnografi adalah suatu bentuk politik keterlibatan (political engagement) yang terus-menerus saling belajar bersama dengan Mama Aleta Baun dan rakyat Mollo lainnya yang hidup memperjuangkan tanah-airnya. Rakyat Mollo memang terus memperjuangkan tanah air mereka dan menantang dan menentang komodifikasi alam. Namun lebih dari itu, saya mengerti bahwa yang ditampilkan oleh rakyat Mollo adalah perjuangan tanah air dalam arti kedaulatan rakyat atas tanah air mereka. Ini adalah tindakan recommoning, yakni merebut dan membentuk kembali penguasaan kolektif atas suatu wilayah kepemilikan bersama menghadapi kekuatan-kekuatan yang bekerja untuk proyek-proyek komodifikasi alam.

Di tangan Maimunah dan kawan-kawannya, etnografi yang berfungsi kritik juga menjadi proyek estetik indah. Etnografi juga adalah suatu siasat untuk mempengaruhi melalui sajian yang indah, yang meliputi penulisan, visualisasi, dan penceritaan. The politic and poetic of ethnography tersaji dengan pas pada buku ini. Buku ini adalah sajian etnografis yang indah sebagai taktik untuk mengajak pembaca berempati sehingga bisa ikut serta melebur dalam dan ikut mendukung klaim bahwa tindakan perlawanan rakyat sungguh dapat dijadikan sebagai tanda dari kesalahan dan kegagalan komodifikasi alam dan manusia. Saya bersaksi menikmatinya dari kover hingga halaman terakhir. Kata sambutan ini berjudul "Dari Mollo untuk Indonesia"; sesungguhnya dapat pula dijuduli "Dari Maimunah untuk Indonesia". 

Kaum terdidik di Indonesia musti berterima kasih pada Maimunah yang telah memberikan suatu contoh yang dapat diteladani bagaimana pengetahuan mengenai kehidupan rakyat dihasilkan dari kerja sehari-hari sebagai aktivis, dan kemudian kritik disajikan secara indah dan menohok. Karenanya, saya sangat menganjurkan pembaca meluangkan secara khusus waktu untuk membaca tulisan ini secara seksama, menikmatinya dari awal sampai akhir. Buku ini layak diperlakukan demikian. Keindahan dan kepentingan klaim yang disajikan secara terpadu dan dapat dinikmati sebagai metode pengingat atas keperluan akan  membangun rasa senasib, sepenanggungan, dan setujuan. 

Karya Maimunah ini adalah suatu cerita/narasi tandingan dan sekaligus teguran untuk siapapun yang bekerja di pemerintahan, mereka yang mengurusi proyek-proyek pembangunan, dan mereka yang beekrja di perusahaan-perusahaan. Janganlah mengkomodifikasi alam dan tenaga kerja dengan mempromosikan pembentukan sistem produksi kapitalis sebagai jalan kemajuan yang membelah antara mayoritas rakyat yang akan dihempaskan dengan segelintir mereka yang terus-menerus menumpuk-numpuk kekayaan. Buku ini sesungguhnya adalah suatu panggilan untuk keberanian dan kecerdasan kita mengusahakan upaya emansipasi menghilangkan kekangan-kekangan rakyat untuk mengaktualisasikan dirinya dan sekaligus meningkatkan kapasitas dan kapabilitas rakyat serta sekaligus kesempatan belajar memulihkan krisis sosial ekologis yang dihadapinya.

Selamat menikmati.

 

Minneapolis, Minnesota, 19 Februari 2015

 



[1] Noer Fauzi Rachman, PhD., adalah Direktur Eksekutif Sajogyo Institute untuk Dokumentasi dan Studi Agraria Indonesia. Pengajar Mata Kuliah “Politik dan Gerakan Agraria”, Program S2 Sosiologi Pedesaan, Institute Pertanian Bogor; dan Penulis buku Land Reform dari Masa Ke Masa. Perjalanan Kebijakan Pertanahan Indonesia 1945-2012. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, 2013.

[2] Perhutani adalah suatu perusahaan milik pemerintah berbentuk perum, yang merupakan penguasa wilayah hutan yang menguasai lebih dari sepertiga wilayah pulau Jawa. Sejarah keberadaannya sebagai suatu sistem agraria, dan penguasaannya atas tenaga kerja, tanah, dan spesies kayu jati, serta perlawanan penduduk terhadap dominasi itu, bisa dipelajari dari karya Nancy Peluso 1992 Rich Forests, Poor People: Resource Control and Resistance in Java. Berkeley: University of California Press. Terjemahannya dilakukan oleh Landung Simatupang, Nancy Peluso 2006 Hutan Kaya, Rakyat Melarat. Penguasaan Sumberdaya dan Perlawanan di jawa. Yogyakarta: Komphalindo. 

