Situasi Pemuda/i Desa Jawa Barat dalam Kemelut Masalah Agraria

Noer Fauzi Rachman dan Boy Fidro (2022) merupakan pengembangan lebih lanjut dari naskah Noer Fauzi Rachman (2022) "Sekolah Lapang ini mengajarkan Ilmu Bersarang" dalam Eka Yudha Garmana, Siti Maryam (2022) Tempat Kembali, Ngamumule Lemah Cai, Perjalanan kembali ke Kampung Halaman melalui Sekolah Lapang. Yayasan Tanah Air Semesta bekerja sama dengan Samdhana Institute, Perum Perhutani, Koperasi Klasik Beans, dan Paguyuban Tani Sunda Hejo. Halaman iii-viii. https://www.noerfauzirachman.id/2022/09/

 

Noer Fauzi Rachman*) dan Boy Fidro**)

Pembukaan


Apa yang menyebabkan dunia pertanian dan pedesaan menjadi hanya tempat berangkat dari kebanyakan para pemuda-pemudi desa, dan tidak menjadi tujuan pengabdian mereka? Puisi Rendra Sajak Seonggok Jagung (1996) mengartikulasikan dengan jelas

Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan.

Aku bertanya:

Apakah gunanya pendidikan

bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing
di tengah kenyataan persoalannya?

Demikian pula ungkapannya dalam Sajak Pemuda (1996)

Gelap. Pandanganku gelap.

Pendidikan tidak memberi pencerahan.

Latihan-latihan tidak memberi pekerjaan.

Gelap. Keluh kesahku gelap.

Orang yang hidup di dalam pengangguran.

Apakah yang terjadi di sekitarku ini?


Apa yang sedang terjadi dan mau kemana semua ini?

Sekolah-sekolah formal kebanyakan telah mengajarkan ilmu-ilmu yang membuat pemuda-pemudi desa pergi. Semakin tinggi tingkat sekolah orang-orang desa, semakin kuat pula aspirasi, motif dan dorongan mereka untuk meninggalkan desanya. Desa ditinggalkan pemuda-pemudi yang pandai, untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi.  Semua itu akibat aspirasi, motif dan dorongan untuk punya suatu cara dan gaya hidup baru perkotaan modern, yang dianggap sebagai keniscayaan yang harus ditempuh

Pemuda/i yang pergi dari tempat mereka berasal

Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Provinsi Jawa Barat tahun 2017, tingginya pengangguran di Jawa Barat didominasi oleh usia muda. Penelitian yang dilakukan tiga civitas akademika Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran, Adhitya Wardhana, Bayu Kharisma, dan Yayuf Faridah Ibrahim (2019) menunjukkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengangguran usia muda dilihat dari karakteristik demografi, sosial, ekonomi, dan regional. Hasilnya menunjukkan bahwa pendidikan berpengaruh positif terhadap peluang pengangguran usia muda di Jawa Barat tahun 2017[1]. Penelitian ini mengkonfirmasi banyak penelitian yang yang dirujuknya, termasuk laporan World Bank (2010)[2], bahwa metode dan kurikulum pembelajaran di sekolah sangat akademis, para siswa tidak dikembangkan keterampilan praktis yang relevan dengan pekerjaan dan pengetahuan teknis, serta keterampilan berwirausaha. Tingginya penganggur pada lulusan pendidikan menengah atas dan perguruan tinggi muncul karena ketidakcocokan keterampilan antara kualitas pendidikan dan keterampilan yang diminta oleh pasar tenaga kerja, yang sebagian besar disebabkan oleh rendahnya kualitas pendidikan dan hasil pendidikan yang kurang relevan untuk pasar tenaga kerja.

Pemuda-pemudi desa sekarang ini telah dan sedang menganut ideologi bahwa tenaga kerja manusia adalah komoditi, barang yang diperdagangkan. Kota menjadi daya tarik, magnet yang luar biasa. Badan mereka di desa, tapi imajinasinya  hidup di kota-kota. Lulusan sekolah menjadi tenaga kerja di kota-kota. Mereka berpikir, dan bertindak yang berbeda secara total dengan orang-orang tua mereka.

