Panggilan Tanah Air



Noer Fauzi Rachman (2019) Panggilan Tanah Air, Tinjauan Kritis atas Porak-Porandanya Indonesia. Cetakan ketiga. Yogyakarta: Insist Press

E-file versi cetakan kedua (2019) dari buku ini data diunduh bebas di situs: https://drive.google.com/file/d/1nfcwRK3IpJxyEX1Oxj9QflniTWOwq2hr/view?usp=share_link                                                        

Naskah buku ini dibuat dalam situasi di mana banyak orang Indonesia sudah terbiasa dan dibiasakan memenuhi kebutuhan hidupnya melalui transaksi jual beli. Semua cenderung menganggap transaksi jual-beli itu normal dan alamiah. Lebih dari itu, untuk berhasil memenuhi kepentingan memperoleh pendapatan atau keuntungan, cara jual beli merupakan sesuatu yang sudah lazim ditempuh. Pasar pun dianggap penyedia kesempatan. Ini adalah zamannya pasar berdigjaya, the age of market triumpalism!

Indonesia bukan hanya menganut politik pintu terbuka terhadap pengaruh pasar internasional. Lebih dari itu, Indonesia menganut politik rumah terbuka, yakni semua bisa dimasuki pengaruh kekuatan pasar internasional. Sekarang ini kita tidak memiliki rujukan yang otoritatif mengenai batas apa-apa yang boleh atau tidak boleh diperjual-belikan. Bukankah demikian?

Berbeda dengan mereka yang menganggap pasar sebagai kesempatan, buku ini hendak menunjukkan sisi pasar sebagai kekuatan pemaksa. Oleh karenanya saya akan fokus mengupas bagaimana mekanisme-mekanisme pasar yang dianggap biasa, normal, alamiah bahkan sudah seharusnya, sekaligus juga mengenai cara bagaimana perusahaan-perusahaan raksasa memperoleh modal untuk produksi komoditas/barang-barang dagangannya. Hal ini jarang sekali dibicarakan dan dipikirkan secara sungguh-sunguh, terutama dalam hubungannya dengan masa depan tanah air rakyat kita.  

Buku ini berangkat dari pengalaman-pengalaman dan proses belajar saya, selama hampir tiga puluh tahun, menyaksikan bagaimana rakyat menghadapi operasi-operasi kekerasan, yang dijalankan oleh berbagai kekuatan, dalam rangka menciptakan modal bagi perusahaan-perusahaan raksasa. Terutama perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam bidang pertambangan, kehutanan, dan perkebunan dalam membangun sistem produksi kapitalistik, yang menghasilkan barang dagangan untuk diperjual-belikan di pasar untuk sebesar-besarnya bagi keuntungan perusahaan. 

            Operasi kekerasan yang dimaksud di atas terutama mencakup pelepasan hubungan kepemilikan rakyat dan perubahan secara drastis tata guna dari tanah, sumberdaya alam dan ruang, serta perubahan posisi kelas dari rakyat dalam hubungannya dengan keberadaan sistem produksi baru yang berdiri dan bekerja atas tanah, sumber daya alam dan ruang itu. Operasi kekerasan itu, selain menghasilkan modal bagi perusahaan-perusahaan untuk pertama kalinya, sesungguhnya di kalangan rakyat melahirkan ketegangan hingga pertengkaran sosial, dislokasi sosial, hingga migrasi, bahkan perasaan tercerabut yang diiringi dengan protes dan tindakan-tindakan yang seringkali tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Namun sebagian besar rakyat mengalah dan kalah. Mereka menyingkir, atau meninggalkan kampung halamannya, dan tidak lagi bisa mengandalkan hidup dari tanah, sumber daya alam, dan ruang yang telah dikapling perusahaan-perusahaan itu. Hanya sedikit saja rakyat yang berhasil mempertahankan diri atau menghalau perusahaan-perusahaan yang mengkapling tanah-tanah mereka itu.  

Bagaimana sesungguhnya kita menyikapi semua ini? Pendek kata, naskah ini bermaksud menggugah bagaimana kita bersikap menghadapi porak-porandanya tanah air, kampung halaman rakyat akibat reorganisasi ruang untuk perluasan cara atau sistem produksi kapitalistik yang menghasilkan komoditas-komoditas global. Lebih lanjut, saya berharap naskah ini dapat membuat kita mengidamkan, memikirkan, dan merintis usaha-usaha memulihkan rakyat dan alam yang porak-poranda itu. Terbuka kemungkinan rakyat memilih dan menjadikan kampung atau desa (apapun namanya) sebagai tempat berangkat dan sekaligus tujuan pengabdian. Kita berangkat dan mengabdi untuk apa yang pernah dikemukakan Muhammad Yamin dalam perdebatan pembuatan pasal 18-B UUD 1945, yakni:

“... kesanggupan dan kecakapan bangsa Indonesia dalam mengurus tata negara dan hak atas tanah sudah muncul beribu-ribu tahun yang lalu, dapat diperhatikan pada susunan persekutuan hukum seperti 21.000 desa di Pulau Jawa, 700 Nagari di Minangkabau, susunan Negeri Sembilan di Malaya, begitu pula di Borneo, di tanah Bugis, di Ambon, di Minahasa, dan lain sebagainya.” (sebagaimana dimuat dalam Yamin 1959)

Adakah negarawan yang berfikir seperti Muhammad Yamin di Indonesia hari ini? 

 

Situasi Umum Tanah Air Kita

Masalah agraria dan pengelolaan sumber daya alam bangsa Indonesia secara umum pernah dirumuskan secara sederhana oleh elit pemerintahan nasional di zaman Reformasi melalui Ketetapan MPR RI No. IX/MPRRI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, sebagai berikut: (i) Ketimpangan (terkonsentrasinya) penguasaan tanah dan sumber daya alam di tangan segelintir perusahaan, (ii) konflik-konflik agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang meletus di sana-sini dan tidak ada penyelesaiannya, dan (iii) kerusakan ekologis yang parah dan membuat eksistensi alam tidak lagi dapat dinikmati rakyat.[1] Tiga golongan masalah ini sayangnya diabaikan oleh banyak pejabat publik dan sama sekali tidak diurus secara serius oleh presiden-presiden, menteri-menteri dan para pejabat yang berhubungan dengan masalah agraria dan pengelolaan sumber daya alam, serta para pejabat pemerintahan daerah.

Rakyat Indonesia di desa-desa selayaknya menyambut abad XXI dengan penuh kegembiraan dan optimisme, namun pada kenyataannya tidaklah demikian. Banyak kelompok rakyat miskin di banyak desa, di pinggir kota, di dataran tinggi, di pedalaman maupun di pesisir dari pulau-pulau, dilanda rasa risau dan kuatir. Rakyat pedesaan menanggung beban berat secara kolektif sehubungan dengan akses pada tanah pertanian, hutan, dan dari hari ke hari ruang hidupnya semakin menyempit, produktivitasnya semakin merosot, lingkungan ekosistemnya semakin tidak mendukung kehidupan, dan secara relatif kesejahteraannya menurun.  

Konsentrasi penguasaan tanah, nilai tukar pertanian yang rendah, konversi tanah-tanah pertanian ke non-pertanian, perkembangan teknologi produksi, dan pertumbuhan penduduk miskin, telah membuat akibat yang nyata pada jumlah rumah tangga petani dan luas total pertanian rakyat. Data sensus pertanian 2013 menunjukkan rumah tangga pertanian di Indonesia mencapai 26,13 juta, yang berarti telah terjadi penurunan sebesar 5 juta rumah tangga pertanian, dibandingkan dengan hasil sensus pertanian 2003. Untuk mudahnya, dapatlah kita nyatakan bahwa setiap satu menit satu rumah tangga petani hilang, berganti pekerjaan dari pertanian ke bidang pekerjaan lainnya. Bila kita lihat lebih jauh, seperti ditunjukkan oleh Khudori (2014), laju konversi lahan pertanian rakyat mencapai angka 110.000 ha/tahun (pada rentang 1992-2002). Bahkan melonjak 145.000 ha/tahun pada periode 2002-2006, serta 200.000 ha/per tahun pada periode 2007-2010. Bila ambil saja rata-rata konversi 129.000 ha/tahun, maka setiap menit, sekitar 0,25 hektar tanah pertanian rakyat berubah menjadi lahan non-pertanian. 

Arus pengurangan jumlah petani dimulai sejak pertengahan abad 20 yang lalu, dan diperhebat dalam dekade yang lalu di Indonesia. Secara umum, kesempatan kerja di sektor pertanian semakin sempit dari tahun ke tahun. Hal ini berbanding terbalik dengan mereka yang membutuhkan pekerjaan. Minat bekerja pada bidang pertanian juga semakin menipis. Banyak sekali lapisan orang miskin di pedesaan, yang mayoritas tidak bertanah dan tidak bisa menikmati sekolah tinggi, harus mengambil risiko dengan memilih pergi ke luar desa untuk mendapatkan pekerjaan melalui kerja migran di kota-kota provinsi, metropolitan hingga ke luar negeri. Sebagian besar rakyat pekerja migran ini sesungguhnya berhasil memperoleh upah kerja yang lebih baik, mengirimkan pendapatannya ke desa, dan kemudian menjadi daya tarik bagi pemuda-pemudi desa generasi berikutnya untuk mengikuti jejak langkah mereka. Anehnya, pengalaman pahit hidup kerja sebagai migran, mulai kondisi kerja yang tidak layak, penipuan, diskriminasi hingga kekerasan, umumnya dipersepsi sebagai nasib buruk yang tidak mampu mencegah rombongan lain untuk pergi. 

Dunia pertanian dan hidup di desa bukanlah masa depan yang menjanjikan bagi pemuda-pemudi, padahal masa depan pertanian rakyat bergantung pada siapa yang akan bertani (White 2011, 2012). Yang paling miskin bekerja menjadi kelas terendah dalam sektor informal dan hidup di komunitas-komunitas pondok dalam wilayah-wilayah kumuh dan marjinal di kota-kota (Jellinek 1977). Mereka mudah sekali berpindah-pindah menjadi sesuatu yang diistilahkan oleh Jan Breman sebagai footloose labor (Breman 1977).

Semakin tinggi pendidikan orang desa, semakin kuat pula motivasi dan dorongan mereka untuk meninggalkan desanya. Desa ditinggalkan pemuda-pemudi yang pandai, termasuk untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Mereka inilah yang semakin memenuhi kota-kota kabupaten, provinsi dan metropolitan. Betapa ironisnya mendapati kenyataan bahwa mereka yang berhasil menjadi kelas menengah di kota-kota tidak kembali ke desa. Seolah ingin menambah kadar ironinya, mereka mempraktekkan kehidupan konsumtif, dengan membeli/menyewa tanah dan rumah untuk tinggal di pinggiran kota, serta motor dan mobil baru untuk transportasi, yang pada gilirannya membuat infrastuktur jalan di kota-kota provinsi dan metropolitan tidak lagi memadai. Di kota-kota metropolitan, terjadi macet di mana-mana setiap pagi pada jam pergi menuju pusat kota dan jam pulang menuju pinggiran kota. 

Sejarawan terkenal, Eric Hobsbawm dalam karyanya yang terkenal, Age of Extremes, membuat deklarasi bahwa “the most dramatic change in the second half of this century, and the one which cuts us forever from the world of the past, is the death of the peasantry”. Artinya, “perubahan paling dramatis dalam paruh kedua abad (keduapuluh) ini, yang untuk selamanya memisahkan kita dari dunia masa lampau, adalah kematian petani” (Hobsbawm, 1994:288-9). Istilah yang dibuat oleh peneliti masalah agraria untuk gejala berkurangnya jumlah orang desa yang bekerja sebagai petani adalah depeasantization (Araghi 1995, 2000, 2009, McMichael 2014). Ungkapan ini untuk menunjukkan bagaimana berbagai kekuatan ekonomi politik bekerja pada tingkat global hingga tingkat paling kecil sekali pun sehingga menghasilkan kecenderungan pengurangan jumlah kelas petani di pedesaan, dan semakin kecilnya pengaruh pedesaan pada kehidupan rakyatnya. Lebih lanjut, ahli agraria lain membuat istilah deagrarianization (Bryceson 1996) untuk menunjukkan semakin kecilnya andil kerja-kerja dari dunia agraris bagi ekonomi rakyat, perubahan orientasi hidup, identifikasi sosial, dan perubahan lokasi hidup.  

Tidak dipungkiri bahwa semua itu dilakukan dalam rangka menciptakan suatu cara hidup baru dengan gaya perkotaan modern (urban modernity), yang banyak dianggap sebagai keniscayaan yang harus ditempuh. Henri Lefebvre (1970/2003) menyebutnya sebagai urban revolution, bahwa masyarakat global sekarang ini sedang mengalami proses urbanisasi dan masyarakat perkotaan sekarang ini terbentuk sebagai hasil dari proses urbanisasi. Itu berarti bahwa ini bukan sekedar perubahan lokasi hidup di kota-kota, melainkan seluruh cara hidup, berpikir, dan bertindak yang berbeda secara total. 

Kampung halaman rakyat di desa-desa porak-poranda guna melayani cara hidup masyarakat perkotaan, terutama melayani kaum elit kaya yang hidup di kota-kota yang berjaringan satu sama lain, termasuk dengan dihubungkan oleh lapangan terbang, mobil dan jaringan jalan highway, hotel, pusat perbelanjaan dan perumahan gated-communities, hingga kantor-kantor perusahaan maupun pemerintahan di pusat kota metropolitan. Elit perkotaan kita ini hidup di global cities seperti Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makasar, Medan, hingga Singapura, dan bersama-sama dengan elit perkotaan di negara-negara paska kolonial lain dalam jaringan dengan kota-kota New York, London, dan Tokyo, dan sebagainya (Sassen 2000, 2010; Roy dan Ong 2011).

Saya bukan akan membahas sisi modernisasi yang mentereng itu. Sisi lain dari cara perluasan sistem-sistem produksi komoditas global itulah yang akan kita bahas, khususnya cara perluasan melalui konsesi-konsesi proyek pertambangan, kehutanan, perkebunan, infrastruktur, dan lain sebagainya.  Produktivitas rakyat yang hidup di lokasi-lokasi sasaran perluasan itu sesungguhnya diabaikan dan sama sekali tidak diperhitungkan, apalagi dihargai. Cerita dan berita mengenai penghancuran kehidupan yang sebelumnya melekat pada tempat sistem-sistem produksi baru itu tidak dimasukkan dan dimuat dalam naskah-naskah resmi di kantor-kantor pemerintah. Sebaliknya, pemerintah menyampaikan keharusan-keharusan bagaimana kebijakan dan fasilitas pemerintah diarahkan untuk mempermudah para perusahaan raksasa (sebutlah: investor!) bekerja guna memperbesar kapasitas produksi komoditas-komoditas global, mensirkulasikannya, dan menjualbelikan sedemikian rupa sehingga menghasilkan keuntungan dan penumpukan kekayaan.

Ketika naskah ini ditulis, saya membaca berita di Koran Kompas edisi 18 April 2015 “Konflik Lahan Adat Meningkat”. Suryati, Sekretaris Pelaksana Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat(KSPPM) yang menjadi narasumber berita itu melaporkan bahwa sejak tahun 2003 hingga 16 April 2015, terdapat setidaknya konflik lahan antara 18 komunitas adat dengan PT Toba Pulp and Paper (PT TPL) yang beroperasi di kawasan Toba. “Setidaknya konflik itu melibatkan 3.777 keluarga atau 17.722 jiwa di lahan seluas 26.560,398 hektar di Kabupaten Humbalang Hasundutan, Tapanuli Utara, Samosir, Toba Samosir, Dairi, dan Simalungun.” (Kompas, 18 April 2015). Perlu diketahui bahwa PT TPL memperoleh lisensi izin pemanfaatan lahan untuk Hutan Tanaman Industri melalui SK Menhut nomor 58/2011 untuk lahan seluas 188.000 hektar. Izin ini merupakan pembaruan atas SK Menhut 493/1992 hektar untuk lahan seluas kurang lebih 269.000 hektar atas nama PT Inti Indorayon Utama (IIU). 

Kasus konflik lahan di wilayah ini bukan hanya 18 kasus itu saja. Ke-18 kasus itu adalah mereka yang bertahan hingga saat ini. Banyak komunitas yang sudah kalah atau akhirnya mengalah terhadap PT TPL atau PT IIU.[2] Konflik-konflik lahan di wilayah ini sudah berlangsung dalam jangka waktu yang panjang, semenjak PT IIU bekerja di sana mendapatkan lisensi pembalakan kayu (alias: Hak Pengusahaan Hutan/HPH) dari Menteri Kehutanan seluas 100.000 hektar pada tanggal 23 Oktober 1984 dengan jangka waktu pengusahaan 20 tahun. 

Di akhir tahun 2003, saya memiliki satu kesempatan mengharukan saat mengunjungi salah satu dari konflik-konflik lahan itu, yakni yang terjadi di kampung Naga Hulambu, kabupaten Simalungun. Saya bertemu dan mendengar cerita bagaimana seorang ibu (inang) memimpin rakyatnya mempertahankan tanah air mereka dengan cara mengusir kontraktor-kontraktor PT TPL yang telah, sedang, dan akan menghabisi kebun-kebun mereka yang dipenuhi oleh pohon kayu, buah-buahan, maupun sayur-sayuran.  

Secuplik cerita dari kasus konflik agraria ini dimaksudkan untuk menunjukkan masalah tanah air rakyat yang kronis. Lebih dari itu, secuplik kisah tadi menjadi sinyalemen mengenai sebaran konflik agraria nyaris di seluruh titik di seantero Nusantara (Konsorsium Pembaruan Agraria 2014).[3]  Di sini saya tidak akan memperpanjang cerita-cerita kasus semacam itu. Di buku ini, saya akan mengarahkan penjelasan mengenai sebab utama dari porak-porandanya kehidupan rakyat dan tanah air yang berlangsung secara sistemik, sebagai akibat dari reorganisasi ruang untuk perluasan sistem produksi yang bercorak kapitalistik demi menghasilkan komoditas-komoditas global. [] 

 


Buku ini adalah hasil refleksi panjang Noer Fauzi Rachman, mendedahkan keadaan “darurat agraria”, keadaan tanah air yang porak-poranda. Buku ini bukan ungkapan kesedihan meratapi keadaan. Lebih dari itu, buku ini dimaksudkan untuk mengundang keterlibatan, terutama generasi muda untuk lebih memahami perubahan kebijakan agraria, dan menjadi pandu tanah air. ***

“Buku Noer Fauzi Rahman ini menjadi sangat penting dibaca oleh kalangan nahdliyin maupun masyarakat umum untuk memahami orientasi pembangunan nasional kita yang sejak Orde Baru meninggalkan cita-cita para pendiri bangsa. Buku ini mengingatkan semua pihak mengenai pentingnya sebuah sistem terpadu dalam pengaturan agraria yang berorientasi pada kemaslahatan bangsa Indonesia, bukan yang justru membuat bangsa sendiri tersingkir dari tanah airnya.” M. Imam Aziz, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

Kita memasuki suatu jaman baru yang kata ketimpangan tidak cukup bisa menjelaskan situasi yang kita hadapi

 


Noer Fauzi Rachman

 

Hijau merimbuni daratannya 

Biru lautan di sekelilingnya 

Itulah negeri Indonesia 

Negeri yang subur serta kaya raya 

 

Seluruh harta kekayaan negara 

Hanyalah untuk kemakmuran rakyatnya 

Namun hatiku selalu bertanya-tanya 

Mengapa kehidupan tidak merata 

 

Yang kaya makin kaya,

Yang miskin makin miskin

Yang kaya makin kaya,

Yang miskin makin miskin

....

(Rhoma Irama, 1980, “Indonesia”)

 


            Sesungguhnya, masalah ketimpangan kekayaan telah dan  terus   melanda banyak negara-negara bekas jajahan, di benua Asia, Afrika dan Amerika Latin dewasa ini. Masalah ketimpangan kekayaan pada mulanya merupakan hasil dari semakin luas ruang gerak dan besarnya nilai uang yang dikelola dan diputar oleh segelitir kekuatan ekonomi raksasa transnasional dan nasional di satu pihak, dan semakin sempitnya ruang gerak  dan kecilnya nilai uang yang dikelola dan diputar oleh penduduk kelas bawah.

            Saya mengikuti anjuran-anjuran Saskia Sassen*) dalam bukunya (2014) Expulsion, Brutality and Complexity in the Global Economy bahwa kata ketimpangan tidak cukup memadai untuk menjelaskan situasi yang kita alami sebagai warga bumi/dunia. Salah satu yang penting dilakukan, kita musti lebih dalam melihat mekanisme-mekanisme yang menghasilkan konsentrasi kekayaan yang luar biasa itu, seperti yang juga dianjurkan oleh Thomas Piketty (2013) Capital in the Twenty-first Century. 

            Di uraian pendek ini, saya memberi konteks dan mengedepankan rujukan argumen yang sudah semakin terlihat jelas (visible). Intinya: sekarang ini adalah zamannya pasar berjaya, the age of market triumpalism! Kita mengalami transformasi besar-besaran merujuk pada istilah dari  Karl Polanyi (1944) dalam bukunya  The Great Transformation, the Political and Economic Origin of Our Time. Semua cenderung menganggap transaksi jual-beli di pasar itu normal dan alamiah, hingga uang, tenaga kerja dan tanah (alam) sekalipun telah dijadikan barang dagangan. Kita hidup dalam situasi di mana banyak orang sudah terbiasa dan dibiasakan memenuhi kebutuhan hidupnya melalui transaksi jual-beli. Lebih dari itu, untuk berhasil memenuhi kepentingan memperoleh pendapatan atau keuntungan, cara jual beli merupakan sesuatu yang sudah lazim ditempuh. Pasar pun dianggap penyedia kesempatan. 

Masyarakat Adat in Motion: A New Indigeneity Politics in Indonesia



 Noer Fauzi Rachman

talk at Inter Asia Cultural Studies Conference 2017 - Plenary Session 02 : “Social and Political Movement: Inter-Asian Legacy”, 28-30 July 2021. https://iacs2017.wordpress.com/2017/07/21/plenary-sessions-28-30-july/



”Indeed, some ‘custom’ were new of recent invention, and were in truth claims of new ‘rights’ … 

Custom was the rhetoric of legitimation for almost any usage, practice, or demanded rights. Hence, uncodified custom – or even codifies – was in continual flux ... 

So, far from having the steady permanence suggested by the word “tradition”, custom was a field of change and of contest, an arena in which opposing interests made conflicting claims.”

(E.P Thompson, 1993:6)


December 30 of 2016 was an important day for activists and communities who work for the policy change in regards to the rights of the indigenous peoples in Indonesia. This was the day when a special ceremony was held at the national presidential palace in which President Joko Widodo was honor nine groups of masyarakat hukum adat (the term used in Indonesia for indigenous peoples) a ministerial decree that recognized their claimed customary forest (hutan adat). Despite the total area of these customary forests that had received government recognition was still quite small, it was only about 13,000 hectare for 5,700 individuals, these activists still perceived this ceremony was an important symbolic event that showed the shift of government political in regards to the indigenous peoples rights to control their customary forest areas. 

Kembali ke Fitrah sebagai Orang Indonesia



Noer Fauzi Rachman  

Dimuat dalam Kompas, 5 Juli 2017. Kembali ke Fitrah Orang Indonesia

             Khutbah Iedul Fitri 25 Juni 2017 oleh Profesor Quraish Sihab di Masjid Istiqlal memberi rujukan yang penting untuk mengajak Muslim Indonesia “dengan jiwa kuat penuh optimism” kembali ke fitrah sebagai bangsa, “betapa pun beratnya tantangan dan sulitnya situasi”. Ia menjalankan tugas utama ulama dalam menyampaikan tanda-tanda zaman, dan memberi panduan ke masa depan dengan menyadari bahwa keadaan saat ini adalah hasil dari perbuatan kita masa lampau.  Situasi masyarakat Indonesia saat ini, menurutnya, secara sosial sedang sakit, dengan tanda utama “menyebarluaskan fitnah dan hoax serta menanamkan perilaku buruk serta untuk memecah belah persatuan dan kesatuan”. Ironisnya, masyarakat yang sakit ini tidak menyadari bahwa dia sakit. Mereka bagaikan orang yang telah selesai menenun, kemudian membuat tenunannya menjadi pakaian, lalu melepaskan pakaiannya dan satu persatu mengurai pakaiannya itu menjadi benang kembali.

            Pesan utama khutbahnya adalah kembali ke fitrah, asal kejadian, kita sebagai orang Indonesia. ”Kita semua satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air dan kita semua telah sepakat ber-Bhineka Tunggal Ika, dan menyadari bahwa Islam, bahkan agama-agama lainnya, tidak melarang kita berkelompok dan berbeda. Yang dilarang-Nya adalah berkelompok dan berselisih.”

Memahami Mata-Rantai Makanan Kita


Pengantar Noer Fauzi Rachman dalam buku Paul McMahon (2017) Berebut Makan: Politik Baru Pangan

Judul asli: Feeding Frenzy: The New Politics of Food (Profile Books, 2013)
Penulis: Paul McMahon
Penerjemah: Roem Topatimasang
Pengantar: Noer Fauzi Rachman
Penyunting bahasa: Karno Batiran
Penerbit: INSISTPress
ISBN: 978-602-0857-43-5
Edisi: pertama, Desember 2017
Kolasi: 14 x 21 cm; viii + 370 halaman

https://insistpress.com/katalog/berebut-makan-politik-baru-pangan/

            Marilah mulai memahami pangan yang kita konsumsi sehari-hari dalam suatu rantai komoditas, mulai dari produksi, sirkulasi, hingga konsumsi. Hanya sebagian saja dari kita, manusia Indonesia, yang sumber makanannya langsung dari pekarangan, kebun, danau, sungai atau laut, di kampung sendiri. Sebagian besar kita, terutama yang hidup di kota-kota, memakan makanan yang berasal dari pembelian di pasar. Makanan yang sampai ke meja kita itu telah melalui perjalanan yang panjang, mulai dari tempat ia dihasilkan hingga diperjualbelikan dan sampai akhirnya hadir di meja makan kita. Lahirlah istilah food miles yang sekarang dijadikan pula sebagai satu penanda dari dampak lingkungan dari makanan.   

Melalui pasar raya (supermarket), kita bisa melihat dan menikmati makanan tidak diproduksi di sini, tapi nun jauh di sana. Makanan-makanan baru berdatangan. Orang-orang Indonesia di mana-mana sekarang ini dibiasakan berbelanja di pasar raya, yang jumlahnya makin hari makin berlipat-ganda, membanyak. Cara orang mengalami pasar yang dihidupkan oleh jaringan dengan perusahaan pasar raya, tidak bisa dipahami  dengan rujukan pengalaman berbelanja di pasar tradisional. Rakyat dibuat merasa meningkat derajatnya sebagai warga pasar raya. Posisi keanggotaannya sebagai warga pasar pun dirasakannya meningkat. 

Di zaman globalisasi sekarang ini, makanan global ada dimana-mana, terutama disebabkan oleh peran jaringan pasar raya tersebut. Perusahaan dagang makanan waralaba (franchise) berbasiskan hak menggunakan model bisnis dan merek tertentu untuk masa waktu tertentu. Iklan audio-visual di televisi membuat daya tarik dan gairah konsumsi meningkat dan seragam. Paling mutakhir, transaksi komersial elektronik melalu internet. 

Marilah memahami pangan yang kita konsumsi sehari-hari dalam suatu rantai komoditas, mulai dari produksi, sirkulasi hingga konsumsi pada skala dunia. Cara pandang demikian terhadap rezim pangan (food regime) akan sangat berguna dipakai untuk menikmati dan memahami isi buku ini. Dari cara memandang demikian itu, kita akan bisa mengetahui bahwa rantai pasokan makanan __sejak mulai diproduksi, lalu disirkulasikan hingga dikonsumsi__ adalah suatu urusan politik yang merupakan arena pertarungan kekuatan pada skala dunia (lihat juga: Philip McMichael, 2013, Food Regimes and Agrarian Questions).

Warga Eropa, sudah jauh-jauh hari menikmati pangan global sejak masa kolonial. Rasa manis gula dari tebu, aroma harum dari kopi, dan hisapan santai dari tembakau dibawa ke Eropa dari Pulau Jawa dan Kuba. Kebiasaan minum english tea di abad ke-18 adalah hasil dari kolonialisme Inggris di India melalui British East India Company; atau makanan ontbitkoek -- kue dengan bumbu rempah kayu manis, cengkeh, pala, jahe, dan lainnya -- tiada lain adalah hasil kerja perusahaan VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie). Rakyat di negeri-negeri jajahan merasakan akibat yang luar biasa dari politik agraria kolonial demi produksi semua makanan itu (contohnya, lihat karya Jan Breman, 2014, Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa; Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa, 1720-1870).

Buku karya Paul McMahon (2013) Feeding Frenzy: The New Politics of Food  ini dapat membantu pembaca melihat secara panoramik politik makanan sekarang ini dan krisis global yang menyertainya. Istilah feeding frenzy adalah suatu metafora yang dipakai oleh penulis buku ini. Amsal ini berasal dari perspektif ekologi yang kurang lebih menggambarkan situasi saat sekelompok pemangsa kalap menghadapi begitu melimpahnya makanan yang tersedia. Si pemangsa jadi kalap, bertingkah menggigit apa saja yang ada di dekat mulutnya, bahkan juga mengigigit pemangsa lain sesamanya. Jadi, bisa juga, istilah itu dipakai saat pemangsa saling melukai karena saling berebut makanan.

Bayangkan bagaimana 9 miliar orang di tahun 2050 yang mayoritas adalah penduduk yang hidup di kota dan bukan penghasil makanan. Orang-orang yang berpenghasilan lebih, makan lebih banyak dan membuang 30 sampai 40 persen makanannya menjadi sampah, sementara 1 miliar orang miskin nyaris kelaparan mengais-ngais makanan. Sejak melonjaknya harga-harga pangan di pasar dunia pada 2008, berkembang ramalan-ramalan buruk perihal akan ambruknya pasar pangan dunia (lihat juga: Lester E. Brown, 2011, World on the Edge, How To Prevent Environmental and Economic Collapse). 

Namun, dalam konteks ini, juga berkembang para promotor kedaulatan pangan (food sovereignty), yang mengkritik kekuatan pasar global (lihat misalnya: Peter Rosset, 2006, Food is Different: Why the WTO Should Get Out of Agriculture). Meski sama-sama mendasarkan diri pada kritik atas sistem ekonomi global, para promotor kedaulatan pangan lebih menyoroti sistem sosial-ekologis yang mendukung keberlangsungan pertanian rakyat (lihat teks naratif otoritatif mengenai kedaulatan pangan, yang terkenal dengan julukan The Nyéléni Declaration 2007, membedakan diri dengan Rome Declaration on Food Security1996; lihat juga: Michael Pimbert, 2009, Toward Food Sovereignty). 