[3] Lihat: Karl Marx (1967) Capital.  Vol. l, Part 8, Chapter26, "The Secret of Primitive Accumulation."

[4] Michel Foucault (1997) Society Must Be Defended: Lectures at the Collège de France, 1975-1976. New York: New Press.

[5] Polanyian adalah suatu istilah yang mencerminkan teori Karl Polanyi bahwa masyarakat akan melancarkan gerakan perlawanan untuk melindungi diri dari komdifikasi alam dan tenaga kerja. Lihat Karl Polanyi (1944) Great TransformationThe Political and Economic Origins of Our Time. Boston: Beacon Press.

Mempelajari Contoh Gerakan Sosial, Suatu Panduan Fasilitasi

 


Noer Fauzi Rachman

PENGANTAR

Para aktivis pemula sesungguhnya bukanlah seorang pemulai. Para senior mereka telah terlebih dahulu merintis, mengembangkan bahkan memapankan berbagai pengetahuan, metodologi, arena kerja, organisasi maupun alat-alat kerja andalan, yang dapat dipelajari aktivis pemula. Namun bukan berarti si aktivis pemula sekedar pelanjut belaka. Ia dapat bekerja secara kreatif atas dasar berbagai hal yang diwariskan para pendahulunya. Bahkan bukan tidak mungkin justru memperbaharui yang pernah dibuat pendahulunya.Tidak dapat disangkal bahwa untuk melakukan hal itu semua, para aktivis pemula wajib terlebih dahulu memahami apa yang sesungguhnya telah dirintis, dikembangkan bahkan dimapankan oleh para senior pendahulunya. Pendidikan bagi aktivis pemula harus terlebih dahulu memberikan kesempatan untuk mengenali, memeriksa hingga menilai keberadaan, kepeloporan dan andil para aktivis senior, baik yang menjadi  pemimpin organisasi gerakan, petugas garis depan kampanye, atau yang berada dalam barisan sistem pendukung gerakan.

Internalisasi adalah salah satu dari tiga proses utama yang harus dikenali oleh para fasilitator/pendidik, yakni internalisasi, eksternalisasi dan objektivasi – sebagaimana dikemukakan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman (1966) The Social Construction of Reality, A Treatise in the Sociologi of Knowledge, (telah diterjemahkan oleh Hasan Basari ke bahasa Indonesia menjadi Tafsir Sosial atas Kenyataan, Jakarta: LP3ES 1990).  Internalisasi adalah suatu proses bagaimana dunia eksternal yang objektif itu menjadi ke dalam dunia internal yang subjektif. Dalam konteks pendidikan, menetapnya modelyang dianut seseorang merupakan awal dari keberhasilan proses internalisasi ini. Namun manusia bukanlahkamera foto yang sekedar menghadirkan saja perwakilan dari dunia sosial yang digaulinya. Manusia juga bukan binatang yang sekedar beradaptasi pada dunianya. Ia aktif juga memodifikasi, bahkan bisa mengkreasi yang baru berdasarkan kebutuhan maupun manfaat yang ingin diperolehnya.  Para aktivis pemula perlu diajak untuk mengenali, memeriksa dan menilai keberadaan aktivis senior dan gerakan sosialyang dibangunnya, agar ia dapat mememiliki, memodifikasi bahkan menciptakan model rujukan yang menjadi sumber dari peran dan tingkahlaku yang akan ditampilkannya.

Dengan model rujukan tersebut, si aktivis pemula itu nantinya berkiprah menghadapi dan menangani masalah-masalah yang menjadi urusan gerakan sosial, baik dengan cara-cara lama, maupun dengan cara-cara baru. Proses yang diistilahkan dengan eksternalisasi ini akan bergabung dengan belbagai tindakan pelaku lain dalam situasi tertentu sedemikian rupa sehingga menghasilkan posisi dan daya pengaruh objektif gerakan sosial atas struktur dan budaya yang ditentangnya. Proses terakhir inilah yang dikenal dengan istilah objektivasi.

Dengan memasukkan aktivis pemula ke dalam siklus internalisasi- eksteralisasi-objektivasi demikian, para pendidik telah memberi jdalan yang lebih mudah bagi para aktivis pemula. Bukankah asal kata dari Fasilitator adalah “facilis” (bahasa Latin), yang artinya “mudah untuk mengerjakan”. Lebih dari itu, dengan hanya dengan memasukkan tenaga-tenaga muda-mudi dalam siklus tersebutlah keberlanjutan bahkan perbaikan kualitas gerakan sosial akan terjamin.