Pada gilirannya, mereka inilah yang semakin memenuhi kota-kota kabupaten, provinsi dan metropolitan. Migrasi ke kota-kota dan pertumbuhan kota semakin dipadati oleh orang-orang dari desa. Mereka dari desa yang terdidik dan berhasil menjadi kelas menengah di kota-kota tidak kembali ke desa. Mereka menjadi bagian dari penduduk konsumtif, dengan membeli tanah dan/atau rumah untuk tinggal di pinggiran kota, serta motor dan mobil baru untuk transportasi, yang pada gilirannya membuat infrastuktur jalan di kota-kota provinsi dan metropolitan tidak lagi memadai. Di kota-kota metropolitan, terjadi macet di mana-mana setiap pagi pada jam pergi menuju pusat kota dan jam pulang menuju pinggiran kota.

Sebab lainnya adalah kesempatan kerja di sektor pertanian (termasuk perikanan, kelautan dan kehutanan) semakin kecil proporsinya dari tahun ke tahun dibandingkan dengan tenaga kerja yang terbentuk dan memerlukan pekerjaan. Minat bekerja pada bidang pertanian juga semakin menipis. Banyak sekali pemuda/i dari rakyat miskin di pedesaan, yang kebanyakan tidak bertanah, atau bertanah sempit, tidak bisa menikmati sekolah tinggi. Mereka harus mengambil risiko dengan memilih pergi ke luar desa untuk mendapatkan pekerjaan melalui kerja migran di kota-kota provinsi, metropolitan hingga ke luar negeri menjadi tenaga kerja internasional (international migran worker). Sebagian besar rakyat pekerja migran ini sesungguhnya berhasil memperoleh upah kerja yang lebih baik, mengirimkan pendapatannya ke desa, dan kemudian menjadi daya tarik bagi pemuda-pemudi desa generasi berikutnya untuk mengikuti jejak langkah mereka. Anehnya, pengalaman pahit hidup kerja sebagai migran, mulai kondisi kerja yang tidak layak, penipuan, diskriminasi hingga kekerasan, umumnya dipersepsi sebagai nasib buruk yang tidak mampu mencegah rombongan lain untuk pergi.

Penelitian mikro di dua desa di Kabupaten Purwakarta Muhammad Zid et al (2012) menunjukkan bahwa salah satu motif migran perempuan adalah memperbaiki status sosial ekonomi keluarga mereka dengan salah satu indikator menguasai lahan pertanian (tanah darat dan sawah) disamping keinginan untuk memiliki rumah yang bagus, kendaraan roda dua.

Ketertarikan migran untuk menguasai lahan dengan alasan: (1) mereka berasal dari keluarga miskin yang merupakan lapisan terbawah di pedesaan; (2) mata pencaharian keluarga sebagai buruh tani dan petani tanpa lahan (landlessnes); (3) pekerjaan migran sebelum berangkat ke luar negeri adalah sebagai buruh tani, menganggur dan sebagai ibu rumah tangga; (4) lahan pertanian merupakan simbol status sosial bagi masyarakat pedesaan; (5) lahan merupakan saving sekaligus bekal masa depan ketika buruh migran sudah tidak mampu lagi bekerja di luar negeri; dan (6) pemilikan lahan juga menjadi modal ketika seseorang meninggal dunia, dan menjadi ukuran dalam upacara ”ngamumule atau mulasara” (rangkaian upacara kematian).[3]


Konteksnya sudah jelas yang disebut Ahmad Choibar Tridakusumah et al (2019) sebagai “senjakala agraria di pedesaan Jawa Barat”, yakni:
erosi lapangan pekerjaan pertanian oleh sektor industri dan jasa, seiring dengan menyusutnya lahan pertanian karena alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian. Secara historis senjakala agraria berawal dari akumulasi lahan oleh korporasi yang menyebabkan tereksklusinya petani dari era kolonial sampai saat ini. Hal tersebut terjadi karena pengaturan akses yang tidak merata, meningkatnya pasar tanah, relasi kekuasaan dan penguasaan kapital yang timpang. Petani sebagai pihak yang berhadapan langsung dengan perubahan struktur agraria di pedesaan tersudut sampai pada titik terlemah dan tak berdaya.[4]