Mereka melihat krisis-krisis itu sebagai hasil dari suatu sistem ekonomi-politik neo-kolonial yang bekerja di jalur modernisasi yang ditempuh negara-negara bekas jajahan, mentransformalkan perdesaan pertanian dengan membangun sistem produksi kapitalis dunia melalui perampasan tanah maupun pengembangan pertanian agribinis skala raksasa. Ini adalah proses memiskinkan jutaan petani, dan penyingkiran penduduk desa dari pemilik tanah dan penghasil makanan menjadi pekerja tidak memiliki tanah. Sebagian mereka pergi menjadi kaum urban proletariat di kota-kota. Dalam keadaan semacam itu, negara-negara terpaksa membentuk kebijakan ketahanan pangan untuk memberi makanan pada orang-orang yang sudah dilepaskan dari posisinya sebagai produser menjadi konsumen makanan.

McMohan membedakan diri dengan para ‘peramal kiamat’, dan mengambil sebagian dari menu para promotor kedaulatan pangan. Ia berpendirian bahwa  krisis ini bukan tidak bisa ditangani. McMahon menawarkan sejumlah jalan yang menurutnya bisa memberi harapan. Ia mengusulkan empat pokok tindakan yang pemerintah, petani, investor, dan warga negara musti lakukan:  (i) memacu petani-petani kecil di negeri-negeri miskin untuk meningkatkan produksi pangan; (ii)      menggunakan prinsip-prinsip agroekologi dalam produksi pangan; (iii)            mengarahkan agar pasar-pasar keuangan bekerja menyasar tantangan-tantangan yang nyata; dan (iv) mengatur penyesuaian atas harga-harga pangan yang terus meninggi dan beralih ke bio-based economy, yakni semua aktivitas ekonomi yang digerakkan dari riset dan pengetahuan ilmiah yang befokuskan biotechnology.

Selamat membaca.*)

Rehal Buku: C. Snouck Hurgronje (1893/1997) Aceh, Rakyat dan Adat Istiadatnya (Terjemahan)

C. Snouck Hurgronje (1893/1997) Aceh: Rakyat dan Adat Istiadatnya. 2 jilid Jakarta: Kantor Perwakilan Unievrsitas Leiden. Penerjemah : Sultan Maimoen

De Atjehers merupakan karya hasil studi etnologi dari seorang peneliti, yang juga seorang pejabat kolonial penting di Hindia Belanda, Snouck Hurgronje 1893. Dalam posisinya sebagai Penasehat Resmi Bahasa Timur dan Hukum Islam bagi Pemerintah Hindia Belanda di Nusantara, ia ditugaskan oleh Gubernur Hindia Belanda, Jenderal C. Picnaeker Hordijk, pada tahun 1893, untuk meneliti mengenai pengaruh Islam dalam kehidupan politik, sosial dan agama rakyat Aceh, serta tugas utamanya untuk menyusun saran-saran terhadap penyelesaian perang Aceh dengan Belanda. Bekal yang dipunyainya adalah hubungan akrab dengan Habib Abdurrahman Az-Zahir, seorang ulama asal Aceh dan penasehat utama Sultan Aceh, yaitu Sultan Alaiddin Mahmudsyah (1870-1874 M), yang telah berteman dengannya, sewaktu Snouck Hurgronje tinggal di Mekkah.

Buku De Atjehhers yang terdiri dari dua jilid ini diterbitkan untuk publik, selain laporan-laporan dan nasehat-nasehat lain, yang ia tuliskan khusus untuk gubernur jenderal, yang menjadi dasar kebijakan politik dan militer Belanda dalam menghadapi Aceh. Jilid satu buku ini membahas pembagian penduduk, bentuk pemerintahan, peradilan, penanggalan, perayaan, musim, pertanian, pelayaran, perikanan. hukum/hak tanah dan air, kehidupan dan hukum keluarga. Sementara jilid kedua membahas ilmu pengetahuan dan sastra, permainan dan hiburan, serta agama. 

Buku ini penting sekali sebagai satu pembentuk utama dari “hukum adat”. Melalui pemaparan etnografis, ia menunjukkan bahwa hukum adat orang Aceh telah menghasilkan suatu keteraturan tersendiri, yang berbeda dengan keteraturan yang dihasilkan oleh hukum agama Islam dan hukum negara. Karenanya, kodifikasi hukum adat adalah sesuatu yang wajib dilakukan. 

Buku ini sangat berpengaruh pada pembentukan wacana keilmuan "hukum adat" dan kebijakan kolonial atas "hukum adat" di kemudian hari, terutama disebabkan oleh tindak lanjut  Cornelis van Vollenhoven, seorang guru besar dari Universitas Leiden, yang terkenal dengan penelitian "Het Adatrecht van Nederland Indie" 3 jilid. Ada satunya dengan bukunya yang terbit tahun 1928, Ontdekking van het adatrecht (Penemuan Hukum Adat), yang menyebutkan eksplisit Qandil Snouck Hurgronje dalam penemuan “hukum adat”. (NFR)

Resensi Buku: James W.B. Money (1861) Java or, How to Manage a Colony


NOER FAUZI RACHMAN

James William Bayley Money (1861) Java; or, How to Manage a Colony, Showing a Practical Solution to The Questions now Affecting British India. 2 Volumes. Singapore: Oxford University Press, 1861. Cetak Ulang 1985.

Buku ini hadir sehubungan dengan keberhasilan sistem pemerintahan tidak langsung (indirect rule) yang dikombinasi dengan sistem Tanam Paksa yang  mewajibkan petani Jawa menanam tanaman yang ditentukan dan menyetorkan hasil panennya kepada pemerintah dengan bayaran yang sangat kecil. Tanam Paksa atau Cultuurstelsel sesungguhnya adalah suatu kebijakan ekonomi dari negara kolonial Belanda pada 1830 – 1870, dan dimulai contohnya di Priangan (wilayah Jawa Barat bagian selatan) selama 30 tahun sepanjang tahun 1800 hingga tahun 1830, dan diberi nama Preangerstelsel, dengan tanaman utama kopi. 

Dengan Preangerstelsel yang mulai tahun di tahun 1800 ini, pemerintah Kolonial Belanda berhasil mengatasi kebangkrutan ekonomi, dan berhasil membuat Belanda kembali makmur, hingga tiga puluh tahun kemudian. Keberhasilan ini membuat Gubernur Jenderal, Johannes van Den Bosch, pada tahun 1930 memberlakukan Tanam Paksa untuk seluruh pulau Jawa. Pemberlakuan tanam paksa ini terus berlangsung hingga tahun 1870. 

Kekaguman atas sistem pemerintahan kolonial, yang benar-benar efektif untuk membangun kekuatan ekonomi dari negara Belanda, membuat seorang pejabat pemerintah kolonial Inggris yang bertugas di Burma, bernama James William B.  Money, kagum. Ia tergerak datang dan meneliti mulai 18 Juli sampai 13 Oktober 1861. Dia kemudian menulis bagaimana Inggeris yang menjajah India seharusnya belajar 

dari bagaimana pemerintahan tidak langsung (indirect rule) menjadi dasar bagi pemerinta han yang efektif, dan juga efisien untuk penciptaan kemakmuran bagi Belanda. Anak judul buku ini adalah Showing a practical solution to the questions now affecting British India. Laporan yang langsung diterbitkan pada tahun 1861 ini juga kemudian menjadi rujukan, bukan hanya untuk para pejabat kolonial Inggris yang bekerja di India, tapi segera menjadi buku klasik yang pengaruhnya melebihi maksudnya. (NFR)



Metoda Kajian Pusaka Agraria Indonesia

 


Noer Fauzi Rachman (2017) "Metoda Kajian Pusaka Agraria Indonesia", dałam Pusaka Agraria Indonesia Sebuah Kerja Pendahuluan. Jakarta: Konferensi Tenurial 2017. Halaman 30.

Untuk mengunduh buku ini secara keseluruhan https://drive.google.com/file/d/1xIcFD_RdiPSwMpRQF6M965IvcFqCqJoM/view?usp=sharing

Penulis Artikel: Adi. D Bahri, Andreas Iswinarto, Fathun Karib, Gutomo Bayu Aji, Hariadi Kartodihardjo, Nana Ratnasari,  Noer Fauzi Rachman, Rina Mardiana, Siti Maimunah.
Penulis Resensi: Adi. D Bahri (AB), Ahmad Nashih Lutfi (ANL), Andreas Iswinarto (AI), Fathun Karib (FK), Gutomo Bayu Aji (GBA) Hariadi Kartodihardjo (HK), Nana Ratnasari (NR),  Noer fauzi Rachman (NFR), Rina Mardiana (RM), Rasella Malinda (RaM), Iksan Maulana (IM), Amir Mahmud (AM), Tomi Setiawan (TMY)

Editor  : Siti Maimunah, Haslinda Qodariah, Tomi Setiawan
Desain : Alfian Maulana Latief
@2017, Konferensi Tenurial 2017
Gd. Manggala Wanabhakti, Blok 4 Lt.7 
Sekretariat RAPS, Jakarta

Siapakah pembaca naskah-naskah Pusaka Agraria Indonesia sekarang? 

Bagaimana membuat naskah-naskah Pusaka Agraria Indonesia itu tersedia dan bisa dinikmati oleh pemuda-pemudi kekinian? 

Disini akan saya sajikan satu contoh bagaimana kajian atas pusaka agraria dapat dilakukan untuk memahami situasi sekarang. Kerja menghadirkan naskah Pusaka Agraria Indonesia bukanlah proyek eskavasi naskah, melainkan upaya menemukan kembali asal-usul dari  wacana yang menjadi bagian praktek politik agraria dewasa ini. Tiap-tiap naskah memiliki perjalanan hidup masing-masing, yang pengaruhnya memerlukan kerja penelusuran. Penulis mengundang para peneliti menyusun metodologi kajian pusaka agraria Indonesia.

Disini penulis sekedar memberi ilustrasi/contoh bagaimana kajian satu karya Pusaka Agraria Indonesia dilakukan, dengan memakai buku De Indonesiër en zijn grond (Rakyat Indonesia dan Tanahnya) karya Cornelis Van Vollenhoven, yang disusun tahun 1918 dan terbit pada tahun 1919. 

Cornelis Van Vollenhoven adalah seorang sarjana terdidik yang berprestasi tinggi secara akademik. Ia peroleh judicium cum laude untuk kelulusanya dari pendidikan doktoral dalam bidang ilmu hukum dan politik di tahun 1898. Setelah bertugas sebagai sekretaris pribadi seorang anggota parlemen dan pemilik perkebunan J.Th. Cremer, yang kemudian hari menjadi Menteri Urusan Wilayah Jajahan selama 4 tahun (1897-1901), ia diangkat sebagai profesor di Leiden University hingga akhir hayatnya.  Sepanjang masa sebagai guru besar itulah Van Vollenhoven bekerja sebagai “penemu hukum adat”, dan berjuang agar pemerintah Belanda mengakui eksistensi dan hak-hak agraria rakyat pribumi khususnya yang dikonsepkan dalam beschikkingsrecht, dan melawan segala usaha elite penguasa kolonial untuk mengabaikan eksistensi hukum-hukum adat. 

Karya De Indonesiër en zijn grond ini adalah pamflet akademik yang menantang rancangan perubahan ketentuan Pasal 62 RR (Regerings Reglement) yang diajukan bulan Mei 1918 dan diprakarsai oleh GJ Nolst Trenite. Paragraf tiga yang berisikan klausul jaminan perlindungan terhadap hak-hak agraria rakyat adat dihapuskan. Secara keseluruhan, ide Trenite diabdikan untuk mengunifikasi hukum di Hindia Belanda menggunakan hukum Barat. Dalam De Indonesiër en zijn grond, Van Volenhoven mengemukakan apa yang disebutnya sebagai “Satu Abad Ketidakadilan”, yang intinya adalah pembatasan secara sistematis dari hak-hak adat atas tanah rakyat yang hidup dalam hukum adat. Hal ini menciptakan ketidakpastian hukum yang cukup besar dan membangkitkan banyak kebencian rakyat. Perampasan tanah dimana-mana dan besar-besaran itu dibenarkan oleh tafsir mengenai beschikkingsrecht oleh administrator kolonial ini.

Penguasa menganggap mereka sedang menduduki, menguasai dan memanfaatkan tanah milik negara dan diatur berdasar hukum-hukum adat setempat. Mereka tidak diakui hak kepemilikan tanahnya dan tidak berhak menjadi penyandang, pemilik tanah. Mereka hanyalah bewerkers alias penggarap dari tanah milik negara. Disini berlaku prinsip domein verklaring. Klausul yang dibahas disini ada dalam Agrarische Wet 1870 yang berbunyi “landsdomein is alle grond, waarop niet door anderen recht van eigendomwordt bewezen”, artinya kurang lebih “milik negara berlaku bagi semua tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya”. 

Dari prinsip itu, tanah milik negara dibedakan dalam dua jenis yaitu ‘tanah negara bebas’ (vrj lands/staatsdomein) dan ‘tanah negara tidak bebas’ (onvrj sands/staatsdomenin). ‘Tanah negara tidak bebas’, adalah tanah-tanah yang sudah dan sedang dikuasai, diduduki, digunakan dan dimanfaatkan secara nyata oleh rakyat berdasarkan hukum-hukum adatnya. Sedangkan ‘tanah negara bebas’ adalah tanah-tanah yang tidak dikuasai, diduduki dan dimanfaatkan rakyat ini, dan secara umum oleh pemerintah kolonial Belanda, dinyatakan sebagai tanah ‘di luar’ wilayah/kawasan desa (buiten dorps gebied), sesuai dengan ketentuan pasal 3 Agrarische Wet 1870. Tanah-tanah Negeri/Negara tidak bebas yang berada ‘di luar’ wilayah atau kawasan desa itu, yang dikategorikan sebagai daerah atau wilayah tanah hutan belukar (woeste grond). 

Bagaimana pengaruh karya ini? 

Penulis telah membuatnya bersama Upik Djalin, PhD., dalam “Pengantar untuk Membaca Karya van Vollenhoven (1919) Orang Indonesia dan Tanahnya, di Ebooknya yang dapat diunduh di http://pppm.stpn.ac.id/wp-content/uploads/2017/08/Orang-Indonesia-dan-Tanahnya-2.pdf (akses terakhir pada 21 oktober 2017). Ini buku versi Bahasa Indonesia, yang diterbitkan oleh Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), Sajogyo Institute, dan Perkumpulan HuMa.

Bisa dilihat juga pada: https://www.noerfauzirachman.id/2023/03/pengantar-untuk-membaca-karya-cornelis.html 


Kedaulatan rakyat sebagai norma tertinggi untuk Kebijakan Pertanahan

 Noer Fauzi Rachman



Resensi Buku 

 

Editor Buku: 

John F. McCarthy dan Kathryn Robinson

Judul Buku : 

Land and Development in Indonesia: Searching for the People’s Sovereignty

Penerbit: 

   ISEAS, Singapore 2016.

Jumlah Halaman: 

   382 + xxiii halaman

   

   Apakah arti kedaulatan rakyat itu? Apakah kedaulatan rakyat telah menjadi norma utama dalam pembuatan kebijakan pertanahan di Indonesia? Kalau kedaulatan rakyat adalah hasil yang yang hendak dituju dari berbagai kebijakan pemerintah Indonesia, termasuk kebijakan pertanahan yang dijalankan oleh berbagai badan pemerintah Indonesia, bagaimana capaiannya? Pertanyaan-pertanyaan penggerak itu bagus kita pakai, bukan untuk mendapatkan jawaban filosofis normatif, melainkan untuk mendapatkan jawaban empiris dari uraian ilmuan-ilmuan sosial (sejarah, geografi, ekonomi, dan sebagainya) dari buku Land and Development in Indonesia: Searching for the People’s Sovereignty. Buku ini adalah seleksi dari naskah-naskah yang disampaikan dalam konferensi bertemakan Land and Development in Indonesia - Indonesian Update 2015 di Australian National University (ANU), Canberra, 18-19 Desember 2015. 

   Penyelenggara Konferensi ini, yang kemudian menjadi penyunting buku, secara cerdas mengedepankan konsep kedaulatan rakyat sebagaimana dimuat dalam pasal 1 ayat 2, UUD 1945, bahwa kekuasaan tertinggi dari penyelenggaraan Negara sepenuhnya berada di tangan rakyat.  Terdapat tiga unsur penting disini, yakni (i) kepentingan seluruh warga negara harus menjadi rujukan utama dalam menentukan kebijakan pemerintah, (ii) kewenangan pemerintah didapat melalui proses persetujuan rakyat, baik melalui pemilu untuk memilih pemimpin, maupun melalui partisipasi dan konsultasi publik untuk program/proyek pemerintah; dan (iii) persetujuan dari rakyat yang diperintah lah merupakan sumber legitimasi kewenangan pemerintah. Maka dari itu, kebijakan pertanahan pemerintah harus akuntabel pada seluruh rakyat, dan secara khusus pelaksanaan program/kegiatan perwujukan kebijakan tersebut haruslah memberi manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat, utamanya mereka yang tinggal dan hidup menguasai dan memanfaatkan tanah dan sumber daya alam di wilayah kehidupan mereka (halaman 3).  

Apa yang pemerintah Indonesia lakukan, khususnya dalam kebijakan pertanahan, sesungguhnya menjadi telah perhatian dari ilmuan internasional. Dua puluh tahun sebelumnya, yakni pada 1995, International Forum on Indonesian Development (INFID) mengadakan konferensi dengan tema yang sama, di tempat yang sama pula. Sebagian naskahnya kemudian saya edit menjadi buku Tanah dan Pembangunan, yang diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan 1997. Pusat perhatian dari konferensi 20 tahun lalu itu adalah analisis dan kritik atas politik agraria yang dijalankan rejim Orde Baru. 

Konferensi akademik tentu merupakan suatu upacara yang rutin diikuti oleh ilmuan-ilmuan berkaliber internasional. Ini merupakan kawah candra dimuka dari tiap-tiap karya akademik yang bermutu. Ilmuan Indonesia berjuang untuk bisa sampai pada reputasi internasional, termasuk dengan berpartisipasi dalam konferensi-konferensi.  Kritik yang dialamatkan kepada ilmuan demikian ini adalah minimnya efek perubahan apa yang bisa dilakukan oleh mereka yang hanya bergarkan produksi dan sirkulasi analisis, kritik dan apresiasi yang disampaikan dalam ruang-ruang akademik belaka.  Jarak antara antara studi dengan kebijakan masih harus diperdekat.

Lalu, di sisi lain, siapakah para perumus kebijakan pertanahan pemerintah Indonesia mempertimbangkan kajian-kajian dari para ahli dari dunia akademik yang memiliki reputasi internasional, karena dedikasi, penelitian, dan pengajarannya di berbagai perguruan tinggi di berbagai negara. 

Setelah mendapatkan buku Land and Development in Indonesia ini, pada awal tahun 2017 Sofyan Djalil,  Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) dan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengundang salah satu editor buku ini (John F. McCarthy) ini untuk datang menemuinya, dan memintanya memberi nasehat kebijakan berdasar pada keahliannya,  dan mungkin juga karena kepemimpinannya dalam konferensi ini. Sang Menteri mendapatkan nasehat itu pada satu kesempatan saja. Isi nasehatnya yang utama adalah, pemerintah menyediakan skema yang fleksibel agar hak atas tanah dapat dipegang/dipangku oleh kelompok atau komunikasi dapat diakomodir dalam pendaftaran tanah oleh Badan Pertanahan Nasional.  Skema pendaftaran tanah individual tidak menjadi pilihan yang tepat untuk beragam macam penguasaan yang aktual yang masih hidup, seperti tanah pengembalaan, daerah berburu dan pengumpulan hasil hutan, dan sebagainya. 

Sesungguhnya, panen pengetahuan dapat dibuat berkali-kali, oleh pejabat pemerintah seiring dengan luasnya samudera pengetahuan dengan ragam macam sungai yang mengisinya. Menteri itu belum tergerak untuk mengatur bagaimana mesin birokrasinya bisa bekerja menyelenggarakan studi, konsultasi atau diskusi-diskusi secara regular dengan para ahli yang beraneka latar disiplin, kemahiran, dan asal kelembagaan. Para ahli dapat mengungkap masalah, memberi penjelasan hingga menyampaikan kritik dan nasehat yang konstruktif, berasar pada penelitian, studi dan pengajaran. Melibatkan ahli dalam studi mengenai kondisi, perubahan agraria dan politik pertanahan di Indonesia, adalah suatu keperluan yang berguna. Bukan hanya untuk di pemerintah pusat, tetapi juga di masing-masing propinsi. Indonesia adalah negeri dengan beraneka ragam problem pertanahan dalam geografi dan sejarah yang berbeda-beda. Pun di satu propinsi yang sama.  

Selain kajian akademik, pejabat pemerintah perlu menghargai cara bagaimana rakyat hidup dengan cara kerja yang kehebatannya tidak bisa terlihat dengan cara biasa birokrasi bekerja. Karya James Scott, Seeing Like a State, How Certain Schemes to Improve the Human Condition Have Failed (1998) telah memberi pelajaran bahwa pemerintah cenderung melakukan simplifikasi dan distorsi mengenai rakyat, wilayah dan situasi yang yang hendak diubah. Sebabnya, sehubungan dengan bias pendekatan dan kepentingan proyek-proyek modernis raksasa  (high modernist projects), yang biasanya mengabaikan, mensalah-artikan, atau membuat hal-hal yang tidak dianggap perlu tidak terlihat, dan tidak diperhitungkan. Kegagalan proyek-proyek pemerintah itu, bermula dari miskalkulasi atas yang tidak terlihat (invisible), dan menganggap rakyat yang tidak terlibat dalam proses-proses perencanaan pembangunan sebagai non-factor.

Buku Land and Development ini berangkat dengan menguraikan suatu konsep kunci dalam konstitusi Indonesia, yakni kedaulatan rakyat (popular sovereignty). Secara leluasa masing-masing penulis bab menguraikan status penggunaan konsep itu, dan situasi dari sektor atau problematik yang mereka analisis masing-masing. Nancy Peluso menulis tentang transformasi agraria yang berkenaan dengan nasib tanah dan petani kecil berhadapan dengan perluasan perkebunan skala besar dan pengerukan pertambangan; Andrian Bedner menulis suatu update status mengenai berbagai rejim perundang-undangan yang sektoral; Chip Fay dkk. Menulis tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat; Suraya Afiff menulis tentang kepastian penguasaan lahan dalam kaitannya dengan proyek REDD (Reduction Emission for Deforestation and Degradation); Kathryn Robinson menulis tentang pertambangan, dan hak-hak komunitas di Indonesia; Jamie S. Davidson menulis pengadaan tanah dalam proyek-proyek infrastruktur; Delik Hudulan dkk dan Patrick Guinedd menulis aspek pertanahan dari pengadaan proyek-proyek perumahan untuk orang miskin; Pierre van der Eng menuliskan mengenai sistem pendaftaran tanah sepanjang 200 tahun; Jeff Neilson dan juga Aprilia Ambarwati dkk. menulis tentang transformasi agraria dan land reform di Indonesia; Afrizal dan Patrick Anderson menulis Pembangunan HTI (Hutan Tanaman Industri) dan penyelesaian konflik-konflik agraria; Lesley Potter menulis tentang perkebunan kelapa sawit, dan Laksmi Andriani Savitri dan Susanna Price menulis tentang kerentanan masyarakat adat di Papua sehubungan dengan konsesi-konsesi untuk industri perkebunan dan kehutanan.

Selain untuk mereka yang secara spesifik mendalami topik-topik yang dibahas oleh masing-masing bab dalam buku itu, buku bunga rampai ini seharusnya menjadi bacaan wajib danbakal berguna sebagai rujukan para ahli dan pejabat pemerintah yang sekarang ini terlibat dalam pembahasan RUU Pertanahan, dan program prioritas presiden Reforma Agraria. Demikian pula untuk para pengamat, peneliti dan aktivis organisasi non pemerintah yang bergerak dalam urusan pertanahan dalam sektor-sektor pembangunan pertanian, perkebunan, kehutanan, pertambangan, pesisir dan kelautan. 

 

Land Reform dan Gerakan Agraria di Indonesia

 



Untuk adventorial buku dari penerbit lihat Noer Fauzi Rachman (2017) Landreform dan Gerakan Agraria di Indonesia. Yogyakarta: Insist Press http://insistpress.com/katalog/land-reform-dan-gerakan-agraria-indonesia/ 


Buku ini merekam lintasan perjalanan land reform semenjak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 1945. Land reform, salah satu amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), dibekukan selama Orde Baru. Di masa akhir rezim otoriter Soeharto itu, disusul pula pada rezim-rezim sesudahnya, mandat tersebut dihidupkan kembali oleh kekuatan gerakan-gerakan agraria, para intelektual publik, dan para pejabat yang peduli pada nasib rakyat miskin perdesaan. Buku ini menunjukkan secara etnografis bagaimana cara-cara mereka berupaya membangkitan land reform menjadi suatu program nasional untuk mewujudkan cita-cita keadilan sosial.  ****

“Rachman memberikan suatu panorama penting mengenai gerakan agraria yang sedang tumbuh menguat dengan ide-ide pembentuk yang bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Ia menunjukkan bahwa perjalanan land reform di Indonesia bukan melintasi jalan yang lurus dan sempit. Rute menuju diakuinya land reform sebagai agenda berbagai kekuatan sosial dan kebijakan pemerintah itu bagaikan jalan mendaki gunung yang tinggi, terjal, berbatu, dan diterpa angin kencang. Apa yang ada di sebalik gunung masih menjadi pertanyaan, sehingga belum diketahui apa yang akan dilihat dan dihadapi.” Nancy Lee Peluso, profesor ekologi politik di University of California, Berkeley, Amerika Serikat



Sketsa Tiga Abad Politik Agraria di Tatar Priangan

Nanjeurkeun Obor, jang Nyageurkeun Panyakit Poho Sajarah**

Pengembangan lebih lanjut dari naskah Noer Fauzi Rachman (2017) “Politik Agraria Priangan dari Masa ke Masa”. Sejarah/Georgrafi Agraria. Hilmar Farid dan Ahmad Nashih Luthfi (Eds). Yogyakarta: STPN Pers. Pp. 152-214.  https://pppm.stpn.ac.id/sdm_downloads/sejarahgeografi-agraria-indonesia  


Noer Fauzi Rachman



Pendahuluan

Priangan adalah suatu wilayah agraris yang indah. Penulis masih ingat ungkapan guru penulis di Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran, psikolog  M.A.W Brouwer,  lebih dari tiga puluh tahun lalu bahwa "Bumi Pasundan diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum". Ungkapan ini, yang kemudian dipampangkan menjadi suatu grafiti resmi Pemerintah Kota Bandung di jalan Asia Afrika, Bandung, menunjukkan kekagumannya atas keindahan bentang alam dan kekayaan alam yang melimpah. Ungkapan memuji itu dapat membawa pembacanya ke pesona yang melahirkan decak kagum, dan melupakan kepahitan hidup dari rakyat miskin Priangan. Pertanyaan kritis yang harus diajukan adalah, mengapa begitu banyak rakyatnya hidup terbenam dalam kemiskinan terus-menerus? 

Pertanyaan ini muncul dan terus mengganggu saya yang  terbiasa berkeliling di pedesaan pedalaman Kabupaten Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Cianjur, Sukabumi, dan Bogor, semenjak tengah 1980-an. Penulis sudah terbiasa untuk bertanya apa gerangan yang menyebabkan kemiskinan yang kronis itu? Apakah penderitaan hidup dalam kemiskinan itu disebabkan karena rakyat Pasundan dilenakan oleh alam yang kaya itu sehingga menjadi “malas”?   

“Mitos Pribumi Malas” itu banyak dipelihara dan terus diedarkan oleh pejabat VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie), pemerintah kolonial, hingga pengusaha-pengusaha kehutanan dan perkebunan. Buku bagus karya Syed Hussein Alatas (diterbitkan oleh LP3ES, 1988) berhasil menunjukkan fungsi “mitos pribumi malas” dalam kapitalisme kolonial di Jawa, Melayu dan Filipina, yakni  Mitos itu adalah alat untuk menaklukkan kaum pribumi.  Mitos ini menyalahkan para korban, dan sama sekali tidak dapat diterima.

Beruntunglah kita, karena ada karya baru dari Jan Breman yang dapat membantu kita memahami asal-usul kemiskinan rakyat itu. Buku yang baru terbit 2010 karya Profesor  Jan Breman dari Universitas Amsterdan, Belanda, itu pada mulanya berbahasa Belanda Koloniaal profijt van onvrije arbeid: het Preanger stelsel van gedwongen koffieteelt op Java, 1720-1870 (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2010).Empat tahun kemudian, versi Bahasa Indonesia buku tersebut terbit menjadi  Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa, Sistem Priangan dari Tanah Paksa Kopi di Jawa, 1720-1870 (Jakarta: Yayasan Obor, 2014).  Lalu, pada tahun 2015 terbit, versi bahasa Inggris Mobilizing Labour for the Global Coffee Market: Profits from an Unfree Work Regime in Colonial Java (Chicago: Chicago University Press, 2015).[1] 

Isi buku itu menjelaskan bagaimana kentungan kolonial didapat dengan cara menaklukan dan memeras penduduk pribumi Priangan. Sejalan dengan buku Jan Breman itu, buku kecil ini bertemakan “Sketsa Tiga Abad Politik Agraria di Tatar Priangan” dengan maksud untuk Nanjeurkeun Obor, jang Nyageurkeun Panyakit Poho SajarahKalimat nyaangan deui nu pareumeun obor, secara harfiah berarti “memberikan cahaya pada mereka yang obornya telah mati”. Seperti termaktub dalam nyukcruk galur, mapay laratan, saya akan  dengan cara menunjukkan sketsa perjalanan politik agraria di Tatar Priangan semenjak wilayah Priangan diserahkan oleh Mataram ke VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) dalam dua kali perjanjian (1667 dan 1705), sebagai balas jasa kepada VOC yang telah membantu penyelesaian perebutan kekuasaan di Mataram. Politik agraria yang dimaksud mencakup cara penguasa negara mengatur siapa-siapa dan bagaimana orang-orang dan badan-badan hukum bisa (dan juga tidak bisa) menguasai, memiliki, menggunakan, memanfaatkan, dan mendapatkan kekayaan dari tanah dan sumber daya alam. Tulisan saya itu mengajak pembaca menelusuri isi politik agraria, kondisi-kondisi yang membentuknya, cara-cara menjalankannya dan akibat-akibat khusus dari padanya, khususnya terhadap kemiskinan petani, dan bentuk-bentuk sistem produksi agraria, seperti perladangan, perkebunan, wana tani, dan sebagainya

Saya menulis naskah ini untuk menjadi pengiring buku Jan Breman (2014) Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa itu. Breman membuka buku itu dengan kutipan pamflet Multatuli. Multatuli adalah pujangga yang mengkritis sistem penindasan, penaklukan dan eksploitasi kolonial. Pamflet itu berjudul “Over vrijen arbeif in Netherlandsch Indies en de tegenwoordige koloniale agitatie” . Artinya, “Tentang kerja bebas di Hindia Belanda dan agitasi kolonial” (Multatuli 1862:38-39 sebagaimana dikutip oleh Breman 2014:v, terjemahan dimodifikasi oleh NFR). 