Proses fasilitasi mengenal ragam dari aktivis-aktivis gerakan sosial terdiri dari proses kelas, luar kelas dan kembali ke dalam kelas lagi. Proses kelas pertama akan diisi dengan sajian dan analisis profil gerakan sosial tertentu yang dipilih oleh fasilitator. Sedangkan pada proses non-kelas, peserta akan dibagi ke dalam beberapa kelompok kecil, yang masing-masing mengunjungi lingkar gerakan sosial tertentu. Rangkaian itu dapat berisikan pengamatan, wawancara, diskusi kelompok terfokus hingga membaca laporan-laporan yang tersedia.

Kegiatan lapangan ini akan disambung langsung dengan kegiatan kelas lagi, yang berisikan refleksi hasil, pengemasan laporan, dan diskusi penyajian laporan hasil. 

TUJUAN

q  Peserta mempersiapkan kegiatan kunjungan ke suatu situs gerakan sosial tertentu

q  Peserta memiliki pengalaman langsung mengamati suatu gerakan sosial tertentu secara langsung, mewawancarai tokoh pemimpin, para penggerak, konstituen hingga pendukungnya.

q  Peserta mampu mengidentifikasi awal mula perintisan, pengembangan dan pemapanan suatu gerakan sosial tertentu, hingga dan menilai pengaruh- pengaruhnya.

 

POKOK BAHASAN

q  Asal mula, perkembangan, dan pemapanan suatu gerakan sosial

q  Hubungan antara tokoh pemimpin, penggerak, konstituen dan pendukung suatu gerakan sosial.

 

WAKTU

5 – 6 hari, dan bisa hingga 30 hari.

 

METODA & MEDIA

q  Observasi lapangan

q  Wawacara

q  Diskusi Kelompok

q  Membaca arsip, atau studi mengenai suatu gerakan sosial

 

PERALATAN & BAHAN-BAHAN

q  Alat tulis, perekam, dan kamera

q  Format laporan kunjungan lapangan 

 

PROSES BAGIAN PERTAMA :

DISKUSI PERSIAPAN

q  Jelaskan hasil yang akan diperoleh dari sesi ini dan empat tahapan kegiatan yang akan dilakukan: Diskusi Persiapan, Kunjungan Lapangan, Forum Refleksi, Pembuatan Laporan, dan Hasil Kunjungan Lapangan.

q  Fasilitator menyajikan secara singkat masing-masing gerakan sosial, yang akan dijadikan ajang belajar lapangan. Setelah uraian singkat disajikan, sampaikanlah penugasan hal-hal pokok yang harus diketahui peserta, setidaknya adalah:

o   Kondisi Fisik dan Sosial di Lapangan?

o   Siapa konstituen utama dan para pendukung gerakan itu?

o   Apa identitas kolektif yang menjadi pengikat konstituen?

o   Bagaimana basis-basis gerakan dibangun dan dipelihara?

o   Apa analisis sosial dari mereka mengenai jalinan pelaku dan penentu (aktor dan faktor) nasib hidup dari kelompok masyarakat yang menjadi konstituen gerakan itu?

o   Apa yang sesungguhnya ditentang oleh tindakan-tindakan para pelaku komponen-komponengerakan?

o   Bagaimana penentangan terhadap ancaman itu dilakukan? Apa saja yang dilakukan gerakan itu menentang musuh-musuhnya?

o   Apa cita-cita sosial dari gerakan itu?

q  Bila peseta dalam kelompok besar, bagilah peserta ke dalam kelompok- kelompok kecil. Setiap kelompok bekerja untuk mengunjungi pelaku-pelaku gerakan sosial yang berbeda. Tentukan kelompok mana mengunjungi gerakan sosial yang mana. Sebisa mungkin, satu kelompok tidak lebih dari lima orang. Persilakan peserta membuat kerja kelompok untuk menetapkan kordinator dan pembagian kerja untuk tiap-tiap anggota kelompok. Fasilitator dapat menganjurkan siapa dan situs apa yang menjadi sasaran/target dari kunjungan, pengamatan, wawancara, atau diskusi.

q  Bagikan peserta bahan bacaan ”Persiapan Lapangan”. Bila tersedia, lengkap dengan membagikan peserta bahan bacaan berupa laporan studi tertentu mengenai gerakan sosial yang akan dikunjungi, atau liputan-liputan jurnalistik, atau naskah yang pernah dipakai gerakan sosial itu untuk keperluan tertentu, misalnya konferensi pers, usulan ke pemerintah, atau seruan-seruan.

q  Persilakan peserta membaca bahan tersebut, dengan catatan bahwa mereka memberi tanda (garis bawah, lingkaran atau stabilo) pada kata-kata yang dinilai penting.

q  Persilakan kelompok untuk melakukan perencanaan konkrit aktivitas kunjungan lapangan. Tuangkan hasil rencana di kertas plano untuk dipresentasikan. Setidaknya rencana itu mengandung (tulis di papan tulis atau kertas plano) dua bagian, yakni rencana perjalanan dan bentuk laporan yang akandihasilkan.