Kecenderungan makronya bahwa tanah, wilayah dan dan sumber daya alam di pedesaan diincar sebagai kapling-kapling perusahaan-perusahaan yang bergerak di usaha perkebunan, kehutanan hingga pertambangan, dengan memperoleh ijin-ijin yang diberikan oleh pemerintah pusat dan daerah dan penyingkirkan dan meminggirkan rakyat agraris (petani, peladang, dan nelayan yang mengumpulkan hasil hutan/laut, dan sebagainya) dari tanah dan ruang hidupnya. Perusahaan penghasil komoditas global itu membentuk sirkuit rantai komoditas global mulai dari saat diproduksinya hingga sampai ke konsumen, yang diperantarai oleh ragam macam proses dengan motif efisiensi mencari keuntungan. Inilah yang Batubara and Rachman (2022) istilahkan concessionary capitalism.[5] Kepemilikan dan tataguna lahan kampung, ladang, sawah, hutan, sungai, dan pantai telah, sedang dan akan terus diubah oleh concessionary capitalism yang bekerja dalam sektor industri ekstraktif/pengerukan (batu bara, timah, nikel, pasir besi, bauksit, emas, semen, marmer, dsb), industri pulp and paper, industri perkebunan (kelapa sawit dll), industri jasa real estate/perumahan dan turisme, industri manufaktur, dan lain sebagainya.concessionary capitalism.

Perubahan agraria di Jawa Barat perlu dipelajari sejarah perjalanannya dari waktu ke waktu, semenjak masa kolonial. Rachman (2000) berusaha menyingkap politik agraria yang benar-benar memengaruhi hidup rakyat petani Priangan sepanjang hampir tiga abad, lalu berargumen bahwa krisis agraria, termasuk ratusan kasus konflik agraria di dataran tinggi di Priangan, sangat berhubungan dengan cara elite negara menggunakan kekuasaannya dan sistem agraria kapitalisme di masa kolonial dan pascakolonial bertumbuh dan berkembang.[6]


Apa yang perlu dilakukan menghadapi semua itu?

Marilah kita membuat inistiatif-inisiatif yang berangkat dari situasi yang kongkrit di masing-masing tempat. Mari kita kembali menengok kampung halaman, tanah air masing-masing dalam semangat membentuk tempat yang indah, produktif, dan mampu menghidupi para pemuda/i (place making/formation) yang menjadi andalan kemajuan desa dan pedesaan Jawa Barat di masa yang akan datang.

Sekolah Lapang Reforestasi dan Perhutanan Sosial adalah contoh yang khusus dan kongkrit dari pengajaran pada seitar 50 pemuda/i agar bisa bersarang dan hidup bekerja di lembah-lebah kaki-kaki gunung di kabupaten Garut, Jawa Barat. Sekolah lapang ini diselenggarakan sepanjang setahun antara 2020 sampai 2021 oleh Yayasan Tanah Air Semesta, sebagai satu organ pendidikan, bersama organ usaha bisnis Koperasi Klasik Bean, dan organ pemelihara solidaritas (rasa senasib-sepenanggungan-setujuan) bernama Paguyuban Petani Sunda Hedjo.[7]

Pemilihan “Sekolah Lapang” sebagai pendekatan didasari oleh kesulitan-kesulitan pemuda/i sebagai lulusan dari sekolah-sekolah formal. Kita mulai dari analisis sosial yang tidak bisa sekedar berfikir dalam batas lokal. Banyak sumber-sumber kekuatan pencipta masalah merupakan hasil dari kekuatan yang datang dari luar dan menjadi kekuatan lokal. Ajaran-ajaran kapitalisme mengenai pengkaplingan tanah dan hutan, dan kemudian hasil produksinya diolah untuk hasilkan barang dagangan/komoditas untuk diperdagangkan, musti dipelajari secara kongkrit siapa penganutnya, bagaimana ajaran itu disebarluaskan, dan bagaimana akibat ajaran tersebut terhadap tanah air tempat tinggal kita? Bisa jadi, memang sudah sedemikian lama ajaran kapitalis itu melekat di dalam praktek para elite setempat, dan rakyat didisplinkan oleh menjadi pekerjanya, atau diharuskan rela menerima akibat-akibatnya. Kapankah hal itu mulainya, dan bagaimana cara ajaran itu mengejawantah jadi kongkrit di tempat itu. Kekuatan-kekuatan apa yang memungkinkan berwujud demikian itu.