“Tetapi disana, orang asing dari Barat datang, menjadi tuan penguasa negeri itu. Mereka berkeinginan mengambil untung dari kesuburan tanah negeri itu, dan memerintahkan penduduk agar bisa menjadikan sebagian dari tenaga dan waktu mereka guna mengerjakan ... hal-hal lain yang akan jauh lebih banyak mendatangkan keuntungan dari pasaran Eropa. Untuk menggerakkan agar orang-orang yang sederhana itu melayani mereka, dibutuhkan ... suatu ilmu pemerintahan yang sangat sederhana. Caranya,  hanyalah perlu menundukkan para penguasa pribumi yang memimpin mereka, dengan memberikan mereka sebagian dari keuntungan, … dan berhasillah semuanya dengan sempurna.”

 Mendampingi buku Breman itu, saya berusaha menyingkap politik agraria yang benar-benar mempengaruhi hidup rakyat petani Priangan sepanjang hampir tiga abad. Ratusan kasus konflik agraria di dataran tinggi di Jawa Barat Selatan masa sekarang ini. Hal ini sangat berhubungan dengan cara bagaimana elite negara menggunakan kekuasaannya dan bagaimana sistem agraria kapitalisme di masa kolonial dan paska-kolonial bertumbuh dan berkembang. Pada konteks ini, penulis mengingat karya tulis seorang peneliti perubahan agraria Indonesia yang terkenal, Benjamin White sebagai berikut:

Sungguh penting bahwa para generasi muda intelektual, aktivis dan pembuat kebijakan memahami sejarah (dan geografi) agrarianya sendiri, yang seringkali menjadi sejarah (dan geografi) yang diselewengkan dalam versi resmi pemerintah dan masyarakat umum.[2]

Penulis berharap bahwa pemahaman tentang sejarah dan ingatan mengenai pergulatan yang brutal antara rakyat petani, negara dan kekuatan kapitalisme selayaknya mendorong optimisme pikiran maupun tindakan kita menghadapi krisis agraria ekologi yang semakin kronis.[3]

 

Ekologi Politik Perubahan Agraria Priangan

Otto Soemarwoto (1984, 1985, 1987)[4] pernah menteorikan tentang evolusi dari sistem pertanian berpindah ke sistem Wanatani (Hutan-Pertanian, agroforestry): mulai dari pembukaan hutan, kemudian perladangan, lalu sistem pertanian menetap, hingga terbentuknya Kebun Talun dan Pekarangan. Evolusi itu sama sekali mengabaikan adanya penetrasi kekuasan negara feudal, negara kolonial dan kapitalisme dunia, sehingga ia hanya berlaku untuk wilayah-wilayah khusus saja. Saat ini di sebagian wilayah dataran tinggi Priangan, kita masih dapat menemukan warisan sistem wanatani  ini, yang oleh Miguel Altiery digolongkan sebagai contoh dari  Warisan Sistem Pertanian Asli yang Penting secara Global , GIAHS).[5]


Sesungguhnya, garis besar evolusi itu tidak berlaku untuk kebanyakan wilayah Priangan, dimana hutan dan tanah-tanah garapan petani dimasukkan dalam sirkut produksi kapitalisme kolonial. Petani penggarap di dataran tinggi Priangan berada di dalam suatu lingkungan agraria yang, seperti kebanyak dataran tinggi Indonesia lainnya, telah disusun, dikhayalkan, dikelola, dikendalikan, diekspolitasi dan “dibangun” melalui serangkaian wacana dan praktek”.[6]  Lingkungan agraria Priangan ini telah memiliki sejarah yang panjang semenjak ektraksi hutan jati di pantai utara, dipaksakannya produksi kopi secara luas oleh VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie), penguasaan hutan oleh badan kehutanan Hindia Belanda Boschewezen dan kemudian dimasukkan ke dalam penguasaan Perhutani, penjualan tanah luas ke tuan-tuan tanah partikelir, ekspansi perkebunan komoditi eksport secara besar-besaran, demarkasi hutan untuk kawasan konservasi hingga pemakaian wilayah untuk ekstraksi alam dan produksi berteknologi tinggi yang terbaru.

       Semenjak awal hingga sekarang, politik penguasaan negara atas tanah untuk setiap periode sejarah dataran tinggi Jawa Barat Selatan bukan terbentuk akibat dinamika proses-proses lokal, melainkan merupakan resultantenya dengan dinamika nasional dan global yang melingkupinya. Proses-proses lokal yang terikat pada tempat, menerima pengaruh dari proses-proses nasional dan global yang terjadi. Sebaliknya, faktor- faktor berbasis tempat itu, seperti degradasi hutan, kondisi kemiskinan yang kronis atau gerakan aksi-aksi protes petani, hanya akan memberi pengaruh pada kebijakan nasional, manakala ia diangkut, dibawa dan diperjuangkan oleh aktor-aktor nasional atau global. 

Di Indonesia, politik penguasaan negara atas tanah merupakan pancaran dari bagaimana negara itu difungsikan oleh rejim penguasanya. Pada konteks ini, negara dapat dipandang sebagai kekuasaan yang otoritatif untuk mendefinisikan cara-cara, proses-proses dan hubungan-hubungan dimana para pelaku dapat memperoleh, mengendalikan dan mendapatkan keuntungan dari aksesnya atas tanah. Menggunakan uraian dari Ribot dan Peluso (2003), Akses atas tanah merupakan suatu kemampuan untuk mendapatkan keuntungan dari tanah, dengan segala relasi sosial yang menyertainya.[7] Dengan kerangka ini, kita akan menemukan bahwa pihak yang mengendalikan akses akan mengembangkan konflik dan kerjasama dengan pihak lain berdasarkan pada keuntungan/kerugian yang didapatkannya.  Pada hubungan konflik/kerjasama inilah kita dapat melihat signifikansi dan pengaruh dari konteks ekonomi politik yang bersifat non-tempatan. 

Tulisan ini adalah suatu contoh penggunaan perangkat analitis ekologi-politik (political ecology) untuk memahami perubahan agraria di dataran tinggi Jawa Barat Selatan. Ekologi politik sebagai suatu ilmu hybrid telah kukuh menjadi suatu bangunan pengetahuan (body of knowledge) yang dihasilkan, dirawat, disosialisasikan dan dikembangkan oleh concerned scholars untuk menjelaskan bagaimana perubahan agraria dan/atau lingkungan terjadi sebagai akibat dari dinamika sosial, ekonomi, politik, dan sebaliknya. Meskipun terdapat berbagai variasi didalamnya, perangkat analitis ekologi politik ini, sebagaimana dikemukakan oleh Michael Watts,[8] berpusat pada tiga “”soko-guru” analitik. Pertama, bahwa kemiskinan, kerusakan alam, dan ketertindasan sesungguhnya adalah tampilan saling menguatkan satu sama lainnya. Ketiganya merupakan teman seiring sejalan. Kedua, gejala pengurasan, penghilangan hingga perusakan mutu alam yang mengancam umat manusia, terutama orang yang miskin dan tertindas, terjadi akibat pemujaan dan pemaksaan dari cara manusia berproduksi dengan segala kuasa dan proses sosial-politik yang dipancarkan dan/atau mempengaruhi oleh cara berproduksi itu. Ketiga, keterbatasan, bias, kepentingan maupun ideologi yang diidap oleh berbagai pihak, baik yang menjadi sutradara, produser, aktor utama, pemain figuran maupun penonton yang menjadi korban atau penikmat, mau tidak mau menyadarkan kita bahwa terdapat ragam persepsi, definisi, analisis, kesimpulan hingga rekomendasi mengenai data seputar perubahan agraria/lingkungan itu. Untuk memahami bagaimana ketiga “soko-guru” ini dipakai untuk menganalisa suatu gejala tertentu, disarankan untuk menggunakan prinsip metologis bahwa “bagaimana segala sesuatu itu berkembang sesungguhnya bergantung sebagian pada dimana hal itu berkembang, di atas apa-apa yang telah secara historis mengendap di sana, dan di atas struktur sosial dan ruang yang telah ada di tempat itu.”[9]

Di lingkungan agraria dataran tinggi Jawa Barat ini, kita akan menemukan beragam jenis sumber daya beserta tipe organisasi pengelolanya yang berbeda-beda, baik untuk produksi maupun konservasi. Masing-masing memiliki sejarah awal mulanya masing-masing, dan dalam perjalanannya berjanin satu sama lain. Sebagian dari padanya sudah berakhir, seperti perkebunan kopi dan kina, dan hanya meninggalkan artefak-artefak baik dalam bentang alam, maupun dalam kebudayaan rakyat.  Perubahan lingkungan agrariadari dataran tinggi Jawa Barat ini sepanjang tiga abad ini sangat dinamik. Dibandingkan dengan dataran rendah di pantai utara Jawa Barat[10], lingkungan agraria dataran tinggi Jawa Barat kurang mendapatkan perhatian para peneliti, terlebih-lebih dengan memperhatikan variable gerakan petani, baik dalam bentuk protes sesaat maupun gerakan massa yang cukup panjang umurnya.[11]Usaha mengungkap sejarah perjalanan lingkungan agraria dataran tinggi Jawa Barat ini akan bertemu dengan tema klasik dari studi petani, yakni masalah agraria (agrarian question). Penyelidikan ini akan dikhususkan untuk mengetahui dinamika khusus transisi menuju kapitalisme (baik masa kolonial maupun paska kolonial) dan bagaimana dinamika ini dipengaruhi oleh politik penguasaan negara atas tanah dan hutan. 

Untuk memahami secara kritis masalah agraria kontemporer, kita tidak bisa menghindar dari apa yang disebut sebagai “akumulasi primitif (primitive accumulation)”, sebagaimana pada mulanya dikonsepsikan oleh Karl Marx  (1867) atas dasar ide Adam Smith (1776) mengenai previous accumulation sebagai syarat berkembanganya suatu perusahaan modern dalam karya kalsiknya An Inquiri into the Nature and Cause of The Wealth of Nations. Pada dasarnya “akumulasi primitif” dipahami sebagai pemisahan paksa dan brutal hubungan penguasaan tanah dan segala kekayaan alam yang tadinya menjadi ruang hidup dan digarap para petani, dan kemudian memasukan tanah dan kekayaan alam tersebut ke dalam suatu proses dan tata produksi kapitalis; Di lain pihak, para petani yang hidup dan bekerja dalam tata produksi pra-kapitalis itu, disingkirkan secara brutal dan kemudian ditransformasikan menjadi buruh upahan. Konsep alam sebagai karunia yang harus dipelihara untuk keberlangsungan hidup komunitas petani dilindas oleh pandangan baru yang menempatkan alam sebagai sumber daya (natural resources) yang harus dieksploitasi dan ditransformasi menjadi modal yang dapat diakumulasikan dan direproduksi secara meluas. 

Proses “akumulasi primitif” ini sangat berhubungan dengan bagaimana pemerintahan kolonial dan paska kolonial bekerja melayani dan menghadapi dinamika kekuatan modal yang memporak-porandakan hubungan-hubungan sosial di wilayah pertanian pra-kapitalis, [12] sebagaimana dianjurkan pada mulanya dikonsepsikan oleh Kautsky (1898/1988) dalam karya klasiknya Agrarian Questions.[13]  Dengan perangkat analitis “akumulasi primitif” yang diperbaharui dan disesuaikan dengan konteks kekinikan, penulis mengundang pembaca untuk menengok pada kekuatan perangkat analitik itu untuk  memahami cara bagaimana kapitalisme bertahan hidup dan semakin berkembang meluas, dengan cara memasukkan tanah dan sumber daya alam, orang-orang dan wilayah hidupnya ke dalam sistem akumulasi modal dan reproduksinya.[14] Penulis mengingat anjuran dari Nancy Peluso dan Michael Watts (2001), bahwa “… suatu pemahaman berbagai cara yang khas dimana sejarah, ingatan dan praktek dari rakyat, negara-negara, dan kekuatan-kekuatan kapitalisme yang sering bergelut bersama secara brutal, dapat memberi optimisme baik pada pikiran maupun kehendak kita …”[15]

 

 

Politik Agraria dan Indirect Rule di Priangan di Abad 18:
Penggundulan Hutan Tropis, Ekstraksi Kayu dan Produksi Komoditi dan 
Transformasi Peladang Berpindah-pindah menjadi Petani Menetap  

        Di abad 18, yang merentang dari masa awal berkuasanya hingga jatuhnya VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie), kita menemukan suatu politik agraria yang jarang mendapat perhatian dari sejarawan, yakni mulai dibedakannya antara apa yang disebut sebagai (i) pertanian rakyat, (ii) perkebunan dan (iii) kehutanan. Pada masa ini, mayoritas pertanian rakyat masih berupa perladangan; sementara perkebunan adalah suatu komoditas yang diperkenalkan dan kemudian diekstraksi untuk diekspor ke Eropa, seperti Kopi; dan kehutanan adalah suatu wilayah dimana hutan berisis kayu jati dibabat habis dan hutan non-kayu jati dibiarkan menjadi hutan. Demarkasi ketiga “sektor” ini diatur dengan kebijakan teritorialisasi dan sistem produksi khusus yang digerakkan oleh kepentingan untuk ekstraksi. 

            Semasa VOC mengukuhkan kuasanya di Batavia tahun 1619, sebagian wilayah Priangan masih menjadi wilayah kerajaan Sumedang-larang. Tapi, pada tahun 1620, kerajaan Sumedang-Larang yang pada saat itu dipimpin oleh Aria Suryadiwangsa I takluk pada kerajaan Mataram yang dipimpin oleh Sultan Agung. Ia kemudian mengubah nama wilayah ini menjadi Priangan, yang juga meliputi wilayah eks-kerjaaan Galuh yang terlebih dahulu telah ditaklukkan pada tahun 1595.   Penguasaan Mataram atas Priangan berlangsung hampir selama 50 tahun, hingga diserahkannya wilayah itu ke VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) dalam dua kali perjanjian (1667 dan 1705), sebagai balas jasa kepada VOC yang telah membantu penyelesaian perebutan kekuasaan di Mataram.[16]

Penyerahan ini berakibat, bukan hanya wilayahnya dikuasai oleh VOC, tapi priayi (Menak) dan tentunya juga penduduk desa di wilayah ini juga berada di bawah kekuasaan VOC. Penyerahan wilayah ini membuatnya mendapatkan jaminan atas ketersediaan terutama kayu jati (tectona grandis) dari hutan-hutan di pantai utara sekitar lingkungan Batavia (nama awal dari Jakarta). Kayu jati sangat mereka perlukan untuk membangunnya menjadi kota pelabuhan, kota dagang dan sekaligus kota pemerintahan.   Dengan menaklukkan kesultanan Cirebon di tahun 1681, kekuasaannya atas hutan-hutan jati beserta penduduk desa di sekitarnya, yang berada di pantai utara antara Batavia dengan Cirebon.  Bahkan, praktis hingga Jawa Tengah, dimana VOC berhasil membuat perjanjian-paksa pembelian kayu jati dari para penguasa Mataram waktu itu. VOC menilai hutan-hutan jati sebagai timbunan kayu yang menyediakan keuntungan dagang yang luas biasa. Dengan kuasa monopolinya itu, VOC menerapkan suatu sustem yang disebut “kontingensi kayu”, dimana para penguasa-penguasa pribumi harus menyetorkan sejumlah kayu jati yang ditetapkan dengan imbalan harga yang juga VOC tetapkan. Para penguasa pribumi pada gilirannya memaksa penduduk-penduduk desa menjadi “awak blandong” pengadaan kayu.  Untuk daerah Jawa Barat saja, para periode ini, diperkirakan jumlah wajib setor kayu yang ditetapkan VOC mencapai 5000 m3 per tahun, dimana total prosuksi kayu jati untuk seluruh Jawa mencapai 11.000 m3 per tahunnya.[17]  Sistem ini berlangsung lebih dari 40an tahun. Hingga pada gilirannya, pada tanggal 16 Juni 1722 seorang Gubernur General Hindia Belanda, Zwaardekroon menetapkan, “Semua penebangan kayu di daerah Priangan harus dihentikan selama 15 tahun, atas permohonan bersama para kepala rakyat di Priangan, bukan saja untuk memberi istirahat kepada para penebang kayu yang sudah lelah dan hidup terpencil, tetapi juga supaya pohon-pohon muda di tepi sungai yang masih ada, dapat tumbuh menjadi kayu yang layak pakai”.[18]

Bila di pesisir utara sejak tengah abad 18 disebabkan oleh pembalakan kayu jati, asal-usul penggundulan hutan dan kerusakan lahan di Priangan karena apa yang disebut sebagai Prijanganstelsel sepanjang lebih 70 tahun (1800-1970).[19] Jadi, sama sekali bukanlah berasal dari kelakuan penduduk petani-peladang baik untuk tanah produksi maupun permukiman. 

Dataran tinggi Priangan, untuk pertama kalinya, mendapatkan perhatian utama karena kecocokan ekologis untuk penanaman kopi. Di tahun 1707, VOC menetapkan Priangan sebagai daerah uji-coba penanaman Kopi. Priangan diproyeksikan menjadi daerah produksi komoditi yang baru, yang mampu memenuhi permintaan kopi dalam pasaran Eropa yang baru berkembang pada waktu itu. Proses percobaan penanaman kopi ini dilakukan di Batavia. Dari kebun percobaan di Batavia ini, bibit kopi didistribusikan ke para Bupati di daerah priyangan pada tahun 1707. Sementara itu, para Bupati Priangan Timur dan Tengah memperoleh contoh bibit yang sama dari dari kebun percobaan VOC yang berada di sekitar kita Cirebon. Di daerah Priangan ini  kopi ditanam di kebun-kebun yang baru dibuat dari hutan-hutan primer yang dibuka dengan menggunakan tenaga kerja-wajib. Organsiasi pelaksanaannya diserahkan pada para Bupati. Sekalipun demikian, VOC juga mengangkat beberapa orang pengawas Belanda untuk mengawasi jalannya proses produksi dan penyerahannya kepada VOC, termasuk mengawasi penguasa-penguasa pribumi. Melalui sistem ini, penduduk diwajibkan untuk mengerjakan pembukaan lahan, penggarapan lahan, penanaman biji kopi, pemeliharaan, dan pemanenan serta pengangkutan produksi dari kebun ke tempat penimbunan kopi yang telah ditetapkan. Dari kopi yang diserahkan penduduk setempat, Bupati kemudian meneruskannya untuk diserahkan kepada pihak VOC, sebagai produksi penyerahan wajib. VOC memberikan perhitungan pembayaran biaya penanaman, pengangkutan dan kelebihan jumlah dari yang ditetapkan, serta premi bagi bupati sendiri. Menurut ketentuan, Bupati meneruskan pembayaran kembali itu kepada para petani yang bersangkutan melalui punggawa bawahannya.[20]  

        Pemaksaan penanaman kopi ini menimbulkan keresahan dengan penduduk. Dalam karya terkenalnya Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, jilid 1, sejarawan Burger dan Prayudi menuliskan:

Kebun-kebun kopi dibuat di atas tanah-tanah bukaan dari hutan belantara dengan mempergunakan pekerja-pekerja wajib. Penanaman kopi itu mudah sekali sehingga dapat diserahkan kepada Bupati-bupati. Pimpinan-teknik dari orang-orang Eropah tidak diperlukan. Sungguhpun begitu, penanaman-wajib kopi itu menyebabkan Kompeni lebih banyak turut-campur dalam urusan-urusan daerah pedalaman, terutama untuk mengatur pekerjaan. Kompeni, misalnya, tak dapat membiarkan seorang Bupati memanggil separuh dari penduduk suatu kabupaten untuk diajak berburu, atau karena berlaku menindas sehingga rakyat lari mengungsi ketempat lain. Walaupun Kompeni tidak bermaksud untuk mengurangi kekuasaan kejam dari penguasa-penguasa pribumi itu, tapi ia bertindak juga terhadap mereka itu, oleh sebab untuk kepentingan perkebunan kopinya. Karena itu, Kompeni harus mempunyai kekuatan pengawasan di daerah-daerah pedalaman yang tidak tergantung sepenuhnya dari Bupati-bupati, dan oleh sebab itu pula dalam akhir abad ke 18, Kompeni beberapa kali bertindak terhadap Bupati-bupati dan mengawasi gerak-gerik mereka.  Juga sejak tahun 1706 Kompeni memberikan surat-pengangkatan kepada Patih-patih dan sejak tahun 1790 Kompeni memberikannya kepada Wadana-wadana sehingga mereka  kurang tergantung pada para Bupati. Disamping itu di daerah pedalaman diangkat opisiner-opsiner (penilik) berasal dari bangsa Eropa untuk kebun-kebun kopi. Biasanya para penilik itu adalah orang-orang  yang tidak disukai, berpendidikan rendah dan berpangkat kopral atau sersan. Dalam tahun 1778 di Priangan bekerja kira-kira 10 orang Eropah semacam itu. Mereka hampir semata-mata bekerja dalam penanaman kopi dan terutama mengawasi jangan sampai orang Indonesia ditipu dalam pembayarannya. 

… Opsiner-opsiner Eropah di Priangan itu agak mencurahkan perhatiannya kepada jalan-jalan dan kondisi ternak demi lancarnya pengangkutan kopi. Lambat-laun disini timbullah juga perusahaan2 pengangkut pembuat kereta-pengangkut dan perusahaan2 pengangkut secara kecil-kecilan. …

Siksaan dipakai oleh Kompeni untuk menjamin berjalannya peraturan-peraturannya di daerah-daerah Priangan, dilakukan terhadap para penguasa tradisional. Pada tahun 1706 seorang Wedana dibuang untuk sementara ke pulau Onrust. Dalam tahun 1747 seorang Bupati dihukum karena malas. Pada tahun 1758 seorang Patih diancam akan dibuang ke satu tempat , “jika ia bermalas2 lagi”. Dalam tahun 1791 dua orang Wedana dibuang ke pulau Edam. Kira-kira tahun 1800 seorang Wedana dihukum kerja paksa, seorang Bupati dikurung di Batavia karena malas, dan seorang Patih dipasung. Jika dipandang perlu, para penguasa yang lebih rendah, mandor-mandor dan pekerja-pekerja wajib dapat dicambuk dengan rotan dan dipasung supaya bekerja lebih rajin, atau agar mereka tunduk-patuh. Keterangan dari sejarah menunjukkan bahwa Kompeni bertindak langsung hanya terhadap para Bupati, Patih-patih dan Wedana-wedana – yakni mereka yang akan meneruskan peraturan-peraturan Kompeni ke bawah – dan barulah pada akhir abad ke 18, Kompeni bertindak langsung juga terhadap kepala-kepala rendahan dan terhadap penduduk, walaupun hanya sewaktu2 saja. Selain kepala2  Indonesia, juga opsiner-opsiner Eropa hidup “dalam ketakutan akan dirotan”. Pada waktu itu di negeri Belandapun keadaan masyarakatnya jauh lebih keras, kejam dan kasar dari pada di jalan kita sekarang.[21]

Sejarawan Belanda, Artur van Schaik, menerangkan tiga sistem penanaman kopi di sebagian besar abad 19 itu sebagai berikut:

Sistem pertama adalah ‘kebun yang ditata berurutan’. Lazimnya dikerjakan di tanah bukaan baru yang kaya akan materi organik, tetapi sejumlah hutan sekunder dengan lahan kosong panjang (huma, oro-oro) di dekat desa juga digunakan pada dasawarsa pertama. Penduduk dipaksa menanam dan memelihara sejumlah khusus tanaman. Struktur tanah rusak karena penyiangan yang dipraktekkan, tetapi tanaman kopi jadi berproduksi setelah 2 atau tiga tahun.[1] Pelbagai pohon terus menghasilkan sampai berumur 8 atau kebanyakan 15 tahun. Kemudian bidang lahan lain dibuka di hutan untuk kebun berikutnya. Secara teoretis, bidang yang lama digunakan lagi setelah masa kosong tertentu, tetapi setelah terjadi banyak kegagalan, pendapat seperti ini ditanggalkan.2

Alternatif lainnya‘kopi pagar’yang ditanam di dalam desa, di sepanjang sisi jalan, dan kadang-kadang sebagai perkebunan kecil dilahan kering dengan tanaman alang-alang atau glagah, atau ditanam berselang-seling dengan jagung. Lahan kering ini bisa bertempat di lahan pemerintah yang“dicadangkan untuk kopi”dan di lahan kecil-kecil milik penduduk. Rakyat diwajibkan menyerahkan hasil sejumlah tertentu pohon kopi kepada gudang pemerintah. Kopi hutan ditanam di kebun-kebun hutan campuran atau sebagai kopi hutan liar. Pelindungnya tetap utuh. Kopi hutan produktif selama 15-26 tahun, tetapi tanaman ini buah pertamanya keluar agak lamban. Setelah tenggang waktu kosong yang singkat, beberapa bidang berhasil ditanami beberapa kali. Secara regional, terutama di Pasuruan, kopi pagar dan kopi hutan ditanam sukarela (monosuko).3 Pada dasawarsa 1850-an sekitar 60% pohon kopi tumbuh di kebun berurutan 30% kopi pagar, dan sisanya 10% adalah kopi hutan, kebanyakan darinya di Pasuruan. Pada beberapa dasawarsa berikutnya jumlah pohon kopi di kebun berurut merosot, sementara kopi pagar dan kopi hutan tetap stabil.4

Pemerintah lebih menyukai kebun berurutan. Lebih banyak semak-semak harus ditanam per hektarnya, menghasilkan lebih cepat, dan per tahunnya hasilnya lebih banyak ketimbang kopi hutan dan kopi pagar. Kopi ini sangat menarik bagi para pejabat. Karir mereka tergantung pada jumlah kopi yang ditanam dan pada peningkatan produksi yang diwujudkan selama masa jabatan mereka. Maka mereka menanam sebanyak mungkin pohon kopi di daerahnya, yang menghasilkan sebelum mereka pindah ke tempat tugas lainnya.5 Untuk alasan yang sama mereka tidak peduli terhadap kenyataan bahwa kebun berurutan harus dihapuskan setelah 6-8 tahun produktif. Membuka hutan lebih banyak merupakan persoalan bagi pejabat pengganti. Kenyataan bahwa sistem penyiangan yang dipraktekkan dalam kebun berurutan memicu erosi yang lebih parah tidak mengganggu pejabat lokal, yang setelah beberapa tahun akan dipindahkan ke tempat tugas lain.[22]

Para pengawas Belanda memaksakan penanaman kopi pada tempat yang dia inginkan, sementara petani memilih kesesuaiannya dengan wilayah perladangan mereka. Ketika hal ini terjadi, penduduk sering pindah dari wilayah itu. Pada tahun 1809, seorang pejabat Belanda melaporkan bahwa, “Saya mendesak perluasan sawah agar orang-orang dapat memproduksi makanan yang cukup, meski bertentangan dengan kebiasaan lama mereka, menambah beban penduduk, dan juga menyebabkan penduduk pindah ke tempat lain”[23] Jadi, selain meluasnya perkebunan kopi, penguasaan VOC atas Menak Priangan juga membawa akibat pada meluasnya sawah sebagai suatu bentuk produksi pertanian menetap.[24] Budi Rajab menuliskan bahwa perluasan sawah “dari Jawa Tengah ke Priangan terdengar tahun 1750,  dari kawasan Sumedang dan Tasikmlaya, dan setengah abad kemudian dari lembah-lembah di dataran tinggi Bogor dan Bandung.”[25] Selanjutnya ia menulis: 

Pertanian sawah di Priangan muncul sebagai akibat gelombang migrasi penduduk dari Jateng yang telah mengenal sawah sejak berabad-abad lalu. Gelombang mingrasi ini didorong, pertama, saat Priangan berada di bawah otoritas Mataram. Raja Mataram mendistribusikan penduduk ke daerah Priangan. Kedua, akibat dari situasi politik di Jateng yang tidak menentu selama pertengahan abad XVII sampai paruh pertama abad XIX, telah mendorong (push factor) sebagian penduduk Jateng bermigrasi ke Priangan. Ketiga, akibat faktor ekonomi (pull factor), penduduk Jateng masuk ke kriangan karena melihat daerah ini relatif kosong, sehingga memungkinkan untuk menguasai tanah, disamping karena Priangan memperlihatkan kegiatan ekonomi yang dinamis akibat Sistem Priangan (SP).[26]

Yang tidak disebutkan oleh tulisan Budi Rajab itu adalah andil dari Menak Priangan, yang penghasilannya hingga saat itu semata-mata berasal dari kerja rodi rakyatnya, untuk mencontoh pertanian sawah dari Jawa. Saat itu, para Menak maupun penguasa VOC sekuat tenaga mencegah praktik perladangan (ngahuma), dan mengumpulkan secara paksa penduduk di lingkungan desa yang lebih besar. Pencetakan sawah dilakukan, di satu sisi, dengan memberlakukan kerja rodi dan di sisi lain dengan menyetujui pembebasan pajak selama tahun-tahun pertama usaha tani.  Sawah yang telah dicetak oleh pekerja rodi menjadi milik kaum bangsawan dan digarap oleh penyewa sawah. Sawah yang lain digarap oleh pemiliknya dan pajaknya dipungut setelah masa pembebasan pajak berakhir. Perluasan sawah yang sangat cepat itu diikuti oleh pertambahan penduduk dalam jumlah yang besar. Selama satu periode yang berlangsung antara 1863 dan 1868, hampir 60.000 hektar sawah dicetak di daerah Priangan.[27]

Pola penguasaan VOC terhadap Priangan merupakan contoh terbaik dari sistem pemerintahan tidak langsung (indirect rule system). VOC menggunakan pola hubungan kekuasaan para penduduk dengan para Menak (istilah Sunda untuk nama para penguasa pribumi mulai dari Bupati hingga keluarganya). Hal ini terjadi, pertma, karena jumlah personel VOC relatif sedikit; kedua karena otoritas paling tinggi dalam masyarakat pribumi merupakan kekuasaan potensial yang dapat dieksploitasi untuk urusan produksi dan jasa yang diperoleh dari para petani. Dengan alasan ini, struktur sosial yang ada dibiarkan untuk diatur sendiri oleh penguasa pribumi yang di Priangan dipengang oleh kamu Menak.[28]  Penguasaan tidak langsung (indirect rule) sepanjang abad 18 ini telah membuat para Menak di Priangan menjadi alat ekstraksi kekayaan yang handal.  Kalau sebelum tahun 1667, para Menak ini memerintah atas nama Rajanya, tapi sejak masa itu, mereka memerintah atas nama VOC. VOC tidak mencampuri urusan pemerintahan dalam wilayah mereka, kecuali dalam urusan ekstraksi kayu jati dan barang produksi pertanian, terutama kopi.[29]   

Apa yang dikenal kemudian dengan istilah prijanganstelsel ini pada gilirannya memang membuat kopi dari Jawa menjadi andalan VOC untuk menguasai pasar Eropa. Pada tahun 1723, daerah Priangan  Barat menjadi produsen kopi terpenting. Dilaporkan, terdapat 1.014.000 pohon kopi yang telah berbuah, dan sejumlah yang sama masih berupa batang kopi muda. Dua tahun berikutnya, pada tahun 1725, produksi panen kopi dari wilayah ini mencapai 3.150.000 pon (lbs), dan kopi dari Jawa mengalahkan jumlah kopi dari dibawa oleh berbagai maskapai Eropa lainnya (Inggeris dan Perancis) dari pelabuhan Mocha.[30]

Keberhasilan Prijanganstelsel inilah yang dicontoh oleh Gubernur Jenderal Van Den Bosch di tahun 1830. Ketika ia diangkat menjadi Gubernur Jendeal, negara Belanda sedang dalam kesulitan keuangan, baik karena peperangan di Hindia Belanda (Perang Diponegoro 1825-1830) maupun peperangan dengan Belgia di Eropa. Selain karena itu, juga dikarenakan industrialisasi sedang digalakkan di dalam negeri Belanda itu sendiri. Untuk memecahkan masalah keuangan ini, Van Den Bosch mengusulkan diberlakukannya Cultuurstelsel yang merupakan perluasan dari Prijanganstelsel.[31]

 

Priangan dan Jawa di Abad 19 dan 20:
Membentuk Pola Hubungan  Negara, Kapitalisme dan Petani

 

        Kejayaan VOC yang berlangsung selama lebih 100an tahun berakhir juga. VOC bankrut, di antaranya karena kecurangan pembukuan, korupsi, pegawai yang lemah, sistem monopoli, sistem serah wajib dan kerja paksa yang membawa kemerosotan moral penguasa dan memenderitakan penduduk, berujung pada pembubarannya di tahun 1799.[32] Pada abad ini, selain pembelahan antara sektor pertanian rakyat, perkebunan dan kehutanan menjadi lebih kukuh, pemerintah Hindia Belanda membuat satu sektor lagi yang khas Priangan yakni Tanah Partikelir. Tanah-tanah Partikelir adalah suatu bidang tanah luas beserta penduduknya, yang dijual oleh pemerintah Belanda kepada orang-orang Eropa, yang disertai dengan hak untuk membentuk “tata pemerintahan” sendiri. Di paruh pertama abad ini, mulai pada tahun 1830, perkebunan mendapat tempat utama, dengan diperkenalkannya suatu sistem ekstraksi yang baru, yakni Tanam Paksa, yang kemudian diubah karena akomodasi pemerintah kolonial terhadap arus liberalisasi investasi. Penerapan Agrarische Wet pada tahun 1870  membuat Priangan menjadi wilayah kerja dari perkebunan-perkebunan yang luas (plantation) di satu pihak, dan di pihak lain membuat desa-desa di sekitar perkebunan menjadi kantung-kantung tempat petani  dan juga buruh kebun bertanah hidup. 