Setidaknya untuk bagian Rencana Perjalanan terdiri dari:

o   Lembaga/orang/kelompok yang akan ditemui

o   Kaitannya Lembaga/orang/kelompok itu dengan gerakan sosial yang akan diselidiki

o   Hasil yang diharapkan dari kunjungan

o   Skenario kunjungan

o   Pembagian kerja di antara anggota kelompok

o   Jadwal kerja

Sedangkan Susunan Laporan mengikuti pedoman yang diberikan dalam bahan bacaan.

q  Presentasi rencana dari masing-masing kelompok. Beri kesempatan kelompok lain untuk bertanya, memberikan tanggapan. Fasilitator bertugas untuk membangun diskusi yang produktif.

q  Persilakan peserta untuk kembali dalam kelompok untuk menyempurnakan persiapan perencanaan kunjungan lapangan.

q  Tutuplah sesi acara ini dengan mengkaji ulang proses dan hasil yang diperoleh.

 

PROSES BAGIAN KEDUA:

KUNJUNGAN LAPANGAN

Proses kunjungan lapangan bersifat situasional.

q  Panitia dan/atau fasilitator sebaiknya mengontak dan merundingkan untuk dapat persetujuan mengenai kegiatan kunjungan para peserta. Lakukanlah terlebih dahulu percakapan sebelum para peserta mendatangi mereka. Setelah itu, hasilnya dikomunikasikan kembali kepada para peserta, untuk menjadi perencanaan teknis kelompok peserta itu.

q  Selama mereka melakukan kunjungan, kontaklah setidaknya satu kali  mereka untuk memastikan bahwa apa yang terjadi di lapangan diketahui oleh fasilitator dan/atau panitia.

q  Bila ada masalah genting yang dihadapi di lapangan sehubungan dengan kunjungan ini, fasilitator dan/panitia dapat melakukan hal-hal yang diperlukan untuk membantu penyelesaian masalah itu.

 

PROSES BAGIAN KETIGA:

FORUM REFLEKSI DAN PEMBUATAN LAPORAN


q  Apabila peserta kembali dari lapangan dalam waktu yang kurang lebih bersamaan, maka buatlah satu forum bersama untuk merefleksikan pengalaman semua kelompok itu. Namun bila para peserta kembali dari lapangan tidak pada waktu yang bersamaan atau berbeda-beda, fasilitator perlu mempertimbangkan untuk memberi perlakuan khusus pada tiap kelompok berupa forum refleksi atas pengalaman kunjungan itu segera setelah para peserta kembali dari lapangan.

q  Forum ini dapat dimulai dengan mengajak peserta mengemukakan potongan- potongan pengalaman yang paling menyenangkan, paling tidak menyenangkan, yang memudahkan dan yangmenyulitkan.

q  Dengan basis potongan-potongan pengalaman tersebut, ajak peserta menarik pelajaran dari tinjauan lapangan tersebut. Karena hal ini dapat berbeda-beda antar satu kelompok dengan kelompok lain, bahkan antara satu peserta dengan peserta lain. Karena itu, fasilitator perlu mengangkat masing-masing pengalaman tersebut ini dengan cara khusus, seperti memakai cara curah pengalaman dan pendapat, baik dengan mempergunakan tulisan pada potongan-potongan kertas metaplan, atau secara lisan langsung, termasuk dengan cara cura pendapat, atau diskusi kumbang (buzz group).

q  Setelah periode mengungkap dan mengangkat masalah tersebut selesai, kategorikan lah butir-butir pelajaran yang diperoleh dari pengalaman mereka tersebut.

q  Lalu, ajak peserta untuk mendiskusikan sosok atau profil dari gerakan sosial yang telah mereka kunjungi, amati dan ketahui. Ajak lah peserta menyadari keterbatasan dari pengalaman pendek tersebut untuk mengenal sosok gerakan sosial itu secara menyeluruh. Beri kesempatan masing-masing untuk merekonstrusi sosok gerakan tersebut.

q  Persilakan mereka untuk mempersiapkan pembuatan laporan dengan merujuk kembali pada apa yang terkandung pada bagian akhir bahan bacaan.

