Kawasan Hutan Sebagai Masalah Agraria yang Menyejarah




Noer Fauzi Rachman (2020) "Kawasan Hutan sebagai Masalah Agraria yang Menyejarah," Prosiding Simposium Nasional: Reforma Agraria Implies Reforma Kehutanan, Seminar dan Lokakarya "Reforma Agraria dalam Belenggu Rezim Kawasan Hutan", yang diselenggarakan oleh FORCI Development, Fakultas Kehutanan dan Forum Pimpinan Lembaga Pendidikan Tinggi Kehutanan Indonesia (FORETIKA). 
Jakarta, 14 Januari 2020. 


Pembukaan  

            Hutan ada karena orang-orang memahami dan mendefinisikan seperangkat komponen alam yang berhubungan satu sama lain secara langsung membentuk ekosistem tertentu. Sedangkan apa yang disebut political forest (hutan politik)adalah suatu zona-zona penggunaan tanah yang dimaksudkan sebagai “hutan tetap”, meski dalam tahapan pertumbuhan dan penumbuhan kembali (Vandergeest and Peluso 2015). Pemasangan kata “hutan” dengan “politik” ini memang sengaja dibuat untuk maksud membedakan dengan hutan dalam pengertian ekologi. Hutan politik “menghasilan dan sekaligus hasil dari hubungan-hubungan politik ekologi yang menyatu dalam suatu sirkuit kelembagaan, diskursif, ideologi dan material, serta klaim-klaim oleh negara dan berbagai badan pengatur lainnya”;  Jadinya adalah  “pembentukan wilayah-wilayah yang dikuasai negara  (state-held territories) dibawah jurisdiksi dan otoritas ahli-ahli kehutanan dan kementerian kehutanan, yang bisa juga otoritas-otoritas non-negara dapat pula menjadi pelaku dalam political forestry itu” (Vandergeest and Peluso 2015:162). Dua prasyarat pembentukannya adalah (a) zona-zona wilayah tertentu (kawasan hutan), yang dipisahkan secara spesifik dengan kawasan non-hutan; dan (b) spesies hutan, yang kategorisasinya sebagai spesies hutan membentuk pengaturan legal-institutional yang mencakup produksi, pemasaran dan penggunaan, serta konservasi ekosistemnya. 

Krisis Pengurusan Kolektif Sumber Daya


Dimuat sebagai opini dalam Kompas.id 
10 Januari 2020  

https://www.kompas.id/baca/opini/2020/01/10/krisis-pengurusan-kolektif-sumber-daya 

 

Noer Fauzi Rachman 

Krisis sosial-ekologi keberlanjutan aneka ragam pengurusan kolektif atas sumber daya bersama di banyak kampung disebabkan oleh ekspansi kapitalisme sebagai suatu sistem produksi yang dominan saat ini. 

Sekitar tiga bulan lalu tokoh utama pemimpin Dayak Iban dari Sungai Utik, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, menerima penghargaan Equator Prize dari PBB (Kompas, 28/9/19). Dua bulan sebelumnya mereka menerima penghargaan Kalpataru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Republik Indonesia (Kompas, 11/7/2019). Mereka secara kolektif berhasil mengurus 7.660 hektar wilayah adat, terbebas dari ancaman perambahan dan ekspansi konsesi pertambangan, kehutanan, dan perkebunan, dan dengan pengetahuan, kecerdasan, kearifan lokalnya berhasil melanjutkan layanan ekologisnya untuk kehidupan komunitasnya. 

Penghargaan ini melahirkan pertanyaan penulis: Siapakah yang mendokumentasikan, mengodifikasikan dan meneorikan pengurusan kolektif orang-orang kampung atas sumber daya bersama di seantero Nusantara?