Akhir abad 18, tepatnya pada tahun 1795, ditandai dengan usaha pemerintah Belanda mengatasi krisis keuangan VOC. Dikirimlah suatu komisi yang diketuai oleh Nederburgh, yang bertugas untuk menemukan cara agar VOC dapat melunasi defisitnya. Nederburgh pada saat itu  menuliskan bahwa “Jawa dapat memproduksi kopi dan gula sebanyak yang dapat atau ingin dikirim oleh kapal-kapal”[33]  Meski rekomendasinya ini tidak dapat menyelamatkan VOC dari kebangkrutan. Namun, rekomendasi ini dianut oleh pemerintah Hindia Belanda, yang mengambil alih kewenangan VOC. Kejatuhan VOC di tahun 1796 itu, disertai dengan pengalihan kekuasaan yang selama ini dipunyainya kepada Bataafsche Republiek. Berdasar Constitutie de Bataafsche Republiek 1798, pasal 249, dibuatlah suatu charter khusus untuk mengurus daerah Jajahan yang selesai pada tahun 1804, yang menetapkan bahwa “semua hutan di Jawa menjadi milik pemerintah”.[34]  

Lalu, Gubernur Jenderal Daendeles, penguasa tertinggi yang ditugaskan pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu, meletakkan dasar-dasar kelembagaan penguasaan dan pengelolaan hutan dimana ia membuat instruksi-instruksi dan pedoman-pedoman bagi pegawai yang ditugaskan untuk menjaga dan mengurus hutan-hutan jati di Jawa Tengah dan Jawa Timur (Pada waktu itu, wilayah Priangan belum menjadi yurisdiksi dari kelembagaan ini). Ia juga membuat posisi-posisi baru, dan mengangkat pejabat-pejabat kehutanan untuk mengurus hutan di seluruh Jawa, yang tertinggi adalah yakni Inspektur-Jenderal dan kemudian Presiden Administrasi Hutan, dan seterusnya. Dengan plakat-plakat yang ia buat tahun 1808, seluruh administrasi dan pemangkuan hutan kayu di seluruh pulau Jawa harus diserahkan kepada “Collegie Administrasi Hutan Kayu”, yang terutama ditujukan untuk “meniadakan peraturan sewenang-wenang, yang memberi hak secara tidak sah kepada Residen pada masa lampau atas hutan kayu yang bernilai tinggi”, juga “untuk melepaskan blandong dari kekuasaan dan pengaruh prefect, bukan saja untuk mencegah konflik kekuasaan antara prefect dan administrasi hutan kayu, tetapi juga agar mereka bebas dari pengaruh Bupati atas diri pribadi mereka. Selama pembebasan belum dilakukan, kekuasaan akan dilakukan sewenang-wenang”. Lebih dari itu, Collegie itu juga memiliki “hak menghukum segala kejahatan dan korupsi yang mungkin dilakukan terhadap hutan atau salah satu bagian dari administrasi.” Dalam menimbang tindak pidana, untuk  Collegie akan berdasar pada anggapan bahwa “semua hutan itu adalah domein negara, dan bahwa semua penebangan dan angkutan sortimen kayu dan perdagangannya kepada pihak partikelir adalah terlarang kalau kayu itu sebelumnya tidak dibeli dari pemerintah.” Lebih dari itu, Sekretaris Inspektur Jenderal dapat berperan sebagai penghukum terhadap “pegawai rendahan, bosganger Eropa, begitu pula orang Cina dan Bumiputra yang melakukan kesalahan merusak pohon, menghancurkan hutan dan tanaman, mengangkut atau menebang sortimen yang terlarang, demikian juga terhadap semua Bumiputera atau Cina yang dicurigai, yang berkeliaran tanpa tujuan dalam hutan”.  Meskipun demikian, untuk memberikan kemudahan untuk rakyat lokal memperoleh kayu untuk kebutuhan hidup, Daendeles membuat suatu pengecualian bahwa “walaupun ada larangan ini, namun dengan surat izin Ketua atau salah satu anggota Dewan Administrasi, rakyat di pedusunan boleh menebang kayu jenis rendahan di hutan Negara, untuk keperluan rumah tangga, membuat pedati, atau bajak.” Pada prakteknya, rakyat yang tinggal di sekitar hutan, tetap mengambil berbagai  keperluan kayu dari hutan negara, baik untuk perumahan, pertanian juga untuk pembuatan perahu.[35]           

Dasar-dasar kelembagaan dan teritorialisasi penguasaan dan pengelolaan hutan yang dikembangkan di College inilah yang kemudian menjadi dinas “Boschwezen” pada tahun 1811, dimana “pemungutan hasil hutan harus dilakukan sendiri oleh dinas Boschwezen itu dan perdagangan kayu oleh pihak swasta dilarang.”[36]   Tapi, nasib Boschwezen  tidak lama. Raffles yang menjadi Gubernur Jenderal sepanjang 1811-1816, masa kekuasaan Inggeris atas wilayah eks-Hindia Belanda -- membuat terobosan baru dengan membubarkan dinas “Boschwezen”, dan membolehnya usaha swasta atas hutan dengan sistem lisensi yang memberi keleluasaan mengambil kayu sebanyak yang dibutuhkan. Hal ini tentu sangat menguntungkan industri pembangunan kapal dan juga eksport kayu, tapi tentunya membuat laju perusakan hutan di Jawa menjadi lebih cepat.[37]

            Kesulitan ekonomi di Belanda, di antaranya akibat perang Diponegoro, perang melawan Belgia, dan juga pembiayaan untuk industrialisasi di dalam negeri, telah mengancam kebangkrutan pemerintah Belanda. Dalam usaha mengatasi kebangkrutan itu, para pejabat Belanda memikirkan cara ekstraksi yang baru untuk memberi keuntungan pada Negara Belanda, dengan cara mengisi pasar komoditas di Eropa dengan produk dari negeri jajahan. Van Den Bosch, sebagai Gubernus Jenderal Hindia Belanda pada tahun 1830 memakai konsep bahwa negeri jajahan adalah “wilayah ekspoitasinya Belanda”. Ia menerapkan apa yang dikenal dengan istilah Sistem Tanam Paksa (Forced Cultivation System), yang modelnya telah  berhasil diterapkan di Priangan selama 30 tahun (1800-1830), sebagai modus utama untuk ekstraksi komoditas eksport seperti kopi, tebu, indigo, lada, dan lainnya. 

Tidak seperti jaman sebelumnya dimana pemerintah Hindia Belanda bekerja melalui VOC, Sistem Tanam Paksa ini dilakukan langsung oleh administrasi pemerintahan. Konsep  dasar sistem ini menggunakan desa sebagai wahana untuk mengadakan produksi, dengan melampaui peranan Bupati sebagai perantara seperti halnya yang dilakukan VOC.  Untuk pertama kalinya, desa secara langsung menjadi unit peningkatan produksi yang secara langsung berhubungan dengan pemerintah Hindia Belanda. Organisasi Desa dijadikan wahana penggerak yang efektif, dengan kepemimpinan Kepala Desa, berserta segala perangkat kulturalnya seperti ikatan solidaritas (gotong royong)ketaatan pada pemimpin dan lainnya.  Sistem Tanam Paksa ini didasarkan atas dua prinsip, yakni pertama, prinsip wajib/paksa seperti yang telah dilakukan dalam Preanger Stelsel  atau sistem penyerahan wajib yang dilakukan oleh VOC, dan kedua, prinsip monopoli dimana hanya Netherland Handels Maatchappij  yang diberi kewenangan untuk produksi, pengangkutan dan perdagangan hasil eksport dari Jawa. [38]

Menurut Sistem Tanam Paksa, pungutan dari rakyat bukan berupa uang, tapi berupa panen tanaman yang dapat dieksport. Seperlima dari tanah garapan yang ditanami padi dari rakyat di desa wajib ditanami jenis tanaman itu dengan memakai tenaga yang tidak melebihi tenaga untuk menggarap tanah itu bagi penanaman padi. Bagian dari tanah itu bebas dari pajak tanah, sedangkan setiap surplus dari hasil penjualan yang melebihi jumlah yang sebesar pajak tanahnya perlu diserahkan kepada desa. Akibat kegagalan panen akan ditanggung pemerintah. Untuk pengolahan hasil tanaman eksport, seperti gula tebu, tenaga rakyat dikerahkan, yaitu sebagian untuk menanam, sebagian untuk menuai, ada yang ditugaskan mengangkut ke pabrik dan ada yang bekerja di pabrik. Rakyat yang dikerahkan itu bebas dari pajak-tanah pada saat tanaman itu masak untuk panen. Pekerjaan tersebut dilakukan dengan pimpinan kepala desanya di bawah pengawasan pegawai Eropa.[39]

             Berbeda dengan di tempat lain,  kebijakan Sistem Tanam Paksa itu tidak membuat Preangerstelsel berubah. Ia sekedar nama baru untuk hal yang sama. Sehubungan dengan telah berjalannya Preangerstelsel dengan komoditi kopi sejak 1800-an, Wilayah Priangan terus dijadikan andalan untuk produksi kopi dibanding daerah (Residencies) lainnya. Konsekuensi dari pilihan ini adalah pembukaan hutan di Priangan secara besar-besaran. Di tahun 1837, di wilayah Priangan ini berhasil tumbuh 104 juta pohon kopi, yang berarti hampir 1/3 dari seluruh pohon kopi yang ditanam di Jawa.[40] 86 persen dari seluruh penduduk pedesaan Priangan, di tahun 1837 ikut serta dalam program tanam paksa ini.[41] Secara keseluruhan, hasil Tanam Paksa ini melebihi semua perkiraan sebelumnya. Nilai eksport internasional dari Jawa yang di tahun 1930 adalah 11,3 juta guilder untuk 36,4 kg komoditas, melonjak menjadi 66,1 juta guilder di tahun 1840 untuk 161,7 juta kg komoditas.[42]  Lonjakan produksi dari seluruh Jawa ini nyata-nyata membuat daerah jajahan menjadi “gabus tempat Nederland mengapung”. 

Namun demikian, resiko ekologis dari produksi itu adalah semakin besarnya penggundulan hutan dan kemerosotan mutu lahan. Seorang pengamat melukiskan perkembangannya, sebagai berikut: “… hutan, kemudian perkebunan kopi pemerintah, dan akhirnya pertanian ekstensif, atau bahkan bukan itu tetapi hanya alang-alang liar” …“Para pengamat mencatat bahwa hampir seluruh alang-alang di lereng-lereng tumbuh di bekas lahan kopi. Sejumlah pejabat menjadi khawatir dan lebih memberi perhatian pada apa yang terjadi di Priangan, Jawa Barat dimana pada saat itu, kopi meluas sangat cepat. Diamati bahwa setelah penggundulan dan pembukaan hutan untuk kopi, lebih sering terjadi banjir, tanah longsor, banjir lumpur, dan bahwa selokan-selokan berkembang dari saluran.”[43]

 

---------------------------------------------------------------------------------------------------- 

Kotak 1 

Pertanyaan ini muncul dan terus mengganggu saya yang terbiasa berkeliling di pedesaan pedalaman Kabupaten Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Cianjur, Sukabumi, dan Bogor, semenjak tengah 1980-an. Penulis sudah terbiasa untukbertanya apa gerangan yang menyebabkan kemiskinan yang kronis itu? Apakah penderitaan hidup dalam kemiskinan itu disebabkan karena rakyat Pasundan dilenakan oleh alam yang kaya itu sehingga menjadi “malas”?  “Mitos Pribumi Malas”itu banyak dipelihara dan terus diedarkan oleh pejabat VOC(Vereenigde Oost Indische Compagnie), pemerintah kolonial, hingga pengusaha-pengusaha kehutanan dan perkebunan. Buku bagus karya Syed Hussein Alatas (diterbitkan oleh LP3ES, 1988) berhasil menunjukkan fungsi “mitos pribumi malas” dalam kapitalisme kolonial di Jawa, Melayu dan Filipina, yakni  Mitos itu adalah alat untuk menaklukkan kaum pribumi. Mitos ini menyalahkan para korban, dan sama sekali tidak dapat diterima. 

Beruntunglah kita, karena ada karya baru dari Jan Breman yang dapat membantu kita memahami asal-usul kemiskinan rakyat itu. Buku yang baru terbit 2010 karya Profesor  Jan Breman dari Universitas Amsterdan, Belanda, itu pada mulanya berbahasa Belanda Koloniaal profijt van onvrije arbeid: het Preanger stelsel van gedwongen koffieteelt op Java, 1720-1870 (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2010).Empat tahun kemudian,versi Bahasa Indonesia buku tersebut terbit menjadi Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa, Sistem Priangan dari Tanah Paksa Kopi di Jawa, 1720-1870 (Jakarta: Yayasan Obor, 2014). Lalu, pada tahun 2015 terbit, versi bahasa Inggris Mobilizing Labour for the Global Coffee Market: Profits from an Unfree Work Regime in Colonial Java (Chicago: Chicago University Press, 2015).  

Buku Jan Breman ini menyajikan narasi sejarah. Bab-bab buku ini terdiri dari uraian secara berurut dengan Bab I berisi latar belakang yang menyediakan keterangan bagaimana situasi pemerintah kolonial berancang-ancang dan merencanakan meraup keuntungan.   Bab II menguraikan hubungan petani dan penguasa lokal hingga susunan kekuasaan yang khusus ini bisa dijadikan mesin andalan untuk eksploitasi. Bab III yang paling penting untuk mengerti bagaimana Tanam Paksa dijalankan. Lalu, Bab IV. Transisi dari penguasaan wilayah dan penguasahaan oleh perusahaan dagang (VOC) ke pengusahaan langsung negara. Lalu, bagaimana pemerintah Hindia Belanda melanjutkan yang disebut Preangerstelsel itu (bab V).  Selanjutnya, bab-bab berikutnya (VI sampai IX) menjelaskan aspek-aspek hubungan kerja, tata kelola dan sistem produksi kopi, peraturan-peraturan dalam sistem tanam paksa, dan reorganisasi pemerintahan dan ekonomi masyarakat. Terakhir, bagian penutup, Jan Breman membantah argumen kolonial bahwa “kerja paksa adalah jalan kemajuan”, sebaliknya ia menyimpulkan bahwa:

“Sistem tanam paksa di Jawa telah mendorong kuat pembudidayaan tanaman dagang untuk keperluan pasar dunia antara 1830 dan 1870. Pendapat bahwa ekonomi dan masyarakat kolonial dalam periode singkat ini telah berubah drastis adalah benar tetapi belumlah lengkap jika tidak sekaligus menyertakan pernyataan bahwa sistem tanam paksa sebagai sendi perubahan itu sudah sangat lama melumpuhkan kehidupan petani terutama di Kabupaten Priangan”.

Sesungguhnya, keuntungan kolonial itu didapat dengan cara menaklukan dan memeras penduduk pribumi Priangan. Cuplikan dari pamflet Multatuli, di pujangga yang mengkritis sistem penindasan, penaklukan dan eksploitasi kolonial, menjadi pembuka uraian buku: “Over vrijen arbeif in Netherlandsch Indies en de tegenwoordige koloniale agitatie” . Artinya, “Tentang kerja bebas di Hindia Belanda dan agitasi kolonial” (Multatuli 1862:38-39 sebagaimana dikutip oleh Breman 2014:v, tersaji di Bagian pengantar naskah ini). Pembaca disajikan kesimpulan yang menjelaskan bagaimana pengendalian wilayah Priangan tidak dengan cara membangun perusahaan, atau susunan penguasa sendiri, melainkan melalui cara penguasaan tidak langsung (indirect rule). VOC mengawasi dari jarak jauh dan menyerahkan pengawasan melekatnya kepada para penguasa pribumi yang diberikan restu untuk mengikat para petani untuk takluk dan mengabdi kepada mereka. 

VOC adalah armada perdagangan transnasional, terutama membawa kayu dan rempah-rempah dari Hindia Belanda. Sebagai armada perdagangan tentu membawa komditas dari luar Hindia Belanda. Tanaman Kopi merupakan yang dibawa oleh VOC dari India Selatan yang ternyata cocok untuk ditanam di dataran tinggi Priangan. Bukan sekedar armada perdagangan,  VOC juga adalah perwakilan negara  yang diberi mandat pula untuk penguasaan wilayah, termasuk dengan melakukan perundingan hingga berperang. Pada mulanya mereka memborong beli hasil produksi petani, tapi apa yang awalnya berupa transaksi komersial berubah menjadi penyetoran paksa melalui penguasa-penguasa pribumi. Pun ketika VOC bangkrut dan diganti oleh pemerintah kolonial, cara penjajahan melalui penguasaan tidak langsung tetap diteruskan. Pemerintah Hindia Belanda mengambil-alih penguasaan atas wilayah Priangan itu melanjutkan dan  memperluasnya, dan melanjutnya cara memaksa  petani menyerahkan tanah garapannya,berhuma dilarang, penduduk tinggal di desa-desa dan menjadi sumber tenaga kerja membuka hutan, mengerjakan kebun kopi dari menanam, merawat, panen dan menyerahkan panennya. Semua berupa paksaan. Ini semacam perbudakan. Kopi memang pahit buat rakyat Priangan.   

----------------------------------------------------------------------------------------------------

Preangerstelsel dihapus pada tahun 1870, saat Agrarishe Wet (bahasa Belanda yang artinya undang-undang agraria) diberlakukan. Undang-undang agraria ini adalah anak dari paham liberalisme yang berkembang di Eropa, khususnya Belanda, yang menilai bahwa pengusaha swasta Belanda merasa usahanya penanaman modal di negeri jajahan mendapat rintangan. Mereka menuntut diberikannya kesempatan yang lebih besar untuk membuka dan mengembangkan perkebunan di negeri jajahan. Tuntutan mereka mendapatkan layanan hukum cukup panjang, hingga semakin kuat dengan adanya penyimpangan-penyimpangan dalam Sistem Tanam Paksa. 

Isi Agrarische Wet sebagai berikut:

  1. Gubernur Jendral tidak diperbolehkan menjual tanah.
  2. Dalam larangan ini tidak termasuk tanah-tanah kecil untuk perluasan kota dan desa untuk mendirikan perusahaan-perusahaan.
  3. Gubernur Jenderal dapat menyewakan tanah menurut peraturan undang-undang. Dalam peraturan ini tidak termasuk tanah-tanah yang telah dibuka oleh rakyat asli atau yang digunakan untuk penggembalaan ternak umum, ataupun yang masuk lingkungan desa untuk keperluan lain.
  4. Dengan peraturan undang-undang akan diberikan tanah-tanah hak Erpacht untuk paling lama 75 tahun.
  5. Gubernur Jenderal menjaga jangan sampai pemberian tanah-tanah itu melanggar hak-hak rakyat.
  6. Gubernur Jenderal tidak akan mengambil kekuasaan atas tanah-tanah yang telah dibuka rakyat asli untuk keperluan mereka sendiri atau yang masuk lingkungan desa untuk penggembala ternak umum ataupun untuk keperluan lain, kecuali untuk kepentingan umum berdasarkan pasal 133; dan untuk keperluan perkebunan yang diselenggarakan atas perintah atasan menurut peraturan-peraturan yang berlaku untuk itu; segala sesuatu dengan pengganti kerugian yang layak.
  7. Tanah-tanah yang dimiliki rakyat asli dapat diberikan kepada mereka itu Hak Eigendom, disertai syarat-syarat pembatasan yang diatur dalam undang-undang dan harus tercantum dalam surat tanda eigendom itu. Yakni mengenai kewajiban-kewajiban pemilik kepada negara dan desa; dan pula tentang hal menjualnya kepada orang yang tidak masuk golongan rakyat asli. 
  8. Persewaan tanah oleh rakyat asli kepada orang-orang bukan rakyat asli berlaku menurut peraturan perundang-undangan.[44]


Agrarische Wet yang ini dijalankan dalam Agrarische Besluit tahun 1870, yang terkenal dengan prinsip Domein Verklaring(atau terkenal dengan nama Domein-theorie): “Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan ke-2 dan ke-3 dari undang-undang tersebut (ayat 5 dan 6 pasal 51 I.S.), maka tetap dipegang teguh dasar hukum yang menyatakan bahwa semua tanah yang tidak ada bukti hak eigendom adalah milik negara (staatdomein).”[45] Undang-undang ini mengenalkan jenis-jenis hak yang baru seperti eigendomerpacht, konsesi dan sewa. Atas dasar konsepsi milik negara atas tanah ini, dilakukanlah pemberian hak erpacht selama 75 tahun untuk perkebunan-perkebunan. 

Apa akibat dari Agrarische Wet bagi kehidupan rakyat tani dan alam Jawa, dan Priangan khususnya? Agrarische Wet ini selanjutnya menjadi dasar semua peraturan agraria kolonial yang kemudian menimbulkan banyak maslah bagi rakyat Indonesia, karena sifat dari perlakuannya yang dualistis dan diskriminatif. Dengan diterapkannya Undang-undang Agraria 1870, maka para pemilik modal asing bangsa Belanda maupun Eropa lainnya mendapatkan kesempatan luas untuk berusaha di perkebunan-perkebunan Indonesia. Sejak itu pula keuntungan yang besar dari ekspor tanaman perkebunan dinikmati modal asing, sebaliknya penderitaan yang hebat dipikul rakyat Indonesia. Sementara itu, janji perlindungan hak-hak rakyat petani atas tanahnya tetap menjadi janji belaka, tidak ada wujud nyatanya.

Demikianlah, yang menjamin kepentingan akumulasi modal kapitalis asing adalah adalah perundang-undangan agraria. Siasatnya adalah melakukan dualisme hukum: Hukum Agraria Barat dan Hukum Adat.  Hukum Agraria Barat dibentuk untuk melicinkan jalan bagi kebesaran/akumulasi/keuntungan dan kepentingan Negara dan kapitalis kolonial. Sedangkan Hukum Adat yang melapangkan mereka tetap dipertahankan. Kolonial Belanda tidak menggunakan tangannya langsung. Tapi melalui penguasaan tidak langsung (indirect rule). Dengan demikian, Rakyat (kaum tani) dikuasai dan dieksploitasi ganda, oleh kaum feodal dan kolonialis.

Politik kolonial demikian memberikan akibat-akibat tak terkira.[46] Penanaman modal selalu mencari sasaran tanah dan memerlukan tenaga kerja manusia yang banyak dan murah. Karenanya, kapitalis kolonial selalu mencari tanah yang subur dan cukup banyak penduduk. Sehingga, di daerah-daerah penerapan agro-industri tanah semakin sempit bagi rakyat, dan rakyat semakin terdesak penguasaannya terhadap tanah.

Sasaran onderneming selalu di tempat yang baik tanahnya dan banyak penduduknya. Di mana perkebunan menancapkan dan mengembangkan sistem usahanya, di sana pulalah tanah pertanian semakin menyempit (lihat data, di Tabel). Pada daerah-daerah demikian, akibatnya adalah tersingkirnya petani dari tanah garapannya, yang pada gilirannya ini merupkan reservoir tenaga kerja murah. Pada jamannya, terkenal buruh-buruh kontrak di Perkebunan Sumatera Timur yang berasal dari Jawa, tempat di mana mereka tersingkir dari tanahnya. 

Alhasil, dari perspektif makro, terjadi suatu perbedaan yang mencolok antara pengembangan kantong-kantong (enclave) kapitalis, dengan usaha-usaha tani kecil rakyat. Hal ini terbukti pada data komposisi penggunaan tanah di Hindia Belanda. Komposisi Penggunaan tanah di seluruh Jawa dapat dilihat pada statistik tahun 1939, dalam tabel berikut yang membandingkan antara tanah untuk perkebunan asing, pertanian rakyat, hutan dan beberapa usaha lain. Untuk seluruh pulau Jawa, penggunaan tanah untuk perusahaan agro-industri skala besar berjumlah 1.250.786 ha. Bandingkanlah dengan seluruh tanah yang dipergunakan untuk pertanian rakyat sejumlah 8.662.600 ha. Kira-kira 1 berbanding 7. 

 


Peruntukan Tanah di Jawa tahun 1939

Luas

a.      Untuk Onderneming Asing:

  • Tanah partikelir
  • Tanah Erpacht Pertanian Besar
  • Tanah Erpacht Pertanian Kecil
  • Sewa dari Rakyat
  • Tanah konversi (Jogja, Surakarta)

b.      Tanah Pertanian Rakyat:

  • Sawah

  • Ladang dan Pekarangan

c.      Berupa Hutan

d.      Tambak dan lain-lain

  

498.829 ha
590.858 ha
11.510 ha
89.624 ha
59.965 ha

 

3.370.600 ha (jumlah itu dikurangi dengan persewaan tanah untuk onderneming)

4.692.000 ha

3.106.100 ha

1.057.400 ha

Sumber: M. Tauchid, Masalah Agraria, I, (Penerbit Tjakrawala, 1952, hal. 175).

        Komposisi penggunaan tanah demikian, secara langsung menunjukkan suatu polarisasi kemakmuran antara kaum kapitalis kolonial dengan rakyat tani. Tanah pertanian yang semakin menyempit, ditambah dengan kewajiban dan beban-beban lain sebagai warga negara (seperti pajak), membuat kaum tani hanya menguasai tanah kecil dan produktivitasnya hanya mampu membuat mereka subsistensi.

Data tahun 1938 menunjukkan bahwa di seluruh Jawa luas tanah petani, rata-rata 0,3 ha sawah dan 0,5 ha tanah kering. Struktur penguasaan tanahnya pun sangat timpang, seperti yang terlihat data 1983 dalam tabel berikut: 

Jumlah Pemilikan Tanah

Persentase KK

Kurang dari 1/3 ha
1/3 ha –1 ha
1 ha – 2 ha
2 ha – 5 ha
Lebih dari 5 ha
70%
25%
3%
1,5%
0,5%

Sumber: M. Tauchid, Masalah Agraria, I, (Penerbit Tjakrawala, 1952, hal. 176)

Tanah-tanah pertanian rakyat tani hanya dipergunakan untuk bahan makanan demi menjamin subsistensi, terlihat dari data tahun 1939 sebagaimana disampaikan pada tabel berikut:

Persentase Tanah

Jumlah ha

Jenis Tanaman

50%

25%

12,5%

5%

3%

2,5%

4.028.015 ha

2.029.609 ha

992.452 ha

444.563 ha

240.548 ha

197.323 ha

Padi

Jagung

Ketela Pohon

Kedele

Kacang Tanah

Ubi Jalar

Sumber: M. Tauchid, Masalah, Agraria, I, (Penerbit Tjakrawala, 1952, hal. 179)

Dengan memperlihatkan lebih dalam lagi, penghasilan penduduk menurut pembagian golongan pekerjaan akan menunjukkan situasi kemakmuran yang nyata. Laporan Dr. J.W. Meyer Rannat tahun 1925 tentang kemakmuran rakyat yang diambil dari penyelidikan di sejumlah daerah Jawa menunjukkan data sebagaimana pada tabel berikut: 

 

Golongan Pekerjaan

%

Penghasilan 1 Tahun (Rp)

Pedagang Besar dan Kaum Industri

Petani Kaya

Pekerja tetap pada Perusahaan Barat dan Tionghoa

Pegawai, Pamong Desa dan Guru

Petani Sedang

Pedagang Kecil dan Industri Kecil

Petani Miskin

Buruh

Pemaro Tak Bertanah

Pekerja Tani pada Perusahaan Pribumi

Lain-lain

0,3

2,5

2,4

4

19,8

5,9

27,1

19,6

3,4

12,4

2,6

1.130

1.090

370

-

300

248

147

120

118

101

-

Sumber: M. Tauchid, Masalah Agraria, I, (Penerbit Tjakrawala, 1952, hal. 186).

Dari tabel itu, nampak besarnya golongan petani tak bertanah (tunakisma) dan buruh, sejumlah 37,8% dari seluruh penduduk. Bila dijumlahkan dengan petani miskin, jumlahnya menjadi 65% dari seluruh penduduk desa. Nampak pula, perbedaan yang mencolok antara perbedaan pendapatan antara golongan pekerjaan. Orang yang menggantungkan diri pada pekerjaan perkebunan dari seluruh penduduk desa adalah golongan pekerja pada perkebunan dan buruh sejumlah 24%.