 

PROSES BAGIAN KEEMPAT:

DISKUSI HASIL LAPORAN

q  Setelah masing-masing kelompok menyelesaikan laporannya, perbanyaklah dokumen itu. Bagikan ke setiap peserta lain, dan beri kesempatan untuk membaca laporan-laporan itu sebelum disajikan oleh pembuatnya dan didiskusikan.

q  Mintalah tiap kelompok menyajikan laporan itu secara singkat. Beri waktu maksimum 15 menit per-laporan itu.

q  Berilah kesempatan anggota kelompok lain menanyakan dan mengklarifikasi hasil laporan kelompoklain.

q  Ajak peserta membandingkan satu gerakan sosial dengan gerakan sosial lainnya. Caranya adalah bagikan formulir matriks pembandingan antar gerakan sosial. Pecahlah kelompok yang ada ke dalam kelompok baru.

Masing-masing kelompok baru wajib terdiri dari semua anggota kelompok sebelumnya, sehingga mereka semua dapat membandingkan satu sama lainnya. Persilakan mereka bekerja dalam kelompok-kelompok yang baru dibentuk itu, dengan tujuan mengisi matriks perbandingan itu. Beri waktu 90 menit. Tiap-tiap Kelompok harus menuliskan hasilnya dalam kertas plano yang besar (satukan empat atau enam kertas plano) dengan tulisan yang mudah dipahami orang lain.

q  Setelah kerja kelompok itu telah selesai, mintalah masing-masing kelompok untuk menyajikan dengan cara ”komedi putar”. Jelaskan mekanismenya dengan detil, dan minta peserta bertanya bila ada yang belum memahaminya.

q  Persilakan peserta untuk menjalani proses ”komedi putar” sebagai berikut:

o   Tiap-tiap kelompok meletakkan hasilnya dalam kertas plano yang besar dan minta masing-masing kelompok meletakkannya pada papan tulis atau tembok di suatu sudut tertentu. Setelah itu, bekali masing- masing kelompok dengan sejumlah potongan kertas dan selotip (dapat juga kertas Post-It yang besar) yang cukup untuk memberi komentar hasil kerja kelompok lain.

o   Minta masing-masing kelompok berpindah ke tempat kelompok lain. Tugas mereka masing-masing adalah menuliskan pada kertas-kertas yang disediakan berupa komentar atau tambahan atas hasil kerja kelompok lain. Mintalah mereka menempelkan potongan kertas-kertas itu pada lembar sajian kelompok yang dinilainya. Berilah waktu yang cukup, misalnya tiap 15 sampai 20 menit, untuk masing-masing kelompok berada dan bekerja di tempat kelompok lain.

o   Demikian seterusnya hingga masing-masing kelompok kembali ke tempatnya semula. Di tempatnya semula ini tiap-tiap kelompok telah mendapatkan potongan-potongan kertas yang tertempel pada hasil sajiannya berupa komentar dan tambahan dari anggota kelompok lainnya. Minta mereka mempelajari dan mendiskusikannya secara berkelompok dalam rangka menyempurnakan karya masing-masing. Berilah waktu yang cukup, misalnya 20 menit, untuk masing-masing kelompok.

q  Tutuplah seluruh rangkaian acara ini, dengan mengkaji ulang proses yang telah dilalui dan temua pelajaran yang didapat.




BAHAN BACAAN 

 PERSIAPAN LAPANGAN KUNJUNGAN BELAJAR KE SUATU GERAKAN SOSIAL 


             Betapapun baiknya sebuah pelatihan diselenggarakan dan seberapa banyak pun pelajaran yang diperoleh peserta, hal yang paling penting adalah ketika praktek di lapangan. Diharapkan pelatihan dapat merangsang dan menghadirkan kenyataan dari lapangan yang akan diterjuninya. Sebaliknya, jangan sampai terjadi peserta tidak memiliki bayangan atau gagasan mengenai apa yang nanti akan mulai dikerjakan ketika berada di lapangan. Oleh karena itu, pada saat ini perlu dilakukan, Persiapan Lapangan yang matang.

Kerja di lapangan adalah aktivitas yang berat. Namun itu bisa terasa menyenangkan bagi orang yang terlibat secara penuh. Bagi seorang peserta latihan, kegiatan lapangan dari sebuah pelatihan yang mungkin akan melelahkan dan sekaligus menyenangkan. Bagian ini akan membahas langkah-langkah utama dalam persiapan kegiatan lapangan.

 

Persiapan Menuju Lapangan

Membuat persiapan untuk ke lapangan adalah penting. Di lapangan seorang, peserta pelatihan akan melakukan interaksi dengan orang-orang, kelompok atau lembaga, dan situasi fisik lokasi. Ada kemungkinan ia akan membuat kesalahan-kesalahan. Bila hal ini terjadi, ia harus bisa belajar dari kesalahan yang dilakukannya. Di kemudian hari diharapkan ia tidak diganggu lagi oleh kesalahan-kesalahan yang tidak perlu. Peserta latihan yang baik akan selalu berusaha menghindarkan kesalahan-kesalahan yang mendasar.