Sejak mula telah ditetapkan rujukan pada metodologi pendidikan kritis dan kreatif yang menjadi pegangan pengajaran oleh para pengajar Sekolah Lapang ini. Sekolah lapang ini adalah sebuah sekolah kombinasi antara proses belajar di kelas dengan di lapangan. Fokusnya, seperti adalah kerja reforestasi dan kerja dalam hulu-tengah-hilir usaha kopi. Proses belajar-mengajar adalah setahun, umumnya di tiap akhir pekan, plus sebagian di hari kerja. Peserta Sekolah Lapangan berkumpul satu kali seminggu selama dua hari untuk mengikuti kegiatan belajar-mengajar. Pertemuan kelas dilakukan sebulan dua kali atau sekitar dua minggu satu kali, dan selebihnya di lapangan. Lapangan adalah tempat belajar-mengajar dan sekaligus perpustakaannya.

Prinsip penyelenggaraan sekolah lapang ini adalah tanggungjawab untuk mengungkap kebenaran dan mengedepankan kemaslahatan bersama. Kebenaran terkait dengan substansi dan cara pengungkapannya melalui pengetahuan dan keterampilan. Pengungkap kebenaran inilah yang kita sebut sebagai pengetahuan, baik yang diperoleh secara ilmiah, maupun dari pengalaman. Kemaslahatan besama terkait keutamaan bersama jauh lebih penting dari keutamaan orang perorang atau kelompok tertentu. Jika kita menginginkan orang lain perbuatan tertentu pada kita lakukan hal itu pada semua orang, maka kita telah meniti jalan menuju kemaslahatan bersama itu.

Belajar di sekolah lapang inu sudah tentu membuat seseorang menjadi cakap dan mempunyai keahlian yang memungkinkannya hidup baik dengan keahliannya itu. Namun pencapaian itu belum paripurna. Masih ada satu lagi yang perlu ditumbuhkan yakni kepedulian. Kedua hal itu, keahlian dan kepedulian. Keahlian tanpa kepedulian akan membuat yang cerdik memangsa yang lain tanpa merasa berdosa. Sebaliknya kepedulian tanpa keahlian ya bisa tersesat.

Dunia kita sudah terlanjur dalam hubungan yang tidak setara. Orang atau kelompok tertentu punya kuasa lebih dari yang lain dan mendapatkan serta mengambil hak orang lain dengan cara yang seolah-olah bisa diterima namun sesungguhnya dilakukan secara tidak adil. M Sekolah Lapang ini dimaksudkan untuk mengembangkan kapasitas mereka yang lemah dan marjinal, dan menghilangkan hambatan-hambatan mereka untuk tumbuh. >

Kegiatan pokok reforestasi yang dibiasakan ke para siswa adalah membibitkan pohon-pohon dan membawanya ke lokasi penanaman di lembah-lembah gunung yang perlu reforestasi, serta sepanjang tahun mendatangi ulang untuk memeliharanya. Kegiatan pokok untuk budidaya kopi, adalah mulai pemilihan buah untuk dibibitkan, pembibitan kopi mulai penyemaian hingga pemeliharaan di tempat pembibitan, penyiapan tanah dan lubang untuk penanaman, penanaman, pemeliharaan, penanganan hama, pemanenan, hingga kegiatan paska panen menjadi biji kopi siap digudangkan. Para siswa juga diperkenalkan dengan cara membuat minuman kopi hingga perdagangannya. Yang menonjol pada Sekolah Lapangan ini adalah peran aktif para empu yang membimbing para siswa. Para empu ini adalah para petani kuncen gunung yang menjaga ekosistem gunung dengan pepohonan endemik dengan kombinasi wana tani/agroforestri, khususnya memanfaatkan lahan dengan tanaman kopi arabika.

Materi “pengembangan karakter” tidak kalah penting dengan ilmu-ilmu wanatani/agroforestri dengan budi daya tanaman kopi. Pembekalan rasa cinta tanah air melalui pengenalan dan pelatihan agar fasih menyanyikan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya tiga stanza, serta budaya kearifan lokal kesundaaan, etika mengormati dan belajar dari para tetua, serta mengembangkan motivasi dan cara-cara hidup bersarang di desa, bekerja dengan kearifan lokal dari kebudayaan sunda yang kental.