Meluasnya usaha-usaha perkebunan modal asing disertai dengan tekanan pajak besar dan kerja wajib bagi rakyat pedesaan. Realitas kehidupan petani makin buruk karena pencaplokan tanah mereka, tekanan pajak dan pengerahan tenaga kerja wajib tersebut. Pada kalangan petani, paduan ketiganya menciptakan kemiskinan yang tak dapat diterima lagi dan suasana ketidakpuasan yang berujung pada pemberontakan petani. Oleh elit-elit tradisional, ketidakpuasan tersebut disuarakan melalui ideologi tandingan guna menciptakan kembali situasi seperti sebelum adanya campur tangan agroindustri ke pedesaan.

Ciri-ciri yang ditemukan pada semua perlawanan petani, berupa gerakan sosial, adalah: millerianisme (ajaran-ajaran akan datangnya jaman keemasan), mesianisme (kepercayaan pada Ratu Adil), nativisme (gerakan untuk kembali ke adat kuno) dan perang suci (ajaran-ajaran untuk berjihad). Unsur-unsur ideologis ini tidak dapat dibedakan secara tegas. Dalam setiap pemberontakan kaum petani senantiasa terdapat keempat ciri tersebut secara bervariasi[47].

Timbulnya perlawanan petani ini merupakan perlawanan terhadap sistem ekonomi-politik kolonialisme, khususnya sistem ekonomi perkebunan, pajak dan penindasan lain, yang telah menyengsarakan mereka. Perlawanan ini berlangsung sepanjang mulai diterapkannya perkebunan 1830 hingga berakhirnya kolonialisme Belanda. Bentuk-bentuk resistensi ini bervariasi mulai dari yang bersifat demonstrasi saja (seperti peristiwa Cimareme 1919) hingga yang bersifat pemberontakan (seperti pemberontakan petani Banten 1888), mulai dari yang tergolong spontan (seperti peristiwa Entong Gendut 1916) hingga tergolong terorganisir (seperti Pemberontakan Sarekat Islam Lokal). Sejak kolonialisme dimulai, hingga berakhir 1942, perlawanan-perlawanan protes petani berjumlah ribuan, baik yang besar maupun kecil[48].


Fasisme Jepang dan Pengaruhnya

Penyerbuan Jepang ke Indonesia adalah bagian dari upaya mengembang fasisme Jepang menguasai Asia Timur Raya. Politik agraria, pada zaman penguasaan Jepang, dipusatkan pada penyediaan bahan makanan untuk perang. Jepang di Indonesia bermaksud membuat Indonesia sebagai benteng pertahanan menghadapi sekutu. Jepang berusaha sekeras-kerasnya untuk meningkatkan produksi pangan untuk kepentingan ekonomi “perang” Jepang. Penanaman bahan makanan digiatkan dengan mewajibkan rakyat menggunakan pengetahuan dan teknik pertanian yang baru, perluasan areal pertanian, dan penanaman komoditi baru, seperti kapas, yute-rosela dan rami[49].

Di samping itu, rakyat harus menyerahkan 20% hasil tanaman padinya kepada pemerintahan Jepang untuk bekal perang. Tidak hanya itu, rakyat juga dituntut untuk membantu Jepang sebagai romusha, tenaga kerja paksa tanpa bayaran. Untuk menambah hasil bumi, tanah pertanian rakyat diperluas dengan membuka hutan dan membongkar onderneming eks-milik perusahaan-perusahaan kapitalis dari Belanda dan maupun negara Eropa lainnya.  Walhasil selain macetnya produksi perkebunan, akibat dari hal ini adalah hidupnya perasaan rakyat bahwa mereka mendapatkan kembali tanah-tanah yang dahulu diambil dan dipakai oleh perkebunan-perkebunan.

Tanah-tanah partikelir, oleh pemerintah pendudukan Jepang, dimasukkan dalam urusan pemerintah dengan membentuk Kantor Urusan Tanah Partikelir[50]. Dengan ini, tanah partikelir seolah-olah semuanya dikuasai pemerintah, dan tuan tanah sudah tidak berkuasa lagi. Namun sebenarnya, ini siasat untuk memudahkan pengumpulan padi bagi keperluan pemerintah Jepang.  Malah rakyat harus tetap melakukan kewajiban-kewajibannya seperti membayar sewa tanah dan kerja rodi. Di samping itu, hak-hak feodal tuan tanah lainnya masih tetap berlaku.

Masa pendudukan Jepang ditandai oleh mobilisasi penduduk pedesaan melalui organisasi-organisasi “fasis”, yang bertujuan untuk mobilisasi dan kontrol[51]. Atas nama “Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya”, Jepang “melipatgandakan hasil bumi”sebagai makanan dan bahan untuk perang menghadapi kekuatan sekutu. Rakyat dipaksa untuk melakukan tindakan ini. Rakyat dipaksa menanam tanaman yang ditentukan pemerintahan fasis Jepang, seperti ubi, singkong, padi, jarak dan lain-lain. Selain digiatpaksakan dalam segi prosesnya, dari segi hasil rakyat harus “menyerahkan bakti” berupa hasil bumi, di samping juga tenaganya. Maksud dari semua proses pemaksaan ini adalah untuk persediaan dan perbekalan perang Asia Timur Raya.[52]

Kebijakan mobilisasi ini selalu dipadukan dengan kontrol ketat oleh pemerintahan pendudukan Jepang. Seluruh kegiatan ekonomi – produksi, sirkulasi dan distribusi – secara ketat dikontrol melalui peraturan-peraturan dan dekrit pemerintah. Organisasi sosial “fasis” diciptakan – di antaranya semacam Rukun Tetangga (RT), Koperasi, Perkumpulan Wanita, Satuan-satuan Propaganda – untuk menjadi mesin Pemerintahan Jepang memaksakan pemikiran yang seragam dan mengatur tingkah laku penduduk jajahan sebagaimana ideologi mereka. Selain itu, mereka punya mesin penindas, yakni “kempetai”, serdadu Jepang yang brutal.

Watak penjajahan Jepang berbeda dengan penjajah Belanda, yang secara umum melestarikan dan mempergunakan mesin penguasa feodal dan membiarkan kebiasaan-kebiasaan adat dan tingkah laku penduduk jajahan sejauh tidak melawan mereka. Penjajah Jepang hampir-hampir mengubah seluruh kebiasaan hidup penduduk secara total. Dengan demikian berkuasanya Jepang selama tiga setengah tahun di Jawa telah menimbulkan kesan penderitaan yang mendalam, terutama karena kemerosotan kehidupan dan penindasan langsung yang kasar. Ada dua pemberontakan besar sebagai reaksi terhadap penindasan Jepang, yakni pemberontakan Pesantren Sukamanah di Tasikmalaya dan pemberontakan Indramayu[53].

 

Kemerdekaan Bangsa Indonesia dan Reforma Agraria

Di masa Kemerdekaan, hampir semua pemimpin bangsa Indonesia menyaksikan penderitaan kehidupan rakyat dan kerusakan alam Jawa akibat politik agraria para penguasa feudal dan kolonial. Isi dan cara pemerintahan kolonial dan feodal menjalankan politik agraria, kondisi-kondisi yang membentuknya, dan akibat-akibat khusus dari padanya benar-benar telah mempengaruhi pemikiran para pemimpin pejuang kemerdekaan Indonesia.  Ketetapan “untuk membentuk pemerintah negara Indonesia untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia … dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”[54]telah mendasari  “perjuangan perombakan hukum agraria nasional (yang) berjalan erat dengan sejarah perjuangan bangsa melepaskan diri dari cengkaraman, pengaruh dan sisa-sisa penjajahan; khususnya perjuangan rakyat tani untuk membebaskan diri dari kekangan-kekangan sistem feodal atas tanah dan pemerasan kaum modal asing.”[55]  Sesungguhnya di daerah-daerah jajahan, struktur agraria yang tidak adil dan perjuangan kongkrit rakyat tani untuk keadilan agraria merupakan basis sosial dari aspirasi kebangsaan.  Tak heran bila seorang peneliti agraria ternama, Eric Jacoby dalam buku klasiknya Agrarian Unrest in Southeast Asia (1961) mengemukakan bahwa “… dapat dinyatakan dengan jelas bahwa sesungguhnya struktur agraria yang merusak lah yang memberi jalan bagi bagi gagasan kebangsaan, dan perjuangan-perjuangan politik (selanjutnya) dikuatkan oleh identitas rasa perjuangan kemerdekaan melalui perjuangan tanah.”[56] Selanjutnya, ia menyimpulkan bahwa  “… pemecahan terhadap persoalan tanah adalah suatu syarat untuk pemenuhan elan kebangsaan dari negeri-negeri Asia Tenggara dan, untuk sebagian besar, merupakan kunci bagi pembangunan ekonomi dan reorganisasi masyarakat”.[57]

Elan kebangsaan yang dialasi pengalaman penderitaan kolektif rakyat telah mengisi pembentukan gagasan kebangsaan Indonesia, melandasi program-program reforma agraria di awal pemerintahan Indonesia yang terbentuk dari revolusi nasional. Elan kebangsaan itu tidak memberi izin berlangsungnya organisasi “negara dalam negara” dan bentuk-bentuk sistem agraria yang memenderitakan kaum tani di desa-desa perdikan, perkebunan, kawasan vostenlanden dan tanah-tanah pertikelir itu.[58] Elan kebangsaan ini jua lah yang mendasari pembentukan panitia negara untuk menyusun undang-undang agraria nasional (melalui Surat Penetapan Presiden No 16/1948), yang selama 12 tahun melalui banyak lika-liku dan pada gilirannya menjadi apa yang kita kenal sekarang dengan nama UUPA 1960.[59]

Yang menjadi beban Pemerintah RI adalah tanah-tanah eks-perkebunan asing. Sejak jaman pemerintahan fasisme Jepang hingga sebelum perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) di tahun 1949, rakyat petani telah menduduki dan menggarap kembali tanah-tanah perkebunan milik asing yang terlantar dan ditinggalkan pemiliknya.  Rakyat merasa tanahnya telah kembali jadi miliknya. Namun perjanjian KMB (Konferensi Meja Bundar) yang diselenggarakan di Den Haag Belanda membalikkannya kembali.  Salah satu butir isi perjanjian itu adalah “perkebunan-perkebunan besar yang tanahnya diduduki dan digarap rakyat harus dikembalikan kepada pemegang haknya semula, yaitu kaum modal swasta Belanda. Hal ini berarti, rakyat harus diusir dari tanah-tanah tersebut.” [60]

Hal ini tentunya menimbulkan gejolak berupa kemarahan rakyat sehingga kembali terjadi bentrokan-demi-bentrokan antara rakyat penggarap dengan perusahaan perkebunan. Setelah berbagai kemelut besar terjadi sehubungan dengan penolakan perjanjian KMB tersebut, pada tahun 1954 pemerintah RI pun mendukung pendudukan dan penggarapan rakyat atas tanah-tanah eks-perkebunan asing tersebut, dan berniat melegalisasinya. Sekedar gambaran saja, dimulai dengan data 80.000 ha tanah-tanah perkebunan terlantar yang diduduki dan digarap rakyat tersebut akan dilegalisasi dengan Undang-undang darurat No. 8 tahun 1954 tentang Pemakaian Tanah Perkebunan oleh Rakyat. Tindakan menduduki dan menggarap tanah-tanah perkebunan terlantar tidaklah dinyatakan sebagai perbuatan penyerobotan yang melanggar hukum, melainkan diselesaikan dengan dua cara sebagai berikut: (i) Bagi rakyat yang menduduki tanah perkebunan yang dikuasai oleh negara diberikan dengan sesuatu hak kepada rakyat dan penduduk lainnya setelah memenuhi syarat yang ketentuannya diatur oleh Menteri Agraria; dan (ii) Bagi perkebunan yang diduduki tanpa seijin perusahaannya maka diadakan penyelesaian melalui perundingan dengan unsur-unsur perundingan: panitia penyelesaian, rakyat dan perusahaan.[61]  

Selanjutnya, pada tahun 1957, Pemerintah Republik Indonesia kehilangan kesabaran dengan menyatakan “membatalkan perjanjian KMB” secara sepihak. Hal ini kemudian diikuti dengan kebijakan Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Milik Asing melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 86/1958 dan perundang-undangan pelaksanaannya. Dengan kebijakan nasionalisasi ini, perkebunan-perkebunan perkebunan kembali dihidupkan melalui pendirian Perusahan Negara Perkebunan (PNP), yang pimpinannya dipegang langsung oleh perwira yang ditempatkan oleh Panglima Angkatan Perang RI.

Selain masalah perkebunan, masalah Tanah  Partikelir sungguh beban tanggungan pemerintah baru. Soal ini mendesak diselesaikan, mengingat jumlah Tanah-tanah Partikelir yang sangat luas, yakni hampir setengah juta ha (tepatnya 498.829 ha, sebagaimana dilaporkan oleh Pemerintah ke Parlemen RIS pada tanggal 29 Juli 1950). Tuan-tuan tanahnya memiliki kekuasaan yang hampir tak terbatas. Ia bagaikan “negara dalam negara”. Posisi kaum petani dalam tanah-tanah partikelir itu adalah kaum hamba, bagaikan budak saja. Sementara itu, posisi tuan tanah partikelir bagaikan raja, yang bukan hanya memiliki tanahnya tapi juga berhak atas penduduknya. Pemerintah memberlakukanUundang-undang No. 1 tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-tanah Partikelir sehingga secara hukum dihapuslah segala bentuk hak-hak yang melekat dalam tanah partikelir. Hak-hak tersebut meliputi hak pertuanan, yang berarti hak untuk mengangkat dan memberhentikan kepala desa, menuntuk kerja paksa, mendirikan pasar-pasar, memungut pajak dan biaya –biaya lain. Tanah-tanah partikelir diwajibkan untuk diredistribusi kepada penduduk petani penggarap yang ada di dalamnya, serta sebagian kecil kepada keluarga dan kerabat tuan tanah tersebut.[62]

Penyelesaian masalah Pemakaian Tanah Perkebunan oleh Rakyat dan Tanah-tanah Partikelir adalah dua contoh besar reforma agraria di awal pemerintahan RI. Berbeda dengan masalah Tanah Partikelir yang selesai dengan tuntas, reforma agraria atas tanah-tanah perkebunan ternyata digagalkan dengan kebijakan Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Milik Asing tersebut. Tak heran, semenjak itu bentrokan-bentrokan antara perusahaan perkebunan dengan petani penggarap pun terjadi kembali merebak dimana-mana. 

 

Kemelut Implementasi Undang-undang Pokok Agraria 1960

Sesuai dengan makna dari nama lengkapnya, Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, UUPA diniatkan sebagai undang-undang pokok atau induk dari berbagai perundang-undangan lain yang menjadi turunannya. Sayangnya karya monumental bangsa (UUPA 1960) ini, ruang penerapannya menyempit pada urusan pertanahan pada sektor pertanian rakyat, dengan pengaturan perjanjian bagi hasil (UU No. 2/1960), pembatasan penguasaan tanah maksimum dan minimum (UU No. 56/PRP/1960), cara pelaksanaan redistribusi tanah objek land reform, yakni tanah kelebihan, tanah absentee, tanah swapraja dan tanah negara lainnya (PP 224/1960) dan pendaftaran tanah (PP 10/1961). Meskipun secara formal penerapan land reform dilakukan hanya terhadap sektor pertanian rakyat, namun kerasnya pergolakan agraria juga terjadi di wilayah-wilayah perkebunan dan Perhutani. Semangat “tanah untuk penggarap” yang terkandung dalam UUPA ini menjiwai perjuangan agraria ini. Namun, pada gilirannya sistem agraria perkebunan dan hutan produksi Perhutani yang seyogyanya dikenai program reforma agraria berhasil menghindarkan diri sebagai objek land reform, dan selamat sebagai target formal operasi yang dilakukan oleh program reforma agraria dan gerakan rakyat pada saat itu.

Tenaga rakyat petani yang lapar tanah telah digerakkan secara politik untuk berhadapan frontal dengan para tuan tanah. Yang kemudian terjadi adalah penciptaan pertentangan kelas antara petani miskin dan petani kaya di keseluruhan pedesaan Jawa.  Pertentang kelas ini bercampur dengan pertentangan masing-masing aliran ideologi dan pengelompokan politik.[63] Kelembagaan dan desain penerapan land reform – seperti panitia pendaftaran tanah desa-demi-desa, panitia land reform hingga pegadilan land reform – pun menjadi arena dari pertarungan itu.[64] Walhasil, yang terbentuk adalah suatu “bara” bagi percik api pertarungan elite nasional tahun 1965-1966 dan berujung pada peralihan politik yang brutal dan sangat dramatis dari rejim “Orde Lama” ke rejim “Orde Baru”, dimana hampir sejuta orang yang dituduh sebagai anggota dan terlibat PKI mati dibunuh[65] dan puluhan ribu lagi ditahan tanpa proses pengadilan.[66]

Bagi politik agraria, akibat pokok dari peralihan politik ini adalah dihentikannya seluruh pelaksanaan UUPA, yang berpokokkan konversi, pendaftaran tanah, land reform dan pembangunan semesta.  Iklim politik yang mewarnai seluruh kehidupan pedesaan adalah polarisasi antara kelompok anti-komunis dengan yang dituduh sebagai komunis. UUPA segera dicap sebagai produk PKI yang diharamkan. Sejumlah pemilik tanah luas yang tanahnya terkena sebagai objek land reform mencoba memperoleh kembali tanah-tanah yang telah dibagikan. Penerima tanah land reform atau kerabatnya yang dituduh terlibat PKI tentu tidak berani melawan, dan kebanyakan mereka pindah dari daerah pedesaan dimana mereka tinggal. Hal ini tentunya, mempermudah pengambilan kembali tanah-tanah tersebut, yang sering kali pengambilan kembali itu dilakukan atau disokong oleh para penguasa sipil dan militer. Anehnya, pemerintah Orde Baru tetap melaporkan keberhasilan program landreform yang sejak tahun 1962 sampai dengan tahun 1967 sejumlah tanah 800.000 ha telah dibagikan kepada 800.000 keluarga, sebagaimana dilaporkan dalam majalah resmi pemerintah Penyuluh Land Reform No. VIII, 4, Oktober 1968. 

Politik Agraria Orde Baru: Otoritarianisme dan kembali ke Kapitalisme 

Perubahan yang dramatis dan brutal dari pemerintah Presiden Ir. Soekarno ke Presiden Jenderal Soeharto, membawa akibat berubahnya politik agraria dari populisme menuju kapitalisme[67]. Sejak awal, terdapat kesepakatan atau konsensus di antara pendukung Orde Baru tentang perlunya stabilisasi, rehabilitasi dan pembangunan ekonomi gaya kapitalis[68]. Koalisi pendukung Orde Baru menolak populisme (Sosialisme ala Indonesia) yang akan merubah struktur sosial-ekonomi secara radikal[69].

“Strategi seperti itu secara politik tidak dapat diterima oleh para pendukung Orde Baru, khususnya Angkatan Darat, pada saat mereka harus menghadapi tantangan berat dari kekuatan-kekuatan Orde Lama. Melaksanakan land reform dan program-program yang bertujuan meredistribusi kekayaan dan memaksakan tabungan, seperti perpajakan progresif, hanya akan menjauhkan para pendukung Orde Baru yang mengganggap rezim itu sebagai antitesa dari program yang diilhami komunis itu. Para pemilik tanah di pedesaan yang antikomunis, sekalipun sebagian besar menguasai tanah sempit, adalah sekutu penting tentara yang harus dipertahankan, karena ia masih harus menangani para pendukung Orde Lama. Program seperti itu kuha dapat memaksa beberapa pengusaha dalam negeri yang memiliki jaringan kerja internasional untuk melakukan bisnis di luar Indonesia, dan ini akan makin memperburuk masalah pelarian modal ke luar negeri. Para intelektual yang menekankan efisiensi dan rasionalitas juga tidak akan bersedia membantu kalau pimpinan militer memilih cara radikal. Dan tanpa dukungan para sekutu tersebut, pimpinan Angkatan Darat tidak bisa berharap memecahkan masalah besar ekonomi yang diwarisi dari rezim sebelumnya. Lagi pula, Angkatan Darat sendiri menganggap program land reform yang disponsori golongan kiri selama awal 1960-an itu mengancam pengendaliannya atas beberapa perkebunan milik negara. Dan akhirnya, sekalipun misalnya pimpinan Angkatan Darat berhasil menerapkan strategi radikal itu, mereka tidak bisa berharap bahwa strategi itu akan dapat memberikan hasil dengan cepat. Kalau perubahan radikal itu dilakukan, maka anggota koalisi dan rakyat pada umumnya harus banyak berkorban. Pengorbanan besar ini akan makin diperberat dengan sangat lamban dan mungkin masih disertai dengan tingkat inflasi yang tinggi. Ini jelas akan sangat mengecewakan rakyat yang sudah lama merindukan perbaikan kehidupan ekonomi”.[70] 

         Sebagai tandingan terhadap strategi Populisme[71] yang dianut pemerintahan Soekarno, pemerintahan Soeharto menetapkan ideologi “baru” yakni Pembangunanisme (developmentalism), yang merupakan wajah baru dari Kapitalisme. Strategi pembangunanisme ini dijalankan dengan mengaitkan diri pada kapitalisme internasional, pertama-tama dilakukan dengan membuka diri terhadap agen-agen donasi internasional, seperti World Bank (WB), International Monetary Funds (IMF) dan International Group for Government of Indonesia (IGGI). Hal ini tidak terlepas dengan konteks konflik ‘perang dingin’ tingkat Dunia, antara blok Kapitalis yang dimotori oleh Amerika dan Eropa Barat versus blok Sosialis-Komunis yang dimotori oleh Uni Soviet dan China. Blok Kapitalis menerapkan promosi strategi “pembangunan” sebagai counter terhadap strategi “revolusi” dari blok Sosialis-Komunis. Jadi pilihan pada “pembangunan” (baca: Kapitalisme) bukanlah semata-mata perumusan kaum teknokrat Orde Baru, melainkan adopsi dari strategi blok kapitalis. Praktek pembangunan agraria kapitalis ini pada gilirannya memperkuat dan mengembangkan basis ekonomi kelompok-kelompok yang menjadi tulang punggung Orde Baru.

        Konflik dan kekerasan politik masa akhir Orde Lama memberikan trauma yang mendalam bagi penguasa baru. Seluruh upaya politik agraria Orde Baru yang berpokokkan otoritarianisme, berakar dari trauma ini. Otoritarianisme merupakan suatu penampakan dari trauma terhadap gerakan komunis semasa akhir Rezim Soekarno. Kebijakan-kebijakan politik agraria yang dibangun oleh Orde Baru – sebagai realisasi dari otoritarianisme adalah:

Pertama, menjadikan masalah land reform hanya sebagai masalah teknis belaka. Pemerintahan Orde Baru tidak menjadikan masalah tanah sebagai dasar pembangunan, melainkan tanah hanya menjadi masalah rutin birokrasi pembangunan[72]. Program Land Reformyang berupaya menata penguasaan tanah (termasuk pemilikan tanah) dan bagi hasil tidak dilanjutkan sebagaimana strategi agraria pemerintahan Ir. Soekarno, yakni “satu bagian mutlak dari Revolusi Indonesia”. Land reform berubah dari sebuah strategi pembangunan, menjadi kegiatan teknis saja[73]. Pada dataran organisatoris pemerintahan, pada Kabinet Pembangunan I, tidak terdapat Kementrian Agraria. Kepengurusan soal agraria “diturunkan” menjadi tingkatan direktorat jenderal, dan berada di bawah Departemen Dalam Negeri.[74]  UUPA masih tetap berlaku, namun posisinya diambangkan.[75] UUPA tidak lagi menjadi induk dari seluruh peraturan yang berlaku di bidang agraria. Sejumlah Undang-undang lain yang dibuat kemudian bertentangan dengan UUPA. Misalnya, adalah Undang-undang No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan. Sementara itu, aturan-aturan teknis agraria yang mendukung strategi politik otoritarian dan stratagi pembangunan Kapitalis, justru dikembangkan sedemikian detil – seperti soal Pendaftaran Tanah, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan, Pembebasan Tanah dan Pengadaan Tanah.[76]

Kedua, menghapuskan semua legitimasi partisipasi organisasi petani di dalam program land reform, dengan cara mencabut peraturan lama dan menggantinya dengan peraturan baru. Kedua peraturan baru itu adalah: (i) Undang-undang No. 7 Tahun 1970 berisi penghapusan pengadilan land reform –yang merupakan badan tertinggi pengambil keputusan mengenai peruntukan tanah-tanah objek land reform. Jadi, pengadilan ini merupakan representasi dari negara dan organisasi-organisasi massa petani dalam menentukan peruntukan tanah-tanah objek land reform. (ii) Keputusan Presiden RI No. 55 Tahun 1980, berisi Organisasi dan Tata Kerja Penyelenggaraan Land Reform (di dalamnya terdapat Pencabutan Keputusan Presiden No. 263 tahun 1964 tentang Penyempurnaan Panitia Land Reform sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Presiden No. 131 tahun 1961). Panitia Land Reform yang mengandung partisipasi organisasi-organisasi dihapuskan, diganti dengan panitia baru yang didominasi oleh birokrasi [terdapat unsur Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI)[77] –suatu organisasi massa petani ‘boneka’ pemerintah]. Jadi, Panitia Land Reform diambil oleh birokrasi Orde Baru, mulai tingkat menteri hingga lurah/kepala desa. Hasil yang nyata adalah pemandulan partisipasi petani melalui organisasi massanya dalam Program Land Reform dan issu land reform berada dalam kontrol birokrasi.

Ketiga, penerapan kebijakan massa mengambang (floating mass) pada menjelang pemilu tahun 1971 memotong hubungan massa pedesaan dengan partai-partai politik. Partai-partai politik tidak boleh lagi mempunyai cabang di daerah kecamatan ke bawah. Rakyat pedesaan kehilangan saluran politik untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Peranan organisasi-organisasi massa petani pedesaan ditiadakan, diganti dengan organisasi ‘boneka’ ciptaan pemerintah, seperti HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) dan HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia). Pada 1973 terjadi penciutan jumlah partai politik dari 10 partai (kontestan pemilu 1971) hingga hanya 3 partai politik. Golongan Agama Islam bersatu dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya, sebagai partai pemerintah, dan Golongan Nasionalis dan Agama (selain Islam) bersatu dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Selanjutnya, aneka ragam koperasi yang dahulu diorganisair oleh berbagai partai politik dan organisasi massa underbouw-nya, dilarang oleh Inpres tahun 1978 dan 1984, dan semua kegiatan ekonomi berkoperasi disalurkan melalui wadah tunggal Koperasi Unit Desa (KUD)[78]. Pengaturan organisasi kemasyarakatan masih dilakukan oleh Orde Baru dengan penyeragaman asas organisasi kemasyarakatan. Selanjutnya, hak berserikat semakin suram ketika diterapkan UU No. 8 tahun 1985 dan Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 1986 tentang Organisasi Kemasyarakatan, yang mengatur secara menyeluruh pembentukan keanggotaan dan kepengurusan, keuangan, pembinaan, pembekuan dan pembubaran organisasi kemasyarakatan[79].

Keempat, dijalankannya UUPD (Undang-undang Pemerintahan Desa) tahun 1979, membuat desa semakin kehilangan dinamika proses politik yang demokratis-partisipatif[80]. Rangkaian peraturan penjabaran dari UUPD 1979 semakin menunjukkan kuku birokrasi yang nyata menghambat partisipasi sejati rakyat desa. Adapun format-format institusi partisipasi yang disediakan oleh peraturan yang ada merupakan upaya kontrol birokrasi terhadap kekuatan masyarakat desa. Contohnya adalah: Lembaga Musyawarah Desa (LMD) sebagai representasi dari kekuatan legislatif rakyat, merupakan ‘boneka’ birokrasi. Perhatikan, klausul tentang keanggotaan LMD yang “dimusyawarahkan/dimufakatkan oleh kepala desa dengan pemuka-pemuka masyarakat desa yang bersangkutan” dan “ketua LMD dijabat oleh Kepala Desa karena Jabatannya”. Contoh lain adalah perubahan Lembaga Sosial Desa (LSD) menjadi Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD)[81]. LSD merupakan wadah partisipasi langsung pemuka desa dalam pembangunan desa, diubah secara seragam menjadi wadah kontrol LKMD yang diketuai oleh Kepala Desa. Demikian pula halnya dengan peran perempuan, dikoordinasi lewat Pembinaan Kesejahteraan Keluarga, yang di desa wajib diketuai oleh Ibu Kepala Desa. Pengambilan kepurusan mengenai kepemimpinan di desa juga sudah kehilangan banyak kadar demokrasi dan partisipasi –seperti di zaman Rezim Soekarno. Sekarang, aparat Kecamatan, militer dan kepolisian memperoleh keabsahan untuk mencampuri proses pemilihan kepala desa, karena mereka lah panitia pemilihan kepala desa. Mulai dari pendaftaran calon, proses ‘screening’, dan seterusnya. Manakala terdapat calon kepala desa yang populer di mata rakyat, calon tersebut bisa digagalkan oleh panitia tersebut.

Kelima, terlibatnya unsur polisi dan militer di dalam pengawasan dinamika pembangunan desa. Di tingkat desa terdapat Bintara Pembina Desa dari unsur militer. Mereka ini lebih berfungsi sebagai pengendali untuk kepentingan birokrasi daripada pembina masyarakat dalam artian pembangkit partisipasi yang sejati. Di tingkat kecamatan terdapat institusi Tripika (Tri Pimpinan Kecamatan), yang terdiri dari Koramil (Militer), Polsek (Kepolisian) dan Camat (birokrasi sipil), yang selalu bekerja sama untuk mengawasi, mengendalikan dan mengintervensi proses-proses sosial politik pedesaan.

Semenjak Orde Baru, pada daerah-daerah ‘basis oposisi’ ditemparkan kepala-kepala desa dari ABRI, dan dilakukan operas-operasi ‘pembangunan’ yang disebut sebagai ABRI Masuk Desa (AMD). Walaupun AMD nampak merupakan upaya membangun sarana pembangunan seperti jalan, jembatan dan lain-lain, namun terdapat aspek politis, yakni kontrol terhadap daerah-daerah ‘basis oposisi’. Suatu strategi melibatkan rakyat sebagai pelaku aktif keamanan adalah Doktrin Hankamrata (Pertahanan dan Kemananan Rakyat Semesta). Doktrin teritorial ini memperlihatkan bajwa seluruh penduduk ilut bertanggung jawab terhadap keamanan. Dalam prakteknya, itu berarti seluruh penduduk sampai ke desa-desa paling jauh ada di bawah pengawasan keamanan. Penerapan strategi Hankamrata didukung oleh organisasi tertitorial RT/RW, melalui apa yang disebut sebagai Pertahanan Sipil (Hansip) dan Siskamling (Sistem Keamanan Lingkungan). RT/RW ditugaskan mengawasi gerak-gerik orang dan setiap orang asing yang memasuki lingkungan itu 1 x 24 jam lebih, harus melapor. Hansip dan Siskamling bukan sekedar pengamanan terhadap pencuri, pencoleng dan pelaku kriminal lainnya. Akan tetapi, merupakan suatu kontrol pemerintah terhadap kebebasan warga negaranya.