Situasi ketidakpastian tidak akan pernah sepenuhnya bisa dihilangkan atau dihindarkan. Namun melalui langkah perencanaan akan selalu meningkatkan kapasitas untuk mengatasinya. Keluwesan pengambilan keputusan merupakan hal pokok dan keputusan kadang-kadang musti diambil secara cepat. Kejadian-kejadian yang tak direncanakan, seperti kejadian fisik kecelakaan/musibah, hujan lebat, sakit, tidak ada transportasi, dan lain-lain; juga reaksi-reaksi penerimaan atau penolakan dari orang lain yang dihubungi, hingga adanya peristiwa-pristiwa politik, menuntut suatu respon cepat. Bilamana peserta memiliki gambaran yang jelas terhadap hal-hal demikian maka seluruh tindakan dapat dilakukan secara positip dan kreatif.

Kerja lapangan, yang meliputi penerjunan peserta pelatihan pada tempat tujuan, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pelatihan ini. Namun bila pelatihan di lapangan berlangsung hanya seperti sebuah upacara tanpa arti, maka sia-sialah harapan-harapan yang telah dibangun selama pelatihan. Bila hal ini terjadi, maka keterlibatan peserta dalam kerja lapangan fasilitator ternyata tak ada artinya. Dampaknya akan terasa pada latihan kelas setelah kegiatan lapangan dilakukan.


Pertanyaan-pertanyaan Pembantu

Kerja lapangan dimaksudkan untuk mengunjungi salah satu (atau lebih) pihak yang mengalami konflik sumberdaya alam.

Berikut ini adalah pertanyaan-pertanyaan pembantu yang perlu ditemukan jawabannya.

o   Kondisi Fisik dan Sosial di Lapangan?

o   Siapa-siapa konstituen utama dan para pendukung gerakan itu?

o   Bagaimana basis-basis gerakan dibangun dan dipelihara?

o   Model organisasi serta kepemimpinan-keanggotaan yang bagaimana yang dipilih dan dipakai?

o   Apa identitas kolektif yang menjadi pengikat konstituen? Bagaimana identitas ini dibangun, dipelihara dan dikembangkan?

o   Perubahan sosial apakah yang mendahului dan menjadi konteks dari muncul dan berkembangnya gerakan sosial tersebut?

o   Apa analisis sosial dari mereka mengenai jalinan pelaku dan penentu (aktor dan faktor) nasib hidup dari kelompok masyarakat yang menjadi konstituen gerakan itu?

o   Apa yang sesungguhnya ditentang oleh tindakan-tindakan para pelaku komponen-komponengerakan?

o   Bagaimana penentangan terhadap ancaman itu dilakukan? Metoda aksi apa saja yang menjadi andalan gerakan itu menentang musuh- musuhnya?

o   Apa cita-cita sosial dari gerakan itu? Bagaimana cita-cita sosial ini dibedakan dengan cita-cita sosial lainnya?

 

Pengaturan Persiapan Logistik 

Untuk memastikan proses pelatihan lapangan berlangsung dengan lancar, pengaturan hal yang dasar hendaknya diselenggarakan secara menyeluruh. Jika ini tidak diperhatikan, maka bisa jadi partisipan akan mengalami kesulitan dan mengeluarkan banyak enerji untuk menutup kekurangan-kekurangan yang bersifat dasar tersebut. 

Pengaturan logistik selayaknya diatur menurut
·      satuan per kelompok
·      fasilitas dan akomodasi
·      kondisi daerah dan transportasinya
·      dokumentasi informasi
·      pembuatan laporan untuk tindak lanjut.

Satuan atau unit pembagiannya

·      Berapa banyak jumlah peserta yang terlibat dan dari latar belakang apa saja
·      Apa yang menjadi fokus perhatian-pengetahuan-keterampilannya yang nanti akan berpengaruh pada aktivitas di lapangan
·      Berapa perbandingan antara mereka yang perempuan dan laki-laki
·      Apakah aktivitas di lapangan akan dilakukan per individu atau per-kelompok
·      Identitas apa yang dipergunakan

Fasilitas

·      Fasilitas apa saja yang diperlukan: payung bila musim hujan, transportasi, alat tulis menulis, perekam dan kamera.