Yang dikerjakan di Sekolah Lapang ini bukan sekedar metodologi baru, melainkan kembali ke arti pendidikan yang sebenarnya sebagai suatu proses bagi siswa secara aktif menguasai dan mempraktekkan proses pembentukan kecakapan hidup. Proses belajar dalam Sekolah Lapangan erat kaitannya dengan pandangan terhadap sifat dasar remaja sebagai manusia yang sedang dalam masa transisi dari anak ke dewasa, bertenaga aktif dan kreatif, yang senantiasa ‘haus’ akan ketrampilan dan pengetahuan baru, serta mencari pengertian tentang arti dan maksud hidup.

Cara belajar di Sekolah Lapang ini dirancang sedemikan rupa sehingga kesempatan para remaja laki dan perempuan berinteraksi dengan para empu petani yang memiliki banyak pengetahuan dan teknologi tradisional, dalam konteks ekologi dan layanan alamnya secara langsung. Siswa/i pada gilirannya menemukan diri sebagai penerus pengetahuan yang asalnya ada dalam tubuh para empu. Dengan demikian, pola pendidikan Sekolah Lapang bukan sekedar belajar dari pengalaman diri sendiri, melainkan suatu proses sedemikian rupa sehingga peserta didik peroleh peralihan/transmisi pengetahuan dan ketrampilan tradisional dari para empu yang sudah mumpuni. Mereka pada gilirannya akan dapat menguasai suatu cara menemukan ilmu-ilmu dari para empunya”, yang baik untuk untuk memperbaiki ekologi alam dari gunung-gunung hingga wanatani yang dapat menjadi sumber penghidupan sehari-hari.

Hal yang penting juga adalah memahami jaman yang sarat dengan unsur perubahan, termasuk teknologi digital. Budaya layar yang mampu merayu untuk kecanduan, seperti kecanduan akangames, tontonan, media sosial hingga yang patologis seperti pornografi, kekerasan, hingga kejahatan. Diharapkan Sekolah Lapangan dapat menyiapkan petani muda yang tangguh dan mampu menghadapi dinamika sekarang dan tantangan masa depan.

Silabus dibuat berdasarkan pada rumusan apa yang dibutuhkan siswa. Program belajar tiap sesi dirancang atas dasar apa yang perlu dimiliki oleh seorang petani muda untuk paham dan mampu menerapkannya pelajaran reforestasi dan budidaya kopi di lahannya sendiri, serta meneruskannya kepada para pemudan/i tani lainnya. Selain ketrampilan dan pengetahuan teknis pertanian, peserta memperoleh pula kecakapan dalam perencanaan kegiatan, kerjasama, dinamika kelompok, serta komunikasi, agar ia dapat menjadi penggerak di kampung yang mampu merangsang dan membantu kelompok-kelompok pemuda/i tani belajanr dan berpraktek bersama.

Hubungan pendidik-siswa selalu ditujukan untuk memberi ruang bagi siswa mengalami sendiri. Yang pertama-tama musti dipegang erat-erat bahwa yang disebut pendidik tidak selalu dalam hubungan di sekolah dan di dalam kelas. Dalam cerita mengenai perjuangan hidup, tetua kampung, para empu dapat menjadi pendidik bagi siswa yang hendak mempelajari bagaimana pengetahuan lokal, keahlian teknologi tradisional, termasuk dalam pemanfaatan kekayaan aneka ragam sumber daya alam hayati, dan lainnya. Banyak hal yang perlu dipelajari pemud/i yang belajar mengenai cara-cara melanjutkan hidup dan kepemimpinan lokal. Pendidik memikirkan dan mengusahakan bagaimana membuat hubungannya dengan siswa sebagai suatu hubungan yang terbentuk karena sama-sama terpanggil untuk merawat kampung halaman sebagai “tanah air yang tidak bisa kulupakan” yang akan selalu “terkenang sepanjang hidupku”.

