Beri Kesempatan pada Reforma Agraria Perkotaan

Monolog pada Rangkaian dari Kegiatan Dies Natalis FEB UI 

dan Merayakan Krisis Habitat di Kota, 

Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

Senin, 31 Oktober 2022 

 

 (Menit 1:44:00 sampai 2:05:35)



 

            Tema yang saya ajukan sekarang adalah “Reforma Agraria Perkotaan”. Ini adalah suatu usulan yang diajukan karena ada krisis di dalam penguasaan tanah dan pemukiman bagi kaum miskin di kota-kota besar. Kita sadari satu masalah kota-kota besar di Indonesia, yang sebenarnya terjadi di banyak negara pasca kolonial, adalah sedang menghadapi arus besar gentrifikasi. Gentifikasi ini bila terus berlanjut akan menggusur keberadaan kampung-kampung kota yang menjadi habitat ruang hidup kaum miskin kota. 

Perjuangan Pengakuan Hak Ulayat

 


Noer Fauzi Rachman*)


Dimuat dalam rubrik Opini Kompas 17 Oktober 2022 https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/17/perjuangan-pengakuan-hak-ulayat


            Domein verklaring adalah satu doktrin politik hukum agraria kolonial yang berbasiskan pada klaim/deklarasi/pernyataan negara memiliki seluruh tanah yang tidak dilekati hak milik secara perorangan. Ward Berenschot, guru besar  Antropologi Politik Komparatif   dari Universty of Amsterdam, menulis  “150 Tahun Belenggu atas Hak Tanah” (Kompas 20 Juli 2020)  menunjukkan  dampak negatif ”domein verklaring” terhadap kesejahteraan dan kualitas hidup jutaan masyarakat Indonesia sejak 1870.  Artikel ini menunjukkan bagaimana “Hak Ulayat” merupakan konsep tanding  atas domein verklaring, dan perjuangan pengakuannya berada dalam proses perjuangan yang panjang, terjal dan mendaki.


Asal-usul intelektual Hak Ulayat

            Saya membaca disertasi Upik Djalins di Cornell University, berjudul Subjects, Law Making And Land Rights: Agrarian Regime and State Formation In Late-Colonial Netherlands East Indies, mengenai pembentukan rezim agraria kolonial Hindia Belanda antara tahun 1870 – 1939. Ia menggunakan lensa perampasan tanah yang difasilitasi oleh aturan hukum kolonial, dan berfokus pada cara bagaimana elite dari kaum terjajah berpartisipasi secara aktif dalam dalam pembentukan rejim agraria kolonial. 

Koperasi Sebagai Subjek Reforma Agraria Perkotaan


Noer Fauzi Rachman dan Joko Adianto

Pengembangan lebih lanjut dari sejumlah bagian konseptual dalam Noer Fauzi Rachman dan Joko Adianto, Buku Putih Kebijakan Reforma Agraria Perkotaan Tahun 2019-2022. Depok: UI Publishing, 2022. Halaman 57-96.
Naskah buku sepenuhnya dapat dibaca pada http://epub.uipublishing.com/books/xpas/ 


1. Hak Menguasai dari Negara 

        Negara sebagai lembaga kekuasaan seluruh rakyat adalah pemegang kuasa atas bumi, air, dan kekayaan alam di di dalamnya. Pernyataan ini selaras dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) yang tertulis “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Sementara pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 2 ayat (2), hak menguasai negara memberi negara wewenang untuk: 

a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut; 
b) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa, dan; 
c) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa. 

        Selanjutnya Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 2 ayat (3) tertulis bahwa “Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur.” Oleh karenanya, kewenangan penguasaan dan pemanfaatan tersebut harus diselenggarakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, termasuk pemenuhan hak bermukim yang adil serta rumah layak dan terjangkau, termasuk bagi yang tergolongkan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) di perkotaan. 

Konsep-konsep untuk Reforma Agraria Perkotaan


Noer Fauzi Rachman dan Joko Adianto

Pengembangan lebih lanjut dari sejumlah bagian konseptual dalam Noer Fauzi Rachman dan Joko Adianto, Buku Putih Kebijakan Reforma Agraria Perkotaan Tahun 2019-2022. Depok: UI Publishing, 2022.

Naskah buku sepenuhnya dapat dibaca pada http://epub.uipublishing.com/books/xpas/ 

1. Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR)

        Istilah Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dicetuskan oleh Pemerintah Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Pada Pasal 5 ayat 1 tertulis bahwa “Rumah susun dibangun sesuai dengan tingkat keperluan dan kemampuan masyarakat terutama bagi yang berpenghasilan rendah.” Namun undang-undang ini tidak memberi definisi jelas tentang kelompok ini. Baru dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, MBR memperoleh definisi sebagai masyarakat yang mempunyai keterbatasan daya beli sehingga perlu mendapat dukungan pemerintah untuk memperoleh rumah. Namun sejak tahun 2007, Pemerintah melalui Kementerian Negara Perumahan Rakyat sudah menentukan kriteria MBR melalui Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 7 Tahun 2007 tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman dengan Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan melalui KPR Sarusun Bersubsidi. Pasal 2 ayat 1 peraturan ini menentukan 3 (tiga) kelompok MBR yakni, yang berpenghasilan Rp3,5-4,5 juta/bulan, Rp2,5-3,5 juta/bulan dan Rp1,2-2,5 juta/bulan. Batasan ini terus berubah seiring berjalannya waktu di tiap pemutakhiran peraturan terkait penyediaan perumahan. Dalam peraturan terkini, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 10 Tahun 2019 tentang Kriteria MBR dan Persyaratan Kemudahan Perolehan Rumah Bagi MBR, kriteria penghasilan MBR menyesuaikan harga unit rumah yang dapat disediakan oleh pengembang atau pelaku pembangunan perumahan lainnya.