“Perjuangan untuk perubahan harus lah merupakan suatu perjuangan
memperebutkan sumber daya dan sekaligus perjuangan memperebutkan arti.
Dan keduanya harus dilakuakan dalam sejumlah arena – keluarga, komunitas
dan Negara – dan melintasi ruang-ruang yang dibentuk kelas, kasta,
agama, dan etnisitas, dan sebagainya”[1]
(Bina Agarwal 1994:421).
Konsep keadilan jender (gender justice) sering diperlakukan
sebagai konsep-konsep yang rumit yang untuk dipahami, dengan seperangkat
alat-alat kerja yang harus diakrabi dan dipergunakan di dalam organisasi
tempat kerja kita maupun kelompok-kelompok sasaran dari program/proyek
organisasi kita. Kesulitan umum dari mereka yang lebih banyak bekerja di
atas meja komputer di kantor-kantor dan di ruang-ruang latihan dan
lokakarya, dari pada berinterkasi langsung dengan rakyat di
kampung-kampung adalah mengaplikasikan semua yang dipelajari dari teks ke
konteks, dari konsep yang abstrak ke realitas yang kongkrit, dan dari pola
yang umum ke kejadian-kejadian yang khusus.
Naskah ini mengusulkan pembaca untuk secara sungguh-sungguh belajar dari para perempuan yang berjuang menghadapi kekuatan-kekuatan yang secara nyata telah dan terus akan mengubah hubungan kepemilikan, tata guna tanah, dan layanan alam yang telah mereka nikmati sebelumnya. Cerita-cerita mereka itu akan mampu memberikan pelajaran penting setidaknya tentang bagaimana perempuan didiskriminasi oleh beragam mekanisme dari dalam negara, pasar, maupun masyarakat hingga keluarga; (b) bagaimana perjuangan hidup keseharian para perempuan itu menghadapi diskriminasi dan eksklusi itu; dan (c) bagaimana aspirasi untuk diperlakukan adil dan setara itu diartikulasikan bersama dengan kepentingan-kepentingan lainnya di berbagai arena perjuangan yang beraneka-ragam. Lebih dari itu, dengan berinteraksi langsung dengan mereka secara berlanjut akan terbentuk suatu konstituensi.