Pendidik memuka kesempatan pemuda/i agar terpanggil merawat dan mengurus kampung halamannya sebagai tanah airnya, suatu ikatan batin melalui pengalaman-pengalaman baru, misalnya dengan cara mengunjungi, bertapa, menziarahi dan bergaul dengan tanah, air, batu, pohon dan tanam-tanaman, binatang, iklim, pemandangan dan dan sebagainya. Kami terus mengusahakan agar mereka terus bercakap-cakap dengan alam secara intim.

Kami mengajak siswa menyelidiki keberadaan para pemuda/i desa. Hasil penyelidikan itu perlu digarap menjadi tema-tema yang bisa sanggup menjadi bahan belajar yang mampu menggerakkan kesadaran kritis. Yang diperlukan adalah memeriksa secara kongkrit dengan cara berdialog mengenai situasi eksistensial yang mereka hadapi, untuk menemukan tema-tema yang mampu menggerakkan perubahan pandangan dan praktek mereka. Kita tidak bisa menyerah dengan menerima begitu saja situasi yang dihadapi dan tidak ada pilihan kecuali bahwa kita tinggal menyesuaikan diri saja pada kurikulum yang tersembunyi (hidden curriculum) yang ditanam ke guru-guru dan murid-murid. Guru dan murid, dan hubungan guru-murid yang diperantarai oleh pokok bahasan, harus dihubungkan dengan situasi tanah air. Panggilan tanah air harus dihidupkan, ditumbuhkan, dikembangkan dan dibesarkan sebagai panggilan ideologis melalui kegiatan-kegiatan praktis dalam hubungan guru-murid.

Kami ajak siswa mempelajari sejarah-geografi lokal. Yang perlu adalah pemahaman sejarah geografi lokasi kampung-kampung halaman siswa dalam wilayahnya masing-masing. Yang sering diajarkan dalam buku-buku pelajaran adalah perjalanan negara-bangsa pada tingkat nasional yang melindasi zaman dari feodalisme, kolonialisme, hingga masa perjuangan kemerdekaan, dan rejim-rejim penguasa paska kolonial. Sesungguhnya pembabakan sejarah geografi lokal bisa dibuat sendiri, tidak perlu mengikuti babak-babak nasional. Lakukanlah wawancara dengan para tetua adat agar bisa didapat informasi mengenai sejarah geografi, babak-babak sejarah puluhan hingga ratusan tahun, perjalanan kampung/wilayah adat. Tugaskan kelompok-kelompok siswa untuk dapat temukan narasi sejarah lokal menurut masing-masing tetua hingga bisa dikodifikasi dan dilihat hubungannya dengan garis waktu (time-line) di aras nasional. Lokal bukan sekedar merupakan akibat dari kebijakan dan kekuatan yang bergerak di atas lokal (supra local)hingga nasional, tapi lokal juga memiliki dinamika pertarungan kekuatannya sendiri, yang perlu dihubungkan dengan kekuatan supra lokal itu.

Contoh georafi lokal adalah mengenai bagaimana perjuangan memanfaatkan Kawasan hutan yang asalnya dikelola oleh Perum Perhutani, hingga bisa peroleh akses legal untuk kelompok tani hutan di lokasi-lokasi lembah sejumlah gunung di kabupaten Garut dan kabupaten Bandung.Kebijakan pemberian ijin Perhutanan Sosial dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) disambut dengan semangat hingga mereka atur diri kerjakan administrasi kelengkapannya hingga bisa peroleh ijin-ijin tersebut. Orang-orang tua siswa adalah anggota kelompok-kelompok tani hutan yang peroleh ijin Perhutanan Sosial ini. Hingga penyelenggaraan Sekolah Lapang ini berlangsung, telah 15 (lima belas) ijin Perhutanan Sosial diperoleh kelompok-kelompok tani hutan di bawah lingkup Paguyuban Petani Sunda Hedjo, untuk luasan total lebih dari 1000 hektar, tepatnya 1034,56 hektar.

Begitulah, sekadar panorama metodologis yang dipergunakan dalam merangsang motivasi, membekali dan memberi kesempatan bagi pemuda-pemudi untuk menjadi pemimpin yang memperjuangankan dan merawat kampung halaman, tanah airnya.