Kesemua tindakan politik ini mengarah pada suatu sentralisasi kekuasaan birokrasi pedesaan. Gejala sentralisasi kekuasaan ini, sangat nampak di suatu desa yang disebut Selomartani,

“Badan Administrasi desa sekali lagi tergantung pada camat; Mereka lebih bertanggung jawab kepada camat daripada kepada petani.... Dilarangnya partai-partai politik untuk beroperasi di tingkat desa telah menghilangkan payung perlindungan yang bisa dipakai oleh pemerintah..... Pelarangan tersebut juga menghilangkan hak-hak mereka untuk mengorganisir dan secara kolektif memperjuangkan kepentingan-kepentingan mereka dan memperkuat posisi tawar-menawar mereka dengan elit desa lokal..... Menjawab tentang perubahan-perubahan ini, petani di Selomartani berkata bahwa mereka merasa kehilangan persatuan antara petani dan badan administrasi desa yang masih mereka rasakan 15 tahun yang lalu. Pada waktu itu, kata mereka, lurah (kepala desa) dan pembantunya lebih memperhatikan kesejahteraan petani dan menunjukkan rasa hormat. Tapi sekarang ini, kata mereka selanjutnya, perhatian lurah dan para pembantunya lebih dipusatkan pada pengumpulan uang pajak dan pengerahan petani-petani untuk mengikuti berbagai proyek pembangunan yang diturunkan pemerintah pusat”[82].

        Suatu penelitian yang mendalam tentang kepemimpinan lokal, menyimpulkan hal senada:

“Kekuatan-kekuatan yang menentang tidak boleh mengorganisir diri dan apa saja yang dapat merupakan organisasi di tingkat desa harus ada di bawah pengawasan LMD. Pengurus LMD sepenuhnya dikuasai oleh lurah, atau lurah dapat mengenyampingkan dengan efektif LMD ini dengan menggunakan alasan bahaya “arena politik” ........Kebijakan mendepolitisasi pedesaan dapat berakibat pamong desa bertindak tanpa kekuatan-kekuatan pengawasan formal di tingkat lokal..... Ketiadaan kekuatan lawan yang terorganisasi resmi di tingkat desa menyelubungi pertentangan kepentingan yang sesungguhnya. Suatu selubung yang sesuai dengan gambaran tentang desa yang dicita-citakan, tetapi pada hakekatnya merupakan rintangan bagi norma partisipasi penduduk dalam pengembangan diri”[83].

Dalam uraian, berikut ini akan dikemukakan program pembangunan kapitalisme pada sektor agraria, yakni Revolusi Hijau.

             Apa yang melatarbelakangi dan apa yang disebut sebagai revolusi hijau adalah suatu kelangkaan beras di pasaran kota-kota besar sepanjang rejim Orde Lama. Sejak masa kemerdekaan, impor beras (yang terutama ditujukan untuk kepentingan kota-kota besar) telah meningkat dari sekitar 0,3 hingga mencapai 1 juta ton (atau sekitar 10% konsumsi domestik) di awal 1960-an, dan menyusut jatuh secara drastis hingga hanya menjadi 0,2 juta ton pada masa akhir-akhir rejim Orde Lama. Kelangkaan pangan masa Orde Lama juga merupakan andil bagi berkembangnya pergolakan politik di perkotaan[84].

       Pemerintahan Orde Baru menyadari betul pentingnya ketersediaan bahan pangan, khususnya beras. Jalan yang telah ditempuh adalah melalui apa yang disebut sebagai Revolusi Hijau. Revolusi Hijau merupakan suatu istilah yang mulai dikenal Indonesia sejak 1960-an. Pengertian istilah ini adalah suatu program intensifikasi pertanian tanaman pangan, khususnya beras. Program ini mengenalkan dan meluaskan penggunaan teknologi baru dalam teknik bertani. Sejak awal, tujuan program ini adalah meningkatkan produksi beras secara luar biasa, tanpa mengubah bangunan sosial pedesaan. Hal ini berbeda dengan land reform yang berusaha mengubah bangunan sosial pedesaan, melalui pemerataan penguasaan tanah.

           Revolusi hijau memperoleh dukungan besar dari sumber-sumber pembiayaan anggaran pembangunan. Sumber pembiayaan negara ada dua unsur pokok: (i) Pinjaman dan hibah internasional, dan (ii) Pendapatan dari Minyak Bumi[85].

           Pinjaman dan hibag internasional untuk Indonesia disalurkan melalui suatu kelompok badan donor, yang disebut Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI). Sejak 1968, setiap tahun, IGGI telah memberi sejumlah dana yang jauh lebih besar dibandingkan seluruh penerimaan atau pengeluaran negara selama tahun-tahun pemerintahan Soekarno. Sedangkan pendapatan dari minyak bumi merupakan hasil lonjakan harga minyak per barrel dari US$3 menjadi US$12 dalam tahun 1974, dan selanjutnya menaik sampai US$36 di tahun 1982. Dari anggaran pembangunan yang dibuat berdasarkan penerimaan-penerimaan tersebut, dijatahkan sekitar 20% untuk pembangunan pertanian. Dari sumber inilah dimungkinkan dilakukan pembangunan pedesaan, baik berupa sarana-sarana fisik maupun program pengadaan produksi beras yang luar biasa.

          Program intensifikasi padi mula-mula lebih dikenal dengan nama Bimas Gotong Royong. Pemerintah mengontrak sejumlah perusahaan multinasional (dengan membayar mereka sebanyak US$50 per ha) untuk jasa menyediakan bahan-bahan yang diperlukan petani, seperti pupuk, obat-obatan, penyuluhan dan manajemen serta bibit-bibit unggul. Para petani dituntut untuk membayar kembali bahan-bahan itu dengan menyerahkan seperenam dari hasil panen mereka pada BULOG (Badan Urusan Logistik).

          Tahun 1972-1973 terjadi suatu krisis pengadaan beras, akibat kegagalan panen, bersamaan dengan melonjaknya harga beras di pasar dunia. Pemerintah mengimpor beras lebih dua kali lipat, dari 0,74 juta ton menjadi 1,66 juta ton di tahun 1973.

     Untuk selanjutnya, pemerintah menetapkan kebijakan baru yang berintikan subsidi. Unsur-unsur utama dari subsidi tersebut adalah[86]:

  1. Subsidi terhadap harga pupuk. Tahun 1974, perbandingan harga padi dibanding harga pupuk (urea) adalah 1 : 0,6. Setelah ada kebijakan subsidi, di tahun 1982 menjadi 1 : 1,9. Biaya subsidi ini berjumlah US$500 juta setahun, pada tahun 1980-an.
  2. Kredit pertanian, melalui program Bimas dan Inmas. Kredit ini berbunga rendah, bahkan bila gagal mengembalikan ada toleransi terhadap para penunggak. Pada prakteknya, banyak kredit jatuh pada petani berlahan luas, pejabat desa, dan bukan petani (‘petani palsu’). Mereka inilah kelompok yang sering menjadi penunggak utama.
  3. Pembelian padi oleh pemerintah melalui penetapan harga dasar gabah, yang ditujukan untuk membangun stok cadangan gabah nasional.
  4. Pengadaan dan perbaikan sarana irigasi yang dibiayai melalui dana-dana pinjaman luar negeri.

 

Keberhasilan-keberhasilan revolusi hijau dalam meningkatkan produksi beras tidak perlu diragukan lagi. Ditinjau dari segi produksi, rangkaian subsidi itu menunjukkan hasil yang luar biasa. Para petani di Jawa menghasilkan padi dua kali lipat dibandingkan pada masa akhir tahun 1960-an. Sehingga, Indonesia yang tadinya mengimpor beras jutaan ton di masa Orde Lama, pada 1985 bisa mengalami swasembada beras, hingga sekarang.

Di  balik prestasi “Swasembada Beras” tersebut, terdapat suatu proses yang biasa disebut sebagai diferensiasi agraria. Diferensiasi agraria adalah suatu pergeseran kelompok-kelompok sosial yang merupakan akibat dari masuknya unsur baru di sektor agraria. Hanya 20 hingga 30% rumah tangga di pedesaan diuntungkan dengan revolusi hijau. Mereka berhasil menjadi petani kaya yang berkecukupan. Mereka bukanlah petani-petani yang independen, melainkan bergantung pada subsidi negara dan perlindungan ekstra-ekonomi negara. Mereka mengonsentrasikan sejumlah tanah dan menggunakan sejumlah teknologi baru dalam proses produksinya. Konsekuensinya, lambat laun mereka menjadi kapitalis-kapitalis pertanian, yang mempekerjakan buruh tani untuk tanah-tanahnya yang cukup luas.

            Apa yang sedang terjadi di sektor pertanian adalah pengelompokan sosial yang di dalamnya terdapat: elit-elit pemerintahan lokal yang memonopoli, menginvestasikan dan mengambil keuntungan dari program pemerintah dan sumberdaya-sumberdaya di lingkungan lokal; petani-petani kaya yang diuntungkan dengan konsentrasi tanah yang dilakukannya; petani-petani miskin yang subsisten dan buruh-buruh tani yang merupakan mayoritas penduduk desa. Fakta yang terlihat menyadarkan kita bahwa petani pemilik lahan dengan luas lebih dari 0,5 ha hanya sekitar 20% sedangkan sebagian besar masyarakat di desa hanya memiliki sedikit tanah (kurang dari 0,25 ya) lebih dari itu adalah mereka yang tidak punya tanah sama sekali. Dengan struktur pemilikan tanah yang tidak seimbang ini tentu semakin jelas bahwa program revolusi hijau yang menghasilkan swasembada pangan masih belum mampu mengangkat nasib petani.

Kesimpulannya, adalah melalui program revolusi hijau aparat pemerintahan lokal, dari camat dan unsur-unsur sektoral kecamatan sampai kepala desa dan pegawainya mengendalikan hampir seluruh program revolusi hijau (juga program pembangunan pedesaan lainnya, seperti pajak, inpres, dan lain-lain). Dari program-program pemerintah ini, mereka semakin memperoleh pengetahuan terhadap sentralisasi kekuasaan yang dipunyainya, berhadapan dengan penduduk desa secara keseluruhan. 

Politik Agraria di Jaman Reformasi[87]

Jatuhnya Rejim Orde Baru membuka lembaran sejarah baru bagi rakyat pedesaan. Jaman baru ini disebut jaman reformasi. Aksi-aksi pendudukan dan penggarapan atas tanah-tanah yang diaku bagian dari perkebunan dan hutan produksi Perhutani sangat populer di masa reformasi, sejak tumbangnya rejim Orde Baru tahun 1998. Di kalangan aktivis agraria terkenal istilah rekaliming (dari asalah kata reclaiming), artinya mengambil kembali tanah yang dicuri pihak lain. Hal ini dilakukan atas tanah-tanah yang pernah menjadi tanah garapan penduduk, tapi akibat praktek penindasan, tanah tersebut menjadi bagian dari perkebunan besar dan yang disebut hutan Perhutani, dan proyek pemerintah atau perusahaan besar lainnya. Tentu saja tindakan penggarapan/okupasi (kembali) ini adalah kontroversial.  Pihak yang tidak menyetujui tindakan ini, biasa menyebutnya dengan istilah “penjarahan” – artinya mengambil secara beramai-ramai yang bukan haknya. 

Tindakan penggarapan kembali tanah-tanah itu semakin meluas setelah Presiden Republik Indonesia di bulan Maret tahun 2000 Abdurahman Wahid – yang dikenal memiliki kedekatan dengan aktivisme ornop --  membuat pernyataan yang sangat popular bagi banyak petani saat itu. Ia menyatakan bahwa tidak tepat jika rakyat dituduh menjarah, karena “sebenarnya perkebunan yang nyolong tanah rakyat. Ngambil tanah kok ‘gak bilang-bilang’”. Selanjutnya ia mengatakan bahwa “sebaiknya 40% lahan dari perkebunan dibagikan kepada petani penggarap yang membutuhkan. Bahkan kalau mau, saham perkebunan itu juga bisa dimiliki oleh masyarakat,” “kalau selama ini negara menjadi kaya karena menguasai dan mengelola tanah dan kekayaan alam, maka untuk ke depan sebaiknya rakyat juga menikmati hal yang sama,” dan “kalau kita kaya harus bareng-bareng dan kalau miskin pun harus bareng-bareng”.[88]Pernyataan publik ini memiliki dampak yang besar dalam membenarkan dan menguatkan aksi petani mereokupasi tanah perkebunan. Di suatu kesempatan Dirjen Perkebunan Departemen Kehutanan dan Perkebunan pernah mengemukakan bahwa sampai September tahun 2000, jumlah luas tanah yang dijarah mencapai 118.830 ha pada perkebunan negara, dan 48.051 pada perkebunan swasta.[89]Sementara itu pada tahun 200o, Perhutani melaporkan bahwa angka-angka pencurian kayu yang meledak dua puluh kali lipat dari pencurian rutin yang biasanya terjadi, dari kira-kira 200.000 batang/tahun menjadi 3,2 juta batang/tahun pada tahun 1999. Angka ini baru menggambarkan besaran volumetris kayu yang dicuri dari kawasan hutan Perum Perhutani sementara luas dan besarnya pencurian kayu di kawasan lindung belum terdata. Angka kubikase pencurian kayu untuk keseluruhan Pulau Jawa mencapai 1,12 juta m3 pada tahun 1998 dan 1,17 juta m3 kayu jati pada tahun 1999. Angka ini baru menggambarkan besaran volumetris kayu yang dicuri dari kawasan hutan Perum Perhutani sementara luas dan besarnya pencurian kayu di kawasan lindung belum terdata.[90]

Salah satu organisasi petani yang mencolok tampil sebagai kekuatan adalah SPP (Serikat Petani Pasundan), yang bekerja di wilayah pedesaan Kabupaten Garut, Tasikmalaya dan Ciamis,. Walaupun jumlah tanah yang diduduki dan digarap SPP ini belum besar dibanding dengan luasan wilayah Kabupaten Garut, Tasikmalaya dan Ciamis, namun pendudukan dan penggarapan ini telah dirasakan oleh pihak perkebunan dan perhutani sebagai ancaman yang nyata. Gerakan petani SPP dapat dipahami pembesarannya pertama-tama melalui aksi-aksi okupasi atau penggarapan tanah yang sebelumnya dikuasai oleh Perkebunan-perkebunan besar swasta maupun milik negara, dan Perhutani. Aksi-aksi kolektif ini dimungkinkan oleh hilangnya kemampuan represi dari para penguasa tanah luas dan aparatus negara yang represif sebagai konsekuensi langsung dari jatuhnya rejim otoritarian Orde Baru yang jatuh semenjak tahun 1998 lalu. Perubahan konfigurasi pimpinan politik di daerah (Pemda dan DPRD) juga jelas memberi kemungkinan baru bagi pimpinan SPP untuk membangun persekutuan baru yang menciptakan ruang dan iklim politik yang kondusif bagi mobilisasi para petani tak bertanah, dan hampir tak bertanah untuk melakukan okupasi atas tanah-tanah perkebunan besar dan Perhutani, demonstrasi menuntuk dijalankannya land reform, dan membangun susunan organisasinya. 

Dengan SPP, para tokoh petani lokal mengembangkan kemampuan kepemimpinannya yang baru khususnya dalam hal memelihara keanggotaan, memobilisasi dan memimpin dalam demostrasi-demonstrasi dan, tentunya, mengembangkan argumentasi dalam perebutan tanah. Selain itu, sebagian dari pemimpin lokal SPP juga memperluas ruang kepemimpinannya melalui posisi di parlemen desa (Badan Perwakilan Desa), yang dipilih secara langsung oleh penduduk, bahkan ada beberapa orang yang telah berhasil menduduki posisi sebagai Kepala Desa. Para pimpinan lokal SPP yang menduduki posisi seperti ini, tentunya menghadapi tantangan yang besar untuk mengubah posisi Desa dari alat rejim Orde Baru untuk mengendalikan dan memobilisasi penduduk, menjadi alat dari komunitas, khususnya kepentingan petani yang berada di desa itu.[91]  Meski telah ada ralat hukum atas UU nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang telah dilakukan oleh UU nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,[92] tentu pembaruan desa tidak mudah terwujud. Di Jawa Barat, sepanjang 20 tahun semenjak diterapkannya pada tahun 1979 sampai 1999, proses-proses utama komunitas desa telah ditaklukkan oleh proses-proses birokrasi.[93] Birokratisasi yang sangat berlebihan di desa-desa di Jawa Barat, telah membuat para pemimpin di desa takluk dan menjadi bagian langsung dari “pemerintah”.[94]  Di daerah dataran rendah dengan bentuk ekologi yang utama adalah sawah, sentralisasi kekuasaan di desa-desa ini, merupakan sandaran utama bagi program Revolusi Hijau, suatu upaya meningkatkan produktifitas padi melalui penggunaan bibit hibrida, pupuk kimia, pestisida, irigasi dan teknologi paska-panen. Program revolusi hijau ini telah mengakibatkan terjadinya semakin terkonsentrasinya penguasaan tanah pada segelintir orang kaya yang bertuankan negara di satu pihak, dan semakin membanyaknya petani yang tak bertanah di pihak lain.[95]Sedangkan di dataran tinggi, sentralisasi kekuasaan ini memberi keamanan pada perhutani dan/atau perkebunan besar untuk melanjutkan eksistensinya di lingkungan desa-desa yang sebagian penduduknya tak bertanah. 

Pada umumnya, semasa Orde Baru masih kukuh, meskipun proses polarisasi kelas terjadi di pedesaan, namun tidak diiringi dengan aksi protes terbuka, apalagi aksi okupasi tanah dari kaum tak bertanah. Hal ini disebabkan oleh kendali yang sangat kuat dari pemerintahan Orde Baru terhadap pedesaan,[96] masih melekatnya trauma “pembantaian PKI” dalam struktur mental petani,[97] dan tersedianya saluran dimana mereka dapat melanjutkan hidup dengan pergi migrasi secara sirkuler sebagai bagian dari apa yang diistilahkan sebagai sektor informal di kota.[98]

Hidupnya kembali agenda reforma agraria di Jawa setelah jatuhnya Orde Baru selain diisi oleh penggarapan/okupasi petani atas tanah perkebunan/kehutanan dan konflik yang ditimbulkannya, juga diisi oleh suburnya pertumbuhan organisasi-organisasi massa petani.  Para promotor pembaruan agraria percaya bahwa penggantian rejim Orde Baru merupakan prasyarat dari dijalankannya pembaruan agraria yang menyeluruh di Indonesia. Tanpa suatu perubahan rejim, tidak ada harapan bagi siapapun untuk bisa menyaksikan dijalankan pembaruan agraria oleh rejim Orde Baru yang berkuasa pada saat itu.[99]  Namun demikian, disadari bahwa[100]

hampir semua pembaruan agraria dilakukan atas dasar kedermawanan pemerintahan, sehingga begitu minat pemerintah berubah (demi kepentingannya), maka habislah hasil-hasil positif yang mungkin pernah dicapai oleh pembaruan agraria. Memang diakui, ada suatu pemerintahan yang dengan tulus dan jujur melakukan pembaruan agraria demi rakyat banyak. Namun, begitu pemerintahan tersebut berganti, elit penguasa yang baru dapat berganti haluan, dan membalikkan keadaan. Bahkan, sekalipun pembaruan itu lahir dari sebuah revolusi, seperti misalnya Meksiko. Kedermawanan pemerintah itulah yang oleh Powelson dan Stock disebut dengan istilah “reform by-grace”. Pembaruan demikian tidak “sustainable”, karena bergantung pada “pasar politik” menurut istilah Yushiro Hayami.

... Dengan demikian, yang diperlukan adalah pembaruan yang didasarkan atas pemberdayaan rakyat. Atau menurut istilah Powelson dan Stock: “land reform by leverage”. Dalam kondisi “pasar politik” yang bagaimanapun, jika posisi tawar petani/rakyat kecil kuat, maka hasil-hasil pembaruan sebelumnya tidak begitu saja mudah dibalikkan.

Gagasan “land reform by leverage” ini tak lain adalah basis argumentasi dari eksistensi organisasi massa petani sebagai mesin utama dari pembaruan agraria. Rintisan pembangunan organisasi massa petani berbasiskan kasus tanah, yang dilakukan di awal tahun 1990-an, mendapatkan kesempatan dan iklim politik yang kondusif setelah jatuhnya rejim Soeharto.[101]

Dengan rujukan demikian, gerakan petani SPP dapat dipahami pembesarannya pertama-tama melalui akasi-aksi okupasi atau penggarapan tanah yang sebelumnya dikuasai oleh Perkebunan-perkebunan besar swasta maupun milik negara, dan Perhutani. Aksi-aksi okupasi ini dimungkinkan oleh hilangnya kemampuan represi dari para penguasa tanah luas dan aparatus negara yang represif sebagai konsekuensi langsung dari jatuhnya rejim otoritarian Orde Baru yang jatuh semenjak tahun 1998 lalu. Perubahan konfigurasi pimpinan politik di daerah (Pemda dan DPRD) juga jelas memberi kemungkinan baru bagi pimpinan SPP untuk membangun persekutuan baru yang menciptakan ruang dan iklim politik yang kondusif bagi mobilisasi para petani tak bertanah, dan hampir tak bertanah untuk melakukan okupasi atas tanah-tanah perkebunan besar dan Perhutani, demonstrasi menuntuk dijalankannya land reform, dan membangun susunan organisasinya. 

Di tiap wilayah yang menjadi basis lokal dari SPP, dibentuk suatu kepemimpinan lokal yang mereka sebut sebagai organisasi tani lokal (OTL). Dengan SPP, mereka menggunakan kemampuan yang telah dipunyai itu, dan juga mengembangkan kemampuan kepemimpinannya yang baru khususnya dalam hal memelihara keanggotaan, memobilisasi dan memimpin dalam demostrasi-demonstrasi dan, tentunya, mengembangkan argumentasi dalam perebutan tanah. Selain itu, sebagian dari pemimpin lokal SPP juga memperluas ruang kepemimpinannya melalui posisi di parlemen desa (Badan Perwakilan Desa), yang dipilih secara langsung oleh penduduk, bahkan ada beberapa orang yang telah berhasil menduduki posisi sebagai Kepala Desa. Para pimpinan lokal SPP yang menduduki posisi seperti ini, tentunya menghadapi tantangan yang besar untuk mengubah posisi Desa dari alat rejim Orde Baru untuk mengendalikan dan memobilisasi penduduk, menjadi alat dari komunitas, khususnya kepentingan petani yang berada di desa itu.[102]  Meski telah ada ralat hukum atas UU nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang telah dilakukan oleh UU nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,[103] tentu pembaruan desa tidak mudah terwujud. Di Jawa Barat, sepanjang 20 tahun semenjak diterapkannya pada tahun 1979 sampai 1999, proses-proses utama komunitas desa telah ditaklukkan oleh proses-proses birokrasi.[104]Birokratisasi yang sangat berlebihan di desa-desa di Jawa Barat, telah membuat para pemimpin di desa takluk dan menjadi bagian langsung dari “pemerintah”.[105]  Di daerah dataran rendah dengan bentuk ekologi yang utama adalah sawah, sentralisasi kekuasaan di desa-desa ini, merupakan sandaran utama bagi program Revolusi Hijau, suatu upaya meningkatkan produktifitas padi melalui penggunaan bibit hibrida, pupuk kimia, pestisida, irigasi dan teknologi paska-panen. Program revolusi hijau ini telah mengakibatkan terjadinya semakin terkonsentrasinya penguasaan tanah pada segelintir orang kaya yang bertuankan negara di satu pihak, dan semakin membanyaknya petani yang tak bertanah di pihak lain.[106] Sedangkan di dataran tinggi, sentralisasi kekuasaan ini memberi keamanan pada perhutani dan/atau perkebunan besar untuk melanjutkan eksistensinya di lingkungan desa-desa yang sebagian penduduknya tak bertanah. 

Pada umumnya, semasa Orde Baru masih kukuh, meskipun proses polarisasi kelas terjadi di pedesaan, namun tidak diiringi dengan aksi protes terbuka, apalagi aksi okupasi tanah dari kaum tak bertanah. Hal ini disebabkan oleh kendali yang sangat kuat dari pemerintahan Orde Baru terhadap pedesaan,[107] masih melekatnya trauma “pembantaian PKI” dalam struktur mental petani,[108]dan tersedianya saluran dimana mereka dapat melanjutkan hidup dengan pergi migrasi secara sirkuler sebagai bagian dari apa yang diistilahkan sebagai sektor informal di kota.[109]

Sejarah kehadiran SPP dapat ditelusuri dari akhir tahun 1980-an. Pada akhir tahun 1980-an itu adalah mulai terjadi ‘koalisi’ antara tokoh-tokoh petani yang komunitasnya berkonflik dengan perhutani dan perkebunan besar, aktivis terpelajar di kota Garut yang tergabung dalam Forum Pemuda, Pelajar dan Mahasiswa Garut (FPPMG), dan aktivis mahasiswa dari Bandung yang tergabung dalam KPMURI (Komite Pembelaan Mahasiswa untuk Rakyat Indonesia) dan aktivis ornop dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung. Dua kasus utama yang menjadi issue yang mengikat koalisi ini adalah “Kasus Tanah Sagara” dan “Kasus Tanah Badega”.

Pada intinya, kasus  “Kasus Tanah Sagara”ini adalah suatu persengketaan antara Perhutani dengan 776 kepala keluarga di wilayah Sagara mengenai siapa yang berhak atas tanah seluas 1100 hektar beserta pohon-pohon jati yang ada di atasnya. Persengketaan ini diisi pula dengan peristiwa-peristiwa penangkapan dan pemenjaraan terhadap pemimpin FPPMG dan juga beberapa tokoh penduduk hingga menjadikannya sebagai tempat latihan brigade mobil (brimob).  Kasus ini berakhir dengan “kalahnya Perhutani”, dengan keluarnya Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 35-VI-1997 tentang penegasan tanah negara sebagai objek pengaturan penguasaan tanah/landreform luas  578,71 Ha di desa Sagara dan Karya Mukti.[110]  Kemenangan ini mendorong aktivis FPPMG meluaskan wilayah kerja pengorganisasiannya pada kasus-kasus lain di Kabupaten Garut, dan kemudian membentuk FPMR (Forum Pemuda, Mahasiswa dan Rakyat) dan Farmaci (Forum Aspirasi Rakyat dan Mahasiswa Ciamis) yang meluaskan pengorganisasian petani  ke Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis. 

Pada kurun waktu yang relatif sama, para aktivis mahasiswa di Bandung, bersama-sama dengan LBH Bandung, juga mengurus kasus-kasus lain di Kabupaten Garut, seperti, kasus tanah Badega.[111]  Pada intinya, “kasus Badega” ini adalah suatu persengketaan antara 312 petani penggarap di gunung Badega - Garut dengan PT. Surya Andaka Mustika mengenai siapa yang berhak atas tanah seluas hampir 400 hektar, eks perkebunan PT Sintrin. Seperti juga kasus Sagara, kasus ini diisi pula dengan peristiwa-peristiwa penangkapan dan pemenjaraan  terhadap beberapa tokoh penduduk hingga menjadikannya sebagai tempat latihan perang-perangan tentara. Berbeda dengan kasus Sagara, kasus Badega ini lebih menjadi pusat perhatian dan menjadi bahan kampanye luas dari aktivis mahasiswa dan ornop pada akhir tahun 1980-an. 

Dua kasus konflik tanah ini kemudian menjadi contoh/rujukan dari usaha pengorganisasian petani yang dilakukan aktivis-aktivis terdidik di kota Garut dan Bandung, dalam format Serikat Petani Jawa Barat (SPJB). SPJB adalah suatu format pengorganisasian petani yang melibatkan tokoh-tokoh petani dari kasus-kasus konflik tanah yang ditangani oleh LBH Bandung sebagai pengacara/kuasa hukum mereka, semenjak akhir tahun 1980-an. SPJB sendiri didirikan pada tahun 1991dengan melibatkan di antaranya Kasus Cimerak di Kabupaten Ciamis, Kasus Sagara dan Kasus Badega di Kabupaten Garut, Kasus Jatiwangi di Kabupaten Majalengka, Kasus Gunung Batu di Kabupaten Sukabumi, dan Kasus Cikalong Kulon di Kabupaten Purwakarta. Meski SPJB kurang berhasil dalam memobilisasi politik petani di tingkat wilayah, terutama karena situasi politik yang tidak kondisuf, namun sepanjang 10 tahun dapat dikatakan, SPJB berhasil mengembangkan banyak aktivitas pendidikan untuk tokoh-tokoh petani dari berbagai kasus tanah itu dan untuk aktivis terpelajar dari kota itu sendiri. 

Aktivis terpelajar dari kota Garut mulai melepaskan diri dari SPJB pada tahun 1998, setelah terjadinya perubahan kesempatan politik akibat jatuhnya rejim otoritarian Soeharto. Selepas keluar dari penjara pada tahun 1997, selama 9 bulan karena dituduh menjadi provokator dalam kasus kerusuhan di Tasikmalaya (kota yang bersebelahan dengan Kabupaten Garut), Agustiana pemimpin dan penggerak utama SPP, menilai bahwa mereka memiliki kesempatan lebih baik untuk mengembangkan kepemimpinan dan organisasi sendiri yang lebih baik dari SPJB untuk wilayah Pasundan (Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, dan Kabupaten Ciamis). Penilaian itu berpengaruh sedemikian rupa sehingga pada gilirannya, pada bulan Februari tahun 2000, sejumlah aktivis terdidik dari kelas menengah kota di Garut, Tasikmalaya dan Ciamis bersama-sama tokoh-tokoh petani dari kasus-kasus tanah di tiga kabupaten itu mendeklarasikan pendirian SPP. 

Saat ini, SPP telah menjadi laboratorium praktek dari seluruh pembicaraan KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) tentang pembaruan agraria yang berlangsung semenjak tengah tahun 1980-an.[112]  Issue pembaruan agraria ini secara sistematik ditampilkan (kembali) ke panggung gerakan sosial berskala nasional, oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), suatu jaringan ornop berskala nasional yang dibentuk pada tahun 1995, oleh 65 organisasi dan beberapa akademisi dan aktivis ornop senior yang ternama.[113]Semenjak masa Orde Baru berkuasa hingga sekarang, KPA telah bekerja mengembangkan berbagai analisis mengenai konflik agraria dan struktur agraria yang terjadi di berbagai wilayah, dan mengkritik politik agraria yang menyebabkannya,  serta mempromosikan pembaruan agraria melalui seminar, lokakarya, latihan, penelitian dan penerbitan.[114]

                  Pada saat pendiriannya, para pemrakarsa KPA -- penulis adalah salah satunya --  meyakini bahwa[115]

tanpa agrarian reform, fondasi ekonomi nasional akan keropos dan setelahnya perekonomian akan mengalami kontradiksi permanen dan menciptakan keterbelakangan. 