 

Kondisi lapangan dan transportasi

·      Kontak dan komunikasi
·      Situasi sosial dan politik lembaga/tempat yang dituju
·      Makanan dan minuman
·      Tempat dan pengaturan pertemuan-pertemuan
·      Transportasi yang digunakan

 

Bahan dan Dokumentasi

Bahan-bahan material untuk dokumentasi dan tindak lanjut kegiatan- kegiatan di lapangan meliputi unsur-unsur pokok yang perlu disiapkan, antara laiN:

  • Alat-alat dokumentasi seperti kamera, pemerekam, pesawat drone (bila tersedia),
  • pendukunganya seperti batere, charger, tas alat dll.
  •  Formulir-formulir pencatatan dan pelaporan
  • Alat-alat bantu lain, seperti dan lain-lain. 

Terjun Ke Lapangan

Ketika pertama kali masuk ke lapangan, seorang peserta biasanya akan merasa gugup. Mereka memang telah menyiapkan rencana kunjungan, mengembangkan daftar wawancara secara rinci, dan mengatur kontak dengan tokoh-tokoh tertentu, namun pasti masih merasa tidak nyaman atau tidak jelas bagaimana menerapkan metoda yang belum akrab tersebut.

Secara umum, setiap peserta biasanya memperhatikan kemampuan dan kekurangan dirinya yang sekiranya berpengaruh pada kerja di lapangan. Berikut ini beberapa hal yang bisa dijadikan pedoman:

·      Sifat lembaga/kelompok

Apakah lembaga yang didatangi birokratis? Ada prosedur penerimaan tamu? Apakah prosedur itu mau dilewati? Bagaimana caranya?

·      Bahasa

Apakah berbicara bahasa nasional dan/atau bahasan daerah?

·      Hirarki

Pertimbangkan hubungan hirarki struktural maupun status sosial di antara orang-orang yang akan ditemui

·      Latar belakang, posisi dan kemampuan

Latar belakang pekerjaan dari orang-orang yang akan ditemui. Apa hubungan orang-orang yang akan ditemui dengan kasus yang akan ditanyakan/rundingkan?

·      Masalah kepribadian

Perhatikan pula masalah pribadi dari orang-orang yang dihadapi. Apakah kita bisa mengetahuinya?


Dalam banyak pengalaman, situasi kegugupan di antara peserta juga biasanya muncul. Ini terjadi karena ada perasaan khawatir bahwa “ia tidak mau menerima kita’”. Dalam hal ini kita perlu memainkan peran yang dapat ia terima sehingga kita dapat mencapai tujuan perolehan informasi.

Ketegangan-ketegangan yang muncul biasanya karena merasa ada kekurangan dalam persiapan ke lapangan, atau masalah yang berhubungan dengan dinamika interaksi. Cobalah perhitungkan persoalan-persoalan tersebut sebelum mengawali kegiatan di lapangan dengan perencanaan yang memadai. Bayangkanlah faktor-faktor yang bisa memunculkan perasaan panik sebelum terjun ke lapangan, di lapangan maupun sepulang dari lapangan. Apa saja yang akan menimbulkan kepanikan?



Mengkajiulang Informasi, Memproses Informasi dan Menuliskan Laporan

Pengumpulan informasi dan pemrosesan informasi merupakan proses yang interaktif dan berkelanjutan selama penggunaan metoda partisipatori di lapangan. Sambil kita memfokuskan pada pembangunan hubungan dengan orang/lembaga yang akan kita temui, kita harus memperoleh informasi yang kita butuhkan. Pastikan bahwa kita telah memperoleh informasi yang cukup, sebelum kita menghentikan pembicaraan. Jangan berhenti sampai kita yakin bahwa informasi kita cukup. Seorang peserta harus menjalani hal ini sebelum membuat suatu laporan.  

Menghasilkan laporan kegiatan lapangan seringkali merupakan sebuah sasaran penting bagi sebuah pelatihan, namun sekaligus merupakan bagian yang teramat sulit.

Pendokumentasian yang baik sangat bermanfaat. Alasannya sebagai berikut:

  • memberikan informasi dasar tentang aktivitas-aktivitas dari lembaga/orang yang ditemui sehubungan dengan kasus yang kita bawa.
  • menjadi dasar untuk memonitor perkembangan terakhir dari sikap dan perilaku orang/lembagaitu
  • sistem pelaporan yang bagus akan menjadi bahan perbandingan dan analisis terhadap orang/lembaga. pelaporan yang detil dapat meyakinkan kita dan pihak-pihak lain untuk mengembangkan pendekatan, strategi dan cara-cara baru

Lima tahap utama untuk membuat pelaporan yang sistematik, secara berkelompok yakni.:

Langkah 1: Mengumpulkan informasi sesuai dengan tujuan yang kita inginkan.