Penutup

Sebagai penutup, kami akan kembali ke pesan utama panggilan merawat dan mengurus tanah air kampung halaman, dengan benar-benar menimbang sejarah dan geografi mulai dari masing-masing kampung/desa, gunung-gunung, lalu kawasan, lalu pulau, hingga mengurus kembali Indonesia sebagai bangsa agraris sekaligus maritim terbesar di dunia. Ini adalah ekspresi dari suatu kesadaran kritis dan sekaligus semangat mengubah nasib.

Kami menjadi ingat pada kata-kata dalam lirik lagu kebangsaan Indonesia Raya stanza kedua. Karena “Indonesia tanah yang mulia, tanah kita yang kaya”, maka “di sanalah aku berdiri untuk selama-lamanya”, lalu “marilah kita mendoa, Indonesia bahagia” (Dari bait pertama dari stanza kedua). Kami undang: Marilah kita, terutama para pemuda dan pemudi, menjadi pandu tanah air, merintis dan membangun arus balik dengan menjadikan tempat kita berasal/kampung/desa atau apapun nama setempat, sebagai tempat berangkat dan sekaligus tempat kita mengabdi. Jadilah pandu-pandu tanah air!

Sekian.

            Bandung, 10 Desember 2022, sambil memperingati hari Hak Asasi Manusia.



*) Noer Fauzi Rachman PhD mengajar Psikologi Komunitas dan Psikologi Lingkungan pada Fakultas Psikologi, selain menjadi anggota dewan pembina, atau anggota biasa, dari yayasan atau perkumpulan yang bergerak dalam studi agraria, advokasi kebijakan sosial, pembangunan dan pengorganisasian komunitas petani dan masyarakat adat, pengelolaan sumber daya alam, kehutanan, dan lingkungan, hingga pemberdayaan perempuan kepala keluarga. 

**) Boy Fidro adalah pendiri dan guru sejumlah sekolah menengah yang dikelola Serikat Petani Pasundan di Kabupaten Garut, Tasikmalaya dan Ciamis (2003-2013), Sekolah Lapang Reforestasi dan Perhutanan Sosial, Yayasan Tanah Air Semesta (2020-2021), dan Sekolah Lapang Kopi Tani Pangandaran (2022-2023).

[1] Wardhana, A., B. Kharisma dan Y. Ibrahim. (2019) “Pengangguran Usia Muda Di Jawa Barat (Menggunakan Data Sakernas)”,  E- Jurnal Ekonomi Dan Bisnis Universitas Udayana 8.9:1049-1062.

[2] World Bank (2010) “Education, Training, and Labor Market Outcomes for Youth in Indonesia.” Report No. 54170-ID. Jakarta: World Bank.

[3] Zid, M., E.S. Wahyuni, L. M., Kolopaking, & E. Soetarto(2012). “Migrasi Internasional, Perempuan dan Penguasaan Lahan Pedesaan di Jawa Barat”. Jurnal Ilmiah Mimbar Demokrasi11(2), 1 - 18.

[4] Tridakusumah, A.C, E. Soetarto , S. Adiwibowo dan E. Sriwahyuni (2019) Senjakala Agraria di Pedesaan Jawa Barat: Dari Akumulasi ke Esklusi.” Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan 80: 78-85.

[5] Batubara, B. and N.F. Rachman (2022) “Extended Agrarian Question in Concessionary Capitalism: The Jakarta’s Kaum Miskin Kota”, Agrarian South: Journal of Political Economy 11(2) 232–255. 

[6] Noer Fauzi Rachman (2016) “Politik Agraria Priangan dari Masa ke Masa”, dalam Sejarah/Geografi Agraria Indonesia, Hilmar Farid dan Ahmad Nashih Luthfi (penyunting), Yogyakarya: STPN Press, halaman 152-214. Untuk konteks Indonesia, Lihat Noer Fauzi Rachman (2017) Petani dan Penguasa, DInamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Jakarta: Insist Press.

[7] Untuk laporan detilnya, lihat buku foto esai laporan Sekolah Lapang Reforestasi dan Perhutanan Sosial  karya Eka Yudha Garmana dan Siti Maryam (2022) Tempat Kembali. Garut: Tanah Air Semesta.

No comments:

Post a Comment