Akibat dari dilaksanakan atau tidaknya agrarian reform, adalah sebagai berikut. Pertama, agrarian reform menciptakan pasar atau daya beli. Tanpa adanya redistribusi tanah, maka tidak ada kekuatan daya beli, artinya juga tidak ada kekuatan pasar. Tanpa kekuatan pasar, produksi tidak akan berkembang. Agrarian reform adalah sebuah instrumen bagi penciptaan pasar domestik, suatu prasyarat dari setiap sistem ekonomi nasional. Kedua, petani tanpa aset tanah, sama artinya dengan petani miskin yang tidak mampu menciptakan tabungan. Padahal tabungan pertanian diperlukan oleh setiap pemerintahan guna mendanai pembangunan pertanian maupun pengembangan sektor-sektor lain. Ketiga, tanpa peningkatan ekonomi petani, maka pajak pertanian akan tetap minim. Keempat, tanpa agrarian reform, maka tidak akan terjadi diferensiasi yang meluas dari pembagian kerja di pedesaan yang tumbuh dari kebutuhan pedesaan itu sendiri. Diferensiasi yang terjadi tanpa agrarian reform bersifat terbatas, menimbulkan jurang kelas yang tajam, dan eksploitatif. Kelima, tanpa agrarian reform tidak akan terjadi investasi di dalam pertanian oleh petani sendiri. Malahan terjadi disinvestasi, karena lama-kelamaan banyak petani kehilangan tanah dan kemiskinan meluas. Akibatnya sektor industri kecil, industri rumah tangga, perdagangan, jasa dan sirkulasi uang melemah, dan hanya bisa bergantung dari intervensi modal dari kota. Akibat parahnya adalah desa menjadi sumber pemerasan kota, karena desa tunduk pada kepentingan kota. Desa menjadi sumber yang dipakai untuk mensubsidi ekonomi kota, sementara desa menjadi terbelakang. Dan keenam, tanah akhirnya hanya menjadi obyek spekulasi, karena tidak mampu digunakan secara produktif oleh kaum taninya, melainkan dijarah oleh kelas-kelas di kota bagi kepentingan spekulasi dan investasi non-produktif. Tanah dijadikan obyek komoditi dan dijadikan dasar bagi akumulasi primitif modal awal dengan mekanisme land grabbing (pengambilan tanah secara brutal), yang kemudian dijual kembali atau dimasukkan ke mekanisme pasar tanah. Semua gejala tersebut adalah yang sekarang terjadi di Indonesia, karena pemerintahan Orde Baru menolak melakukan agrarian reform.

Lebih dari sekedar menjadi arena praktek dari pembicaraan tentang pembaruan agraria itu, pimpinan SPP yang berasal dari aktivis terpelajar, sedang berada pada posisi yang sangat baik untuk mempengaruhi dunia ornop Indonesia yang sedang bergelut mencari strategi yang tepat dalam memperjuangkan land reform.[116] Sementara banyak ornop Indonesia sedang getol belajar tentang advokasi kebijakan[117], SPP telah memberi contoh bagaimana terlibat dalam proses advokasi dan memetik buahnya. 

Dengan sangat cerdik, SPP telah memobilisir massa petani sekitar 10.000-an petani, dari wilayah kabupaten Garut, Tasikmalaya dan Ciamis, mendemonstrasi panitia ad hoc II Badan Pekerja MPR RI yang tengah menyelenggarakan Semiloka Nasional untuk merumuskan naskah Rancangan Ketetapan MPR RI tentang Pembaruan Agraria pada tanggal 15 September 2001 lalu di suatu hotel terkenal di kota Bandung. Mereka dihadang oleh barisan polisi di Cicalengka, suatu kota kecil kira-kira 30 km dari kota Garut dan 30 km dari Bandung. Negosiasi berlangsung di dua lokasi: di jalan Cicalengka antara pimpinan SPP dengan Polisi; dan di Bandung antara beberapa aktivis ornop yang menjadi peserta dan narasumber Semiloka itu dengan pimpinan panitia ad hoc II Badan Pekerja MPR RI. Pada gilirannya, sampailah pada keputusan bahwa pimpinan panitia ad hoc II Badan Pekerja MPR RI datang ke rombongan petani itu di Cicalengka, dan bukan rombongan petani itu yang meneruskan perjalanannya ke Hotel tempat Semiloka Nasional diselenggarakan. Pada tempat itu, Rambe Kamaruzzaman, sebagai pimpinan Panitia ad hoc II, menyatakan janji akan mengundurkan diri apabila TAP MPR itu tidak jadi keluar. 

Keaktifan SPP mendorong pembuatan TAP MPR ini tidak berhenti disini. Saat Sidang Tahunan ke-3 MPR RI berlangsung, pada tanggal 7 November 2001, kembali rombongan SPP memobilisasi massa sejumlah 1000-an orang, berdemontrasi di Gedung MPR RI di Jakarta dan kembali menyuarakan keharusan MPR memproduksi TAP MPR tentang Pembaruan Agraria ini.[118]  Walhasil, SPP telah mengukuhkan citranya di Garut, Tasikmalaya dan Ciamis, terutama di kalangan anggotanya bahwa SPP ikut mendorong keluarnya TAP MPR No. IX/2001.

Keluarnya TAP MPR No. IX/2001 ini, memiliki arti strategis bagi SPP. Land reform telah menjadi kewajiban hukum dari pemerintah Republik Indonesia. Di dalam pasal 5 dinyatakan “Arah Kebijakan Pembaruan Agraria”, untuk: 

a.  Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini. 

b.  Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat. 

c.   Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform. 

d.  Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini. 

e.  Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban pelaksanaan pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang terjadi. 

f.   Mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan dalam melaksanakan program pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konflik sumber daya agraria yang terjadi.

Di semua lokasi kasus, pimpinan lokal SPP senantiasa menggunakan argumen TAP MPR ini sebagai alasan pembenar atas pendudukan-pendudukan tanah yang dilakukan di lapangan. Selain alat ini berhasil dipakai pada tingkat lokal,  SPP pun ikut terus memonitor, menyuarakan dan memanfaatkannya sebagai alat tagih pada pemerintah, termasuk pemerintah daerah, agar menjalankan kewajibannya itu. 

       Kesempatan politik yang baru juga terbuka akibat ditetapkannya pola baru hubungan desentralisasi antara pemerintahan Pusat dengan Daerah, sebagaimana tertuang dalam TAP MPR RI No. XV/MPR/1998 tentang Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan; serta Pembagian Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. TAP MPR inilah yang kemudian menjadi dasar pembentukan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Selain ketegangan-ketegangan umum antara rakyat pedesaan, Negara dan Modal yang terus berlanjut sebagai hasil kerja rejim Orde Baru, penerapan perundang-undangan itu menghasilan setidaknya tiga ketegangan pokok lain di daerah, yakni (i) Ketegangan antara DPRD dengan Pemerintah Kabupaten, yang baik yang berasal dari kedudukan DPRD jauh lebih kuat dibanding sebelumnya,baik dalam kegiatan legislasi, anggaran, pengawasan maupun pemilihan-pertanggungjawaban Bupati; (ii) Ketegangan antara Pemerintah Daerah dengan Pusat yang berhubungan dengan tarik-menarik kewenangan pemerintahan, pengaturan wilayah dan keuangan; dan (iii) Ketegangan antara “Desa” dengan Pemerintahan Daerah, terutama mengenai pemerintah desa sebagai lembaga otonom atau perpanjangan tangan pemerintah.[119]

            Jadi, kesuksesan aksi-aksi pendudukan dan penggarapan tanah petani-petani yang bergabung dalam SPP dibatasi oleh cara bagaimana kebijakan pertanahan nasional dijalankan. Alih-alih merespon kebutuhan para petani penggarap, pimpinan Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI periode 2001 - 2005 sibuk menggunakan TAP MPR No. IX/2001 untuk melakukan pengusulan undang-undang baru pengganti UUPA dengan “meredefinisi prinsip-prinsipnya”[120]. Hal ini tentu menangguk pro dan kontra yang tidak selesai, baik di kalangan ornop, sarjana hukum agraria, dan pejabat pemerintahan, hingga akhirnya tercapai kesepakatan antara pimpinan baru BPN-RI 2005-2009 dengan Komisi II DPR-RI pada tahun 2007 untuk tidak mengubah UUPA, dan pembaruan perundang-undangan dilakukan terhadap produk perundang-undangan di bawah UUPA. Sedangkan, BPN-RI berkonsentrasi untuk menjalankan dan mengembangkan mandat pelaksanaan reforma agraria dari Presiden RI dengan prinsip “tanah untuk keadilan dan kemakmuran”, termasuk mencoba apa yang disebut sebagai PPAN (Program Pembaruan Agraria Nasional) yang didengungkan akan mengalokasikan tanah objek reforma agraria seluas 9,25 juta hektar (8,15 juta ha berasal dari hutan konversi, dan 1,1 juta ha berasal dari tanah di bawah kewenangan langsung BPN).[121]  

Meskipun pengumuman bahwa pemerintah hendak menjalankan PPAN itu dilakukan Kepala BPN bersama Menteri Kehutanan dan Menteri Pertanian setelah mereka bertemu dengan Presiden RI[122], dan sejumlah studi telah merekomendasikan keharusan agenda reforma agraria dan pengelolaan sumber daya alam di jurisdiksi kedua departemen ini[123], namun di dua departemen itu, agenda reforma agraria belum menjadi agenda utama. Dengan demikian, tidaklah mengherankan, kita sangat sulit menemukan integrasi program Reforma Agraria di kedua departemen itu. Bahkan di bawah kepemimpinan Presiden RI 2004-2009, Susilo Bambang Yodoyono, kita menyaksikan kebijakan dan program badan-badan pemerintah yang tergolong dalam apa yang disebut Feder (1970) sebagai counterreform,[124] antara lain inisiatif-inisiatif dari Departemen Kehutanan, mulai dari pembolehan investasi pertambangan di kawasan konservasi hingga bentuk-bentuk baru perhutanan sosial, dan inisiatif Departemen Pertanian, mulai dari dijalankan UU No 18/2004 tentang Perkebunan, perluasan perkebunan sawit, dan lainnya untuk bahan bakar nabati hingga pelestarian “lahan pertanian abadi”. Yang paling menohok adalah disahkannya Undang-undang No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dipandang dari usaha panjang SPP menjalankan land reform by leverage, tentunya kesemua itu akan memberi pengaruh secara berbeda-beda, suatu bahan penyelidikan yang sangat menarik di masa yang akan datang. 

Penutup

Penulis memulai dengan pertanyaan “mengapa begitu banyak rakyat Pasundan hidup terbenam dalam kemiskinan terus-menerus, dan sekarang ditambah lagi dengan kerusakan alam dimana-mana?”  Apakah benar jawaban bahwa kenyataan pahit itu disebabkan karena rakyat Pasundan dilenakan oleh alam yang kaya itu sehingga menjadi malas atau “tidak produktif”, dan malah menjadi “perusak lingkungan”?  

Saya berpendirian bahwa pandangan yang menyalahkan para korban ini, sama sekali tidak dapat dipertahankan. Pandangan demikian mengabaikan cara bagaimana kenyataan pahit kehidupan rakyat dan alam Priangan itu telah dibentuk oleh politik agraria dari para penguasa feudal, kolonial  dan pascakolonial. Politik agraria yang dimaksud mencakup cara penguasa negara mengatur siapa-siapa dan bagaimana orang-orang dan badan-badan hukum bisa (dan juga tidak bisa) menguasai, memiliki, menggunakan, memanfaatkan, dan mendapat manfaat atas tanah dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Penulis telah mengajak pembaca menelusuri isi politik agraria, kondisi-kondisi yang membentuknya, cara-cara menjalankannya dan akibat-akibat khusus dari padanya. 

  

Versi pertama naskah ini telah disajikan sebagai bahan pendidikan pimpinan lokal  dan Guru-guru SMP Plus Pasawahan, Ciamis 06-08 February 2008




** Terima kasih untuk Yuslam Fikri Ansari untuk kalimat yang artinya “menyalakan penerang untuk menyembuhkan penyakit lupa sejarah”. Budi Priyatna menunjukkan peribahasa Sunda ,“pareumeun obor”, untuk gejala “(me)lupa(kan) asal-usul”.  Kalimat “nyaangan deui nu pareumeun obor”, secara harfiah berarti “memberikan cahaya pada mereka yang kegelapan”. 

[1] Buku Breman Ini buku sejarah. Bab-bab buku ini terdiri dari uraian secara berurut dengan Bab I berisi latar belakang yang menyediakan keterangan bagaimana situasi pemerintah kolonial berancang-ancang dan merencanakan meraup keuntungan.   Bab II menguraikan hubungan petani dan penguasa lokal hingga susunan kekuasaan yang khusus ini bisa dijadikan mesin andalan untuk eksploitasi. Bab III yang paling penting untuk mengerti bagaimana Tanam Paksa dijalankan. Lalu, Bab IV. Transisi dari penguasaan wilayah dan penguasahaan oleh perusahaan dagang (VOC) ke pengusahaan langsung negara. Lalu, bagaimana pemerintah Hindia Belanda melanjutkan yang disebut Preangerstelsel itu (bab V).  Selanjutnya, bab-bab berikutnya (VI sampai IX) menjelaskan aspek-aspek hubungan kerja, tata kelola dan sistem produksi kopi, peraturan-peraturan dalam sistem tanam paksa, dan reorganisasi pemerintahan dan ekonomi masyarakat.

[2] Tulisan dalam kurung merupakan tambahan penulis. Tulisan aslinya berbunyi “It is rather important that the younger generation of intellectuals, activist and policy-makers should understand their own agrarian history, which has often become distorted in official and popular discourse.” Ben White, “Agrarian Reform, Democratic Development and the Role of Intellectuals”, makalah yang disajikan dalam diskusi panel “Realitas Reforma Agraria di Indonesia dan Permasalahannya”, dalam rangka 70 tahun Gunawan Wiradi, Bogor 3 Sptermber 2002.

[3] Kalimat ini diinspirasikan dan disadur dari karya Nancy Peluso and Michael Watts 2001, yakni  “… suatu pemahaman berbagai cara yang khas dimana sejarah, ingatan dan praktek dari rakyat, negara-negara, dan kekuatan-kekuatan kapitalisme yang sering bergelut bersama secara brutal, dapat memberi optimisme baik pada pikiran maupun kehendak kita …”  Aslinya dalam bahasa Inggeris: “... a better understanding of the specific ways in which history, memory, and the practices of people, states, and the forces of capitalism often come together violently might provide for an optimism of both the intellect and the will…“, Nancy Peluso and Michael Watts, “Violent Environtments” in  Violent Environtments,  Nancy Peluso and Michael Watts  (Eds), Ithaca: Cornel University Press), 2001. p. 38.

[4] Otto Soemarwoto, “Constancy and Change in Agroecosystems”, dalam Cultural Values and Human Ecology in Southeast Asia, Karl L Hutterer, et al (Eds), Michigan: Ann Arbor, 1985. Lihat juga karya-karyanya klasiknya yang lain, “The talun-kebun System, A Modified Shifting Cultivation, in West Java”. Environmentalist 4 [suppl 7], 1984 hal. 96–98; “Homegardens: A Traditional Agroforestry System with a Promising Future”, dalam H.A. Steppler and P.K.R. Nair. (eds.), Agroforestry: A Decade of Development. Nairobi, ICRAF, 1987, hal 157-170. Juga, karya Otto Soemarwoto dan I. Soemarwoto, “The Javanese Rural Ecosystem” dalam Rambo, A. T, and P.E. Sajise (Eds) An Introduction to Human Ecology Research on Agricultural System in Southeast Asia. Los Banos: University of Philippines, 1984. Pp. 254-287; Otto Soemarwoto, I. Soemarwoto, Karyono, E.M. Soekartadireja, and A. Ramlan, “The Javanese Home Garden as an Integrated Agro-ecosystem”. Food and Nutrition Bulletin. Vol 7. No.3, 1985, hal. 44-47; Otto Soemarwoto, L. Chrisanty, Henky, Y.H. Herri, J. Iskandar, Hadyana and Priyono, “The Talun-Kebun: A Man-made Forest Fitted to Family Needs”, dalam. Food and Nutrition Bulletin. Vol. 7. No.3. hal. 48-51; dan Otto Soemarwoto, and G.R. Conway, “The Javanesse Homegarden.” J. Farm. Syst. Res. Ext. 2 tahun 1991, hal. 95-118.  Teori ini juga dianut secara relatif meluas, termasuk dalam dalam karya penting Tony Whitten, et alThe Ecology of Java and Bali, Singapura: Periplus, Edition, 1996, hal. 607.

[5] Miguel A. Altieri Globally Important Ingenious Agricultural Heritage Systems (GIAHS): extent, significance, and implications for Development, Background Paper  untuk inisiatif FAO dalam mengusulkan  pengakuan atas Warisan Sistem Pertanian Asli yang Penting secara Global. ftp://ftp.fao.org/sd/SDA/GIAHS/ SteeringCommittee_1_backgroundpaper_Altieri.doc. Pada tahun 2002 FAO memprakarsai suatu program Globally Important Agricultural Heritage Systems (GIAHS) yang bertujuan mengukuhkan dasar pengakuan global atas konsevasi dan pengelolaan yang berkelanjutan atas sistem-sistem agroekologi beserta bentang alamnya, keanekaragaman hayatinya dan budayanya. Sejak masa persiapan (2002-2006), prakarsa GIAHS ini mendaftar situs-situs contoh di Peru, Chile, China, Filipina, Tunisia, Maroko dan Algeria. Untuk tujuh tahun berikutnya (2007-2014), di situs-situs contoh itu akan dikembagakan dukungan dari para pihak di tingkat nasional dan lokal agar sistem-sistem itu dapat terus berlangsung. Selanjutnya lihat: Parviz Koohafkan and Miguel A. Altieri (2011) Globally Important Ingenious Agricultural Heritage Systems (GIAHS). Rome: Food and Agriculture Organization of the United Nations.

[6] Kalimat aslinya adalah “Indonesia Uplands have been constituted, imagined, managed, controlled, exploited and “developed” through a range of discouses and practices”, Tania Murrai Li, “Marginality, Power and Production: Analysing Upland Transformations” dalam Transforming the Indonesian Uplands, Tania Murrai Li (Ed), Amsterdam, Harwood Academic Publisher, 1999, halaman 1.

[7] Jadi, pengertian akses atas tanah termasuk, namun lebih lebih luas dari sekedar suatu hak atas tanah, yang banyak terikat dengan tatanan hukum yang berlaku, baik hukum negara maupun hukum adat. Lihat: Jesse C. Ribot dan Nancy Lee Peluso, 2003, “A Theory of Access”,  Rural Sociology 68(2), 2003 halaman 153-181. 

[8] Michael Watts, “Political Ecology” dalam A Companion to Economic Geography, Trevor Barnes and Eric Sheppard (eds). Oxford: Blackwell, 2000, halaman 257-274.

[9] Allan Pred and Michael John Watts, Reworking Modernity: Capitalism and Symbolic Discontent. New Brunswick, NJ: Rutgers University Press, 1992, halaman 11.

[10] Yang terbaru, misalnya Jan Breman and Gunawan Wiradi, Good Times and Bad Times in Rural Java : Case Study of Socio-economic Dynamics in Two Villages Towards the End of the Twentieth Century, Singapore : Institute of Southeast Asian Studies, 2002.

[11] Untuk perspektif sejarah tersedia artikel yang ditulis oleh Thommy Svensson, “Peasant and Politics in Early Twentieth Centuries West Java”, dalam Indonesia and Malaysia, Scandinavian Studies in Contemporary Society. Thommy Svensson dan Per Sorensen (Eds). London: Curzon Press Ltd, 1983; Thommy Svensson, “Bureaucracies and Agrarian Change, A Southeast Asia Case”, dalam Agrarian Society in History, Essay in Honour of Magnus Morner. Mats Lundahl and Thomy Svensson. London: Routledge, 1990.

[12] Usaha menerapkan konsepsi akumulasi primitif ini pada perjalanan politik agraria Indonesia, dilakukan oleh Noer Fauzi, Petani dan PenguasaDinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia, Yogyakarta: Konsorsium Pembaruan Agraria bekerjasama dengan Insist Press dan Pustaka Pelajar, 1999; dan juga oleh Farid, Hilmar. 2005. "Indonesia's Original Sin: Mass Killings and Capitalist Expansion, 1965-66." Inter-Asia Cultural Studies 6:3-16.

[13] Karl Kausky. (1898). The Agrarian Question. Dua Jilid. London: Zwan Publication, 1988.

[14] Kebangkitan kembali konsepsi “akumulasi primitif”  dalam dunia akademik saat ini dapat ditelusuri dari tiga andil utama, yakni (i) Michael Perelman, terutama bukunya The Invention of Capitalism, Classical Political Economy and the Secret History of Primitive Accumulation, Durham: Duke University Press, 2000; (ii) David Harvey, terutama dalam karyanya The New Imperialism. Oxford: Oxford University Press, 2003, dan A Brief History of Neoliberalism. Oxford: Oxford University Press, 2005; dan (iii) Massimo de Angelis, terutama karyanya “Marx’s Theory of Primitive Accumulation: A Suggested Reinterpretation”  in Working Paper No. 29.  Departement of Economics.  University of East Anglia London, 2000; "Separating the Doing and the Deed: Capital and the Continuous Character of Enclosures," Historical Materialism No. 12 tahun 2000; dan The Begining of History. Value Struggles and Global Capital. London: Pluto Press, 2007.

[15] Aslinya dalam bahasa Inggeris: “... a better understanding of the specific ways in which history, memory, and the practices of people, states, and the forces of capitalism often come together violently might provide for an optimism of both the intellect and the will…“, Nancy Peluso and Michael Watts, “Violent Environtments” in  Violent Environtments,  Nancy Peluso and Michael Watts  (Eds), Ithaca: Cornel University Press, 2001. Halaman 38. Kalimat terakhirnya “an optimism of both the intellect and the will” itu merupakan gubahan baru atas kalimat "pessimism of the intelligence, optimism of the will,” yang diterkenalkan oleh Antonio Gramsci, seorang teoritikus-praktikus gerakan sosialis-marxis dari Italia. Karya utamanya berupa tulisan terpisah-pisah telah dikumpulkan dalam An Antonio Gramsci Reader: Selected Writings 1916-1935. David Forgacs (ed.). New York: Schocken Books, 1988. Kumpulan catatan dari penjara telah dikenal luas dan diterbitkan dalam Prison Notebooks. Vol. 1. Trans. J. Buttigieg and A. Callari, J. Buttigieg (Ed.). New York: Columbia University Press, 1992; dan Prison Notebooks. Vol. 2. J. Buttigieg (Trans. and ed.). New York: Columbia University Press, 1996.

[16] Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500 – 1900, dari Emporium sampai Imperium, Jakarta: Gramedia, 1987, hal 150 – 154; 243 - 249. Juga,  Nina H. Lubis, Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800 – 1942, Bandung, Pusat Informasi Kebudayaan Sunda, 1998, hal 29-30. Untuk suatu analisis kritis terhadap historiografi mengenai penyerahan ini lihat Nina H. Lubis, Op Cit.,  2000, hal. 20, khususnya Bab 2: “Penyerahan Wilayah Priangan dari Mataram kepada Kompeni (Versi Wawacan sajarah Galuh)”.

[17] Peter Boomgard, “Forest and Forestry in Colonial Java 1677 – 1942”, paper presented at the Conference on Environmental History of Pacific, Canberra, Australia, 1987.

[18] Sebagaimana dimuat dalam Departemen Kehutanan, Sejarah Kehutanan Indonesia I, Jakarta, Departemen Kehutanan, 1986, hal 48.

[19] Pada pergantian abad 19 ke abad 20, De Graaf menyimpulkan bahwa, “Penanaman kopi pemerintah, pada skala yang lebih luas dari pada penanaman karet bumiputra, bersalah menyebabkan kerugian yang diakibatkan oleh penggundulan hutan besar-besaran,” G.S. de Graaf, “Beheer en Instandhoulding der Wildhout-bossen op Java en Madora,” Indische Gids, No. 21 (1899), hal 299, sebagaimana dikutip oleh Artur van Schaik, “Banyak Pohon makan Lahan, Perkebunan kopi dan degradasi Lahan di Jawa abad ke-19”, Prisma 9, September 1994.

[20] Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di IndonesiaKajian Sosial Ekonomi, Yogyakarta, Penerbit Aditia Media, 1994. p. 33.

[21] Diambil dengan perubahan redaksional seperlunya dari : D. H. Burger dan Prajudi Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, jilid 1, Djakarta: Penerbit Pradnja Paramita, 1962. Halaman 101-102.

[22] Artur van Schaik, “Banyak Pohon makan Lahan, Perkebunan Kopi dan Degradasi Lahan di Jawa abad ke-19”, Prisma 9, September 1994, hal. 83-84. Dalam naskah ini terdapat catatan kaki 1 –5. Isi catatan kaki tersebut sebagai berikut: 

1 . Van Gorkom, op.cit., hal. 256-257, 294; Kuulturverslag Malang 1867, ANJ, RAPI 711.

2.  F. Fokkens, The Great Cultures of the Isle of Java (Leiden: 1910), hal. 16; S.P. Ham, “Beschouwingen Omtrent den Lanbouw in het Algemeen in Verband met de Toestanden op Java,” Verslag Mindere Weelvaart Onderzoek, jilid 5b (1908); Baardwijk 1986, hal. 15; Penasehat Ilmiah Penanaman Kopi, Burck kepada direktur BB, 19/4/1894-196 dalam ANJ, MGS 11/3/1895-533; Direktur Kebun Raya, Treub kepada Sekretaris Pertama Pemerintah, 11/4/1892-551/b dalam ANJ, Bt 7/8/1895-12.

3.  AV Pasuruan 1832, RA Pasuruan 22; KV Bangil 1867, RAPI 711; Memorie van Overgave Pasuruan 1867, RA Pasuruan 31; KV Pasuruan 1906, RA Pasuruan 69; KV Tengger dan KV Bangil 1895, RAPI 732; Controleur Tengger kepada Residen Pasuruan, 26/12/1887-24/36, RA Pasuruan 716; Sekretaris Kolonial Komissarial kepada Raja, 8/10/1877-4 dalam ANJ, Bt. 16/1/1879-12.

4.  Kolonial Verslag 1860, 1881, 1891; Direktur BOW kepada GG, 8/3/1893-133B dalam ARA, Mail 350/1893; Ass. Resident Preanger, 10/6/1886 dalam ANJ, Bt. 4/8/1886-2 C.

5.  Baardwijk, op.cit (1986), hal. 7.

[23] Sebagaimana dimuat dalam H.R.C. Wright, East-Indian Economic Problems of The Age of Cornwallis & Raffles, London: Luzac and Company, Limited, 1961, p. 18. Pada wakt sebelumnya, ditahun 1744, Gubernur Jeneral Van Imhoff telah juga memerintahkan bahwa petani peladang harus menanam pohon buah-buahan agar menyulitkan mereka untuk berpindah. Pembukaan sawah baru juga dilakukan untuk alasan yang sama.

[24] Kusnaka Adimihardja dalam “Pertanian: mata Pencaharian hidup Masyarakat Sunda”, dalam Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya, Edi S. Ekadjati (Peny.), Jakarta, Girimukti Psaka, 1984, hal. 181,  menulis : “Berita pertama mengenai perluasan sawah ke tanah pegunungan di Jawa Barat baru terdengar sekitar tahun 1750 di kawasan Sumedang dan Tasikmalaya di lembah-lembah sungai kecil-kecil di perbatasan, sebelah timur dan setengah abad kemudian di Dataran Tinggi  Bandung dan Bogor.” 

[25] Budi Rajab, “Etos Kewiraswastaan pada Masyarakat Sunda di Pedesaan”, Dangiang, Jurnal Kebudayaan Sunda, No. 01/Mei-Juli 1999. Halaman 36.

[26] Ibid.

[27] T. Svensson,  State Bureaucracy and Capitalism in Rural West java: Local Gentry versus Peasant Entrepreneur in Priangan in the 19th and 20th Centuries, 1991. Halaman 18.

[28] Selanjutnya, “Pada pertengahan pertama abad ke-19 Pemerintah Hindia Belanda menempatkan para Bupati  sebagai pegawai pemeritah. Daendels menemparkan mereka di bawah prefec. Dengan demikian usaha birokratisasi pemerintah kolonial telah dimulai. Para kepala pribumi diperlakukan sebagai pejabat Sri Baginda Raja Belanda.” Nina H. Lubis, Op Cit, hal 35 – 36. 

[29] Mason C. Hoadley, Toward a Feudal Mode of Production, West Java, 1680 – 1800, Singapore, Institute of Southeast Asia Studies, 1994.

[30] Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, Op Cit.

[31] Djoko Suryo, “Sistem Tanam Wajib: Masa Lalu, Kini dan Masa Datang,” Prospek Pedesaan 1990. Yogyakarta, P3PK-UGM., 1991.

[32] C.B. Boxer, Jan Kompeni: Sejarah VOC dalam Perang dan Damai 1602 – 1799, Jakarta: Sinar Harapan, 1983.

[33] Sebagaimana dimuat dalam H.R.C. Wright, Op Cit,  hal. 6.

[34] R. Supardi, Hutan dan Kehutanan dalam Tiga Jaman, volume aJakarta, Perum Perhutani 1974, hal. 20.

[35] Departemen Kehutanan, Op Cit.  hal 58 – 63.

[36] R. Supardi, Hutan dan Kehutanan dalam Tiga Jaman, bagian aJakarta, Perum Perhutani 1974,  hal. 57; juga Nancy Peluso, Rich Forest Poor People, Resource Control and Resistance in Java, Berkeley, University of California Press, 1987, hal. 45.

[37] Peter Boomgard, Op Cit. p . 17.

[38] Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500 – 1900, Dari Emporium sampai Imperium, Jakarta: PT Gramedia, halaman 305 – 306.

[39] Ibid.

[40] Dihitung dari tabel 3.13 yang terdapat dalam buku R.E. Elson, Village Java under the Cultivation System 1830 – 1870, Syney: Allen and Unwin, 1994. Halaman 86-87.

[41] Diambil dari tabel 5.1. Keterlibatan Penduduk Desa dalam Pelaksanaan Sistem Tanam Paksadi Jawa, Periode 1837 – 1845, yang dimuat dalam Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, Op Cit., halaman 58.

[42] C. Fasseur, “The Cultivation System and Its Impact on the Dutch Colonial Economy and The Indigenous Society in Nineteenh-Century Java”, dalam Two Colonial Empires, Comparative Essays on the History of India and Indonesia in the Nineteenth Century, C.A. Bayly and D.H.A. Kolff (Eds), Dordrecht: Martinus Nijhoff Publisher, 1986, hal. 137.

[43] Artur van Schaik, Op Cit, halaman 86.