Tuliskan setiap ‘kelompok informasi’ yang diinginkan dalam catatan- catatan.. Selanjutnya curahkan semua informasi penting yang telah dipelajari di bawah setiap ‘kelompok informasi’ yang diperoleh dan tuliskan ke bawah secara berurut. Bila mungkin, lakukan di kartu-kartu.

Langkah 2Susun informasi.

Begitu informasi telah dikelompokkan ke dalam kategori-kategori, selanjutnya dapat disusun kerangka laporannya dari kartu-kartu yang telah disusun.

Langkah 3: Analisis informasi.

Pastikanlah informasi mana saja yang paling penting. Apakah ada ‘yang mengejutkan’ tentang apa yang ditemukan di lapangan? Bagian mana yang ingin diperlakukan secara khusus dalam laporan karena tingkat kepentingannya?

Langkah 4: Tuliskan informasi dalam sebuah laporan.

Ini bisa dipilah-pilah sehingga ada pembagian bab-bab atau bagian-bagian dalam penulisannya.

Langkah 5: Kajiulang laporan.

Minta orang lain membaca laporan itu untuk memastikan bahwa apa yang ingin disajikan dapat dipahami dengan sistematik. Peroleh umpan balik dari mereka yang membaca. Sempurnakanlah laporan anda, dengan menggunakan prinsip: memihak pada pembaca.


Format Formulir Penulisan Catatan 

Tema                                                                        

Tanggal                                                                              

 

Tempat                                                                              

 

Waktu                                                                                

 

(lamanya) aktivitas                                                            

 

Metoda                                                                               

 

Fasilitator Lapangan                                                         

 

Tujuan Kunjungan :

 

1. ............................................

 

2. ............................................... dst

 

Peserta

 

1. ............................................

 

2. ............................................... dst

 

Bahan dan Alat Bantu

 

...............................

 

Proses

 

...........................................................................................................................

...........................................................................................................................

..................................................................................................................... dst


Temuan-temuan penting

 

...........................................................................................................................

...........................................................................................................................

..................................................................................................................... dst

 

Isinya perlu mencakup

o   Gambaran umum lokasi, situasi dan sekilas sejarah wilayah dan sosial dari gerakan sosial yang dipelajari

o   Perubahan sosial yang mendahului dan menjadi konteks dari muncul dan berkembangnya gerakan sosial tersebut?

o   Konstituen    utama    dan    para    pendukung    gerakan    itu    serta pembagian kerja di antara para pendukung gerakan itu

o   Pembangunan dan pemeliharaan basis-basis gerakan

o   Model organisasi serta kepemimpinan-keanggotaan yang dipilih dan dipakai

o   Identitas kolektif yang menjadi pengikat konstituen dan proses pemeliharaan danpengembangannya

o   ”Musuh” yang ditentang oleh tindakan-tindakan para pelaku komponen-komponen gerakan

o   Metoda aksi apa saja yang menjadi andalan gerakan itu dalam menentang ”musuh-musuhnya”

o   Cita-cita sosial dari gerakan itu dan argumen yang membedakan cita-cita sosial ini dengan cita-cita sosial lainnya

 

Evaluasi

 

...........................................................................................................................

...........................................................................................................................

..................................................................................................................... dst

 

(Tekankan mengenai pencapaian tujuan dari kegiatan kunjungan, faktor-faktor yang memperlancar dan menghambat pencapaiannya. Bila perlu sampaikan juga kritik dan saran untuk pelaksanaan kegiatan ini sejenis.)

 

FORMULIR MATRIKS PEMBANDINGAN ANTAR GERAKAN SOSIAL

 

ANATOMI GERAKAN

GERAKAN ”A”

GERAKAN ”B”

dst

Perubahan sosial/politik/ekonomi/budaya/ekologi yang mendahului dan menjadi konteks dari muncul dan berkembangnya gerakan sosial tersebut?

 

 

 

Konstituen utama dan para pendukung gerakan itu?

 

 

 

Cara pembangunan dan pemeliharaan basis-basis konstituen gerakan

 

 

 

Pola      kepemimpinan-keanggotaan      yang dipilih dan dipakai, serta model organisasi gerakan

 

 

 

Identitas kolektif yang menjadi pengikat konstituen dan proses pemeliharaan dan pengembangannya

 

 

 

Rumusan ”lawan-lawan” yang ditentang oleh tindakan-tindakan para pelaku komponen-komponen gerakan, dan penjelasannya

 

 

 

Jenis-jenis   aksi    apa    saja    yang    menjadi andalan    gerakan    itu    dalam    menentang musuh-musuhnya

 

 

 

Bentuk-bentuk dan contoh aksi menentang dan menantang musuh itu

 

 

 

Cita-cita    sosial    dari    gerakan    itu,    dan pencapaiannya

 

 

 

Dan lain-lainnya