[44] Singgih Praptodihardjo, Sendi-sendi Hukum Tanah di Indonesia, Jakarta: Yayasan Pembaruan, 1952. Halaman 142-143. Halaman 142-143

[45] Ibid. Halaman 46.

[46] Sumber dari: Tauchid, 1952, 174-189

[47] Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, Jakarta: Sinar Harapan, 1984, halaman 37-85.

[48] Sejarawan Onghokham memperkirakan bahwa “sejak pemberontakan Diponegoro selesai (1830) sampai permulaan gerakan nasional (1908) diperkirakan terdapat lebih dari 100 pemberontakan atau keresahan petani. Itu berart hampir setiap tahun ada saja onrust ataupun uproar, sifatnya lokal dan mudah ditindas termasuk peristiwa paling spektakuler, yakni pemberontakan petani di Banten pada 1888” (Onghokham, “Pemberontakan Petani”, Forum Keadilan No. 22, th II, 17 Februari 1994). Untuk keterangan lebih detil tentang pemberontakan petani ini, lihat Sartono Kartodirdjo, Op Cit.

[49] Aiko Kurasawa, Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945, Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 1993, halaman 3-52.

[50] Mohammad Tahuchid, Op Cit. Halaman 8.

[51] Aiko Kurasawa, Op Cit. 

[52] Mohammad Tahuchid, Jilid II, halaman 6.

[53] Ibid. halaman 457 dan seterusnya.

[54] Kalimat dalam Pembukaan UUD 1945.

[55] Pidato Pengantar Menteri Agraria (Mr. Sadjarwo) di dalam sidang DPR-GR tanggal 12 September 1960, dalam Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah. Jakarta: Penerbit Jambatan, 1994. Halaman 53.

[56] Kalimat aslinya, “… it can be asserted that it was the defective agrarian structure which paved the way for the national idea, and political developments have confirmed the emotional identity of the fight for freedon with the cry for land, Eric Jacoby, Agrarian Unrest in Southeast Asia. Bombay, Asia Publishing Co, 1961, halaman 50.

[57] “… the solution of the land problem is a pre-requisite for the full realization of the national aspirations of the countries of Southeas Asia and that, to a large extent, it is the key to economic development and a sound reorganization of society”, Eric Jacoby, Agrarian Unrest in Southeast Asia. Bombay, Asia Publishing Co, 1961, halaman 253.

[58] Program-program itu adalah penghapusan hak istimewa desa-desa perdikan di Banyumas (UU No. 13/1946), penghapusan hak conversie, hak istemewa sekitar 40 perusahaan tebu di Surakarta dan Yogyakarta untuk peroleh tanah dan tenaga kerja (UU Darurat No. 13/1948), legalisasi pemakaian tanah-tanah perkebunan oleh rakyat (UU Darurat No. 8/1954), dan pelarangan tanah-tanah partikelir (UU No. 1/1958). Lihat Singgih Praptodihardjo, Sendi-sendi Hukum Tanah di Indonesia, Jakarta: Yayasan Pembaruan, 1952; Sudargo Gautama, Masalah Agraria: Berikut Peraturan-peraturan dan Contohnya. Bandung, Alumni 1973; dan Selo Soemardjan, “Land Reform di Indonesia”, Dua Abad Penguasaan Tanah SMP Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (eds), Jakarta: Penerbit Obor, 1984.

[59] Lihat Boedhi Harsono, Undang-undang Pokok Agraria: Sejarah Penyusunan, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan, 1970; Gunawan Wiradi, Pembaruan Agraria: Urusan yang Belum Selesai, Yogyakarta: Insist Press kerjasama dengan KPA, 2001.

[60] Menurut Gunawan Wiradi, “Masalah Perkebunan dalam Konteks Reforma Agraria: Mencari Pegangan di Tengah Ketidakpastian”, naskah tidak diterbitkan, Perjanjiian KMB itu berisikan: 

(a)    Belanda menggunakan istilah “penyerahan” kedaulatan. Bukan “pengakuan” kedaulatan.

 (b) Kedaulatan tidak diserahkan keada Republik Proklamasi tetapi kepada Republik Indonesia Serikat (RIS). RI Proklamasi hanya sebagai negara bagian.

 (c)   Irian Barat di”sandera”, dengan janji dalam waktu satu tahun (?) akan dilakukan jajag pendapat (plebisit).

(d)   Belanda menuntut agar inti tentara RIS adalah KNIL. Namun dalam hal ini Indonesia menang. Artinya, tuntutan Indonesia diterima, yaitu tentara inti Indonesia adalah TNI.

 (e) Perkebunan-perkebunan besar yang diduduki rakyatharus dikembalikan kepada pemegang haknya semula, yaitu kaum modal swasta Belanda. Artinya, rakyat harus diusir dari tanah-tanah tersebut.

 (f)   Sebagian hutang Belanda kepada negara lain (ataupun lembaga-lembaga dana lainnya) yang notabene dipakai untuk membeli peralatan perang untuk memerangi Indonesia, menjadi beban Indonesia. Menjadi “hutang” Indonesia.

 (g)   Negara RIS itu berada dalam ikatan kesatun “Unie Indonesia-Belanda” yang dikepalai oleh raja Belanda.

[61] Menurut penelitian Dianto Bachriadi, keluarnya UU ini merupakan “kemenangan” secara hukum bagi massa rakyat tani penggarap Indonesia. Kalau dilihat secara lebih jauh isi UU No. 8 Darurat tahun 1954, khususnya pasal 2, 11 dan bagian Penjelasan Umum pasal 1 dan 7 mengesahkan pendudukan lahan perkebunan tersebut. Termasuk dalam pasal 7, bagian Penjelasan Umum dari UU Darurat ini dinyatakan secara tegas bahwa tindakan yang akan diambil oleh pemerintah adalah memberikan kedudukan hukum kepada rakyat yang telah menduduki tanah-tanah bekas perkebunan asing tersebut. Lihat Dianto Bachriadi, “Warisan Kolonial yang Tidak Diselesaikan: Konflik dan Pendudukan Tanah di Tapos dan Badega, Jawa Barat”, dalam Berebut Tanah: Beberapa Kajian Berperspektif Kampus dan Kampung, Anu Lounella and R. Yando Zakaria (eds.), Yogyakarta: Insist Press: KARSA, 2002, halaman 41. 

[62] Soedargo Gautama, Op Cit. Halaman 15-20.

[63] Mengenai hal ini lihat Margo L. Lyon, “Dasar-dasar Konflik di Daerah Pedesaan Jawa” dalam SMP Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (eds.) Dua Abad Penguasaan Tanah. Jakarta: Yayasan Obor; Ernest Utrecht, “Land Reform in Indonesia”, Buletin of Indonesian Economic Studies. Vol. V, No. 3; dan Rex Mortimer, “The Indonesia  Communism and Land Reform 1959-1965”, Monash Papers on Southeast Asia, No. 1, 1972.

[64] Dalam suasana demikian, tidak heran bila Ladejinsky (1961) menyatakan “I am almost inclined to to view that it is essentially an anti-land redistribution program, although I am certain that it was not planned that way originally” Ladejinski Agrarian Reform as Unfinished Business: The Selected Papers of Wolf Ladejinsky. Edited by Louis J. Walinsky. London: Oxford University Press Walinsky 1977, halaman 298.

[65] Robert Cribb "The Indonesian Killings 1965-1966." Clayton: Centre for Southeast Asian Studies, Monash University, 1990; dan Robert Cribb, "Genocide in Indonesia 1965-1966." Journal of Genocide Research 2001, No. 3, halaman 219-239.

[66] Julie Southwood and Patrick Flanagan, Indonesia: Law, Propaganda, and Terror, London: Zed Press, 1983.

[67] Strategi agraria dapat dibedakan atas tiga ciri ideal. Dapat disebutkan tiga hal yang menjadi pembeda antar satu sistem dengan sistem lainnya. Yakni (a) Penguasaan Tanah; (b) Tenaga Kerja; dan (c) Tanggung jawab atau pengambilan keputusan meengenai produksi, akumulasi dan investasi. Dalam strategi Kapitalis, sarana produksi yang utama (tanah) dikuasai oleh individu-individu non-penggarap. Penggarap yang langsung mengerjakan tanah adalah pekerja upahan “bebas”, diupah oleh penguasa/pemilik tanah. Hubungan antara penguasaan/pemilikan tanah dan pekerjaannya sifatnya terpisah. Pekerja (penggarap) menjual tenaga yang dibeli dengan upah yang diberikan pemilik/penguasa tanah. Tenaga kerja adalah barang dagangan (komoditi). Tanggung jawab dan pengambilan keputusan produksi, akumulasi dan investasi terletak sepenuhnya di tangan si pemilik/penguasa tanah. Dalam strategi Sosialis, tanah dan sarana produksi lainnya dikuasai oleh organisasi (biasanya adalah negara) atas nama kelompok pekerja. Tenaga kerja merupakan tenaga yang memperoleh imbalan dari hasil kerjanya, yang diputuskan oleh organisasi yang mengatasnamakan organisasi para pekerja. Dengan demikian, tanggung jawab atau pengambilan keputusan atas produksi, akumulasi dan investasi terletak di tangan organisasi yang mengatasnamakan para pekerja (biasanya adalah negara). Sedangkan dalam Strategi (Neo) populis, satuan usaha merupakan usaha keluarga. Karena itu, penguasaan tanah dan sarana produksi lainnya tersebar pada mayoritas keluarga tani. Tenaga kerjanya adalah tenaga kerja keluarga. Jadi, produksi secara keseluruhan merupajan pekerjaan keluarga tani tersebut, walaupun tanggung jawab atas akumulasi biasanya ditanggung oleh negara.

[68] Mas’oed, Mochtar (1989), Ekonomi dan Struktur Politik: Orde Baru 1966-1971, hal 59, Jakarta: LP3ES.

[69] Ibid.

[70] Menurut penulis, pengamatan bahwa “beberapa” perkebunan milik negara dikendalikan oleh Angkatan Darat, kurang akurat (tanda petik dari Pen.) Studi Karl L. Pelzer menunjukkan bahwa terjadi penguasaan yang besar dari militer terhadap perkebunan-perkebunan. Sekitar 75% atau lebih dari 500 perkebunan Belanda di seluruh Indonesia dan juga perusahaan-perusahaan lain berada di bawah pengawasan militer. Menyusul pengambilalihan itu, perwira-perwira militer ditempatkan sebagai pengawas dan pengelola perkebunan tersebut. Jenderal Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Bersenjata memerintahkan agar wakil direktur Pusat Perkebunan Negara dipegang oleh seorang perwira yang bertanggung jawab kepada Kantor Penguasa Perang Pusat. Dengan cara ini, tentara memegang posisi kunci dalam semua badan yang melakukan pengawasan dan pengelolaan bekas perusahaan Belanda. Tugas Utama perwira militer itu adalah menata kembali susunan administratif, menormalkan dan memajukan perusahaan. Wewenang mereka adalah dalam bidang personil, mulai dari pengawasan pengangkatan, promosi, pemecatan staf sampai prakarsa untuk bekerja sama dengan buruh, staf dan pengelola. Perwira militer ini juga mengawasi keuangan dan ikut menandatangani setiap cek bank. Perumahan, transport dan perawatan mesin serta perawatan bangunan pun berada di bawah pengawasan mereka. Mereka berkewajiban pula untuk mencegah tindakan-tindakan yang dapat merugikan perusahaan. Problem yang kemudian muncul adalah, bersengketanya perwira-perwira dengan buruh dan penduduk liar yang telah sejak bertahun-tahun pertama kemerdekaan tak henti-hentinya berusaha untuk mendapatkan hak milik atas tanah itu. Perwira-perwira itu juga melarang pemogokan guna mencegah penurunan produksi. (Pelzer, 1991: 189-217).

[71] Soekarno menyebutnya sebagai “Sosialisme Indonesia”.

[72] Wiradi, Gunawan (1993), “Kebijakan Agraria, Modal Besar, dan Kasus-kasus Sengketa Tanah, makalah pada Lokakarya Antar Wilayah Advokasi Kasus-kasus Tanah, 8-11 November 1993.

[73] Dirjen Agraria Departemen Dalam Negeri mengeluarkan suatu prinsip kebijakan agraria pemerintah, yakni yang disebut sebagai “Catur Tertib”, yakni: 1. Tertib Hukum Pertanahan; (2) Tertib Administrasi; (3) Tertib Penggunaan Tanah; dan (4) Tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup.

[74] Baru di tahun 1988, dibentuk Badan Pertanahan Nasional (BPN), suatu Lembaga Pemerintahan Non Departemen yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, melalui Keputusan Presiden RI No. 26 tahun 1988. Dengan BPN, maka kedudukan, tugas, dan fungsi Direktorat Jenderal Agraria Departemen Dalam Negeri ditingkatkan menjadi lembaga setingkat departemen. Peningkatan ini atas pertimbangan karena “meningkatnya kebutuhan penguasaan dan penggunaan tanah terutama untuk kepentingan pembangunan..........”. Di tahun 1993, di dalam Kabinet Pembangunan VI, Kepala BPN ditingkatkan lagi menjadi Menteri Negara Urusan Agraria/Kepala BPN.

[75] Prof. Dr. A.P. Parlindungan mengemukakan pada kesempatan Dengar Pendapat dengan Komisi II DPR-RI tanggal 14 Mei 1984, bahwa 18 (delapan belas) perintah UUPA belum dituangkan dalam undang-undang atau peraturan pemerintah, atau bila telah ada kurang sempurna sehingga perlu diperbaharui. “Kalau dirinci maka dari 17 UU atau PP dapat dikembangkan menjadi lebih dari 40 peraturan pemerintah ataupun perundang-undangan” (Parlindungan, 1991: 116-117).

[76] Di jaman Pembangunan “Orde Baru”, memang ada dikeluarkan Peraturan-peraturan baru tentang landreform (termasuk bagi-hasil). Namun, peraturan-peraturan ini bersifat teknis saja. Berbeda dengan masa “Revolusi” Orde Lama, peraturan-peraturan landreform merupakan suatu strategi untuk melaksanakan perubahan agraria.

[77] Dr. Loekman Soetrisno memberikan pendapat mengenai HKTI, “HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) pada hakekatnya bukanlah suatu organisasi murni petani karena sebagian besar anggota pengurus organisasi itu berasal dari pejabat Departemen Pertanian, mantan pejabat Departemen Pertanian, dan mereka-mereka yang tidak pernah hidup sebagai petani. Akibatnya dalam beberapa hal HKTI nampak jelas sebagai suatu organisasi milik pemerintah daripada organisasi milik petani” (Soetrisno, 1990, 33).

[78] Frans Husken dan Benjamin White, “Ekonomi Politik Pembangunan Pedesaan dan Struktur Agraria di Jawa”, dalam Prisma, No. 4, 1989.

[79] Mulyana W. Kusumah, “Realitas Suram Hak Berserikat”, dalam Tanah Air, Th. 1 No.2 Edisi Januari 1987.

[80] Kutut Suwondo, “Kelompok Penekan di Pedesaan sebagai Salah Satu Alternatif Jalur Partisipasi Masyarakat Pedesaan”, Dalam Kritis, No. 3 th. V, Januari 1991.

[81] Nico G. Schuldt Nordholt “Dari LSD ke LKMD: Partisipasi di Tingkat Desa”, dalam van Ufford, Philip Quarles, Kepemimpinan Lokal dan Implementasi Program, Jakarta: PT. Gramedia, 1988.

[82] Loekman Soetrisno dalam Husken, Frans dan Benjamin White, loc cit.

[83] Nordholt, Nico G. Schulte, loc cit.

[84] Husken, Frans dan Benjamin White, loc cit.

[85] Ibid.

[86] Ibid.

[87] Untuk perkenalan lebih lanjut bagi pembaca berbahasa Inggeris, lihat: Anton Lucas and Carol Waren, “Agrarian Reform in Era of Reformasi”, in Indonesia in Transition, Social Aspects of Reformasi and Crisis, Chris Manning and Peter van Diermen (eds). London: Zed Book, 2000; Dianto Bachriadi, “Land for Landless, Why the democrats in Jakarta not interested in land reform?”, Inside Indonesia, No. 64/ Oct-Dec 2000;  Anton Lucas and Carol Waren, “The State, The People and Their Mediators, The Struggle over Agrarian Law Reform in Post New Order Indonesia”, Indonesia, no 76, October 2003.

[88] Pidato Presiden di depan peserta “Konferensi Nasional Kekayaan alam”, pada hari Selasa, 23 Mei 2000, pukul 10.00 WIB, di Hotel Indonesia (lihat berita di Kompas, Republika, SCTV, dan RCTI tanggal 24 Mei 2003. 

[89] Sebagaimana dikutip oleh Imam Kuswahyono, “Mencari Format Hukum dalam Menuju Reforma Agraria dalam Kerangka Otonomi Daerah”, 2002. http://www.otoda.or.id/Artikel/Imam%20Koeswahyono.htm downloaded on 10/4/2003.

[90] Direksi Perum Perhutani. Statistik Perum Perhutani Tahun 1995-1999. Perum Perhutani. Jakarta, 2000, Sebagaimana dikutip oleh Rama Astraatmaja, Tiga Abad Pencurian Kayu di Jawa, Yogyakarta, Arupa 2002.

[91] Dalam rangka menguatkan kemampuan para pimpinan lokal ini, Yapemas sdang menjalankan suatu program yang diberinama KARSA (Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria), yang pada pokoknya adalah menguatkan kompetensi pimpinan formal Desa dalam rangka menjalankan pembaruan agraria. Lihat, Noer Fauzi dan R. Yando Zakaria, “Democratizing Decentralization: Local Initiatives from Indonesia”,  makalah yang disajikan pada the International Association for the Study of Common Property 9th Biennial Conference, Victoria Falls, Zimbabwe, 2002.

[92] Sangat menarik untuk disebutkan disini bahwa bagian Menimbang butir e. UU No. 22 tahun 1999 menyebutkan  “bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan di Desa (Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3153) yang menyeragamkan nama, bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintahan desa, tidak sesuai dengan jiwa Undang-undang Dasar 1945 (garis bawah, pen.) dan perlunya mengakui serta menghormati hak asal-usul Daerah yang bersifat istimewa sehingga perlu diganti.”  Melalui pemberlakukan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, “Desa” hendak dikembalikan ‘statusnya’ dari bagian dari pemerintahan yang terendah sebagai diatur dalam Undang-undang No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, kembali menjadi suatu institusi otonom yang memiliki apa yang diistilahkan dengan “hak asal-usul”.   Ditetapkan prinsip “otonomi asli” ini, pada tingkat praktis terwujud dalam bentuk adanya Badan Perwakilan Desa yang anggotanya dipilih langsung oleh penduduk. 

[93] Istilah “Negara dalam Desa” sangat tepat melukiskan hal ini, lihat Bab 4.   “State in the Village” dari Hans Antlov, Exemplary Center, Administrative Periphery. Rural Leadership and the New Order in Java. Surrey, Curzon Press, 1995. page 46 – 73. 

[94] Tak dapat dihitung berapa banyak kata “pemerintah” dipergunakan oleh penduduk Indonesia setiap harinya. Namun, jarang sekali pengguna kata “pemerintah” itu menyadari asal dari kata itu. Padahal, arti kata “pemerintah” itu sungguh mempengaruhi hajat hidup penggunanya. Kata “pemerintah” adalah merupakan kata bentukan, yang berasal dari kata “perintah” yang diberi sisipan “em” di antara huruf “p” dan “e”. Kata “pemerintah” ini, berarti pembuat perintah.

[95] Lihat Gillian Hart, Power, Labor, and Livelihood : Processes of Change in Rural Java, Berkeley: University of California Press, 1986; Gillian Hart et al, (Ed), Agrarian Transformation: Local Processes and the State in Southeast Asia, Berkeley: University of California Press, 1989; Jonathan Pincus, Class, Power, and Agrarian Change: Land and Labour in Rural West Java, Houndmills, Basingstoke, Hampshire : Macmillan Press ; New York : St. Martins Press, 1986

[96] Lihat Hans Antlov, Op Cit.

[97] Mengenai pembantaian massal ini, lihat Rober Cribb, The Indonesian Killings of 1965-1966: Studies from Java and Bali, Centre of Southest Asian Studies, Monash University, 1990.

[98] Graeme Hugo, Population Mobility in West Java. Yogyakarta, Gajah Mada University Press, 1978. Untuk uraian historic tentang peran ekonomi non-pertanian di Jawa, lihat   Benjamin White, et al In the Shadow of Agriculture: Economic Diversification and Agrarian Change in Java, 1900-1990, The Hague, Netherlands : Institute of Social Studies, 1991.

[99] Argumen ini kemudian ditulis dalam “Epilog”  dari buku Noer Fauzi, Petani dan Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, bekerjasama dengan Insist Press dan Konsorsium Pembaruan Agraria, 1999. 

[100] Gunawan Wiradi, “Pembaruan Agraria: Sebuah Tanggapan”, dimuat dalam Dianto Bachriadi et all (Eds), Op Cit. Pandangannya ini merujuk pada karya John P. Powelson and Richard Stock, The Peasant Betrayed: Agriculture and Land Reform in the Third World, Washington, D.C. : Cato Institute, 1990; dan Yujiro Hayami, et all,  Toward an Alternative Land Reform Paradigm : a Philippine Perspective, Manila : Ateneo de Manila University Press, 1990.

[101] Para perintis ini pada bulan Juli tahun 1998, membentuk suatu Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI). Saat ini, 5 (lima) tahun setelah pembentukannya, organisasi ini telah memiliki anggota serikat-serikat petani wilayah yang tersebar, yakni Perhimpunan Masyarakat Tani Aceh (PERMATA), Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU), Serikat Petani Sumatera Barat (SPSB), Serikat Petani Sumatera Selatan (SPSS), Persatuan Tani Jambi (PERTAJAM), Serikat Petani Lampung (SPL), Serikat Petani Banten (SP Banten),  Serikat Petani Pasundan (SPP), Serikat Petani Jawa Barat (SPJB), Serikat Petani Jawa Tengah (SPJT), Serikat Petani Jawa Timur (SP JATIM), Federasi Serikat Petani Jawa Timur (FSPJT), Serikat Tani Nusa Tenggara Barat (SERTA NTB), dan Serikat Petani Kab. Sikka NTT (SPSK NTT). Lebih dari sekedar menyuarakan tentang keharusan pembaruan agraria yang sejati (genuine agrarian reform), FSPI yang juga telah menjadi anggota aktif dari via Campesina, sebuah koalisi internasional yang menjalankan Global Campaign for Agrarian Reform, juga mengkampanyekan perlawanan terhadap neo-liberalisme yang menjadi ancaman global dari kaum petani Dunia Ketiga. See http://www.viacampesina.org/  downloaded on  10/4/2003

[102] Dalam rangka menguatkan kemampuan para pimpinan lokal ini, Yapemas sdang menjalankan suatu program yang diberinama KARSA (Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria), yang pada pokoknya adalah menguatkan kompetensi pimpinan formal Desa dalam rangka menjalankan pembaruan agraria. Lihat, Noer Fauzi dan R. Yando Zakaria, “Democratizing Decentralization: Local Initiatives from Indonesia”,  makalah yang disajikan pada the International Association for the Study of Common Property 9th Biennial Conference, Victoria Falls, Zimbabwe, 2002.

[103] Sangat menarik untuk disebutkan disini bahwa bagian Menimbang butir e. UU No. 22 tahun 1999 menyebutkan  “bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan di Desa (Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3153) yang menyeragamkan nama, bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintahan desa, tidak sesuai dengan jiwa Undang-undang Dasar 1945 (garis bawah, pen.) dan perlunya mengakui serta menghormati hak asal-usul Daerah yang bersifat istimewa sehingga perlu diganti.”  Melalui pemberlakukan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, “Desa” hendak dikembalikan ‘statusnya’ dari bagian dari pemerintahan yang terendah sebagai diatur dalam Undang-undang No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, kembali menjadi suatu institusi otonom yang memiliki apa yang diistilahkan dengan “hak asal-usul”.   Ditetapkan prinsip “otonomi asli” ini, pada tingkat praktis terwujud dalam bentuk adanya Badan Perwakilan Desa yang anggotanya dipilih langsung oleh penduduk. 

[104] Istilah “Negara dalam Desa” sangat tepat melukiskan hal ini, lihat Bab 4.   “State in the Village” dari Hans Antlov, Exemplary Center, Administrative Periphery. Rural Leadership and the New Order in Java. Surrey, Curzon Press, 1995. page 46 – 73. 

[105] Tak dapat dihitung berapa banyak kata “pemerintah” dipergunakan oleh penduduk Indonesia setiap harinya. Namun, jarang sekali pengguna kata “pemerintah” itu menyadari asal dari kata itu. Padahal, arti kata “pemerintah” itu sungguh mempengaruhi hajat hidup penggunanya. Kata “pemerintah” adalah merupakan kata bentukan, yang berasal dari kata “perintah” yang diberi sisipan “em” di antara huruf “p” dan “e”. Kata “pemerintah” ini, berarti pembuat perintah.

[106] Lihat Gillian Hart, Power, Labor, and Livelihood : Processes of Change in Rural Java, Berkeley: University of California Press,1986; Gillian Hart et al, (Ed), Agrarian Transformation: Local Processes and the State in Southeast Asia, Berkeley: University of California Press, 1989; Jonathan Pincus, Class, Power, and Agrarian Change: Land and Labour in Rural West Java, Houndmills, Basingstoke, Hampshire : Macmillan Press ; New York : St. Martins Press, 1986

[107] Lihat Hans Antlov, Op Cit.

[108] Mengenai pembantaian massal ini, lihat Rober Cribb, The Indonesian Killings of 1965-1966: Studies from Java and Bali, Centre of Southest Asian Studies, Monash University, 1990.

[109] Graeme Hugo, Population Mobility in West Java. Yogyakarta, Gajah Mada University Press, 1978. Untuk uraian historic tentang peran ekonomi non-pertanian di Jawa, lihat   Benjamin White, et al In the Shadow of Agriculture: Economic Diversification and Agrarian Change in Java, 1900-1990, The Hague, Netherlands : Institute of Social Studies, 1991.

[110] Lihat, Ibang Lukmanudin, “Mari Bung Rebut Kembali, Rakyat Sagara Menuntut Hak atas Tanah”, dalam Mengubah Ketakutan menjadi Kekuatan, Kumpulan Kasus-kasus Advokasi, Yogyakarta: Insist Press, 2001.

[111] Lihat Dianto Bachriadi, “Warisan Kolonial yang Tidak Diselesaikan: Konflik dan Pendudukan tanah di Tapos dan Badega, Jawa Barat”, dalam Berebut Tanah: Beberapa Kajian Berperspektif Kampus dan Kampung, Anu Lounella dan R. Yando Zakaria (Eds.), Yogyakata: Insist Press bersama KARSA, 2002.

[112] Lihat Gustomo Bayu Aji, Tanah untuk Penggarap, Pengalaman Serikat Petani Pasundan Menggarap Lahan-lahan Perkebunan dan Kehutanan. Bogor: Pustaka Latin, 2005. SPP telah mengeluarkan buku pedoman bagi anggota-anggotanya, Andi Supriadi, Ibang Lukman Nurdin, Indra Agustiani dan S. Maulana Rahayu, Gerakan Rakyat untuk Pembaruan AgrariaGerak Langkah Perjuangan SPP (Serikat Petani Pasundan), Garut: Serikat Petani Pasundan, 2005.

[113] Lihat: http://www.kpa.or.id. Konsorsium Pembaruan Agraria dalam Musyawarah Nasional Pertamanya di bulan Desember tahun 1995 telah menetapkan tujuannya, yakni“menciptakan sistem agraria yang adil dan menjamin pemerataan pengalokasian sumber-sumber agraria bagi seluruh rakyat Indonesia, dalam hal menjamin kebebasan berserikat, jaminan kepemilikan, penguasaan dan pemakaian sumber-sumber agraria bagi petani, nelayan, dan masyarakat adat serta jaminan kesejahteraan bagi rakyat kecil” (Anggaran Dasar Konsorsium Pembaruan Agraria, 1995, pasal 2). Lalu, ditetapkan bahwa peran dari KPA adalah “memperjuangkan Pembaruan Agraria”, dan KPA “berfungsi sebagai penguat, pemberdaya, dan pendukung perjuangan petani, nelayan, masyarakat adat, serta rakyat pada umumnya”. Secara khusus KPA berfungsi sebagai “kelompok penekan terhadap kebijakan dan sistem agraria yang tidak adil” (Anggaran Dasar, Pasal 4).

[114] Dianto Bachriadi, et al (Eds), Op Cit. 

[115] Bonnie Setiawan, “Pembaruan Agraria, Suatu Tinjauan Konseptual”, dalam Dianto Bachriadi et al (Eds), Reformasi Agraria: Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia, Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI dan KPA, 1997.

[116] Sekretaris Jenderal SPP pada tahun 2002 yang lalu dipilih menjadi Ketua Majelis Kedaulatan Anggota dari Konsorsium Pembaruan Agraria. Konsorsium ini ditetapkan berdirinya pada bulan Desember tahun 1995, oleh enam puluh lima organisasi non-pemerintah dan sejumlah individu. Lihat: http://www.kpa.or.id

[117] lihat: Roem Topatimasang, dkk, Merubah Kebijakan PublikPanduan Latihan Advokasi, Yogyakarta: Insist Press, 2000

[119] Noer Fauzi dan R. Yando Zakaria, Mensiasati Otonomi Daerah, Panduan Fasilitasi Pengakuan dan Pemulihan Hak-hak Rakyat, Yogyakarta: Insist Press bekerjasama dengan Konsorsium Pembaruan Agraria, 2001.

[120] Maria S.W. Soemarjono, “Implementasi Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Bidang Pertanahan”, Makalah pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Badan Pertanahan Nasional di Malino, 25-28 Maret 2002.

[121] Joyo Winoto “Reforma Agraria dan Keadilan Sosial”. Orasi Ilmiah di Institut Pertanian Bogor (IPB) 1 September 2007.

[122] “SBY Terima Mentan, Menhut dan Kepala BPN : Akan Dikembangkan, Program Reforma Agraria” http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2006/09/28/1077.htm

[123] Misalnya untuk sektor kehutanan lihat Arnoldo Contreras-Hermosilla and Chip Fay, Strengthening Forest Management in Indonesia through Land Tenure Reform: Issues and Framework for Action. Washington D.C.:Forest Trends, 2005; dan Hayadi Kartodirjo, Refleksi Kerangka Pikir Rimbawan, Menguak Masalah Institusi dan Politik Pengelolaan Sumber Daya Hutan. Bogor: Himpunan Alumni Fakultas Kehutanan IPB, 2006; sedangkan untuk sektor pertanian lihat Henny Mayrowani, “Studi Prospek dan Kendala Penerapan Reforma Agraria di Sektor Kehutanan”, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, 2004.

[124] Ernest Feder, “Counterreform” dalam Agrarian Problems and Peasant Movements in Latin America. Rudolfo Stavenhagen (ed.). Doubleday Anchor, New York, 1970.